3. Ayam-ayam Arisan

Humor Completed 2026

3. Ayam-ayam Arisan

Lupus menarik napas lega.

"Huh, akhirnya selesai juga!" ujarnya sambil merentangkan kedua tangannya. Lalu cepat-cepat mengumpulkan bukubukunya yang berserakan di lantai. Sementara Anto dan Boim masih sibuk menulis sesuatu.

"Kayaknya saya mau balik duluan, Nto!" ujar Lupus sambil memasuk-masukkan buku ke dalam tas.

"Wah, tungguin saya dong. Saya mau nebeng nih sampe rumah," ujar Boim.

"Sampe rumah siapa?"

"Rumah gue dong. Masak rumah tetangga?"

"Itu namanya nganter, bukan nebeng!" gerutu Lupus. "Dan berhubung kamu bukan pacar saya, maka saya menolak mengantar kamu. Wassalam."

Pada saat itu, maminya Anto masuk, dan membawa sepiring kue bikinannya. Lupus jadi ragu-ragu mau pulang.

"Katanya mau pulang duluan, Pus. Sana, gih!" usir Boim kejam.

Lupus mencibir, "Sori, terpaksa ditunda."

"Lho, mau ke mana, Pus? Kok buru-buru?" sapa maminya Anto.

"Anu, Tante. Lupus harus cepat-cepat pulang. Kucingnya mau beranak, jadi dia harus bertanggung jawab!" jawab Boim spontan.

Lupus melotot, Boim dan Anto ketawa.

"Pada nginep sisi aja, Pus, Im. Tante bikin kue banyak, lho!" tawar maminya Anto.

"Wah, makasih, tante. Yang ini aja saya bawa. Buat oleh-oleh," ujar Lupus sambil mencomot kue di piring.

"Bawa aja semuanya, Pus," ujar maminya Anto seraya memberikan plastik kepada Lupus. Lupus dengan semangat memasukkan kue itu ke kantung plastik. Semuanya, sampai tak tersisa. Boim jelas Cuma bisa bengong aja.

"Lho, jatah untuk saya mana, Tante?" protes Boim.

"Kamu kalem aja, Im," ujar Lupus. "Itu di oven yang belum matang masih banyak. Paling telat, besok pagi juga udah matang. Sementara menunggu kue itu matang, kamu gigit-gigit aja ujung bantal. Lumayan, kan? Dan jangan lupa berdoa semoga kuenya nggak pada gosong!" Lalu Lupus buru-buru keluar kamar.

"Yuk ah, Nta. Saya pulang. Makasih ya, Tante, kuenya..."

"Kamu bener-bener nggak mau nginap, Pus?" kok buru-buru?" sapa maminya Anto.

"Makasih deh, Tante. Saya tiap pagi ada kewajiban sih. Jadi nggak bisa nginep," jawab Lupus sopan.

"Kewajiban apa?"

"Ngasih makan ayam, tante. Kalo telat dikit aja, ayam-ayam saya suka pada ngambek. Pernah suatu kali saya telat ngasih makan, akibatnya itu ayam pada mengadakan aksi unjuk rasa. Pada mogok makan. Kalo saya ke kandang, dicuekin. Nggak ada yang negro..." Maminya Anto tertawa.

"Ada-ada saja."

"Iya, Tante. Ayam-ayam saya memang suka mengada-ada saja. Kalo sore hari lagi pada ngumpul, mereka saring main tebak-tebakan. Misalnya, apa bedanya bis umum dengan telepon umum? Nah, Tante pasti kan nggak bisa jawab? Begitu pula dengan saya yang saat itu kebetulan ikut mendengar. Saya penasaran pengena tau jawabannya. Maka saya tungu terus sampai si ayam yang ngasih tebakan itu menjawab. Dan ternyata jawabannya begini, ‘Kalo bis umum dinaikin orang bisa penuh, sedang telepon umum kalo mau pake harus diangkat dulu gagang teleponnya.’ Coba aja, Tante, apa hubungannya? Memang ada-ada saja tu ayam..."

Setelah ngoceh begitu, Lupus pun bersepeda-ria pulang ke rumahnya.

***

Lupus emang punya peliharaan beberapa ekor ayam. Ayam-ayam itu dibikinkan kandang di halaman belakang. Di bawah pohon jambu yang rindang. Tiap pagi, mereka dapat jatah makan.

Ayam-ayam itu sebagian dibeli Lupus dari tukang ayam yang lewat waktu masih kecil-kecil. Harganya murah, Cuma gocap. Kadang-kadang ditukar botol juga mau. Sebagian lagi, ayam yang cewek, dibeli murah dari peternakan ayam dekat pasar.

Pada awal-awalnya sih, Lupus rajin amat memelihara tu ayam. Dikasih lampu biar angket, dibeliin makanan yang enak-enak, dikasih obat dan lain-lain. Dan ayam-ayamnya pun dikasih nama bagus-bagus. Yang cowok ada yang bernama Boim, Gusur, Anto, Aji, Gito, dan yang cewek bernama Fifi, Yanti, Wati, Ita, Meta, Nyit-nyit. Wah, pokoknya bagus-bagus deh. Lupus aja sampe salut sendiri.

Tapi dasar Lupus, lama-lama dia bosen juga memelihara ayam. Mulai deh tu ayam dibiarkan Lupus cari makan sendiri. Si Boim, ayam yang paling item sendiri, sempat protes. Dengan aksi mogok makannya. Tapi Lupus cuek, "Sebagai ayam, harus belajar bertanggung jawab, dong. Kalian kan udah pada gede-gede. Masak nggak bisa cari makan sendiri?" hardik Lupus di depan ayam-ayamnya yang pada cemberut. Terus terang, di depan ayam-ayamnya, Lupus ternyata punya wibawa yang gede juga. Hingga ayam-ayam itu akhirnya pada nurut.

Tapi pas sore-sore. Lupus jadi kerepotan sendiri. Terpaksa harus nangkepin ayam-ayam itu. Mana pada bandel-bandel, lagi. Apalagi ayam cewek yang bernama si Fifi. Itu ayam paling centil, paling susah ditangkep.

Walhasil, tiap sore Lulu dapat tontonan gratis ngeliatin tingkah Lupus yang berkejar-kejaran dengan ayam-ayamnya. Mending kalo cuma satu, ini mah lebih dari lima belas ekor. Dan kadang yang sudah masuk kandang suka berusaha keluar lagi sambil berkaok-kaok ribut meledek Lupus.

Dan pagi itu, Lupus nampak sudah rajin bangun pagi. Sibuk memberi makan ke ayamnya yang berkaok-kaok. Hari ini mereka semua nyaris berumur dua bulan. Yang dulu nampak imut-imut, sekarang sudah mulai kelihatan jeleknya. Apalagi si Gusur, sudah mulai genit menggoda ayam tetangga.

"Wah, sudah gede-gede. Sudah waktunya dipotong ya, Pus?" cetus Lulu yang pagi itu iseng ikut ke kandang bersama Lupus. Lagaknya kayak panglima perang memerikasa barisan.

"Enak aja! Saya capek-capek memelihara dari kecil, udah gede mau dipotong!" bentak Lupus.

"Lha, abis mau diapain? Dikasih makan terus sampe bangkotan?"

"Pokokmu nggak boleh dipotong! Titik."

"Ya, kalo gitu disate aja."

"TIDAK!!!"

"Ya, kalo gitu jangan dipotong."

***

Tapi ternyata Lulu memang bener-bener keterlaluan. Dua ekor ayam Lupus nekat dipotongnya, ketika Lupus pergi nginap dua malam di rumah Anto. Padahal Lulu sudah dipesan, wanti-wanti untuk tiap pagi dan sore memberi makan ayamnya, bukan malah memotongnya.

Lupus jalas gusar.

"Pokoknya Lupus nggak bisa terima! Si Fifi dan si Gusur harus hidup lagi!!!" teriak Lupus sore itu.

Ibu Lupus geleng-geleng kepala mendengar jeritan Lupus. Dengan sabar dia berusaha menengahi.

"Lulu sebenarnya tak terlalu keliru. Dua ayam itu nampaknya sakit. Bengong terus. Seperti sudah mau mati. Daripada yang lain ketularan sakit, lebih baik dipotong saja. Lumayan, menghemat uang belanja."

"Alaaaah, itu kan cuma alasan dia, Bu. Lagian siapa bilang kalo ayam bengong itu mau mati? Siapa tau lagi jatuh cinta? Saya tau, si Lulu kemarin ngundang-ngundang temanya untuk acara arisan. Iya, kan?" "Enggak, Pus. Ibu benar, kok. Bukan karena arisan itu. Ayam kamu memang lagi sakit," elak Lulu.

"Iya. Ibu lihat sendiri kok, ayam kamu sakit," tambah ibunya.

"Bohong. Bohooooong!" Lupus berteriak-teriak kesal. Lalu keluar dengan sepeda balapnya. Menghilang entah ke mana.

Lulu dan ibunya saling berpandangan. Ada tatapan sedih di mata Lulu. Tapi ibunya tersenyum menenangkannya. Merangkul pundak Lulu dan mengajak masuk. **

Besoknya, Lupus hampir tak percaya ketika memberi makan ayamnya, si Anto dan si Wati terkapar tak berdaya. Mati. Tidak ada tanda-tanda dibunuh atau disembelih. Lupus mencoba membangunkan, jangan-jangan lagi tidur. Tapi tetap tak bergerak.

"Oh, kenapa kalian?" bisik Lupus sedih. Tenggorokannya terasa kering. Matanya sedikit berair.

Lalu diam-diam Lupus mengangkat kedua ayam itu, dan menguburkan di kebun belakang. Dari jendela kamar, Lulu sempat menyaksikan kejadian itu. Lulu ikut-ikutan sedih juga. Bukan hanya karena geliat Lupus sedih, tapi juga karena Lupus nggak mau ngomong dengannya sejak kejadian kemarin itu.

Dan yang lebih menyedihkan lagi, besok harinya Lupus kembali mendapatkan tiga ekor ayamnya terkapar tak bergerak. Oh, malapetaka apa ini? Kenapa mendadak semua ayam Lupus kompak pada mati? Apa Lupus salah ngasih makan? Atau..

Lupus hampir menangis. Tidak, dia tidak akan menuduh Lulu meracuni ayam-ayamnya. Lulu tak sejahat itu. Lantas kenapa?

Apa memang ayam-ayam terkena wabah penyakit menular, seperti yang pernah Lulu dan ibunya bilang?

Ada setitik penyesalan. Penyesalan karena dia pernah berkata kasar pada Lulu dan ibunya. Penyesalan karena dia tak mempercayai kata-kata Lulu dan ibunya.

Dan sore itu, Lupus kembali membuat lubang secara diam-diam di kebun belakang untuk mengubur ayam-ayamnya yang malang. Lalu dia duduk sendirian di kebun itu. Hatinya sedih. Ibu Lupus bukan tak mengetahui hal ini.

"Memang menyakitkan sekali kalau harus kehilangan sesuatu yang kita miliki. Yang kita sayangi. Yang kita pelihara sejak kecil...," suara pelan ibunya mengagetkan Lupus.

Lupus menoleh, dan berusaha menyembunyikan air matanya.

"Tapi kamu harus rela. Ayam-ayam yang kamu pelihara, bukan jenis bibit unggul. Ayam-ayam itu ayam afkiran. Jadi amat mudah kena penyakit. Apalagi kalo memeliharanya kurang cermat. Dan resiko kita kalau pelihara ayam, satu kena penyakit, mudah menular ke yang lain," lanjut ibunya.

Lupus masih diam. Tak mampu berkata-kata.

"Ibu bisa merasakan kesedihanmu. Ibu tau, betapa gembiranya kamu waktu pertama kali bisa membeli beberapa ekor anak ayam. Lalu kamu membuatkan kandang untuk mereka, dan terus memeliharanya sampe besar. Tapi ketika sudah besar, Lulu malah menyuruh kamu memotongnya. Kamu tentu tak rela. Tapi tanpa harus dipotong, ayam itu akan mati juga. Kamu tak bisa memilikinya untuk selama-lamanya. Dan sebetulnya, itulah kehidupan, Pus. Untuk mendapatkan seteguk kenikmatan, kita kadang harus berjuang keras dan lama sekali. Setelah kenikmatan itu kita reguk, kita pun harus memulai dari bawah lagi. Mengulangi perjuangan yang sama. Begitu seterusnya.

"Makanya Lulu benar, Pus. Sebelum kamu kehilangan kesempatan untuk menikmati hasil kerja keras kamu, nikmatilah sekarang. Mungkin sekarang memang saatnya kamu memotong ayam-ayammu sebelum mati sia-sia." Lupus memandang ibunya. Hatinya mulai sedikit tenag.

"O ya, Pus, besok adikmu kan ulang tahun, kamu mau ngajak teman-temanmu kemari? Undang aja semuannya. Seperti siapa tuh? Boim, Gusur, Anto, Fifi...

***

Pagi itu Lulu bangun agak kepagian. Langsung membuka jendela kamar dan menuju kaca besar sudut kamar. Hehehe, hari ini umur saya tambah satu! Ungkap Lulu dalam hati. Tapi pandangannya lantas tertuju pada secarik kertas kecil yang tertempel di kaca. Lulu membacanya :

Halo, adik manis, kamu masih idup?

Hehehe, selamat ulang tahun, ya? Sori waktu kemarin-kemarin saya sempet sebel sama kamu. Tapi sekarang enggak kok. O ya, kamu mau dikasih kado? Nah, kao dari saya, kamu boleh memotong ayam-ayam saya yang masih hidup untuk perayaan ulang tahun kamu. Serius.

Sebelum berpisah, saya punya tebakan. Tebak, ya? Buah apa yang kulitnya ada di dalam?

Nah, silakan berpikir. Sampai ketemu di meja makan besok pagi. Dag!

Salam manis buat kamu yang manis, dari saya yang juga manis.

Lupus.

Lulu berteriak-teriak girang. Dia langsung ke kamar Lupus. Rasanya nggak sabar menunggu saat sarapan di meja makan, untuk mengucapkan terima kasih.

"Pus! Pus! Bangun. Makasih ya buat ucapan selamat dan ayam-ayamnya!" ujar Lulu sambil mengguncang-guncang tubuh Lupus.

Lupus terbangun, dan mengucek-ngucek mata dengan heran, "Apaan, Lu?"

"Itu, makasih buat ucapan selamat kamu. Juga buat ayam-ayamnya..." "Oo."

"Terus soal tebak-tebakan itu, jawabnya apaan sih?"

"Kamu nggak tau?"

"Enggak."

"Gampang kok. Buah yang kulitnya ada di dalam itu adalah buah yang menyalahi kodrat... Hahahaha..." Lupus tertawa terpingkal-pingkal. Lulu juga.

Tinggal ayam-ayamnya yang pada bengong. Saling berpandangan heran.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience