BAB 3 — UJIAN KETIGA: langkah bilah yang beradu

Fantasy Series 5

Malam telah turun saat ujian ketiga diumumkan. Tidak ada gong, tidak ada teriakan.
Hanya bisik-bisik para penjaga:
"Saatnya pedang bicara dengan pedang."

Ujian ketiga disebut "Kugutsu no Tatakai" — Pertarungan Boneka Jiwa.

Ini bukan duel biasa.
Para pemilik pedang tidak bertarung dengan tubuh mereka,
melainkan dengan jiwa yang dipinjamkan kepada bilahnya.

Setiap pedang akan mewujudkan bentuk aslinya,
mengambil bentuk roh yang dibentuk oleh niat, rasa bersalah, dan kehendak penggunanya.

Mereka akan bertarung di medan jiwa,
di mana tidak ada penonton,
namun segala luka akan tetap terasa nyata.

 

Renji berdiri dalam lingkaran batu bersama sembilan pemilik lainnya. Nama-nama besar, pemegang pedang petir, es, api, suara, waktu, kematian, dan bayangan.

Salah satu maju: Akihiro, pemegang pedang roh angin, Fūjinken.

> “Kau membawa pedang yang seharusnya tidak kembali. Tapi kami tidak bisa memutuskan siapa yang layak… tanpa melihat siapa yang bertahan.”

Renji mengangguk.
Tidak ada ketakutan di matanya.
Namun juga tak ada keinginan menang.

Para penjaga menebas tanah dengan bilah suci.
Cahaya hitam dan putih membentuk lingkaran,
menarik semua peserta ke dalam medan roh.

 

Dunia berubah.
Tanah menghilang.
Langit diganti dengan kehampaan.
Setiap pendekar berdiri di atas medan mimpi,
di mana hanya jiwa mereka dan bentuk roh pedang mereka yang ada.

Fūjinken berubah menjadi naga berangin panjang,
melayang dengan bilah di tengkuknya. Raijinmaru menjadi guntur berpedang.
Shinkasō, pedang api, membentuk manusia berlapis magma.

Lalu, Shin’en no Akuma muncul.

Ia tidak memiliki bentuk tetap.
Ia adalah mata tanpa wajah.
Mulut tanpa suara.
Tangan dari kegelapan cair,
dan bayangan tak berujung.

> "Mereka punya bentuk karena mereka butuh batas,"
bisik Shin’en dalam kepala Renji.
"Aku tidak dibentuk. Aku... hanya bangun."

Satu per satu para pedang saling menyerang. Angin melukai magma.
Petir menembus waktu.
Bayangan memakan suara.

Namun setiap kali mereka mendekati bentuk Shin’en,
roh mereka mundur.

Karena tidak ada yang bisa menyentuh kekosongan. Tidak bisa melukai ketiadaan.

Satu per satu para roh mulai memudar.
Bukan karena kalah,
tapi karena mereka ragu.
Dan keraguan adalah luka terdalam dalam pertarungan jiwa.

Renji berdiri di tengah.
Ia tidak bergerak.
Namun kegelapan di sekelilingnya membentuk pusaran.

Akihiro adalah yang terakhir bertahan. Roh anginnya menyerbu,
mengiris setiap arah,
menciptakan ilusi puluhan ribu luka.

Namun saat satu bilah angin hampir menyentuh Renji, mata ketiga di dada Renji terbuka.

Waktu berhenti.

Dan suara berbisik:

> "Kami tidak bertarung untuk menang. Kami hanya mengingatkan… bahwa ada bilah yang tidak bisa ditantang."

Roh Akihiro hancur dalam senyap.
Tidak ada luka, tidak ada darah. Hanya tubuh Akihiro yang terduduk lemah di dunia nyata,
matanya terbuka namun tidak ingin melihat lagi.

 

Pertarungan selesai. Namun tidak ada yang bersorak. Karena kemenangan yang mutlak… bukan kemenangan yang disukai para pendekar sejati.

Mereka tahu,
Renji tidak ingin menjadi yang terkuat.
Tapi pedangnya tidak mengizinkan ia kalah.

Dan itu lebih menakutkan dari apa pun.

 

Setelah ujian ketiga,
tidak ada suara dalam pertemuan para pendekar.

Yang tersisa hanyalah satu kalimat dari penjaga tertua:

> "Ia tidak datang sebagai peserta.
Ia datang sebagai penanda zaman baru.
Zaman di mana pedang tidak lagi dipilih oleh tangan,
tapi oleh kesendirian yang paling dalam."

TO BE CONTINUED
Salam hangat author
Farhan

Bab 3 ini bukan sekadar menampilkan pertarungan antar kekuatan besar. Saya tidak menulisnya untuk memperlihatkan siapa yang menang— tapi untuk memperlihatkan mengapa kemenangan bisa terasa seperti kehilangan. Shin’en no Akuma tidak pernah ingin bertarung. Renji pun demikian. Namun dunia tidak memberi mereka pilihan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience