Semua tetap berjalan dengan semestinya. Berkenalan denganmu adalah hal yang belum aku pikirkan dalam hidupku. Itu semua di luar keinginanku. Hanya saja semesta dengan ajaibnya juga memperkenalkan kita dalam sebuah ketidaksengajaan. Kita berpasangan dalam sebuah urusan yang tak memungkinkan kita untuk bersama.

“Aku tak mau kerja sama dengan kamu,” ucapku tegas dengan nada yang sangat sebal. Bagaimana tak sebal saat harus berpasangan dengan orang asing.

“Oke. Biar aku saja yang mengerjakannya. Kamu terima jadi,” ucapmu dengan nada lembut tanpa merasa tersinggung dengan penolakanku.

Sifat Egois kala itu tetap menyambutku, namun entah dari mana hilang dan tergantikan rasa luluh atas segala kesabaranmu. Hingga sebuah kebiasaan baru muncul, aku mulai mengandalkanmu. Pada setiap waktu, kamu harus selalu ada di depanku.

“Bagaimana jika aku tak ada, pada siapa lagi kamu akan bersandar?”

Aku diam. Menimang jawaban yang harus aku berikan.

“Aku akan ikut tiada,” ujarku singkat. Tak berpikir apa arti jawabanku. Yang aku tahu hanya aku akan selalu ikut ke mana pun kamu pergi. Bahkan ke syurga sekalipun. Itu hanya jawaban bocah yang dapat aku lontarkan kala itu.

“Bersandarlah pada Tuhan. Aku tak mampu selalu ada, dan kamu tak mampu selalu mengikutiku.”