Rate

BAB 3

Drama Completed 368

Ketukan halus hinggap pada satu per satu pintu rumah penduduk. Janji-janji berselancar di lantai pasar yang becek. Suara Sopian mengurai ratusan helai kaos berlambang partai dan berkardus-kardus sembako di tangan-tangan berlainan. Angannya satu: pagar-pagar yang ditulis kapur membuka jalan untuk menyambut kepemimpinan seorang mantan petani.

Buah manis pemilu pada tahun itu sulit dikupas, kecuali dengan uang sebagai pisau politik paling lancip. Demokrasi memelihara padang tandus revolusi. Tidak ada yang bisa ditanam dengan pasti selain kaktus berduri. Ladang sesungguhnya sudah mati sejak Sopian memimpikannya.

Sopian gontai. Sejak dulu berkemas untuk bahagia tapi ia lupa akan kesiapan kecewa. Gagal jadi anggota dewan, Sopian mengasingkan diri ke terminal kota menjadi pengemis keadilan. Merah kepiting wajah Sopian kalau saja ia langsung pulang ke desa. Lalu lebam karena dihantam cangkul keramat. Betapa pun, Sopian rindu setiap pukulan Abah yang menyakitkan.

Terpancang setegar lalang, Purnama menyampirkan kain sinjang pada sebidang punggung. Anaknya dirapatkan, cekatan. Sia-sia dua tahun mengincar cempor di ruang-ruang penantian. Kendi kepercayaan pecah berkeping. Sopian , suaminya, urung tampak meski sekadar singgah sesaat. Barangkali tengah sibuk ia berguru pada hujan yang pandai menumpahkan kejutan.

Dunia kian menantang. Hutang pada tengkulak membengkak melebihi besar kepalanya. Teringat dahulu, anak-anaknya tak pernah kekurangan beras. Tempayan penuh selalu. Purnama kini memintas kian-kemari, mengais sesuap nasi. Buruh cuci dilakoninya demi menyambung sisa hidup. Jika masih saja sulit, nasi kemarin ia sulap jadi aron13, ditawarkan ke beberapa pengunjung pasar. Rupiah tak seberapa diraupnya susah payah.

Masih. Desa itu masih punya aset pertanian. Kabut merangkak, melahap pelan-pelan rentang panjang pematang . Sawah lama kelamaan lumpuh. Terbengkalai. Sebab tiada lagi yang sudi meramal cuaca saban hari seperti bermain judi. Kebanyakan dari kalangan petani justru beralih kerja jadi kuli bangunan karena rumah baru serempak menggeliat bangun. Atau, jadi kuli angkut barang. Atau, jadi penabuh gendang di gedung hajatan. Atau, apa saja. Tapi mereka ragu, apakah besok awaknya masih bisa menanggung nasib demikian dan terus demikian atau mungkin lebih buruk?

Purnama membentangkan lapak di pasar, pun di dadanya sendiri. Tentu supaya tekanan batin paling berat sekalipun bisa dengan ikhlas ia pikul. Engko, pemilik warung yang menjual segala rupa bumbu dapur, merasa iba memandang ketabahan perempuan malang itu.

“Bilang pada suamimu jangan jadi anggota dewan! Bantuin Engko saja di sini.”

“Pasar ini bikin gerah, Ko,” timpal seorang pelanggan bernada iseng. “Apa yang dia cari hanya kursi jabatan.”

“Engko cuma menawarkan. Upahnya lumayan. Asalkan dia sanggup membedakan mana gula mana garam.”

“Dan mana wanita cantik.”

“Ha ha ha.”

Seorang pelanggan lain ikut merecoki, “Kursi jabatan memang mahal. Pesan kursi sama saya saja atuh. Murah meriah. Insyaallah akan saya buatkan kursi terbaik biar Sopian bisa duduk tenang.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience