BAB 1 — KETIKA DARAH MEMBUKA MATA

Fantasy Series 5

PROLOG

Tidak semua pedang diciptakan untuk perang.

Beberapa dilahirkan dari doa.
Beberapa dari pengkhianatan.
Namun, ada satu yang lahir bukan dari tangan,
bukan dari logam,
melainkan dari kebencian yang tidak bisa mati.

Shin’en no Akuma.
Pedang yang tidak memiliki asal,
tidak memiliki akhir,
dan tidak ingin dikenal.

Seribu tahun lalu, ia tidak dikalahkan.
Ia dilupakan secara paksa.

Para dewa mencabut namanya dari kitab suci.
Para manusia membakar segala catatan tentangnya.
Bahkan para iblis pun bersumpah untuk tidak pernah menyebutnya lagi.

Namun, sesuatu yang benar-benar dilupakan…
tidak bisa disegel.
Ia menjadi hening yang terus tumbuh.
Ia menjadi gelap yang tidak bisa disentuh.
Ia menjadi bayangan di balik jiwa manusia yang paling patah.

Dan hari itu, di tengah kabut dan kehampaan,
seorang pemuda yang kehilangan segalanya
melangkah masuk ke dalam goa yang tidak memiliki pintu kembali.

Namanya Renji.

Ia tidak datang untuk menjadi pahlawan.
Ia tidak datang untuk menyelamatkan dunia.
Ia datang karena… tidak ada tempat lain untuk ia tinggali,
selain dalam kegelapan itu sendiri.

Saat darahnya jatuh di bilah iblis itu,
langit tidak berubah warna.
Namun sesuatu yang telah lama tidur…
membuka matanya perlahan.

Dan dunia pun—tanpa sadar—
menghela napas terakhirnya yang damai.

BAB 1 KETIKA DARAH MEMBUKA MATA

Langit sore itu tidak bersuara.
Awan menggantung seperti napas yang ditahan terlalu lama.

Renji berjalan sendirian. Langkahnya tak cepat, tak ragu, hanya... tenang, seperti daun yang hanyut tanpa arah.

Ia telah meninggalkan desanya tiga hari lalu. Tanpa pesan. Tanpa tujuan. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang menggiringnya ke tempat yang tak dikenal oleh peta, tak disebut oleh manusia.

Tempat itu adalah gunung sunyi, yang hanya disebut dalam cerita tua sebagai:
“Yomi no Kōketsu” — Jurang Dunia Arwah.

Konon, tak ada doa yang bisa menembus dasar gunung itu.
Dan mereka yang turun, tidak pernah benar-benar kembali.
Bukan mati… tapi dilupakan.

 

Langkah Renji berhenti di depan sebuah celah batu. Tidak ada gerbang. Tidak ada tanda. Hanya kabut tipis dan udara yang berat.

Namun ia tahu, inilah tempatnya.
Bukan karena suara gaib, tapi karena tidak ada yang menolaknya.
Seolah goa itu berkata:

> “Akhirnya... seseorang yang cukup kosong datang juga.”

Ia masuk.
Dalam diam.

Goa itu gelap, tapi bukan gelap biasa.
Gelap ini tidak butuh cahaya. Ia menyerap suara, waktu, dan bahkan ingatan.

Di dalamnya, langkah Renji seperti tenggelam.
Semakin jauh ia masuk, semakin ringan tubuhnya.
Seolah setiap langkah menghapus bagian dirinya yang dulu manusia.

Dan di tengah ruang batu yang sunyi, ia melihatnya:

Sebuah pedang.

Tertancap dalam altar batu hitam.
Bilahan panjang, melebihi katana pada umumnya.
Tidak mengkilap. Tidak memantulkan cahaya.
Seolah cahaya enggan menempel padanya.

Bilahnya penuh ukiran iblis: tanduk, taring, mata, dan mulut yang menganga dalam bisu.
Pegangannya dililit rantai kecil berkarat, namun terasa hidup.
Sarung pedangnya tergolek di samping, juga hitam — bermotif wajah-wajah yang seakan ingin berteriak.

Pedang itu diam.
Tapi Renji merasa ia sedang ditatap.

Dan ia tahu...
Inilah Shin’en no Akuma.
Pedang yang dikubur oleh sejarah, dikutuk oleh iblis, dan dilupakan oleh dunia.

 

Renji berdiri di depannya.
Tidak ragu. Tidak memuja.
Karena ia tidak datang untuk meminta kekuatan.

Ia datang karena dunia tidak lagi menyisakan tempat untuknya.

Perlahan, ia menggigit ibu jarinya.
Darah menetes.
Satu tetes jatuh ke permukaan bilah.

Tidak ada gemuruh.
Tidak ada cahaya.
Hanya...
suara nafas panjang.
Seperti seseorang yang baru bangun dari mimpi seribu tahun.

Lalu—ukiran mata di pangkal pedang terbuka.
Satu kelopak iblis, merah gelap dan dalam, seperti menatap dunia untuk pertama kalinya setelah dilupakan.

> “Akhirnya... seseorang yang cukup rusak.”
“Darahmu bau kehampaan. Aku menerimanya.”

Pedang itu mulai bergetar.
Tanpa disentuh, ia terangkat perlahan dari altar.
Udara di sekitar menjadi berat.
Batu di bawahnya retak-retak, seperti tidak kuat menahan kebangkitan yang lama tertunda.

Renji menutup matanya.
Dan dalam diam... ia mengizinkan.

Pedang itu meluncur ke arahnya, tidak untuk menusuk—
tetapi untuk masuk.

Bilah itu menyatu dengan tubuhnya.
Tidak ada luka, tidak ada rasa.
Tapi dalam dada Renji, terbentuk segel baru — berbentuk mata ketiga, yang membuka hanya ketika kehendaknya hilang.

Dan saat itu,
bulan yang menggantung di langit luar...
perlahan memudar.

Karena malam itu,
seorang manusia telah menjadi wadah untuk sesuatu yang tidak pernah dimaksudkan untuk kembali.

Bab pertama ini bukan tentang pahlawan, bukan pula tentang iblis. Ini adalah cerita tentang manusia—yang terluka, dan memilih untuk menyentuh pedang yang seharusnya tetap tidur. Saat menulis bagian ini, saya tidak ingin menggambarkan Renji sebagai seseorang yang hebat, tapi sebagai orang yang kosong, dan karena itulah, pedang yang terbuat dari kehampaan bisa memilihnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience