Rate

BAB 1

Drama Completed 569

Gadis berambut panjang itu masih dalam tatapan kosong. Tangan kanannya terangkat separuh, tapi tak kunjung sampai pada kanvas putih yang hanya berjarak sekitar satu jengkal dari tempatnya.
Satu kali, dua kali, ia terus mencuba, sampai tangannya lelah dan akhirnya menjatuhkan kuas yang tertulis nama “Zafira ” itu ke lantai.

Sejak kecelakaan dua bulan lalu yang menewaskan ayah dan ibunya, Zafira kini tak dapat lagi melukis di atas kanvas. Tangannya serasa kaku dan fikirannya selalu kosong —sama seperti kanvas yang dilihatnya dari berhari-hari lalu— kosong.
Zafira tak tahu pasti sesuatu apa yang telah merasuki fikirannya hingga membuat dirinya seperti ini. Yang ia tahu dan yang selalu terfikirkannya hanyalah kebencian.
Kebencian terhadap pengendara mobil yang telah menabrak ayah dan ibunya hingga terpelanting beberapa meter ke belakang dan langsung tewas seketika.
Zafira berjanji dalam hati, jika suatu saat ia bertemu dengan pengendara mobil itu, ia akan membalas semuanya. Semuanya dengan setimpal.

Kematian kedua orangtuanya, membuat hati Zafira seakan ikut mati. Ia tak dapat merasakan apapun dan tak dapat menangisi apapun. Bahkan pada saat pemakaman kedua orangtuanya Zafira sama sekali tak menangis.
Semua tawa dan air matanya telah membeku dan terkubur bersama kebenciannya. Kebencian yang sangat mendalam.
Semua sikap Zafira berubah. Kini tak ada lagi Zafira yang periang, yang suka bersenandung di dalam kelas, yang bertingkah hyperaktif dan sering bikin keributan.
Kini yang ada hanyalah Zafira yang pendiam, tak banyak berbicara. Lebih sering menyendiri dan bersikap dingin.
Banyak orang yang mengeluhkan akan perkaran yang sama. Adakalanya dirinya juga sendiri tidak lari dari mengeluh. Tapi semua itu tak dapat dielakkannya. Dirinya memang tidak seperti dulu lagi. Dunianya berubah, kehidupannya berubah dan semuanya berubah.
“Ini semua kerana orang itu!,” tegas Zafira dalam hati.
Pastilah orang itu, orang yang telah menyebabkan kematian ayah dan ibunya dan juga mematikan hatinya.

“Selamat pagi anak-anak,” sapa bu Imelda yang disambut suara gaduh dari dalam kelas.
“Kembali lagi kita pada ajaran baru di Januari ini. Oh iya, kita kedatangan seorang murid baru dari SMAN 203 Jakarta. Silahkan perkenalkan dirimu nak.”
Seorang laki-laki dengan seragam asing dan tinggi sekitar 170an cm itu tiba-tiba bangkit, “Pagi.. Perkenalkan, saya Pedro Aprilio dari SMAN 203 Jakarta.”
“Wah.. orang Jakarta ternyata, Ra,” bisik Rinny —teman sebangkunya.
“Apa beza nya orang Jogja sama orang Jakarta? Malahan orang Jakarta itu lebih tidak tau sopan santun,” bantah Zafira sambil membolak-balikan buku tugasnya dengan teliti.
Rinny menatap Zafira sejenak, ia menggeleng, “Tidak gitu juga, Ra.”
“Astaga, dia duduk di depan kita, Ra! OMG, gue bisa gila. Gue bisa gila,” jerit Rinny meremas tangannya sendiri sambil tetap memerhatikan Pedro yang beranjak menuju tempat duduk yang dipilih bu Imelda untuknya.
Berbeza dengan Rinny , Zafira malah mengerutkan kening. “Sh*t! Kenapa harus di depan persis sih!”
“Justru bagus dong, Ra..”
“Bagus apanya?”
“Ya.. Bagus aja.”

Setelah bu Imelda ke luar, satu persatu siswa langsung berkerumun untuk memperkenalkan diri di hadapan Pedro .
Walau tampak masih kelelahan, tapi Pedro tetap melayani seluruh siswa yang mau berkenalan dengannya. Ia tersenyum bangga, dirinya merasa telah menggenggam dunia barunya kini.
Ternyata benar kata orang, orang-orang di bandar ini sangat ramah dan murah senyum. Malah dia tak merasa menjadi orang asing di sini. Banyak sekali yang mau membantunya, bahkan teman sebangkunya —Yoga— bersedia menukar jam istirahatnya untuk mengajak Pedro berkeliling sekolah dan memperkenalkan semua ruangan yang ada.
Dan sekarang mereka sedang ada di ruang perpustakaan. Ibu Imelda sendiri yang meminta murid-muridnya untuk bebas membaca di perpustakaan, kerana ia harus rapat penting bersama Kepala sekolah.
“Nah, ini Pedro perpustakaan kita. Yakin deh, lo bisa nemuin semua buku yang lo pengen di sini. Dari mulai novel, majalah, buku pelajaran sampe buku sejarah yang masih ditulis pake aksara jawa kuno,” jelas Yoga sambil menirukan gaya pemandu perjalanan.
Pedro mengangguk-angguk, “Wah berarti sejarah kelahiran gue ada dong di sini,” balasnya.
Yoga terkekeh mendengar jawaban teman barunya itu. Ia baru sadar ternyata sikap Pedro tak sedingin wajahnya. Dan tak sedingin perkiraan orang tentang tabiat orang Jakarta.
“Ngaco lo, Pedro. Mana muat ruangan segini nampung sejarah kelahiran 240 juta rakyat Indonesia. Kecuali lo jadi presiden. Itu juga paling biografi —sejarah hidup bukan sejarah kelahiran.”
“Oh gitu, harus jadi presiden, ya?” tanya Pedro , kali ini sambil menerawang sesuatu.
“Iya, jenengan jadi presiden, nanti aku tak buat biografinya,” balas Yoga.
Pedro memiringkan kepala, “Apa tadi? Je.. jengan?”
“Jenengan,” ulang Yoga. “Jenengan itu artinya kamu. Sama kayak koe tapi itu lebih halus.”
“Ohh..” balas Pedro sambil menganggukkan kepala —seolah mengerti.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience