Rate

BAB 2

Drama Completed 368

Ladang tadah hujan kini merupa sawah, rupawan dan senantiasa basah. Saluran irigasi ditenggaknya pelan-pelan apabila musim berlaku kejam. Saluran itu berlinang memanjang, menggurat wajah pertanian. Lenguh munding semula masih terdengar parau tapi kemudian terkubur derum mesin traktor. Berton-ton hasil panen dijemput punggung kendaraan roda empat, digiring ke gerbang rumah tengkulak. Biaya produksi kian melambung. Segenggam cangkul, alat usang paling perkasa, tertindih kebimbangan cuaca.

Serupa padi berisi, Sopian memberat, merunduk-runduk setiap menjumpai kerabat. Tidak lupa berucap punten9 atau sekadar berkabar. Tersipu. Namanya semerbak di mana-mana. Terlebih sejak mempersunting kembang desa, Purnama Sukaesih, yang kini sedang berbadan dua. Pun daya pesona Sopian dengan gemilang menggaet kepercayaan orang-orang penting. Sopian kini menjadi kaki tangan kepala desa.

Sudah pantas kau jadi anggota dewan, kerling cermin pun mengaku. Petir ketam langit menyambar-nyambar dalam beliak bola matanya. Senyum Sopian setrum ribuan watt. Dikancinginya jas sewarna arang. Sejulur dasi membelit di lingkar leher, mengingatkannya pada ular sawa yang tidak letih-letihnya memburu tikus. Tubuhnya terlampau kurus untuk menyangga ragam busana. Sepatu gilap semir. Peci beludru bertahta pongah di kepala. Sopian siap merapatkan pantat di kursi pejabat.

“Jadi anggota dewan perlukan modal, Mak,” ujar Sopian terus terang saat menduduki kursi rotan di rumah orangtuanya. “Maka Sopian berharap kita bisa menjual tanah.”

Asap rokok dari mulut Abah bergulung-gulung mengitarinya, memintanya menjelaskan lebih. Tempo hari, katanya, Sopian ditawari mencalonkan diri jadi anggota dewan. Itu berarti kantor kabupaten akan segera menjadi ladang sesungguhnya.

Mak menoyor kepala Sopian . “Jangan gegabah, Ontohod10! Tanah itu harta keluarga kita satu-satunya, sumber cihaya, sumber mata pencaharian.”

“Bertani tidak ubahnya berjudi, hanya mengira-ngira besar kecil cambuk nasib.”

“Memang, tapi…”

“Tidak tega Sopian mah melihat anak cucu kelak cuma jadi petani. Hidup miskin dan membusuk. Tidak bisa diandalkan sama sekali selain mencangkul kuburan sendiri.”

Sontak, Abah bangkit. Berang bukan main. Sarung melorot, dilintingnya lekas-lekas. Bara puntung rokok disaruk jempol kaki. Padam. Namun, ada kepulan ancaman dari kepalan tangan. Kekar otot-otot tangannya merenggut putih susu kerah kemeja Sopian , beringsut ke pojokan seiring keriut kursi rotan. Kering kelenjar air matanya tak mampu menamai perasaan yang bergumul di dada. Hantaman tinju menggetarkan jantung. Tidak cukup sekian, sebuah batang cangkul yang rusak diraup dan dibanting berkali-kali ke tulang punggung anaknya. Sopian merintih hebat.

Mak sedari tadi tertatih-tatih, memohon belas kasih, “Ampun, Bah. Ampuni Sopian ! Memang dia lupa dari mana selama ini kita memberinya makan, belum tahu mulang tarima. Tapi tetap, Bah, dia tetap benih masa depan kita.”

Hancur lebur batang cangkul akan menghentikan rotasi kebrutalan Abah. Tapi batang cangkul tak hancur-hancur. Dada Abah juga masih turun-naik seperti menyimpan selaksa guntur. Mendung tampak pada kelam kedalaman matanya.

Sopian cedera luar dalam. Dihimpunnya segenap tenaga untuk merayap pelan-pelan, lalu meraba-raba jalan penyesalan, lalu mengecup telanjang kaki Abah yang tahan reruncing beling. “Maaf atas kelancanganku, Abah. Tidak sepatutnya aku membuatmu murka.”

Abah masih berpaling, tapi ekor matanya terus mencari-cari niat tulus seorang anak. Jejak egonya perlahan berlelehan. “Giliran Abah berbicara supaya harga jualnya sesuai.”

“Abah?” lirih Sopian menyuling saripati kata-kata ayahnya.

“Giliran Abah berdagang tanah setelah lelah menggarap ladang.”

Sopian menggabrukkan tubuhnya ke pelukan Abah dengan air mata menggerimis.

Pada senggang siang yang lengket oleh keringat, gergaji mesin menampakkan gigi-gigi keperkasaan. Anak-anak bersorak dalam pangkuan resah orang tua. sebatang pohon kelapa tumbang. Dua batang . Tiga batang . Runtun, hingga tidak lagi ada pengawal berambut baralak11 tegak di batas ladang.

Buldoser mengeram. Ladang tidak kuasa berontak. Tikus-tikus mencicit sesaat sebelum akhirnya tergilas. O, aroma pandan membubung di udara! Gelepar daun-daun tercatat sebagai salam perpisahan. Kumbang bersialang. Serempak wereng tunggang langgang. Bebegig12 minta tolong dengan bahasa yang hanya mampu diterjemahkan angin.

Lumbung doyong. Kosong. Hanya ada kasidah ratusan bangkong dalam selimut semen-batu-aspal kemudian. Hutan beton di seberang sana menjadi hunian paling anyar. Sebab apa lagi kalau bukan ulah pengusaha asing!

Seluruh saksi mata menjerit dalam hening. Mak terduduk lemas sambil memijat permukaan daging pada tengkuk anak kesayangannya. Buldoser itu meluluhlantakkan hati siapa pun. Abah kembali ke kamar, mengambil kantong karet berisi air hangat dan mengompreskannya ke perut. Abah tiba-tiba merasa mulas. Entah mengapa. Tujuh kali ia hilir-mudik ke jamban siang itu. Sementara ladang yang dirawatnya bertahun-tahun akan roboh seketika, menimpakan amuk gelisah pada lembaran tipis sisa hidup.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience