Rate

BAB 1

Drama Completed 368

Terik menancapkan cakarnya dengan santun. Sebatang ajir kayu gemeretak lalu patah lalu bersimpuh pada tanah, ibu jasadnya. Rayap kenyang. Alap-alap memangsa perkutut yang tak sempat menciap. Angin tenggara mengirim batuk pohon kelapa, membalas sedak rumpun kecipir. Ladang meriang, menanti kecup hujan dengan kening keriput sungguh—terlampau keriput dibandingkan lelaki yang menungging-nungging di atas sajadah jerami.

Lelaki hijau. Liuk lengannya sudut ketam. Lampai tungkainya kembaran tangkai lalang. Langkahnya air bandang. Diselaknya tirai padi yang menularkan gelitik gatal. Jurang selokan mencegat menodongkan curam, menawarkan lebam. Derak ranting terinjak seakan gempa bagi gerayang semut. Sorot matanya membidik sasaran sekali delik. Sebilah bambu dicengkeramnya demikian kukuh. Menyeberangi titian pinang sebatang , Sopian bagai menjangan lapar. Berderap menerjang.

“Modar siah1!” umpatnya sengit.

Kesumat tuntas sudah. Bambu belepotan darah. Seekor tikus tewas. Betapa naas. Berpasang jemari menjewernya, menjentiknya hingga terjerembab dengan wajah koyak. Julangan pohon pisang menangkap kejatuhan dan kehancuran kekal. Akar-akarnya rela dijadikan pemakaman. Rumbai daun-daunnya teduh nisan purbakala. Dua likur bangkai tikus bergelimpangan. Sopian bergidik. Anyir menelesup ke liang hidung.

Tikus, MUSUH nombor satu yang paling dibencinya! musuh bebuyutan para petani. Sopian yang juga putra petani sontak menjelma tentara ladang jika sepasukan tikus menyerang. Dengan moncong tirus dan kumis jarang, bandit-bandit nakal itu menggoda padi belia, memuji kecantikannya untuk kemudian mengunyah serat-seratnya hingga lumat. Berhektar ladang gagal panen. Kecewa harus ditelan. Pantang menyerah adalah kebangkitan.

Gerah. Musim berganti baju. Kemarau lucut. Derau hujan, tidak tergesa tapi rapat, mendekap erang sekarat ladang. Lumbung bagai perawan mandi basah, penuh gairah. Para petani menabung impian-impian sederhana dalam rumah beranyam bambu itu. Rumah yang tidak pernah lapuk. Rumah yang hangat sebagai tempat istirah gabah-gabah istimewa.

Amat mesra matahari mengusapkan handuknya. Ladang kuyup sesaat, merona kemudian. Seekor munding, jika mampu menahan buncit, barangkali bisa berjingkrak senang. Munding akan menahkodai lumpur, menjadi pembajak paling ulung.

Kidung karuhun menembus lapisan langit dan bumi, pertanda upacara tolak bala tengah berlangsung. Usai disemai berbait-bait, bibit-bibit padi mulai menggeliatkan makna. Hampir saban hari mereka dimanja para petani yang petantang-petenteng memanggul cangkul. Tikus bukan soal. Ular sawa titisan Hiang Dewanata sudah menelan habis sanak keluarga bandit berkumis itu, pun cucu-cucunya.

Padi hamil gabah. Sudah sejak lama. Berjuang membentengi pianggang meski dengan ketidakberdayaan rahim bumi. Maka kini detik panen raya. Padi melahirkan Pandanwangi. Aroma pandan direngkuh pesta pora penduduk desa. Para petani membidani, menimangnya sepanjang jarak huma menuju lumbung. Gigi mereka kawanan soang, berdenyar putih dalam jernih air muka. Ayun rengkong2 di bahu menjadi tembang jagat paling merdu. Tali ijuk dan awi gombong3 bersigesek, terdengar seolah kasidah ratusan bangkong.

Kong. Kong. Kong.

Sopian bersorak setiap kali mendengar kegaiban suara itu. Telinganya bagai menangkap padu padan mainan reang4 dibunyikan. Lesap ke alam lain. Lindap di tapal batas peradaban. Terkadang ikut bergoyang kiri-kanan mengiringi irama arak-arakan rengkong. Anak-anak desa berandai bisa seperti ayahnya. Kecuali Purnama , seorang perempuan cilik yang terus menerus menangis setiap menyaksikan gundukan padi dipikul sedemikian rupa.

Kembang bakung memekarkan kuncup kasmaran, dipetik dari semak-semak ruas jalan, dianjurkannya satu untuk Purnama yang langsung bersin-bersin. Lambat laun isak tangis bertukar sedu sedan, bertukar gelak tawa. Kembang bakung tersemat di lekuk telinga. Kelakar Sopian mengalahkan mekar kembang itu. Digendongnya Purnama ke lumbung dekat tulang-tulang pagar. Sudah dibentangkan tikar bangkar pada rebah pekarangan.

Masih dengan kepala berpayung caping, seorang petani ngagebot5 sejumput padi. Sopian memanggilnya Abah. Sosok ayah yang langka. Jarang bicara tapi gesit tingkahnya. Berladang sebelum era reformasi. Ingatan Abah tidak pernah lepas dari bedil laras panjang yang dicondongkan tentara Jepang tepat pada pelepis para peladang.

“Sopian !” seru Mak bersipongang dari daun jendela. Tangannya berkibar-kibar bagai bendera agustusan. Terkesiap, Sopian merasa digertak titah komandan. Purnama merengek manakala hendak ditelantarkan. Sopian memangkunya pulang. Abah menyusul, mencampak tapak serampangan.

Tudung saji tak jemu menjamu. Nasi pulen, peda, serta sambal tersingkap, mengundang longsor lidah dan banjir ludah. Geletar gendang lapar bertabuhan di lambung. Semisal Mak tak sempat beli lauk di pasar, Sopian sebetulnya sudah sangat puas makan siang hanya dengan tutug uyah. Kadang-kadang, Mak membekalinya opak dan raginang6 sebagai cemilan. Sopian akui sungguh, masakan Mak memang hidangan terlezat di dunia. Adalah pamali7 jika santapan masih bersisa.

“Ladang kita pusara Ratna Sri Nyai Mayya ,” tutur Mak bangga saat Sopian menanyakan asal mula padi, pangan pokok insan pribumi, “semua yang tumbuh dan melimpah, hadiah dari Taman Sorga Loka8.”

Kisah tragis Ratna kesuburan itu memangkas urat-urat zaman, menyisakan rimbun cambang Sopian . Puluhan tahun merentang. Ladang bukan lagi isyarat kegagahan. Ijazah modal utama lamaran kerja sekaligus lamaran wanita. Sopian menempuhnya dari bangku sekolah rakyat, agak terpenggal-penggal tapi kemudian berhasil khatam kuliah. Andai kata sarjana berlatar keluarga petani bisa dihitung dengan jemari, Sopian mungkin menempati posisi telunjuk. Sopian yakin takdirnya adalah memerintah secara adil dan bijaksana. Itu saja.

Kesunyian menghambat segenap jiwanya. Gundah gulana tidak berkesudah. Sopian perlu teman, bukan ketam, bukan pula gebotan. Sopian menemukan lagi peralatan ladang yang hilang dalam diri seorang perempuan. Segera disuntingnya sebelum hasrat dan dahaga menuntut semakin membuas, sebelum kelopak mata dan hatinya jatuh pada yang lain. Namanya pun kaum perempuan itu rapuh. Alangkah memabukkan bagai kembang bakung dihinggapi kumbang. Sopian kepayang.

Purnama dan Sopian bersenyawa di bawah lengkung janur kuning. Orang-orang desa memandang mereka sebagai perwujudan Sri dan Sedhana.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience