HUAAAAA..
Udah setahun cerita ini terbengkalai
Semoga suka ya sama ceritanya.
Happy reading??
•••••••••••••••••••••
Kongkow di kafe sekarang sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidup kaum remaja. Entah sekedar nongkrong dengan topik random, atau mengerjakan tugas sekolah secara berkelompok. The Blues juga bagian dari hal itu. Melepas penatnya sekolah sambil menikmati masa remaja mereka yang tak akan lama.
Minuman andalan Azka saat disini adalah cappucinonya. Dia amat menyukai jenis minuman kopi satu ini. Tiap ia akan menyecapnya, pasti ada rasa kenikmatan yang menjalar di lidahnya. Tiap orang pasti punya minuman kesukaan atau minuman andalannya bukan?
"Udah pada tau belum, kalo The Blues bakalan nampil di acara pensi sebagai pembuka?" suara Rafli membuka topik yang akan Azka bahas. Andre yang tengah memakan cookies yang dipesannya tersedak mendengar pertanyaan Rafli. Terkadang suka lebay dia. Matanya pun tak lupa untuk melotot. "Serius, pli?!" tanyanya dengan cookies yang masih dibibir, bahkan tangannya tak melepaskan pegangan pada cookiesnya.
"Gila kau, ndre. Makan dulu tuh cookies baru ngomong. Meleber kemana-mana anjir remahan bekas mulutmu." seru Raka yang tak menerima remahan cookies dari mulut Andre mengenai dirinya. Andre merasa bersalah dengan tingkahnya, ia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah sebagai lambang damai dengan menyengir yang menampakkan remahan cookies di giginya. Kadang Azka berpikir, otaknya Andre kok bisa koslet segitu parahnya.
Azka menyeruput cappucinonya dan mengulum bibir sejenak, "Tadi juga Sir Nadif manggil dan ngasih tau perihal itu." katanya.
"Yaudah, mereka jual kita beli dong. Lagian baguskan, kita juga butuh penyegaran ini. Capek sekolah mulu." sahut Arga²?¹?. Satria mengangguk dan menjentikkan antara ibu jari dan telunjuknya. "Tumben pinter tonk."
"Sialan!" umpat Arga.
"Udah Ka, besok temuin Sir Nadif, kasih tau kalau kita terima permintaannya," kata Satria. Azka tak menjawab dia memilih menyecap kembali cappucino dihadapannya. Pandangannya tak lepas dari minuman di dalam gelas kecil itu. Entah apa yang ada dipikirannya.
"Oke," final Azka. Keempat remaja cowok itu sumringah mendengar keputusan Azka.
Pertemuan kelima cowok ini diisi dengan obrolan seputar masalah sekolah. Tak jarang mereka membicarakan orang-orang yang annoying menurut masing-masing, seputar masalah tugas mereka yang menumpuk dan terakhir tentang band mereka.
Sekitar pukul sembilan lewat dua puluh tiga menit Azka pamit pulang. Dia mendahului teman-temannya yang masih setia berada di kafe milik keluarga Satria ini. Azka menghidupkan motor maticnya yang terparkir rapi di parkiran. Helm khas cowo itu dikenakannya untuk keselamatan dan melaju meninggalkan kafe membelah jalanan ibu kota yang masih ramai pada malam hari.
Sesampainya Azka di rumah dia langsung berlari ke kamarnya dan menghempaskan badannya di atas tempat tidur dengan kaki menggantung. Bahkan sepatu yang dikenakan belum terlepas dari kaki panjangnya. Tautan tangannya di belakang kepala dijadikan bantal dadakan. Matanya menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Lambat laun pikirannya melayang-layang di alam bawah sadar hingga pagi.
Sebelum adzan berkumandang Azka sudah kembali terjaga dan bergegas mandi. Seperti biasa, selepas mandi pasti adzan subuh berkumandang dan dia bergegas melaksanakan kewajibannya sebagai umat Muslim. Setelah melaksanakan kewajibannya Azka bergegas mengganti pakaian solatnya dengan seragam sekolah.
Masih jam enam kurang, pikirnya. Azka menarik kursi belajarnya dan mendudukkan badannya di atas kursi itu. Tasnya yang tergeletak di atas meja belajar di bukanya dan mengeluarkan beberapa buku dan pulpen. Ada PR yang lupa dia kerjakan semalam. Untungnya pagi hari seperti ini otak lebih fresh dan Azka lebih cepat mengerjakan PR ini.
Selesainya Azka mengerjakan PR itu dia bergegas keluar kamar dan sarapan dengan cepat. Sarapan sudah disiapkan oleh Bi Ijum sedaritadi, untunglah sarapannya masih hangat. Tiap sendok nasi yang masuk ke mulutnya digiling dengan cepat oleh gigi dan kemudian bermuara di lambungnya.
Azka keluar rumah dan menaiki motornya yang kemudian mengencangkan laju motornya meninggalkan pelataran rumah.
—??????—
Di sekolah sudah ramai pelajar yang berdatangan. Bahkan motor-motor dan sepeda-sepeda milik murid di sini banyak yang terparkir rapi. Azka memarkirkan motornya diantara deretan motor yang lain yang mana kemudian dia melepaskan helmnya dan mengunci kendaraannya.
Setelahnya barulah Azka masuk ke pekarangan sekolah melewati lapangan utama dan koridor kelas X serta menaiki tangga agar sampai di lantai dua, daerah kelas XI. Di tangga Azka berpapasan dengan Arga yang terkesan terburu-buru. "Mau kemana kau, Ga?" tanya Azka.
Arga menghentikan langkahnya dan menatap Azka, kemudian menjawab, "Kebelet boker." Arga menepuk-nepuk perutnya pelan dan raut muka yang mengerut khas orang kebelet. "Dah ya." Arga melanjutkan langkahnya ke toilet yang berada di lantai dasar. Begitupun dengan Azka yang terheran menatap kawannya yang satu itu.
Menggeleng pelan seraya bergumam, "Arga goblok." Azka melanjutkan langkah kakinya menuju kelas. Setengah dari populasi kelas sudah berdatangan dan itu berlanjut terus hingga bel pertama berbunyi pertanda bahwa pelajaran akan segera dimulai. Tak berapa lama guru yang berjadwal mengisi kelas di XI IPA 2 datang. Pelajaran benar-benar sudah dimulai sejak itu.
Lambat laun, sudah 4 les mata pelajaran yang mereka lewati sampai bel istirahat berbunyi menggema disegala penjuru sekolah. Selepas guru di tiap kelas keluar, para murid berhamburan keluar. Entah ke kantin, ke perpustakaan, ruang musik atau sekedar duduk-duduk di bangku di pinggir lapangan dengan rindangnya pohon yang ditanam.
Tapi tidak buat The Blues, mereka menjadikan kantin sebagai tempat meeting kapanpun asalkan di sekolah. Azka bersama dengan Andi berbarengan turun dari lantai dua menuju kantin. Di sana, mata kedua orang itu melihat meja di sudut ruangan yang sudah menjadi lapak The Blues sudah ditempati oleh tiga orang yang saling menggeplak.
Dasar makhluk nyeleneh.
"Woi!" Andi datang mengagetkan ketiganya dengan gebrakan di meja.
"Anjay, buat kaget aja!" protes Rafli.
Azka dan Andi mengambil tempat diantara mereka bertiga. Cowok ini hanya diam memperhatikan bagaimana interaksi keempat kawannya yang kini saling adu mulut. Mereka seperti mengikuti ajang lomba debat tingkat internasional, tapi pantaskah mereka ikut demikian sementara mereka ini adu mulut dengan intonasi yang tinggi bukannya dengan kepala dingin.
"Udahlah ah! Capek adu bacot sama kalian, gak ada faedahnya anjir!" pekik Rafli.
"Lah? Kan kau yang mulai Rafli kunyuk kupret," sembur Arga.
"Biasanya Rafli suka begincu," sambung Satria membuat mata cowok itu membulat. "Anjay, aku gak banci ya sampe gincuan segala."
Raka datang entah darimana dan langsung ikut nimbrung bersama Azka, Arga, Andi, Satria, dan Rafli. Kericuhan dan candaan mereka berenam semakin menjadi-jadi.
Kini mereka membahas topik lain dan sesekali bersenda gurau sebagai pemanis cerita masa remaja mereka. Decitan suara dari sepatu yang beradu dengan lantai kantin menarik perhatian Azka. Dilihatnya pengunjung yang baru saja datang itu. Dua orang cewek, salah satunya menundukkan kepala sambil merogoh saku roknya. Entah mengapa Azka merasa ada gejolak aneh dalam dirinya. Seperti ingin tahu lebih siapa cewek itu, padahal ia tak pernah begini. Selalu acuh pada perempuan yang berusaha mendekatinya. Ditatapnya lama cewek yang menunduk tadi, seperti mengenalnya tapi ia tak yakin juga.
Sementara itu cewek yang datang dahulu sudah mengambil tempat yang berada di sudut ruangan lainnya. Tersenyum menatap temannya yang masih menunduk seolah mencari barangnya yang hilang. "Kenapa sih? Dari tadi ngerogohin rok terus." samar-samar Azka mendengar penuturan dari teman cewek itu. Astaga! Ia tak seharusnya menguping. Tapi, seolah ada magnet yang menarik perhatiannya.
"Aku lupa naruh gelang itu dimana. Seingatku ada di saku ini. Tapi kok gak ada ya?" katanya masih berusaha mencari benda yang dimaksud. "Ketinggalan di kelas kali." sambung temannya. Dapat Azka lihat kalau bahu cewek itu merosot seketika, seperti begitu sedih. Buru-buru Azka mengalihkan perhatiannya pada teman-temannya kembali sebelum kepergok memperhatikan seorang cewek.
"Ka, kita bakalan bawa lagu apaan nanti?" tanya Raka. Azka berpikir sejenak, "ada saran gak?" yang lain juga berpikir enaknya membawakan lagu apa ketika pensi nanti. Diantara mereka Andrelah yang paling serius berpikir. "Lagu sedih atau baper nih? Atau lagu semangat? Atau lagu yang mengebu-gebu?!" tanya Andre dengan ekspresi yang berbeda-beda. "Lebay, bangsat." kata Andi mewakili keempat temannya sambil melemparkan kulit kacang ke wajah Andre. Andre sendiri merasa kesal, "Selo dong, kutil anoa."
"Udah woi! Bising!" lerai Rafli.
"Kita bawakan lagu GAC 'Kita Bahagia' lanjut lagi lagu Maroon 5 'Sugar' terakhir lagu RAN 'Selamat Pagi' gimana?" kata Azka. "Tiga lagu sekaligus dinyanyikan gitu?" tanya Rafli.
"Ya enggaklah kunyuk, gila aja langsung tiga-tiganya dinyanyikan. Kan bakalan diselang-selingin." tutur Andi. Rafli memberi respon dengan mulut berbentuk 'O' besar. Dengan isengnya Arga memasukkan botol plastik minuman bersoda yang tak berisi lagi kedalam mulut Rafli.Entah darimana Arga mendapatkan botol itu. Otomatis, Rafli kelabakan atas serangan tiba-tiba itu.
"Gila! Kalo mulutku jadi boneng kaya Andre awas kau ya Ga. Sakit anjir rahangnya." katanya. Kini ia mengusap-usap rahangnya yang pegal. Kelima teman-temannya sudah terbahak-bahak melihat ekspresi Rafli tadi. Suara tawa mereka yang membahana menjadi tontonan pengunjung kantin. Ada yang merasa terganggu, ada yang menganggapnya biasa saja bahkan ada yang tak perduli.
Tapi, dua orang cewek memperhatikan mereka dengan seksama sedaritadi. Bagaimana tidak? Merekalah pengunjung terheboh di kantin ini. Bila kantin ini mengadakan acara untuk pengunjungnya dengan kategori 'Pengunjung Terheboh' sudah dipastikan Azka dan kawan-kawanlah yang menang.
Seorang cewek dengan rambut panjang yang tergerai hingga bahu menatap seorang cowok dari samping yang tak lain tak bukan adalah Azka. Seperti pernah liat, pikirnya. Ia tak mau ambil pusing memikirkan orang lain yang bahkan masih samar-samar dalam ingatannya. Bodo amatlah, ucapnya dalam hati.
Sekitar setengah jam mereka beristirahat di kantin. Tidak, biasanya The Blues tidak makan di istirahat pertama mereka akan makan saat istirahat kedua berdenting. Sekarang murid-murid berhamburan ke kelas masing-masing, pasalnya bel istirahat usai sudah berbunyi nyaring dan tak lama setelahnya guru mata pelajaran berikutnya masuk mengajar.
Sama seperti sebelumnya, 4 les—yang artinya 4 bel sebagai pertanda tiap les—harus mereka lewati untuk istirahat yang kedua kalinya. Tapi, sekitar les ke tiga cuaca tampaknya tak bersahabat dengan mereka. Dari dalam kelas terlihat bagaimana awan menggumpal berwarna kehitaman di langit, mendung.
Azka menggerutu dalam hati, kenapa harus mendung segala? Kalo hujan nyusahin orang pulang namanya. Begitulah Azka, cowok yang tak menyukai hujan bahkan melihat awan mendung dimana belum tentu hujan akan turun dia sudah menggerutu tak suka. Fokusnya sejenak teralihkan kemudian kembali pada materi yang dipaparkan gurunya di depan kelas.
-H U J A N-
2 JULI 2020
Share this novel