4. Hari Paling Sial dalam Hidup Nyit-nyit

Humor Completed 2028

4. Hari Paling Sial dalam Hidup Nyit-nyit

BOIM jatuh cinta lagi. Nggak heran memang. Anak ini emang hobi banget jatuh cinta. Sama siapa aja. Kambing pun kalo dibedakin, dikasih lipstik, bisa-bisa ditaksir Boim.

Tapi kali ini, katanya, jatuh cintanya serius. Nggak kayak yang dulu-dulu. Cintanya terpendam sudah cukup lama. Sejak pertama masuk SMA Merah Putih ini. Dan, cewek yang ketiban malapetaka kena taksir Boim, nggak lain dan nggak bukan adalah Nyit-nyit. Teman sekelas Lupus juga. Nyit-nyit. Nama benerannya sih Yunita. Ciri-ciri, selain punya anatomi tubuh yang mirip-mirip kunyit, cewek manis ini hobi banget pake kaos kaki bola. Lucu memang. Tapi Boim cinta.

"Kayaknya sih udah ada tanda-tanda, Pus," celoteh Boim penuh semangat kepada Lupus.

"Tanda-tanda apa? Tanda-tanda bakal ditolak?

Boim cemberut. Dongkol

Lupus menyembunyikan senyum, sambil pura-pura nyeruput teh angketnya. Anak-anak yang lain juga banyak yang jajan di kantin. Saat itu emang jam istirahat.

"Gimana ya, Pus, pendekatan selanjutnya," lanjut Boim. "Soalnya sulit juga, mau sering-sering main ke rumahnya, enggak enak sama orang-orang di rumah. Naga-naganya sih ibu bapak, dan tetangganya pada nggak merestui. Cuma pembantunya aja yang kelihatan setuju."

"Ya, udah. Kamu pacaran aja sama pembantunya." Boim cemberut lagi.

Anto, Aji, yang kebetulan nguping, sempat ngakak.

"Serius dong, Pus. Saya butuh saran kamu. Gimana ya bisa pacaran tanpa keluar modal banyak? Soalnya belakangan ini saya lagi cekak."

"Ajak aja jalan-jalan ke museum. Murah kok, Cuma gocap. Sepi lagi..."

Dengan dongkol, Boim ngeloyor keluar kantin. Begitulah kebiasaan jeleknya kalo lagi ngambek. Suka pura-pura lupa ngebayar makanan. Anto, Lupus, Aji, dan nggak ketinggalan Gusur, ketawa bareng di kantin. Sedang Boim dengan judesnya membuang muka pura-pura cuek.

Abis ketawa, anak-anak pada laper. Gusur langsung pesen telor asin sama nasi setengah. Setengah bakul, maksudnya. Soalnya napsu makan doi emang dahsyat sekali. Sedang Anto sibuk nyari goreng-gorengan.

"Goreng-gorengannya mana lagi, Bu? Kok cuma pisang goreng aja? Nggak angket, lagi. Mana kecil-kecil...," ujar Anto cerewet.

"Oto, mau yang gede? Ada tuh. Penggorengan. Ditanggung angket, deh," cetus Lupus ngebelain Bu Kantin. Anto purapura nggak denger, sambil sibuk nyomot pisang. Matanya iseng jelalatan ke dinding kantin yang ditempeli posterposter pengumuman.

Di dekat kaleng kerupuk, segerombolan anak-anak lagi pada asyik berkerumun. Kayaknya di dinding ada pengumuman baru. Anto langsung tertarik. Berdiri dan menghampiri. Lupus dan Aji ikut-ikutan. Beberapa detik kemudian, mereka bertiga ikut-ikutan berdesakan di antara bau keringat anak-anak. Asyik membaca pengumuman.

Ternyata, tentang rencana anak-anak Bio berstudy-tour-ria ke Kebun Raya Bogor.

***

Kesempatan emas itu jelas tak disia-siakan Boim. Soalnya hampir semua anak-anak kelas Lupus, kelas IIA2, ikutan. Termasuk Nyit-nyit. Selama di perjalanan, tentu terbentang luas kesempatan Boim untuk mengadakan aksi gerak cepat mendekati Nyit-nyit. Sukur-sukur bisa duduk sebangku.

Maka hari itu, hari keberangkatan mereka ke bogor, Boim dandan manis sekali. Rambut diminyaki, jenggot yang muncul dengan malu-malu dicukur, dan tak lupa sisir merah lima ratus perak nongol di saku celana belakangnya. Buat jaga-jaga kalo ada angin nakal yang bakal menyibak rambutnya. Malah di rumah, hampir aja dia nekat pake minyak goreng, ketika nyari-nyari minyak wangi nggak ketemu.

Lupus, Anto, Aji, Fifi dan semua (nggak ketinggalan Gusur yang anak bahasa!), juga sudah asyik ngejogrok di dalam bis carteran. Ribut nyanyi-nyanyi. Anak-anak ini emang paling bahagia kalo ada acara piknik. Bisa gila-gilaan sepuaspuasnya. Dan, belum lagi bis besar itu masuk jalan tol, lupu sudah sibuk dengan tebak-tebakannya.

"Ayo, anak-anak. Coba sebutkan tiga peristiwa monyong. Siapa bisa jawab, saya traktir jajan es lilin di Kebun Raya. Ayo... siapa cepat, dia dapat. Iseng-iseng berhadiah... hehehe."

Anak-anak yang kompakan duduk di bangku bis paling buncit, sibuk mikir. Artis kita Fifi Alone, yang saat itu pakai baju berenda-renda kayak artis safari, nggak mau keduluan ngasih jawaban. "Ike tau. Kapal terbang konkord kejebur got!" teriaknya nyaring. Artis kita ini emang daya pikirnya cekak banget. Suka ngejawab sembarangan.

"Salah!" sahut Lupus.

Fifi nyengir. Katanya sih, biar aja salah, yang penting penampilan.

"Tiga ekor anjing pudel lagi berantem!" cetus Anto.

"Salah! Udah deh, pada nyerah aja, ya? Ntar saya kasih tau jawabannya." "Ogah! Nanti dulu," anak-anak masih penasaran.

"Yaaa... nyerah aja deh!" rengek Lupus, dan dia langsung berdiri untuk segera memberi tau jawabannya. "Jawaban yang benar, saudara-saudara, Bokir nai bemo ketemu Dono. Tepuk tangan untuk saya, plok-plok-plok!" Anak-anak nggak ada yang tepuk tangan.

"Ike juga punya tebakan," cetus Fifi dengan gaya artisnya. Mengais-ngais rambutnya yang sengaja dibikin mirip Farah Fawcett. "Tebak ya, teman-teman. Gede, item, bau tapi lincah. Ayooooo, apaan!" Anak-anak serentak menoleh kepada Fifi. Pada nggak tau.

"Nggak bisa negak, ya? Jawabannya mudah, Idi Amin di Stardust.... Horeeee, seratus untuk ike...!"

Anak-anak keki. Fifi Alone langsung kena sambit kulit kacang. Bosan main tebak-tebakan, anak-anak pun mulai nyanyi-nyanyi. Lagunya seperti biasa... dang-dut. Lupus sama Gusur yang main gitar. Lupus main di kunci C, sedang Gusur main di kunci G. Jadinya memang aneh. Tapi anak-anak yang nyanyi juga pada ngaco. Walhasil lagunya kemanaaaa, musiknya juga ke mana. Nggak kompak. Jalan sendiri-sendiri. Yang paling asyik sih si Anto, dengan gendangnya yang khusus dia bawa dari rumah.

Semua anak bergembira.

Semua? Ooo, ternyata tidak. Ada makhluk yang lagi gelisah di pojokan. Siapa dia? Ternyata Boim. Di saat yang lain lagi asyik bercanda-ria, Boim malah gelisah mikirin gimana langkah-langkah yang harus diambil untuk ngedeketin Nyit-nyit. Itulah nggak enaknya orang yang lagi jatuh cinta. Gelisah terus.

"Im, tumben, kalem amat," tegur Anto.

Boim pura-pura nggak denger. Takut anak-anak lain menyadari kekalemannya. Pelampiasannya, dia jadi pura-pura sibuk ngebuka bekal. Nah, ini ada sekotak cokelat. Cokelat yang rencananya mau dikasihi ke Nyit-nyit. Soalnya, denger-denger, Nyit-nyit juga hobi makan cokelat. Tapi, gimana ya cara ngasihin ke dia, supaya nggak nampak menyolok di mata teman-temannya? Supaya nggak diledekin teman-temannya?

Aha, Boim dapat akal. Dia pun berdiri, dan berbasa-basi dulu menawarkan cokelatnya ke anak-anak yang duduk dekat Nyit-nyit. Soalnya, secara nggak langsung, cokelat itu kan bakal sampai ke tangan Nyit-nyit. Ini juga sekaligus untuk memperbaiki citranya di mata Nyit-nyit, bahwa ternyata Boim adalah anak yang baik. Nggak pelit, seperti yang sering diucapkan Lupus.

Meta, Ita, Utari, yang duduk di kanan kiri Nyit-nyit, tentu saja bagai mendapat rejeki nomplok. Langsung menyambut mesra cokelat yang disodorkan Boim.

"Ai... ai.. Boiiiim. Angin surga mana yang mengubah kamu jadi begitu baik hati sama kita-kita...," seru Ita nyaring.

Boim jadi tersipu-sipu malu.

"Hei, teman-teman, kita dapat rejeki, nih! Boim dengan baik hatinya nawarin kita sekotak cokelat. Siapa mau?"

Tanpa menunggu aba-aba selanjutnya, Gusur, Lupus, Anto, Aji dan anak-anak lain segera menyerbu ke bangku Ita. Dalam beberapa detik saja, kotak cokelat milik Boim jadi kosong melompong, Boim jelas terbengong-bengong. Soalnya, kotak cokelat itu belum lagi sampai ke tangan Nyit-nyit.

Tapi anak-anak pada nggak peduli. Pada nggak tau niat suci Boim. Mereka malah sibuk berkemas-kemas, ketika bis sudah keluar dari jalan tol, memasuki kota Bogor.

Lupus yang paling duluan melompat turun, langsung disambut hangat oleh seorang tukang jeruk. "Jeruk, Jang. Manis." "Manis? Siapa? Saya?" Lupus nggak nyimak.

"Ini, Jang. Jeruknya. Kalo asem nggak usah bayar."

Lupus mengernyitkan kening. "Eng... kalo gitu saya ambil yang asemnya aja, deh!" Tukang jeruk itu ngeloyor pergi.

***

Bukan hanya tukang jeruk, Boim pun merasa keki sekali. Pasalnya ya soal cokelat tadi. Dia mengutuki teman-teman dan dirinya yang bego. Kenapa ngasih cokelatnya nggak di tempat sepi aja? Supaya anak-anak yang lain nggak tau? Seperti sekarang misalnya, anak-anak lagi asyik menelusuri jalan-jalan setapak di Kebun Raya. Sambil asyik mencatat apa-apa yang dijelaskan sambil lalu oleh Bu Sut, guru Biologi.

Boim menyesal.

Beberapa langkah di depannya, Nyit-nyit asyik bisik-bisikan dengan Ita. Sedang Lupus, Aji, Anto, Gusur, sibuk main kereta-keretaan. Lupus yang jadi lokomotif, mulutnya ribut ber-tut-tut-tut-tuuut. Kalo Bu Sut menoleh, mereka purapura sibuk mencatat.

Di bagian lain, Fifi Alone nampak mengobrol akrab dengan beberapa cowok kece yang ia temui di jalanan.

"Huh! SKSD Palapa juga tu anak!" cibir Ruri sinis.

"Apa tuh?" Suli nggak ngerti.

"Sok Kenal Sok Dekat Padahal nggak tau apa-apa," jelas Ruri.

Suli manggut-manggut.

Padahal ia nggak ngerti. Sama seperti Boim yang sama sekali nggak nyimak Bu Sut yang sibuk berangin. Hatinya hanya tertuju ke Nyit-nyit yang manis. Nyit-nyit buah hatinya. Ooooh... tadi sebelum berangkat, Boim udah pesan wanti-wanti sama Lupus, supaya selalu siap sedia untuk menjepret dia, kalo kebetulan dekat dengan Nyit-nyit. Demi teman, Lupus menyanggupi.

Dan pas break makan siang, sekitar jam satuan, suasana nampak tenang dan santai. Secara perlahan tapi pasti, Boim beringsut-ingsut menghampiri Nyit-nyit, yang lagi asyik dengan bekalnya. Melihat moment bagus, Lupus langsung sigap. Pasang kuda-kuda.

Boim mendekat dan mendekat. Dan ketika Boim hendak berbasa-basi nawarin bekalnya, berupa semur jengkol favoritnya, suatu benda mirip-mirip karet menyengatnya tepat di dahi. Boim tersentak kaget, Nyit-nyit juga. Ita, Utari, Meta yang duduk dekat-dekat situ heran campur lucu.

"Siapa yang jepret gua?!?" hardik Boim kesakitan sambil memegang jidatnya. Lupus dengan spontan keluar dari persembunyiannya, dan mengacungkan jari. Anak-anak da yang ketawa, ada yang bengong.

Serta-merta Boim menyeret Lupus ke tempat sepi.

"Keparat, kenapa kamu jepret saya seenaknya? Cemburu ya, saya bisa deket-deket Nyit-nyit?"

"Lho, kan disuruh kamu?" jelas Lupus tanpa merasa dosa.

"Disuruh?" Boim berpikir sejenak. Lalu...

"Bego, gue kan nyuruh lu jepret pake tustel, bukan pake karet!!"

Lupus setengah mati menahan senyum. Boim pergi sambil menyemburkan sumpah serapah.

Ternyata, meski pada awal-awalnya Boim ketimpa bencana terus, akhirnya toh dia berhasi menjalin hubungan yang menjurus mesra sama Nyit-nyit. Nggak percaya? Buktinya pas sore-sore, saat Bu Sut sudah menjelaskan ini-itu tentang tumbuh-tumbuhan, Boim kelihatan jalan berduaan sama Nyit-nyit. Ngobrol,bercanda meski masih nampak malu-malu. Lupus saja sampai heran.

Kemesraan itu berlanjut ketika Boim dan Nyit-nyit duduk sebangku di bis yang mengangkut mereka ke Jakarta. Ita, Meta, Utari, yang sobat lengketnya Nyit-nyit, mengumpat-ngumpat karena terpaksa harus pindah duduk. Merekamereka ini, di samping memang pada dasarnya sebel sama Boim (meski udah disogok cokelat!), juga sebel sama Nyitnyit yang mudah jatuh di pelukan dada begeng playboy cap duren tiga.

Kekuatiran, kekecewaan, ataupun keheranan memang amat sangat beralasan. Bukan hanya Ita, Meta, Utari, Lupus ataupun teman-teman Nyit-nyit lainnya, tapi bahkan ketika mereka keluar dari Kebun Raya, banyak orang lain yang terheran-heran melihat Boim berjalan dengan Nyit-nyit.

Mereka rata-rata pada terkejut, sambil mengelus dada. "Betapa malangnya gadis itu...," ujar mereka sambil menatap kasihan pada Nyit-nyit, dan menatap penuh kebencian pada Boim.

Ya, banyak yang nggak simpati dan nggak rela geliat gadis semanis Nyit-nyit bisa intim dengan perjaka butut macam Boim.

Tapi, kalo emang udah jodoh, mau apa?

Dan sialnya, malam sepulang dari Bogor, Boim ikutan anak-anak nginep di rumah Lupus. Udah deh, semalaman si Boim sibuk ngerumpi sambil tu bibir kiwir-kiwir, nyeritain tentang kesuksesan dia ngegaet Nyit-nyit. Anak-anak jelas pada suntuk ngedengerinnya.

"Nyit-nyit, cewek yang sedingin biang es itu, akhirnya toh bisa kutaklukkan. Coba, selama ini, mana ada cowok yang bisa ngobrol akrab dengannya? Mana ada yang bisa duduk berduaan dengannya? Mana?" ujar Boim begitu yakin.

"Nyari apa, Im?" sahut Lupus disela-sela rasa kantuknya.

Boim cuek.

"Dan... baju ini, yang kupakai hari ini, nggak bakal saya cuci selama seminggu. Bakal saya pake terus, untuk mengingatkan saya pada Nyit-nyit dan pada masa-masa bersamanya di Kebun Raya Bogor...,"lanjut Boim. "Dan, jangan heran kalo malam minggu depan, saya bisa ngajak dia nonton."

Pada saat yang sama, beberapa kilometer dari situ, Nyit-nyit, Ita, Meta dan Utari juga pada asyik ngerumpi di kamar rumah Nyit-nyit. Semua cekikikan, kayak kuntilanak.

"Pokoknya, kamu-kamu nggak usah cemas. Saya masih Yunita yang dulu. Soal kebaikan saya sama Boim tadi siang sih, yaa... itung-itung amal. Nolongin orang susah kan nggak ada salahnya," ujar Nyit-nyit sambil ketawa-ketawa. "Ih, kamu kok jahat gitu sih sama cowok!"

"Biarin. Dia juga sering jailin kita, kan?"

Ita, meta, Utari mengangguk-angguk setuju.

Besoknya, pagi-pagi, Nyit-nyit dtemani sobat-sobatnya, sibuk ribut-ribut mengelilingi api unggun. Baju Nyit-nyit, yang dikenakan kemarin siang saat bersama Boim, dibakar habis. Sebagai peringatan dari hari paling sial dalam hidup Nyit-nyit.

O, andai Boim tau semua itu...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience