Ririn sahabat kecil Ara hari ini berkunjung ke rumahnya. Gadis cantik ini juga membawa buah tangan untuk mereka. Ara senang sekali Ririn akhirnya menyempatkan waktu untuk menemuinya, semenjak lulus kuliah mereka jarang bertemu karena kesibukan masing-masing.
Mereka melepas rindu dengan menaburkan dalam sebuah cerita yang mengasyikkan. Bercerita tentang masa depan dan lain sebagainya.
"Aku sampai lupa ekspresi wajah Rio saat aku memutus hubungan dengannya, kau tau dia berkata seperti ini kepadaku ..."Ririn membersihkan tenggorokannya berusaha menirukan suara mantannya ketika diputuskan.
"Ririn mengapa kau begitu tega kepadaku... Aku sangat mencintaimu.. jika kau meninggalkanku akan bagaimana hidupku nantinya?"
Ara terkekeh. Ririn sangat pandai menirukan orang lain yang membuatnya terlihat lucu adalah cara Ririn memeragakan ekspresi mantan pacarnya.
"Lalu aku jawab, kau ini gila ya?! Sudah tau aku mencampakkanmu, kau masih saja mengejar ku. Ayolah, bung! Jangan jadi lemah dihadapan wanita. Sehabis memakinya aku pergi meninggalkan Rio yang menangis tersedu-sedu. Bayangin aja Ra, si Rio itu cuma badannya doang kek cowok tapi aslinya mentalnya cuma sebiji jagung. Gak asik lah, secara aku ini wanita perkasa."ungkap Ririn dengan nada kesal. Ara mengangguk setuju.
"Aku pikir juga begitu, seharusnya kau mendapatkan kekasih yang lebih perkasa supaya tidak mudah ditindas oleh mu."kata Ara.
"Tentu saja, hmm."Ririn mencomot keripik kentang yang tersaji di meja. Sambil mengunyah keripik kentang Ririn kembali mengeluarkan suara, "Aku dengar dari kakek kau sudah bekerja ya?"
Ara mengangguk lalu mengambil jus alpukat di meja.
"Kerja dimana?"
"Perusahaan tekstil."
Ririn tersentak. Ada yang tidak beres dengan Ara. Pernyataan Ara dengan kakek sangat berbeda. Pasti sesuatu sedang disembunyikan olehnya. Namun Ririn tidak sesegera mungkin untuk menghakiminya, dia harus memancing Ara bicara jujur.
"Oh ya? Tapi kakek mengatakan kepadaku kalau kau bekerja di butik, lalu mengapa kau bilang bekerja di perusahaan tekstil? Yang benar yang mana nih?"ucap Ririn, datar.
Ara tertegun dengan menelan saliva nya kasar. Mengapa ia tidak kepikiran ini?
"Kenapa diam? Aku bertanya lho?"
Lamunan Ara buyar. "Ngg ... Itu ... Ya benar sekali aku bekerja di butik, mengapa aku sampai lupa, hehehe!"
Alis Ririn berkerut.
"Oh. Sejak kapan kau bekerja di perusahaan itu?"
Ara menghela nafas lega. Sepertinya Ririn tidak curiga.
"Belum lama sekitar satu Minggu lalu."
"Apa nama perusahaan itu? Siapa tahu saja aku bisa mengunjungimu."Ririn menoleh, dilihatnya Ara panik dengan wajah sedikit pucat. Bahkan keringat kecil bermunculan di wajahnya.
"Kau kepanasan? Mengapa kau berkeringat? Aku rasa AC disini harus diperbaiki."selidiki Ririn.
"Ngg ... Iya aku kepanasan makanya berkeringat, hehehe ...."sahut Ara kikuk.
Ririn mendengus kesal Ara belum saja mau bicara padahal dia secara tidak langsung memintanya untuk jujur. Apa salahnya coba bicara jujur? Karena sikap Ara yang selalu mengalihkan pembicaraan membuat Ririn jengkel. Dia memukul meja keras. Sontak Ara menoleh.
"Ada apa?"
Ririn melempar tatapan tajam. "Pakai nanya lagi. Justru itu aku mau bertanya kau ini kenapa?!"
"Aku tidak mengerti yang kau katakan?"
Ririn mendengus. "Huh! Kau tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti. Sekarang aku tanya, mengapa kau berbohong?"
"Berbohong? Berbohong soal apa? Aku selalu terus terang padamu."ucap Ara gugup.
Ririn memutar bola mata jengah. Wanita ini masih saja bersikap polos dan tidak mengerti. Jika dia tidak mengenal Ara, kemungkinan dia akan tertipu oleh keluguannya.
"Terus terang? Ini yang dinamakan terus terang dengan membohongi ku. Apa gunanya aku sebagai temanmu Ara? Apa kau tidak menganggap pertemanan ini?! Aku kecewa sekali."ucap Ririn menaikkan satu oktaf suaranya.
Apa jangan-jangan Ririn sudah tahu aku membohonginya???
Ara menggigit bibirnya, lalu menoleh pada Ririn yang membuang muka malas.
"Ririn tenang dulu jangan marah. Aku tidak berniat untuk membohongimu. Aku selalu menganggap kau temanku bahkan kau sudah seperti saudara ku sendiri."ucap Ara menarik ujung baju Ririn.
Ririn menghela nafas kemudian menatapnya sambil memegang kedua bahunya. Ara menundukkan pandangan, ia tidak mampu menatap mata Ririn.
"Kalau kau benar-benar menganggap aku seperti saudaramu sendiri maka cepat beritahu aku alasan mengapa kau membohongiku dan kakek?"
"...."
"Tidak mau bicara? Baiklah aku tidak akan memaksa! Lagipula siapa aku?! Hanya orang luar!"dengus Ririn.
"Jangan katakan itu, kau bukan orang luar."tukas Ara.
"Maka katakan."sentak Ririn meminta jawaban Ara.
"Aku akan bicara tapi kau harus janji satu hal dulu kepadaku?"ucap Ara seraya menatap wajahnya.
"Janji? Hmm, boleh saja."
"Setelah aku mengatakannya kau harus berjanji untuk tidak memberitahukan kepada kakek?"kata Ara.
Ririn menyipitkan mata. Wajahnya tiba-tiba meregang.
"Demi kesehatan kakek kumohon..."
Hanya helaan nafas yang terdengar. "Katakan?"
Ara pun mulai menceritakan alasan dia harus menutupi kebenaran tentang pekerjaannya sekarang. Mengetahui kebenarannya membuat Ririn memijit pangkal hidungnya yang berdenyut. Kepalanya terasa berat.
"Ara mengapa kau senekat itu ... Aku tahu kau membutuhkan uang, tapi tidak dengan cara membohongi kakek segala. Bagaimana jika nantinya kakek tahu? Apa kau tidak memikirkan apa yang akan terjadi?"
Ara menundukkan kepalanya.
"Untuk biaya pengobatan kakek kenapa kau tidak membicarakannya kepadaku? Itulah gunanya seorang teman, membantu temannya yang sedang kesusahan. Tapi kau? Hanya diam memendam sendiri."kata Ririn merasa sedikit kecewa kepada Ara juga dirinya yang tidak mengetahui berita sepenting ini.
Aku yang menganggap diriku mengenal Ara tapi kenyataannya aku tidak mengetahui sedikitpun tentangnya. Aku salah besar memahami Ara.
Penyakit kakek yang sudah lama ini memang sengaja Ara sembunyikan rapat-rapat. Membebani orang lain bukanlah sifatnya. Selagi dia mampu dia tidak akan mau mengemis uluran tangan orang lain. Itulah yang orang tuanya ajarkan dulu, Ara mengingatnya jelas.
"Aku menghargai keputusanmu, tapi jangan lupakan aku jika kau membutuhkan sesuatu, aku akan lapang dada untuk membantumu Ara."Ririn memeluk tubuh Ara. Kemudian mengurai pelukannya dan menatap wajah Ara,"Aku akan selaku ada di sampingmu, jangan merasa sendirian oke?"
"Terimakasih, Ririn ...."
Share this novel