Rate

BAB 2

Drama Completed 569

Setelah lama berkeliling akhirnya Pedro mendapatkan buku yang menurutnya menarik untuk dibaca. Ia memilih tempat duduk yang paling dekat dengan AC kerana tubuhnya terasa panas setelah lama berkeliling.
Baru membaca halaman pertama saja Pedro sudah merasa tertarik pada buku ini. Buku yang mengisahkan tentang Kassian Cephas yang diberi gelar sebagai Bapak Fotografi Indonesia. Perjuangan seorang Kassian Cephas yang berasal dari rakyat pribumi yang miskin kemudian mendapat kesempatan untuk belajar seni fotografi. Hingga ia dikenal luas oleh masyarakat kelas tinggi—benar-benar menggugah hati Pedro .

Ia kembali teringat saat dirinya merayakan ulang tahun ke-9nya. Kala itu sang ayah meneleponnya bahwa beliau tidak bisa menemani Pedro di acara ulang tahun.
Pedro menangis hampir seharian dan mengurung diri di kamar. Bahkan saat peniupan lilin berlangsung, dirinya masih saja menangis. Sampai sang ayah tiba-tiba muncul dari belakang sembari menyodorkan sebuah bingkisan kecil yang langsung disobeknya saat itu juga.
Pedro langsung memeluk ayahnya ketika ia mendapati sebuah kamera SLR dalam bingkisan kado itu. Benda yang selama ini diidam-idamkannya, kini sudah berada di tangannya sendiri dan Pedro hampir tak percaya. Sejak saat itu Pedro selalu meminta ayahnya untuk mengajarinya memotret ketika weekend tiba.

Setelah menghabiskan hampir setengah buku itu, Pedro merasa matanya mulai lelah. Ia pun menyempatkan mengedarkan pandangannya ke sekeliling perpustakaan untuk menyegarkan kembali fikirannya.
Dan akhirnya matanya tertuju pada seseorang yang duduk tepat di sampingnya.
Tak sadar, Pedro pun menekuri garis wajah gadis yang sedang asik membaca sebuah buku itu.
Ia merasa mengenali wajah itu tapi ia tak tahu pasti gadis berambut hitam itu teman sekelasnya atau bukan. Pedro akhirnya memutuskan untuk kembali menekuri wajah itu lagi tapi sialnya gadis itu juga menoleh padanya.
Entah mengapa Pedro merasa sangat malu atas kebodohannya tadi. Memang tidak sopan rasanya, menekuri wajah seseorang tanpa permisi. Tetapi wajah dingin gadis itu mengingatkannya pada dua orang yang duduk di belakangnya. Pedro menggali-gali ingatannya.
“Ya, Rinny ! Dia mungkin Rinny ,” gumam Pedro dalam hati. Tapi ia merasa ada kejanggalan. Seingatnya tadi Rinny menguncir rambutnya, tapi mungkin ia sudah melepasnya kerana masuk ruang perpustakaan yang cukup dingin.
Setelah berfikir sejenak, Pedro masih tidak yakin bahwa yang di sebelahnya ini adalah Rinny . Akhirnya rasa penasarannya pun mendorong laki-laki itu untuk bersuara.
“Mm maaf, gue Pedro , murid yang baru pindah itu. Kayaknya gue belum tau nama lo.”
Gadis itu menoleh sedikit tanpa benar-benar meninggalkan bacaannya, “Zafira .”
Pedro menelan ludah, ia bergumam “Ternyata di kota yang terkenal paling ramah pun masih ada orang yang dingin.”
“Gue emang kayak gini. Kalo lo tidak suka, lo bisa jauhin gue,” ujar Zafira yang ternyata mendengarkan perkataan Pedro .
Pedro mendadak kikuk, “Eh sori. Gue tidak bermaksud ngomong gitu. Tap.. tapi kenyataannya emang gitu sih. Maaf kalo lo tersinggung,” balasnya.
“Gue lebih ngehargain orang yang berani bicara di depan kok, daripada yang cuma berani ngocehin di belakang,” jawab Zafira mantap.
Pedro melengkungkan senyum. Ia seperti menangkap sisi lain dari wajah dingin gadis di sampingnya ini.

“Eh itu biografinya Affandi, bukan?” tanya Pedro sambil menunjuk buku yang sedang digenggam Zafira .
Zafira hanya mengangguk kecil tanpa berkata.
“Walaupun gue tidak suka seni lukis, tapi gue akui beliau adalah pelukis ekspresionis yang hebat,” aku Pedro sambil tersenyum.
“Emangnya kalo mau menilai sesuatu kita harus paham tentang sesuatu itu ya. Bukannya kita udah dihadiahi Tuhan alat indra yang paling mutakhir untuk ngerasain keindahan?” tanya Zafira .
Pedro mengangguk, ia mengalihkan pandangannya sejenak, “Ya.. lo bener. Hanya aja perlu pemahaman yang lebih mendalam untuk benar-benar mengerti lalu menilainya.”
“Lo baca novel Dee deh yang judulnya Supernova. Bagi orang yang tidak ngerti sastra, karya Dee itu susah dipahamin. Banyak istilah anehlah, ceritanya rumitlah, apalagi bahasanya—njlimet kesumet.”
“Tapi bagi para kalangan sastra, itu sebuah kenikmatan. Kenikmatan yang tidak bisa semua orang baca. Justru yang bagi orang awam sulit, bagi mereka menarik.”
“Sama juga kaya seni lukis. Gue tau Affandi cuma sekedar pelukis yang hebat. Tidak lebih, kenapa? Kerana gue tidak ngerti arti lukisan dia. Mungkin sama kayak orang awam lainnya, lukisan Affandi keliatan abstrak dan tidak bermakna. Padahal bagi para pelukis, lukisan Affandi pasti punya makna yang sangat dalam. Komplikasi bukan?” jelas Pedro lagi.
Zafira tak berbicara lagi. Ia tertegun mendengar semua ucapan lelaki di sampingnya. Tak sadar, ia pun mengaguminya.
“Kalo ngomongin lukisan, gue jadi inget kakak gue,” ucap Pedro tiba-tiba.
Zafira memiringkan kepala, “Kakak lo bisa ngelukis?” tanyanya penasaran.
“Dia pelukis terhebat yang pernah gue kenal.” Pedro mendesah gusar. “Tapi.. Sekarang.. Dia tidak mau ngelukis lagi. Ada suatu kejadian yang bikin dia terus ngerasa bersalah dan ngurung diri di kamar.”
Zafira hanya mengangguk pelan.
“Padahal gue udah ngebujuk dia dan ngejelasin bahwa semua bukan salahnya. Segala sesuatu udah ada takdirnya bukan? Kita cuma harus belajar memaafkan. Memaafkan takdir juga memaafkan diri sendiri. Tapi.. sayangnya itu yang paling susah.”
Pedro melanjutkan sambil sesekali menghela napas. Berat.
Zafira tak berkutik sedikitpun. Untuk kedua kalinya ia tertegun mendengar kata-kata dari seorang lelaki yang baru dikenalnya kurang dari sehari ini.
Lelaki itu berbicara seperti membicarakan dirinya. Menasehati seperti menasehati dirinya. Zafira pun membenarkan dalam hati, ia juga harus belajar memaafkan. Memaafkan takdir dan memaafkan dirinya sendiri. Walau butuh waktu lama, dirinya pasti bisa. Pasti.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience