Satu bulan telah berlalu. Rina termenung di depan cermin, menatap perutnya yang masih rata. Seulas napas panjang keluar dari bibirnya, rasa hampa itu seakan kembali. Matanya beralih ke kalender di dinding, menyorot tanggal-tanggal yang dilingkari dengan spidol merah jadwal ovulasi, konsultasi dokter, dan janji temu lainnya—semua hanya menjadi pengingat pahit.
Tadi sore Rina bertemu dengan teman-temannya yang sudah memiliki anak. Dia berusaha tersenyum dan ikut bergembira, tapi dalam hatinya ada perasaan iri dan sedih yang mendalam. Lalu dia juga teringat tentang anto yang sudah menjadi anak angkatnya.
Dia lalu bangkit, perlahan merebahkan tubuhnya di ranjang. Menatap langit-langit kamar, pikirannya kembali melayang.
"Bi, aku kepikiran terus soal Anto," bisiknya pada Andi yang duduk di tepi tempat tidur, menggenggam tangannya.
"Kepikiran kenapa, Mi? Dia baik-baik aja kan?" tanya Andi dengan lembut.
"Iya, dia baik. Tapi aku ngerasa bersalah, Bi. Kita belum bisa kasih dia kasih sayang yang sama seperti orang tua kandung," jawab Rina, matanya mulai berkaca-kaca.
Andi menghela napas, ia tahu betul kekhawatiran yang membebani hati istrinya. "Mi, kita udah berusaha semaksimal mungkin. Kita sayang sama Anto seperti anak kita sendiri," ucapnya sambil mengusap punggung tangan Rina.
Air mata Rina jatuh. "Tapi tetep aja beda, Bi. Dia pasti ngerasa kehilangan orang tuanya. Kita nggak bisa gantiin mereka."
Andi memeluk Rina dengan erat. "Aku tahu, Mi. Aku juga sedih. Tapi kita harus kuat demi Anto. Kita harus jadi keluarga yang dia butuhkan sekarang."
Rina melepaskan pelukan itu, menatap suaminya dengan tatapan penuh keraguan. "Bi, kamu nggak nyesel kan nerima Anto jadi anak kita?"
Andi menatapnya dengan teduh, tak ada sedikit pun keraguan di matanya. "Nggak, Mi. Aku nggak pernah nyesel. Anto itu anugerah dari Allah. Dia udah ngisi kekosongan di hati kita," jawabnya dengan mantap.
Rina menunduk, perasaannya masih campur aduk. "Tapi kita kan belum punya anak kandung, Bi. Apa kita bisa jadi orang tua yang baik buat Anto?"
Andi mengangkat dagu Rina, memaksanya menatapnya. "Mi, dengerin aku. Anak itu nggak harus lahir dari rahim kita. Kasih sayang itu yang terpenting. Kita bisa kok jadi orang tua yang baik buat Anto. Kita akan didik dia jadi anak yang saleh, berbakti, dan berguna bagi agama dan bangsa."
Sebuah senyum kecil akhirnya terukir di bibir Rina. "Makasih ya, Bi. Kamu selalu nguatin aku."
"Kita kan harus saling nguatin, Mi. Kita satu tim. Kita akan hadapin semua masalah ini sama-sama,"
balas Andi, mencium kening Rina.
"Bi, aku pengen banget punya anak. Aku pengen ngerasain jadi ibu," bisik Rina, suaranya bergetar.
Andi memeluknya lagi. "Aku tahu, Mi. Aku juga pengen banget jadi ayah. Kita udah usaha berbagai cara, tapi Tuhan belum kasih kepercayaan ke kita. Mungkin Tuhan punya rencana yang lebih baik buat kita."
"Mungkin dengan adanya Anto, Tuhan mau nunjukkin bahwa kita bisa jadi orang tua tanpa harus punya anak kandung," kata Rina, kini suaranya terdengar lebih damai.
"Iya, Mi. Kita harus bersyukur dengan apa yang udah Tuhan kasih ke kita. Kita akan sayang sama Anto seperti anak kita sendiri, dan kita akan didik dia jadi anak yang sukses di dunia dan akhirat," ucap Andi.
Rina mencium pipi Andi dengan lembut. "Aku sayang banget sama kamu, Bi."
"Aku juga sayang banget sama kamu, Mi," balas Andi.
Mereka berpelukan erat, merasakan kehangatan dan ketenangan yang meresap dalam keheningan.
Dalam pelukan itu, Rina menyadari, bahwa cinta sejati bukanlah tentang hubungan darah, melainkan tentang hati yang tulus.
Rina bermimpi menggendong bayi, menyusui, dan bermain bersama anak-anak dan anto menjadi suaminya. Saat terbangun, dia merasa sangat gelisah.
Rina pun melihat jam sudah pukul 5.30 diapun melaksanakan solat subuh.
pukul 7.00 Rina menyelesaikan masakannya. Hatinya masih gelisah memikirkan mimpinya. Mimpinya terasa begitu nyata, sampai dia bisa merasakan hangatnya bayi dalam dekapannya. lalu bergegas ke kamar untuk untuk membangunkan anto.
Di depan pintu kamar, Rina terdiam. Dia menunduk, menatap gagang pintu kamar Anto.
Mimpi itu kembali berkelebat di benaknya, namun kali ini ada satu detail yang menusuknya.
"suaminya yang merupakan anak angkatnya".
Mungkinkah itu pertanda? Lalu pertanda apa? Rina menghela napas, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu. "Tidak, itu hanya mimpi," gumamnya.
Ia membuka pintu dan mendekat ke sisi tempat tidur Anto. "Anto, bangun. Udah pukul 07.00. Ayo sarapan dulu."
Namun Anto tidak bergeming.
"Nak... ayo bangun sebentar. Habis makan, kamu boleh tidur lagi," bujuknya lembut.
Rina menyentuh dahi Anto. "Astaga, panas sekali. Sudah minum obat?"
"Sudah, Mi. Masih pusing."
"Ummi kompres. Istirahat saja, lupakan soal sekolah."
"Ummi enggak keberatan?" tanya Anto, suaranya lemah.
"Tentu saja tidak. Merawatmu adalah tugasku, Nak," jawab Rina, tulus
Share this novel