Rate

BAB 3

Drama Completed 569

Hari ini adalah hari minggu kedua di bulan Januari. Tidak seperti pagi yang biasanya diguyur hujan, pagi ini malah cuacanya terbilang cerah.
Mentari tak malu-malu lagi menampakan diri. Awan kelabu yang biasa menggantung di langit sekarang berganti dengan cakrawala biru yang tampak tak berujung. Burung-burung pun ikut meramaikan dengan berkicauan dan berkejar-kejaran tanpa terhalang hujan.
Gadis itu kembali mengecek peralatan melukisnya dengan cermat. Dari mulai kuas, pensil, penggaris, cat air, hingga kanvas dan penyangganya. Setelah semuanya dirasa lengkap, ia pun membungkusnya dalam ransel hijau bergambar keropi.
Zafira menghela napasnya. Perbincangannya dengan Pedro beberapa hari lalu telah menggugah hatinya. Ia mulai belajar memaafkan takdir.
Kecelakaan kedua orangtuanya bukan sepenuhnya salah si penabrak, itu semua pasti sudah tertulis dalam takdir-Nya. Zafira mulai mengerti dan dari detik ini ia akan berusaha menerima takdir itu.
“Pelan-pelan, pasti akan bisa!” Zafira memantapkan.

Hari libur ini, Zafira gunakan untuk berkeliling Malioboro yang jaraknya lumayan dekat dari rumahnya. Ia memilih untuk berjalan kaki, selain menyehatkan bukankah dengan berjalan kaki kita bisa lebih menikmati indahnya alam sekitar.
Dan akhirnya pesona pasar tradisional itu telah tampak di pelupuk mata. Malioboro adalah sebuah pasar dan nama jalan yang paling terkenal di kota Jogja. Kini pasar itu terlihat penuh sesak.
Beberapa orang tampak sibuk berlalu lalang ke sana-ke mari sambil menenteng tas belanja. Ada pula yang sibuk membereskan barang dagangan, tawar-menawar, hingga kejar-kejaran sama kucing—sang pencuri ikan.
Zafira tersenyum tipis, entah sudah berapa lama dirinya tidak menyaksikan semua ini. Gadis itu lalu mengeluarkan peralatan melukisnya.

Kini gadis itu telah siap. Ia telah siap untuk melukis kembali. Dirinya memandang sejenak kanvas putih yang tampak kosong sejak dua bulan lalu.
Satu detik, dua detik. Dan ia pun berhasil menggoreskan warna baru di kanvasnya —sungguh lega rasanya— Zafira bergumam.

Jpret!
Zafira terkaget—kilatan blitz kamera tiba-tiba mengenai matanya. “Elo?”
“Kok lo tidak pernah bilang sih, kalo lo pinter ngelukis?” tanya Pedro sambil mengalungkan DSLRnya ke leher.
Zafira mengerutkan kening, “Lo ngapain di sini? Pake acara ngefoto gue lagi!”
“Sori. Kalo lo tidak suka. Gue bakal apus foto lo dan..,” balas Pedro sambil mengutak-atik tombol di kameranya.
“Nggak. Gue tidak suka,” potong Zafira cepat.
Pedro mengangguk, “Oke udah diapus.” Ia lalu menyunggingkan senyum, “Jangan galak-galak dong mba. Kayak baru kenal aja. Kan kita udah temenan dua minggu.”
Zafira tak menjawab, ia memilih meneruskan lukisannya yang masih belum selesai.

“Oh iya, lo belom jawab pertanyaan gue tadi,” tanya Pedro tiba-tiba.
Zafira menoleh, “Pertanyaan yang mana? Yang kenapa gue tidak pernah bilang ke lo itu.”
Pedro mengangguk.
“Haha.. ” Zafira malah tertawa.
“Jangankan ngasih tau lo. Orang sekelas juga tidak ada yang tau gue bisa ngelukis.”
“Ya gimana mau tau. Ngeliat lo aja anak kelas juga udah pada males,” balas Pedro sambil memalingkan muka.
“Oh jadi lo mau bilang lo juga males ngeliat gue?” Zafira balas bertanya.
Pedro terkekeh, tapi dia menggeleng. “Sebagai orang yang pertama tau. Boleh dong.. kasih bonus.”
“Bonus apa maksud lo?”
Pedro mengangkat bahu, “Apa kek, lukisan kek..”
“Ngelukis elo?” tanya Zafira . Ia terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Sori gue tidak bisa. Ini baru lukisan pertama gue dari dua bulan yang lalu. Gue masih harus beradaptasi lagi,” lanjut Zafira kemudian.
“Dari dua bulan yang lalu?” Pedro balik bertanya.
Zafira mengangguk pelan.
“Mm, biar gue tebak. Bulan ini lo ulang tahun ya? Atau jangan-jangan lo lagi anniv? Soalnya biasanya kalo orang tiba-tiba bisa ngelakuin sesuatu, pasti ada yang ngedorongnya.” Pedro menebak.
“Tapi tebakan lo salah,” potong Zafira . “Beberapa hari lalu gue ngobrol sama seseorang. Orang itu nyeritain kisah yang mirip banget dengan kisah gue. Dia ngomongin kayak gue yang lagi diomongin. Dia nasehatin juga kayak gue yang dinasehatin. Gue kayak ngaca sama apa yang dia omongin.” Zafira berhenti sejenak.
“Orang itu bilang kita harus belajar memaafkan. Memaafkan takdir juga memaafkan diri sendiri. Gue rasa dengan ini gue bisa belajar itu semua. Belajar seperti yang dibilang orang itu,” lanjut Zafira .
Pedro memiringkan kepala, “Orang itu bukan gue kan?”
Gadis itu menerawang. “Tapi kalo ternyata elo gimana?” tanya Zafira .

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience