Rate

BAB 2

Fanfiction Completed 372

SInaran mentari terang benderang, sangat nyaman hari ini aku tidak mendengar bahawa aku marah dalam. Sehingga suatu hari kemarahan ibu aku melanda, aku tiba-tiba ditendang dan dilemparkan ke langit. Tubuh aku dipecah menjadi bahagian kecil, tersebar begitu jauh, mungkin di seluruh Tatar Sunda. Aku tidak tahu di mana badan aku bertaburan, yang aku tahu aku mendarat di sungai yang cukup besar. Anda kini memanggil sungai dengan nama Sungai Cikapundung.
Aku terus saja mendekam dalam air, beratus-ratus tahun lamanya. Dari air yang mengalir jernih, sampai air keruh seperti yang saudara tahu sekarang. Badan aku yang besar terkikis oleh air sampai sebesar kepalan tangan.

Suatu waktu ada seorang manusia dengan karung dipunggungnya menyelematkan aku dari kikisan air. Manusia itu mengambil dan memasukkan aku ke dalam karung. Apa maksudnya? Aku tak tahu. Hingga di suatu jalan manusia itu melihat karungnya dan berkata, “aku kira emas, sialan.” Kemudian laki-laki tua itu membuang aku begitu saja di jalanan. Manusia sebangsa saudara yang satu ini agaknya tak bisa membedakan yang mana warna kuning dan yang mana warna abu. Lagi pula mana ada emas sebesar aku ? Kalau pun ada saudara tahulah siapa yang punya.

Aku ini batu yang terasing, saudara harus tahu itu. Saudara-saudara aku yang warna hitam, warna putih bening, warna kuning, semuanya dialu-alukan oleh manusia. Sementara aku , ya seperti ini, berakhir di jalanan.

Cukup lama aku terbujur di jalanan, hingga segerembol anak kecil menemukan aku dan membuat aku jadi bola gelinding untuk menghancurkan serpihan genteng kecil yang bertumpuk. Aku terus digelindingkan, terus menerus sampai serpihan genteng yang menjadi lawan aku berceceran. Anak-anak kemudian berlari belingsatan. Mereka berkata, “Ayo sembunyi, ayo sembunyi. Sebelum dia merapihkan kembali gentengnya”. Aku mulai mengerti, ternyata tumpukan genteng yang dihancurkan oleh aku dibuat menjadi semacam lama waktu untuk mereka lari dan sembunyi. Aku dibuat jadi permainan. Ah, alangkah senangnya aku ketika melihat anak-anak manusia tertawa bahagia.

Aku dilempar, kali ini keterlaluan melesetnya. Aku meleset jauh, kemudian menggelinding ke tengah jalan. Ada sebuah motor yang melaju cepat menghantam aku , bannya tergelincir. Manusia yang menaiki motor itu terpental jauh, melayang, kemudian mendarat dengan kepala lebih dulu menghantam aspal. Kepalanya songklak, cairan kental keluar dari kepalanya. Manusia itu tak bergerak lagi. Mati. Aku pun ikut menggelinding cukup jauh, dihantam lagi oleh mobil, menggelinding lagi, terus begitu sampai aku berakhir di sebuah jalan di mana saudara menyebut daerah itu Saritem. Saudara pasti tahu, sebab salah satu dari saudara pasti pernah ke sana. Sekedar berkunjung atau pun menikmati sajian yang ada.

Kejadian itu terus membayangi aku , seolah aku yang bersalah. Orang-orang yang lewat dihadapan aku terus membicarakan bahwa aku lah pembunuhnya. Aku ingin berbicara, tapi apalah arti sebuah batu yang tak bisa memberikan sebuah pembenaran.

Matahari tergelincir ke balik bangunan rumah-rumah yang berjajar. Hari berubah gelap seakan keceriaan anak-anak sebelumnya dalam kepala batu aku telah direnggut oleh kejadian kecelakaan itu.

Tak lama, seorang perempuan dengan bedak tebal dan gincu merah dibibirnya keluar dari sebuah gang. Aku pikir, sejak ribuan tahun aku hidup, tak pernah sekali pun aku melihat perempuan secantik itu. Aku tak tahu apakah selera cantik saudara dan aku sama atau tidak. Yang aku ingat dalam kepala batu aku , asal mukanya tak keropos seperti muka batu-batu pada umumnya, itulah yang dianggap cantik oleh batu.

Sepanjang malam aku terus memandanginya, lupa oleh kejadian kecelakaan sebelumnya. Perempuan itu duduk di sebuah bangku di bawah pohon di pinggir jalan. Tersenyum sambil melambaikan tangannya pada kendaraan yang lalu lalang di depannya. Datang sebuah mobil menepi di depan perempuan itu. Dari dalam mobil itu keluar dua orang laki-laki berbadan besar, jalannya sempoyongan. Aku tak tahu nama mereka. Untuk memudahkan kesaksian, aku sebut dua laki-laki yang berbadan besar dan kekar itu si Besar Satu dan si Besar Dua. Perempuan itu aku sebut si Cantik. Saudara setuju kan? Sudahlah setuju saja. Baik, aku lanjutkan. Mereka mendekati perempuan itu.

“Hallo manis,” kata si Besar Satu.

“Berapa nih?” Kata si Besar Dua.

“Dua ratus, Bang.” Jawab si Cantik.

“Mahal banget, Neng. Udahlah gratis aja. Sama-sama enak ‘kan?” Cetus si Besar Satu.

“Enak aja, emangnya ini memek milik negara?” Teriak si Cantik tersinggung.

“Wah berani nih jobong!” Celetuk si Besar Dua.

“Emang situ siapa? Enak aja pengen gratisan. Sekelas preman kelas kakap, sampe pejabat gedongan aja bayar, Bang. Cuman laki aku yang aku kasih gratis.” Sambil menunjuk-nunjuk muka si Besar Satu dan Dua.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience