Berkeliling Pesantren

Fantasy Series 28

Pagi itu, di meja makan Kiai Abdul, aroma teh hangat dan nasi hangat menguarkan kehangatan. Suasana terasa begitu akrab, seperti lukisan keluarga yang sempurna. Kiai Abdul dan Nyai Lanni duduk di ujung meja, sementara Andi dan Rina di sisi lain, bersama Anto di antara mereka.
​“Anto, ini diminum dulu tehnya, biar semangat sekolahnya,” Nyai Lanni berujar lembut, matanya menyiratkan kasih sayang tulus saat ia menuangkan teh untuk cucu angkatnya.
​“Terima kasih, Nek,” jawab Anto, menerima cangkir itu dengan sopan.
​Kiai Abdul ikut menimpali. “Nanti kalau ada pelajaran yang susah, jangan sungkan tanya sama Kakek atau Abi Andi, ya.”
​“Iya, Kek,” angguk Anto.
​Rina tersenyum melihat interaksi akrab itu. Ia lalu menoleh pada Andi. “Mas, nanti siang ada jadwal ngajar di kelas mana? Ummi bawakan bekal, ya?”
​“Wah, boleh juga,” Andi tersenyum. “Di kelas dua belas, Mi. Tapi nggak usah repot-repot, nanti saya makan di kantin saja.”
​“Nggak repot kok, Mas. Ummi sekalian mau lihat-lihat santriwati yang cantik-cantik,” goda Rina, membuat Andi tertawa kecil.
​Namun, tawa itu tak bergaung lama. Anto, yang sejak tadi hanya diam, tiba-tiba menunduk. Tangannya memainkan sendok, mengaduk-aduk nasi di piringnya. Senyumnya pudar, digantikan tatapan kosong. Ia teringat pada pagi-pagi dulu, saat orang tuanya sibuk bekerja dan tak ada waktu untuk sarapan bersama seperti ini. Sebuah kerinduan dan luka yang terpendam kembali menyeruak.
​Suasana menjadi hening. Kiai Abdul dan Nyai Lanni saling pandang, raut wajah mereka menunjukkan kekhawatiran. Mereka tahu, ada sesuatu yang terjadi.
​“Anto, nanti sore Kakek ajak keliling pesantren, ya,” Kiai Abdul memecah keheningan dengan suara penuh kelembutan. “Kakek kenalkan sama teman-teman santri.”
​Anto mengangkat wajahnya, menatap Kiai Abdul dengan mata berair. Ia tersenyum tipis. “Boleh, Kek.”
​Rina, yang peka dengan perubahan Anto, meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Anto, Ummi sayang sama kamu, sama seperti Ummi sayang sama Abi Andi. Kalian berdua sama-sama penting buat Ummi. Ummi juga sudah siapin bekal siang untukmu.”
​Anto menatap Rina dengan mata yang sulit diartikan. Ia lalu menarik tangannya perlahan. “Anto sudah selesai. Anto berangkat sekolah dulu ya, Kek, Nek, Ummi, Abi.”
​Setelah menyalami mereka satu per satu, Anto melangkah keluar dari ruang makan. Rina menatap punggung Anto dengan tatapan haru. “Sepertinya dia teringat orang tuanya,” bisiknya pada Andi.
​Andi menghela napas. “Harus pelan-pelan, Mi. Anto masih butuh waktu.”
​Rina mengangguk, merasa bersalah. Menjadi seorang ibu bukan hanya tentang kasih sayang, tapi juga tentang belajar memahami.
​Percakapan dari Hati ke Hati
​Di bawah cahaya sore yang keemasan, Kiai Abdul dan Anto berjalan santai di jalan setapak pesantren. Angin sepoi-sepoi menerpa dedaunan, menciptakan melodi yang tenang.
​“Anto, bagaimana sekolahnya hari ini? Lancar?” Kiai Abdul membuka percakapan.
​“Lancar, Kek,” jawab Anto singkat, matanya fokus menendang kerikil kecil di depannya.
​“Kakek perhatikan, dari tadi pagi kamu diam saja. Ada yang mengganggu pikiran Anto?” Kiai Abdul bertanya lembut, berhenti berjalan dan memegang bahu Anto. “Kakek ini sudah banyak makan asam garam kehidupan. Cerita saja sama Kakek, Nak.”
​Anto menghela napas panjang. “Sebenarnya... Anto merasa aneh, Kek. Mamaku sama Ummi perlakuannya berbeda.”
​“Berbeda bagaimana?”
​“Ya... Mama cuma tahunya kerja, kurang memperhatikan anak. Sedangkan Ummi sangat perhatian,” lirih Anto, suaranya dipenuhi beban yang berat.
​Kiai Abdul tersenyum, senyum penuh kebijaksanaan. “Anto, dengarkan Kakek. Cinta itu seperti air, Nak. Bisa mengalir ke mana saja, mengisi setiap ruang yang kosong. Mamamu sayang samamu, hanya saja cara menunjukkannya berbeda. Begitu juga dengan Ummi Rina. Kasih sayangnya tak terhingga, dan itu sudah pasti.”
​Anto terdiam, mencoba mencerna setiap kata.
​“Kebahagiaan Ummi Rina juga kebahagiaan Anto, Nak. Coba Anto buka hati. Abi Andi juga akan menyayangi Anto seperti anaknya sendiri,” Kiai Abdul melanjutkan sambil merangkul Anto.
​Perlahan, Anto mengangguk. “Iya, Kek. Anto coba.”
​“Nah, begitu anak pintar,” Kiai Abdul menepuk pundak Anto. “Sekarang, ayo kita lihat teman-teman santri sedang bermain apa. Siapa tahu Anto bisa ikut bergabung.”
​Anto awalnya ragu, namun Kiai Abdul terus memberikan semangat. Ia pun ikut bermain bola. Setelah beberapa saat, mereka duduk di bangku taman. Anto terlihat lebih ceria.
​“Bagaimana, Anto? Seru bermain dengan teman-teman santri?”
​“Lumayan, Kek,” angguk Anto.
​“Jadi... bagaimana? Mau tidak sekolah di pesantren ini?”
​Senyum di wajah Anto pudar seketika. Ia menggeleng. “Anto nggak mau, Kek.”
​Kiai Abdul terkejut. “Lho, kenapa? Anto tidak suka pesantren ini?”
​“Bukan begitu, Kek. Anto suka. Tapi... Anto nggak mau pindah sekolah. Anto punya banyak teman di sana. Kami sudah seperti keluarga. Kalau Anto pindah, Anto pasti kesepian.” Suara Anto bergetar, memohon.
​Kiai Abdul terdiam, menatap Anto. Ia melihat ketulusan dan ketakutan kehilangan di mata cucu angkatnya. “Kakek mengerti, Nak. Kakek ingin yang terbaik untuk Anto. Kakek ingin Anto menjadi anak yang sholeh dan pintar. Tapi, Kakek juga tidak ingin Anto merasa terpaksa.”
​Setelah berpikir sejenak, Kiai Abdul tersenyum. “Baiklah, Kakek akan pertimbangkan permintaanmu. Tapi ada syaratnya.”
​“Syarat apa, Kek? Anto akan lakukan apa saja!” Anto kembali bersemangat.
​“Kamu harus janji, akan belajar sungguh-sungguh di sekolahmu yang sekarang. Rajin belajar agama, dan tetap menyayangi Kakek, Nenek, Ummi, dan Abi Andi.”
​“Anto janji, Kek! Terima kasih!” Anto memeluk Kiai Abdul dengan erat.
​Kiai Abdul membalas pelukan itu. Ia yakin, ia telah membuat keputusan yang tepat. Ia percaya, Anto akan tumbuh menjadi anak yang baik, meskipun tidak sekolah di pesantren.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience