Rate

BAB 4

Drama Completed 368

“Biar tidak lengser-lengser?”

“Ha ha ha.”

Tawa mengangkasa. Senyum Purnama sepahit buah mengkudu terasa. Telaga matanya manampung beribu pecahan kaca, diarungi sampan luka. Semua mendadak tertegun. Hening. Keleningan sepeda lalu meremukkan kaleng kerupuk yang tersangkut pada galar warung sebelah. Seseorang berhenti mengayuhnya, terengah datang , tapi bukan sebagai pelanggan. “Purnama ! Purnama ! Ada yang gawat, Purnama ! Abah sekarat!”

Pelepah pisang di sudut desa robek seketika sebab kabar duka. Jantung Purnama berpacu. Lumbung yang kini menjadi naungan terakhirnya basah air mata, kuyup duka lara. Abah terbaring di ambang maut. Nafasnya tersengal-sengal. Telinganya berdenging. Sehabis merapal kalimat toyibah, dada Abah memuncak. Tatapannya beku. Otot-ototnya menegang. Pekik tangis membumihanguskan kasur kapuk.

Corong telinga Sopian menangkap pesan dari kepak sayap perkutut. Sopian mesti segera pulang dan berpaling dari pengap terminal kota. Kehadirannya disambut bisu bilik-bilik bambu dan atap jerami. Baru saja Abah menginap di rahim bumi, selamanya. Namun belum sempat Sopian melihat isyarat pamit dari lipatan kulit pipi tanpa lemak itu.

Kian hari Sopian kian tak waras. Hanya memakai selempak, telentang di samping selokan yang mampat oleh slogan-slogan, dilempari sampah oleh bocah-bocah nakal. Terkadang ia pun mengigau, “Sopian mau kawin lagi ah sama Ratna Sri biar punya ladang lagi yang luas tidak terkira. Tunggu panen? Jangan. Langsung jual saja buat modal jadi Presiden.”

Purnama yang tak tahu menahu soal Ratna Sri menggetok batok kepala Sopian dengan pangkal sendok. Sopian terkekeh-kekeh, sebentar kemudian menekuk wajah. Murung membungkus samar-samar rona wajahnya. Murung yang asing.

“Ratna Sri itu ular sawa,” bisik Mak di telinga Purnama . “Pernahkah kau mendengar desisnya di sekitar lumbung ini?”

Kecemburuan pudar menjadi kemarahan luar biasa. Sungguh Purnama tidak menyangka elok tubuhnya dibanding-bandingkan dengan seekor ular! Buru-buru ia menelisik dirinya melalui cermin cerlang di almari. Lentik bulu mata berguguran saking panasnya mengipasi tungku biji mata. Seringainya terpantul, berkilat. Hanya memeriksa apakah ada sepasang taring untuk menyemprotkan bisa pada sesiapa yang menghina dirinya.

“Kau bilang apa, hah? Kau bilang ular itu lebih cantik ketimbang aku? Sana! Pergi sana! Cari saja ular sawa! Menyesal selama ini aku menunggumu pulang,” isak Purnama berapi-api, tidak terkendali. Tubuhnya lekat ke pelupuh bambu lalu merosot. “Menyesal aku mencintaimu.”

Daun pintu terkatup, melemparkan debam. Sopian kaget menemukan dirinya didamprat. Jalan setapak berkubang lumpur. Liuknya mengular, menuntun Sopian dari bayang-bayang gemerisik ladang ke tepi sebuah sungai. Batu-batu seperti bisul abadi, ditombaki curah hujan. Sopian menyenggolnya sebongkah dengan batang bambu. Tawanya membuih di lidah. Ada kehampaan setiap kali hati membentur batu-batu seperti itu. Kecipak telanjang kaki Sopian terus bersahutan dengan gema kenangan masa kanak.

Seekor munding menggigil di sungai keruh lagi surut. Kotoran yang berpagutan di kulitnya rengkah perlahan saat digosok sikat. Disodoknya pemilik munding hingga terpelanting. Berkali-kali pemiliknya mengatakan munding akan disembelih, bukan untuk main-main. Tapi Sopian bersikeras menungganginya, melecutinya keras-keras. Disobeknya singlet untuk kemudian ia kibarkan dengan batang bambu. Burung ceblak mana yang tak takluk melihat panji-panji melambai di atas munding, apalagi bau keringat? Munding melenguh. Tulang punggungnya diapit selangkangan orang sinting. Kepalanya berputar-putar. Ekornya menangkis-nangkis udara yang lesu.

Kedua tungkai kaki berkelejotan seperti kecebong ditinggalkan bangkong. Nyaring melengking suara Sopian . Pemilik munding merambatkan isyarat dengan raung ketakutan. Orang-orang sekitar sigap berdatangan. Gerebekan mengarah pada lelaki baya yang hanya memakai kembang selempak, mengangkang-ngangkang, menggebot munding dengan setangkai merang dan terus tertawa-tawa.

Sopian terpaku. Dari lengkung langit lazuardi, tampak Abah sedang menggotong rengkong kiri-kanan. Ratusan bangkong mengepung tanpa ampun. Kong. Kong. Kong.

“Abah! Tunggu Sopian , Bah!”

Geli! Ada yang melata di bawah dagu. Seekor ular sawa mendesis sehabis mematahkan batang leher.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience