Di luar kamar, Anto bisa mendengar bisik-bisik dan tawa pelan. Suara itu terasa familiar, membangkitkan senyum di wajahnya yang lesu. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Tiga orang berdiri di ambang pintu: Yusuf, Hasan, dan Fikri. Ketiganya adalah teman sekelasnya.
Yusuf yang mempunya kulit hitam manis melihat senyumnya yang sungguh manis. Dia memiliki dua sifat yang bertolak belakang. Di satu sisi, ia adalah sosok yang disegani dan cukup dingin.
Sikapnya ini bisa jadi membuatnya terlihat berwibawa atau misterius di mata teman-temannya. Namun, di sisi lain, ia memiliki sifat yang mesum.
Sementara itu, Hasan memiliki wajah biasa saja memiliki sifat yang lebih jelas dan konsisten, yaitu humoris. Ia adalah tipe orang yang suka membuat lelucon dan mencairkan suasana. Keberadaannya kemungkinan besar menjadi hiburan bagi teman-temannya.
Sifat humorisnya ini bisa melengkapi sifat dingin Yusuf dan sifat kecurigaan fikri, menciptakan dinamika yang unik dalam persahabatan mereka.
Dan Fikri wajah tampan rupawan tapi wajah cukup tegas.
memiliki sifat penuh kecurigaan tidak mudah percaya dan susah bergaul. Ia curiga, sakitnya Anto mungkin disebabkan oleh perlakuan buruk yang tidak terlihat.
Wajah mereka terlihat cemas, tapi mata mereka memancarkan kelegaan saat melihat Anto.
Rina, ibu angkat Anto, menyambut mereka dengan senyum.
"Assalamualaikum, Ummi… Kami mau jenguk Anto," sapa Yusuf sopan.
Rina mengangguk. "Waalaikumsalam, ayo masuk."
Anto yang bersandar di bantal, tersenyum lebar. Kehadiran teman-temannya sontak membuat suasana hatinya membaik.
Wajahnya yang pucat kini tampak lebih ceria. "Gimana, To? Udah baikan?" tanya Hasan, meletakkan bingkisan buah dan roti di meja nakas.
"Udah, alhamdulillah. Makasih ya udah jenguk," jawab Anto.
Mereka duduk melingkar di karpet, mengobrol dan bercanda tentang pelajaran, guru, hingga pertandingan sepak bola. Tawa Anto kembali terdengar, membuat Rina merasa lega. Ia melihat bagaimana persahabatan tulus itu menjadi bagian dari proses penyembuhan putranya.
Ustaz Andi, ayah angkat Anto, masuk dan menyapa mereka. "Terima kasih ya, sudah menjenguk Anto. Kalian teman yang baik," ucapnya tulus.
Namun, di tengah kehangatan itu, Fikri yang penuh kecurigaan diam-diam mengamati.
Dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan bermunculan: Apa benar mereka orang tua yang baik? Ia tak mudah percaya, bahkan pada perlakuan lembut Rina.
Ia curiga sakitnya Anto mungkin disebabkan oleh perlakuan buruk yang tidak terlihat.
Sifat yang Berbeda
Di sudut kamar, Yusuf, si pendiam dengan tatapan dingin, hanya mengamati. Matanya sesekali melirik Rina yang sedang membenahi selimut Anto.
Yusuf memiliki sifat yang bertolak belakang: ia disegani, tapi di sisi lain, pikirannya sering berkelana ke hal-hal yang tidak pantas, terutama tentang Rina.
"Woi, diam-diam bae, Yus. Paling juga lagi mikirin gimana caranya biar nilai ulangan besok nggak anjlok," goda Hasan, si humoris. Fikri ikut tertawa.
Yusuf hanya tersenyum tipis. "Sok tahu," jawabnya singkat.
Rina tersenyum melihat mereka.
"Sudah-sudah. Anto butuh istirahat," katanya lembut. "Nanti main lagi ya. Ummi bikinin teh hangat untuk kalian."
"Makasih, Mi," ucap Hasan dan Fikri hampir bersamaan. Yusuf mengangguk pelan. Dalam benaknya, tawaran Rina terasa lebih personal.
Sifat mesumnya kembali muncul, membayangkan hal-hal yang tidak pantas. Ia sadar, dirinya tidak tulus seperti teman-temannya. Rasa jijik pada dirinya sendiri itu membuatnya menunduk.
"Wajah lo kelihatan lumayan, sih," timpal Fikri, matanya meneliti ruangan. "Tapi jujur, gue curiga. Lo di sini cuma beberapa hari, tapi kok bisa sakit parah? Jangan-jangan..."
"Ah, elah! Otak lo itu isinya cuma curigaan, Fik," potong Hasan cepat. "Kita ke sini mau ngehibur Anto, bukan jadi detektif. Udah, duduk sini!"
"Enggak, Fik. Aku nggak kenapa-kenapa," sanggah Anto sambil tersenyum. "Mungkin cuma kecapekan aja. Ummi sama Abi baik banget kok sama aku."
Fikri duduk di karpet, masih dengan wajah serius. "Kelihatan baik, sih. Tapi itu kan di depan kita. Di belakang… kita nggak tahu."
Hasan mencibir. "Ya ampun, Fik. Liat deh, Ummi Anto aja mau buatin kita teh. Udah jelas beliau orang baik. Coba kalau orang jahat, udah kita disuruh ngerokin Anto, bukannya disuguhin teh."
"Iya Fik, Ummi sangat baik kok," sahut Anto, suaranya melirih.
"Bahkan, dia lebih perhatian daripada Mama waktu hidup."
Anto menunduk, matanya berkaca-kaca. Ia teringat ibunya yang lebih sibuk dengan pekerjaan. Rasa sedih menyelimutinya, mengapa ia tidak bisa lebih baik untuk ibunya saat itu?
Hasan melihat perubahan raut wajah Anto. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan. "Eh, Fik, denger-denger besok ada ulangan matematika. Udah belajar belom lo?"
Fikri kembali pada topik. "Belajar sih. Tapi, yang gue takutin bukan ulangannya. Tapi kenapa Pak Ujang makin tua makin mirip monyet, ya?"
Hasan dan Anto tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon Fikri yang tak masuk akal. Suasana tegang tadi mencair, digantikan oleh tawa ringan.
"Salah, Fik," kata Hasan sambil menggeleng. "Pak Ujang itu makin tua makin mirip teflon. Lengket di mana-mana!"
"Anjir! Lo bener, San!" Fikri tertawa geli.
Tawa mereka berdua mengisi kamar, membuat Anto ikut tersenyum lega. Kehadiran teman-temannya memang membawa kehangatan yang ia butuhkan.
Sentuhan dan Pengakuan
Di sudut kamar, Yusuf, si pendiam dengan tatapan dingin, hanya mengamati. Matanya sesekali melirik Rina yang sedang membenahi selimut Anto.
Yusuf memiliki sifat yang bertolak belakang: ia disegani, tapi di sisi lain, pikirannya sering berkelana ke hal-hal yang tidak pantas, terutama tentang Rina.
"Woi, diam-diam bae, Yus. Paling juga lagi mikirin gimana caranya biar nilai ulangan besok nggak anjlok," goda Hasan. Fikri ikut tertawa.
Yusuf hanya tersenyum tipis. "Sok tahu," jawabnya singkat.
Rina tersenyum melihat mereka. "Sudah-sudah. Anto butuh istirahat," katanya lembut. "Nanti main lagi ya. Ummi bikinin teh hangat untuk kalian.
"Makasih, Mi," ucap Hasan dan Fikri hampir bersamaan. Yusuf mengangguk pelan. Dalam benaknya, tawaran Rina terasa lebih personal. Sifat mesumnya kembali muncul, membayangkan hal-hal yang tidak pantas. Ia sadar, dirinya tidak tulus seperti teman-temannya. Rasa jijik pada dirinya sendiri itu membuatnya menunduk.
Tak lama kemudian, Rina kembali membawa tiga cangkir teh hangat. Saat meletakkannya di depan Yusuf, tangan mereka tidak sengaja bersentuhan.
Seketika, Yusuf menahan napas. Ia menunduk, menghindari tatapan mata Rina, berusaha menyembunyikan getaran aneh yang ia rasakan.
"Maaf ya, Yusuf," kata Rina.
"Eh, iya... nggak apa-apa, Mi," jawab Yusuf, suaranya sedikit tercekat.
Ia meraih cangkir teh itu, mencoba menormalkan detak jantungnya yang berpacu kencang.
Pikirannya kembali dipenuhi bayangan yang tidak pantas, dan ia berharap bisa menyentuh Rina lebih dari sekadar tangan.
Beberapa jam kemudian, Yusuf, Hasan, dan Fikri pamit pulang. Malam itu, kamar Anto tidak lagi terasa sepi.
Kehangatan dan keceriaan dari teman-temannya menegaskan bahwa Anto tidak pernah sendirian.
Rina yang melihat itu, merasa semakin bersyukur. Ia tidak hanya mendapatkan seorang putra, tetapi juga melihat betapa banyak orang baik yang menyayangi anaknya.
Ikatan yang Semakin Erat
Malam semakin larut. Lampu temaram menyinari Anto yang terbaring lemah.
Keringat membasahi kening dan lehernya. Rina dengan penuh kelembutan mengompres dahinya. Ia khawatir karena sejak sore Anto mengeluh pusing dan pegal.
"Ummi… Anto haus," bisiknya dengan suara serak.
Rina bergegas mengambil segelas air. "Minum pelan-pelan ya, Nak," ucapnya.
Anto meneguk air itu perlahan. Ia merasa hangat, bukan hanya karena demam, tapi juga karena perhatian Rina.
"Maaf ya, Ummi… Anto jadi merepotkan," katanya lirih.
Rina tersenyum, mengusap rambut Anto. "Kamu tidak merepotkan sama sekali, Nak. Kamu adalah anak Ummi. Sudah kewajiban Ummi merawatmu," jawabnya tulus.
Di luar kamar, Ustaz Andi bersandar di dinding, mendengarkan percakapan mereka.
Hatinya menghangat melihat kedekatan antara Rina dan Anto. Kekecewaan karena belum memiliki anak kini terasa terobati.
Ia merasa, Anto adalah jawaban atas doa-doa mereka.
Rina terus menemani Anto, mengganti kompres.
Tiba-tiba, sebuah pelukan hangat terasa di pinggang Rina. Anto memeluknya erat. "Terima kasih, Ummi," ucapnya.
Rina membalas pelukan itu, air matanya menetes. Bukan air mata kesedihan, melainkan kebahagiaan.
Malam itu, di tengah heningnya pesantren, ikatan antara ibu dan anak itu semakin erat terjalin.
Keberanian Hati Seorang Ibu
Setelah beberapa hari sakit, Anto mulai menunjukkan tanda-tanda kesembuhan.
Share this novel