BAB 2 — BAYANGAN DARI BILAH YANG LAIN

Fantasy Series 5

Musim semi belum datang,
namun daun-daun sudah gugur.
Seolah bumi sedang menyiapkan ruang untuk sesuatu yang tidak bisa tumbuh bersama kehidupan.

Di seluruh penjuru dunia, langit berubah—bukan oleh angin, bukan oleh hujan—melainkan oleh suara pedang yang bangkit dari tidurnya.

Setiap pengguna pedang legendaris…
merasakan getaran.

Tak ada pesan.
Tak ada perintah.
Tapi setiap bilah yang pernah menyentuh darah perjanjian,
menangis.

Karena mereka tahu:

> Salah satu pedang yang telah dikubur dalam mitos… kini hidup kembali.

Dan hukum para leluhur berkata:

> “Jika satu bilah yang dilupakan bangkit,
maka semua pemegang bilah besar harus berkumpul—
bukan untuk menyambut…
tapi untuk memastikan dunia tidak hancur.”

 

Di puncak Gunung Tsukigami,
diadakan “Shōken no Shiren” — Ujian Para Pedang.

Tidak ada undangan.
Hanya mereka yang dipilih oleh bilahnya sendiri yang bisa melangkah ke sana.

Sepuluh pemilik pedang legendaris,
dari klan manusia, iblis, dan roh.

Setiap pedang memiliki nama.
Setiap pemegang memiliki ikatan darah dan kehendak.

Mereka berdiri dalam lingkaran batu,
di tengah badai salju yang tidak pernah reda.

Namun kali ini, mereka tidak hanya saling mengukur kekuatan.
Mereka menunggu satu nama… yang tidak seharusnya hadir.

Dan saat suara langkah itu terdengar,
langit terdiam.
Salju berhenti di udara,
dan waktu… menahan napas.

Renji melangkah ke tengah lingkaran.
Langkahnya pelan.
Tidak menantang.
Tidak ragu.

Di dadanya—segel mata iblis—terbuka perlahan, menatap semua yang hadir.

> “Aku tidak datang untuk membuktikan apa-apa,” katanya, suaranya seperti suara batu jatuh ke danau kosong.
“Aku hanya menjawab panggilan pedang ini.”

Para pemilik pedang saling pandang.

Yuzuru, pemegang pedang petir Raijinmaru, maju selangkah.

> “Itu bukan pedang biasa. Itu… kehancuran. Kau membawanya seperti tidak tahu apa yang akan ia lakukan pada dunia.”

Renji tidak menjawab.
Tapi saat tangannya menyentuh udara,
pedang itu muncul di punggungnya—
tanpa sarung, tanpa rantai, tanpa suara.

Shin’en no Akuma tidak butuh pengantar.
Ia dikenal oleh ketakutan.

 

Ujian Pertama: Cermin Roh

Bukan duel kekuatan.
Tapi ujian batin.

Setiap pemilik pedang harus berdiri di depan cermin roh,
dan menunjukkan apakah pedangnya masih memandang mereka sebagai layak.

Renji melangkah ke depan cermin.

Namun tidak ada bayangan.
Cermin itu retak,
dan hancur menjadi debu.

Para penjaga ritual terdiam.
Tak satu pun dari mereka tahu arti itu.

Tapi seseorang—seorang wanita tua, penjaga waktu—berbisik:

> “Pedangnya tidak melihat masa lalu,
tidak melihat masa depan.
Pedangnya hanya melihat kehampaan.
Maka, ia tidak perlu diuji.
Ia adalah ujian itu sendiri.”

 

Ujian Kedua: Cermin dari Darah yang Diam

Ujian kedua bukan dilangsungkan di atas tanah.
Tapi di dalam "Chishio no Kagami" — Cermin Darah.

Tempat ini tidak bisa dilihat dengan mata biasa.
Ia hanya muncul bagi mereka yang telah menggenggam bilah yang membawa beban lebih berat dari hidup itu sendiri.

Konon, siapa pun yang menatap ke dalam cermin ini...
akan melihat bukan siapa dirinya,
melainkan apa yang dibenci oleh pedangnya sendiri.

Itulah ujian sejati.

Renji melangkah masuk ke dalam gua tempat cermin berada.
Sendirian.
Para pendekar lain hanya menunggu di luar.

Di ujung lorong sempit, berdiri sebuah cermin tinggi,
terbuat dari logam hitam dan urat merah yang terus berdenyut perlahan.

Renji berdiri di hadapannya.
Ia menghela napas, lalu membuka matanya.

Cermin menyala.
Dan seketika…
ia melihat.

Bukan dirinya.
Bukan masa lalunya.
Tapi—
wajah seorang anak kecil.

Anak itu berdiri di tengah rumah yang terbakar.
Wajahnya hitam karena abu.
Matanya kosong.
Dan di tangannya—
kepala ibunya sendiri.

Renji terdiam.
Ia mengenal wajah itu.
Tapi tidak ingat kapan pernah melihatnya.

Suara datang…
bukan dari luar,
tapi dari dalam darahnya:

> “Inilah kenangan yang ingin kau bunuh.”
“Pedang ini tahu: kau bukan mencari kekuatan.
Kau mencari cara… untuk tidak lagi merasa.”

Tubuh Renji menggigil.
Namun bukan karena takut.
Tapi karena kenyataan di dalam cermin… tidak bisa ia tolak.

Anak itu menatapnya dan berkata:

> “Jika kau tidak menebasku…
maka aku akan terus hidup dalam setiap orang yang kau bunuh.”

Renji mengangkat tangannya.
Namun tak ada pedang di sana.
Karena Shin’en no Akuma tidak muncul untuk membunuh bayangan.

Ia melangkah.
Pelan.
Menunduk.
Memeluk anak itu.

> “Maaf... karena aku pernah ingin melupakanmu.”
“Tapi kau adalah alasan mengapa aku pantas menggenggam pedang ini.”

Saat itu, cermin pecah.
Bukan karena amarah.
Tapi karena pengakuan.

Dari luar gua, para pendekar melihat kabut hitam keluar.
Namun tidak membawa kehancuran.
Hanya membawa sunyi yang lebih berat dari kematian.

Renji keluar.
Tangan kosong.
Namun di matanya…
terdapat cahaya yang bahkan iblis pun tidak pernah punya:
pemahaman.

Dan para pendekar kini tahu—
pedang itu tidak lagi membimbing Renji.

Renji lah yang mulai membimbing pedang itu.

Bab 2 ini saya tulis bukan untuk memperlihatkan siapa yang terkuat, melainkan untuk menggambarkan sunyi yang menyelimuti para pemilik kekuatan besar. Mereka berdiri di atas medan kehormatan, namun di dalam dada mereka tersimpan banyak pertanyaan yang tak pernah dijawab. Renji adalah orang luar. Namun dalam ujian itu, justru keasingan dirinya yang membentuk pusat gravitasinya. Ia tidak datang untuk membuktikan, ia datang untuk menghadapi sesuatu yang sudah lama tidak bisa dibicarakan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience