Bermimpi Lagi

Fantasy Series 28

Kini, Anto telah kembali ke Kesekolah, semangatnya pulih seperti sedia kala. Ia tidak lagi terbebani oleh kesedihan masa lalu, karena kini ia tahu ada keluarga yang mencintainya dengan tulus.

Rina dan Ustaz Andi melihat Anto tumbuh menjadi remaja yang lebih ceria dan mandiri. Namun, di balik senyum itu, Rina masih merasakan kegelisahan. Ia tahu Anto akan menghadapi dunia nyata, di mana orang-orang tidak akan selalu selembut dirinya.

"Aku harus siapkan Anto," bisik Rina pada suaminya suatu malam. "Bukan hanya untuk dunia ini, tapi juga untuk akhirat."

Andi mengangguk. "Itu tugas kita, Mi. Menjadi orang tua yang membimbingnya."

Di sisi lain, pertemanan Anto dengan Yusuf, Hasan, dan Fikri semakin erat. Mereka sering berkumpul di asrama, belajar bersama, atau sekadar bercanda. Fikri, si pemikir yang penuh curiga, kini lebih terbuka.

Ia tidak lagi mengamati Anto dengan tatapan menyelidik, melainkan dengan rasa ingin tahu yang tulus.

di sisi lain Yusuf mulai sering memikirkan ummi rina. Sentuhan tak sengaja dengan ummi Rina telah mengubahnya. Ia merasa ummi rina dengan sengaja menyentuh tangannya. Semenjak itu, Dia mulai memikirkan rina dengan tubuh yang bagus dada yang montok bagaimana cara untuk mendapatkannya.

Yusuf mulai sering datang kerumah anto alasan untuk bermain disana, tapi pada saat ada kesempatan yusuf selalu mencuri curi pandang kearah ummi rina.

Hari berganti hari rina bermimpi lagi menggendong bayi dan anto yang menjadi suaminya.

Rina mengalami mimpi yang aneh Lagi. Dalam mimpinya, ia berada di sebuah taman yang indah. Ia menggendong seorang bayi yang mungil dan menggemaskan. Saat ia menengok ke samping, ia melihat Anto, yang tidak lagi berwajah remaja, melainkan seorang pria dewasa. Anto tersenyum hangat kepadanya, dan Rina menyadari bahwa di dalam mimpi itu, Anto adalah suaminya.

Rina terbangun dengan jantung berdebar kencang. Mimpi itu terasa begitu nyata, membuat hatinya dipenuhi perasaan campur aduk. Ia merasa bingung dan sedikit malu. Mengapa ia memimpikan hal seperti itu? Ia mencoba mengabaikan mimpi itu, menganggapnya sebagai bunga tidur. Namun, mimpi itu datang lagi.

​Siang itu, saat jam pulang sekolah, Yusuf yang terus dihantui bayangan Rina, memutuskan untuk pergi ke rumah Anto. Ia melihat Ummi Rina sedang menyiram tanaman di halaman depan. Jantungnya berdebar kencang. Ia menatap Rina. Di mata Yusuf, gamis Rina bukan lagi sekadar pakaian. Setiap sentimeter kain itu seolah hilang, menampilkan sosok Rina yang telanjang dalam pikirannya.

​"Assalamualaikum, Ummi," sapa Yusuf, suaranya sedikit gemetar.

​Rina menoleh, senyumnya langsung mengembang. "Waalaikumsalam, Yusuf. Masuk, Nak. Anto ada di dalam," jawab Rina, seolah tidak ada yang terjadi. Kehangatan dalam suaranya bagaikan seperti mendengar sebuah desahan dari ummi rina.

​Yusuf duduk di ruang tamu bersama Anto yang sudah terlihat lebih sehat. Mereka mengobrol tentang sekolah, kali ini lebih santai tanpa lelucon Hasan atau kecurigaan Fikri. Rina membawa dua cangkir teh hangat dan meletakkannya di meja. Saat ia hendak pergi, Yusuf memberanikan diri untuk berbicara.

​Yusuf melangkah pulang dengan langkah gontai, namun pikirannya dipenuhi gejolak yang membakar. Api hasrat yang baru saja tersulut di rumah Anto, kini terus menyala di dalam dirinya.

Yusuf melangkah pulang dengan langkah gontai, namun pikirannya dipenuhi gejolak yang membakar. Api hasrat yang baru saja tersulut di rumah Anto, kini terus menyala di dalam dirinya

Malam itu, keluarga Anto berkumpul di meja makan. Aroma masakan Ummi Rina memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat yang begitu dirindukan Anto.

Dimeja makan, suasana terasa hangat. Rina menyajikan hidangan favorit Anto, dan mereka makan bersama dengan tenang.

​Anto: "Ummi, masakan Ummi hari ini enak sekali."

​Rina: (Tersenyum lembut) "Alhamdulillah, Nak. Ummi senang kalau kamu suka. Kamu makannya lahap sekali."

​Andi: "Tentu saja, Mi. Energi buat belajar. Tadi di sekolah ada cerita apa, To?"

​Anto: "Tidak ada yang terlalu spesial, Bi. Tadi teman-teman bercanda tentang guru matematika yang ketat. Tapi seru, kok. Kami sudah mulai belajar kelompok untuk persiapan ujian."

​Rina: "Bagus itu. Kamu harus tetap semangat ya."

​Anto: (Tersenyum) "Iya, Mi. Tenang saja."

​Andi: (Mengusap kepala Anto dengan sayang) "Abi percaya kamu bisa. Kita sekeluarga akan selalu mendoakan kamu."

Setelah makan malam, mereka pindah ke ruang tamu. Anto duduk di sofa sambil memainkan ponsel, sementara Rina dan Andi duduk berdampingan.)

​Andi: "To, jangan main HP terus. Sini, duduk di samping Abi."

(Anto menuruti, meletakkan ponselnya, dan duduk di samping ayahnya.)

​Rina: "Bagaimana sekolahmu hari ini, Nak? Ada PR banyak?"

​Anto: "Lumayan, Ummi. Tapi Anto sudah mulai terbiasa lagi. Teman-teman juga banyak membantu kalau ada yang tidak Anto mengerti."

​Andi: "Nah, itu dia. Abi senang dengarnya. Kamu harus tetap semangat, ya. Sekolah itu bekal paling penting buat masa depanmu. Jangan pernah menyerah, Nak."

​Rina: "Betul kata Abi. Ummi tahu kamu anak yang cerdas dan kuat. Nikmati proses belajarmu, Nak. Nanti kalau ada kesulitan, jangan sungkan cerita sama Ummi atau Abi."

​Anto: (Tersenyum tulus) "Iya, Bi, Ummi. Terima kasih banyak. Anto janji akan belajar sungguh-sungguh."

Cahaya di ruang keluarga padam satu per satu, digantikan keheningan malam. Sebelum berpisah, Andi mengusap lembut kepala Anto. "Selamat malam, Nak. Tidur yang nyenyak," bisiknya. Rina tersenyum, membalas tatapan hangat suaminya, lalu memeluk Anto sejenak. Setelah itu, satu per satu, mereka melangkah menuju kamar, meninggalkan ruang tamu yang kini diselimuti gelap.

Ummi Rina mulai memejamkan mata, dan saat dia tertidur, dia mulai bermimpi berada taman. Dia menggendong bayi, dengan Anto yang dewasa berdiri di sisinya.

Sudah sebulan Rina bermimpi aneh tentang Anto. Setiap malam, mimpi itu datang, dengan gambaran yang semakin jelas. Ia menggendong seorang bayi yang sama, namun kali ini ia bisa merasakan detak jantungnya. Di sampingnya, Anto dewasa tersenyum, lalu menyentuh tangan Rina dan berkata, "Kita bisa memulainya dari awal, Ummi." Kata-kata itu begitu lembut, namun juga mengguncang batinnya.

Rina tahu ini bukan sekadar bunga tidur biasa. Mimpi itu terasa nyata dan seolah memiliki makna tersembunyi. Ia merasa gelisah dan tidak nyaman.

Bahkan saat ia terbangun, bayangan Anto dewasa dan bayi di pelukannya masih berputar-putar di kepalanya.

Suatu sore, saat ia sedang menyiapkan makan malam, Rina melihat Anto yang sedang belajar di ruang tamu. Ia memandangi wajah Anto. Wajahnya yang polos, dan senyum yang tulus. Tiba-tiba, bayangan Anto dewasa di mimpinya muncul, bertumpuk dengan wajah Anto yang sekarang. Rina terkejut, sampai pisau yang ia pegang hampir melukai tangannya.

"Ummi, kenapa?" tanya Anto, yang melihat wajah ibunya pucat.

Rina menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Nak. Hanya kaget saja," jawabnya, berusaha tersenyum.

Namun, di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Ia merasa berdosa karena memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya. Perasaannya pada Anto adalah kasih sayang seorang ibu, tetapi mimpi itu membuatnya bertanya-tanya. "Apakah ini pertanda sesuatu?" bisiknya dalam hati. Ia merasa takut, bingung, dan malu. Ia takut jika Ustaz Andi mengetahui hal ini, ia akan kecewa. Namun, ia tidak tahu bagaimana menghentikan mimpi ini.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience