2. Gak Balik Modal

Humor Completed 2469

-DIROKUM dinukum waliadin, eh, di rokum Wina, ceritanya Olga lagi ngisi sisa-sisa liburannya dengan piknik ke rumah Wina. Rumah Wina emang enak buat piknik. Hawanya sejuk, sepi, dan gak banyak orang. Kadang Olga suka seharian nongkrong di rumah Wina. Gak peduli Wina dah bosen ngeliat tampangnya.

"Ol, udah sore, tuh," usir Wina.

"Cepet, ya? Eh, kalo sore-sore begini paling enak ngapain?"

"Tau!"

"Main yoyo."

Olga emang udah sedari pagi tadi terus-terusan belajar main yoyo di kamar Wina. Walhasil, beberapa barang kesayangan Wina pada berantakan kesenggol yoyo yang melayang ke sana kemari. Tak urung, batok kepala Wina udah tiga kali kena sambar.

Makanya Wina udah empet banget ngeliat tampang Olga. Abis kerjaannya main yoyoooo melulu. Gak bosen-bosen. Adat si Olga emang gitu. Kalo lagi suka sesuatu, tekunnya minta ampun.

Gak berhasil ngusir Olga secara baik-baik, Wina ingin mencoba dengan cara yang rada gak baik.

"Ol, lo gak pulang? Kan udah sore. Apa gak bosen main yoyo terus?"

"Enggak, tuh!"

"Tapi saya bosen, Ol."

"Kalo bosen istirahat aja dulu. Atau tiduran, kek."

Huh, percuma aja ngusir Olga pake sindiran. Tapi kalo mau diseret ke luar, kesannya gak etis. Biarlah Olga terus main yoyo. Saya mau baca-baca dulu, batin Wina.

Wina menggelar koran sore yang udah dari tadi dikempitnya. Sebenarnya Wina pengen baca sendirian sambil tiduran di ranjang. Tapi Olga dari tadi belajar main yoyo terus sambil berdiri di atas ranjang.

Ya, udah. Terpaksa Wina menggelar koran yang hendak ia baca di karpet.

Tampaknya emang ada sesuatu yang menarik dari isi koran sore itu. Apa tentang Irak yang jadi jagoan di Teluk? Apa tentang penjurusan di SMA yang mau dihapuskan? Apa tentang gagalnya PSSI yang tanding di Asean Games? Bukan. Uu semua tak menarik di mata Wina. Ya, mau ada perang kek, mau jurusan-jurusan SMA diilangin, mau PSSI nggak gablek main bola, semuanya sebodo amat. Karena yang dicari-cari Wina dalam koran sore itu adalah iklan lowongan kerja! Wina emang lagi napsu mo kerja. Karena Wina sebel banget ngeliat Olga yang tiap bulan udah dapat "uang tetap" dari kerjaannya di radio. Hingga kalo mo beli apaapa, Olga gak perlu lagi merengek-rengek sama Papi-Mami. Meski Wina anak orang kaya, tapi jelas dia gak bisa sebebas Olga dalam memanfaatkan uang jajan. Kadang sebulan Olga bisa beli sepatu kulit dua biji. Asli kulit kakek-kakek!

Makanya Wina dendam banget pengen nyari kerjaan apa yang cocok. Pernah, sih, ditawarin siaran. Tapi Wina-nya ogah. Katanya kerja penyiar kayak orang gila. Ketawa sendirian, ngocol sendirian. Padahal, bukannya Wina ogah, tapi emang suara Wina aja yang kelewat cablak.

Bisa dapet duit dari hasil kerja sendiri emang enak. Meski bayarannya gak seberapa tapi bangga. Bisa nyari duit sendiri. Bisa berguna buat orang lain. ,

Olga yang kini tengah istirahat dari aktivitas main yoyo dan, alhamdulillah, nggak bisa-bisa, iseng-iseng ngintip apa yang dibaca Wina sambil tengkurep di karpet. Dia heran ngeliat Wina yang serius melototin koran sore itu.

"Lo masih penasaran mau cari kerja?"

"Ya."

-"Lo kenapa gak bilang-bilang dari dulu?"

"Emang ada lowongan?"

"Ada."

"Di mana?"

"Di goal!"

Wina cemberut. Sial, makinya dalam hati. Udah tau orang lagi sebel. Sebel sama dia yang dari tadi gak mau pulang-pulang. Sebel sama dia yang udah bisa dapet duit sendiri. Sebel sama yoyonya yang udah bikin benjol kepala Wina tiga biji.

"Kerja di kantor pos saja, Win."

"Serius, Ol. Gue lagi serius, nih!"

"Gue juga serius. Di kantor pos ada lowongan. Kerjanya ringan bayarannya lumayan. Ini kalo lo mau."

"Kerja apa?"

"Gampang. Lo cuma disuruh berdiri di pojokan, dan menjulurkan lidah. Buat nempelin prangko. Di kantor pos kebetulan keabisan lem."

"Olgaaaaa..."

"Apaaaaa..."

-"Lo kan tau kalau becanda ada tempatnya?"

"Di mana tempatnya? Di kantor pos?"

Wina memalingkan wajahnya. Dan mencampakkan koran sore itu ke wajah Olga.

Olga mengambil koran itu dan berniat membantu mencarikan iklan lowongan. Ternyata ada!

"Win, ada lowongan! Bener gua gak bo'ong," tukas Olga seraya menyerahkan koran sore itu.

Wina cuek.

"Lo kira gua bo'ong, ya? Ini koran, Win. Mana ada koran bo'ong. Atau, gimana kalo saya bacain?"

Wina diem aja.

"Win, lo masih punya niat mau kerja, kan? Ini ada lowongan, kerja di pameran,
Win. Beneran. Kamu mau denger, kan? Ta' bacain, ya?"

Wina masih diem. Tapi Olga sudah berniat akan membacakan iklan lowongan itu.

"Denger, ya, Win. Dibutuhkan segera berapa gadis menarik untuk ditempatkan di bagian sales promotion. Syarat-syaratnya... kamu denger, gak, sih?"

"Denger."

"Mana tadi? Syarat-syaratnya, tamatan SMA, tapi SMP juga boleh. Berdomisili di Jakarta. Menguasai minimal dua bahasa. Setidak-tidaknya bahasa Inggris dan bahasa prokem. Punya kendaraan. Bersedia ditempatkan di mana saja..."

"Apa lagi?" Win mulai tertarik.

"Bersedia tidak dibayar!"

"Olgaaaaa!!!"

Wina mengejar-ngejar Olga. Olga berlari menyelamatkan diri menuju pintu luar, terus balik lewat pintu samping, masuk ruang tengah, ngiter-ngiterin dapur, loncat ke taman belakang dan finish ke kamar Wina lagi.

Baru saja Wlna hendak memukul Olga dengan sapu lidi satu biji, terdengar klakson pos tercatat.

Mami Wina teriak dari depan, "Wiiiiin, ada surat dari Diahasut!"

"Ha? Diahasut?" Wina terlonjak, dan buru-buru meninggalkan Olga yang ngumpet di kolong meja. Dia menyambar surat itu dari tangan maminya. Ya, beberapa waktu yang lalu, ia bersama Olga emang sempet ngirim lamaran ke perusahaan mobil Diahasut, buat jadi penjaga stand kalo pas ada acara-acara pameran.

Dan ternyata, pas surat itu dibuka, Wina melonjak-lonjak kegirangan. "Hore! Hore! Gile, Ol, gua dapat panggilan. Eh, lo kan juga ikut ngelamar waktu itu. Dapat panggilan juga nggak?"

Olga yang udah keluar dari persembunyiannya itu jadi inget. Ia pun buru-buru nelepon ke rumah. Nanyain ke Mami, apa ada surat yang datang.

"Ada, Ol. Surat kabar," jawab Mami di ujung telepon.

"Bukan itu, Mi."

"Oo, surat cintanya si Somad bin Indun? Ada nih. Sekaligus lima seri."

"Bukan. Surat panggilan dari Diahasut!"

Ternyata ada. Mereka berdua pun melonjak-lonjak kayak harga minyak. Kegirangan.

-***

-Yang dapet surat panggilan kayak gitu, ternyata bukan hanya Olga dan Wina. Buktinya hari itu, beberapa cewek kece datang ke perusahaan Diahasut untuk ikut tes saringan. Yang ikutan bejibun, padahal yang dibutuhkan cuma sepuluh orang. Apa gak susye, tuh?

Soalnya sekarang ini, siapa sih, yang gak butuh kerja? Jadi begitu kesempatan dibuka, ratusan mendaftar. Walhasil, Olga dan Wina yang udah dandan menor, sibuk menunggu panggilan masuk di ruang tunggu yang mewah. Dingin ber-AC. Ya, kenapa tu anak dua dandan centil begitu, karena biasanya tes-tes untuk kerja jaga pameran yang dinilai tak lepas dari penampilan. Makanya, saat berangkat tadi, Olga sama Wina malah sibuk beli baju, sepatu kulit, rok, kosmetika, parfum, dan aksesori lainnya. Alasannya, biar penampilan lebih meyakinkan. Untuk memenuhi itu semua, gak lain yang kena todong adalah Mami. Untung Olga masih punya simpanan. Yang bener-bener jebol adalah kantong maminya Wina.

"Yah, nanti juga kalo udah keterima dan dapat gaji, Wina ganti, Mi," rayu Wina waktu maminya ragu-ragu ngasih subsidi. Si Mami yang dasarnya emang sayang sama Wina, kena pengaruh. Uang pun berhamburan dari dompetnya.

Tapi mami Wina sebetulnya gak perlu kecewa kalo tau gimana seriusnya Wina sama proyek satu itu. Olga aja yang nekat mau pake sepatu roda ke tempat tes, kena damprat abis-abisan.

"Lo jangan gila, deh, Ol!" bentak Wina sengit.

"Pake sepatu roda masa gila, sih?"

"Pokoknya kalo lo masih nekat pake sepatu roda, mending lo berangkat sendiri, gih!" ancam Wina.

-Olga yang punya niat numpang di Wonder kuning Wina akhirnya ngalah. Nggak pake sepatu roda. "Tapi pake sepatu bot," kata Olga. Wah.

Wina lagi-lagi cemberut.

"Jangan becanda terus dong, Ol!" Wina akhirnya merajuk.

"Iya, deh, enggak," jawab Olga.

Lama juga mereka menunggu, sebelum akhirnya dapet giliran. Begitu nama mereka dipanggil, mereka dipersilakan masuk ruangan yang ditunggu seorang bapak yang dandan kelimis. Kemudian dua anak itu diukur tinggi dan ditimbang beratnya. Juga diminta membaca sederetan kalimat Inggris.

Tes selanjutnya mereka disuruh jalan mengelilingi setengah ruangan.

"Wah, kok kayak peragawati?" bisik Wina pada Olga.

"Mungkin dia pengen lihat cara jalan kita, Win. Dibagus-bagusin aja. Jangan dingkring."

Maka mereka berdua berjalan ala peragawati. Melangkah, berputar, sambil sesekali mengerling centil sama yang ngetes.

Sampe yang ngetes manggut-manggut kagum. Abis, pikirnya, tu anak dua jalannya kayak hansip baris.

Setelah itu, keduanya diminta ngocol pura-pura ,mempromosikan produk baru yang bakal dipamerkan. Dan bapak yang ngetes pura-puranya jadi pembeli.

Kebetulan, di ruangan itu ada contoh mobil yang bakal dipamerkan.

Olga. langsung mulai, dengan gaya kayak orang jual obat. "Ayo, siapa mau beli! Siapa mau beli! Ini mobil mobil bagus, lho, Pak. Rodanya aja empat. Kalo jalan muter semua. Kacanya bisa tembus pandang. Mesinnya yahud, semua terbuat dari besi. Nggak ada yang terbuat dari ongol-ongol. Anti karat. Larinya lebih cepat dari sepeda. Tahan panas dan hujan," sesumbar Olga yang dapet giliran pertama.

E, si bapak itu dengan enaknya tau-tau menyangkal kocolan Olga yang udah setengah mati ngepromosiin. "Ah, masa, sih? Itu kan mobil murahan."

"Lho, Bapak enggak percaya?" ujar Olga sebel.

"Enggak. "

"Kalo gitu sama. Saya juga nggak yakin ni mobil bagus apa enggak," sahut Olga kalem.

Bapak itu bengong. "Wah, jangan gitu, dong. Nanti barangnya gak ada yang beli.
Kamu harus menangkis semua serangan dengan argumentasi yang kuat."

-"Abis Bapak ngeselin, sih." .

"Ya, namanya aja tes. Kalo gitu coba kamu yang menawarkan," kata bapak itu sambil menunjuk ke Wina.

Wina siap-siap. . .

"Ini lho mobil paten. Bahan bakarnya irit. Maklum bikinan Yahudi. Pintunya juga gampang dibuka, kalo ditendang. Ada videonya, lagi, kalo situ mau pasang sendiri.
Harganya juga murah meriah. Gak lebih dari seratus juta. Bisa diangsur, asal kontan," kocol Wina.

Si Bapak manggut-manggut.

"Bahan bakarnya apa?" tanya Si Bapak.

"Solar!" Wina menjawab mantap.

"Aduh salah, Nak. Sedan canggih begini masa bahan bakarnya solar? Bensin, dong. Mesinnya kan bukan disel," ralat bapak itu.

"Ah, solar."

"Bensin!"

"Solar!" kata Wina ngeyel.

"Bensin," si bapak nggak kalah ngeyel.

"Solar. Asal diisi solar, pasti jalan. Coba aja!" jawab Wina kesel.

Si bapak geleng-geleng kepala. Pusing juga dia ngetes dua cewek gokil ini. Kok, ya ada yang kayak gitu. Biasanya sih, orang yang dites nurut-nurut. Ini malah ngelawan terus. Tapi kelihatannya Si bapak suka. Biar keliatan bandel, kedua anak ini nampak cerdas dan nggak malu-malu. Sebab, beginilah yang dicari buat jaga pameran. Pasti mereka bisa menghasut orang supaya beli barang yang dipamerkan. Dan tambahan lagi dua-duanya kece. Kurang apa lagi?

Tanpa sadar, si bapak manggut-manggut.

"Kalian tunggu di luar. Hasilnya akan langsung kami umumkah hari ini."

Olga dan Wina keluar.

Dan pas pembagian amplop yang isinya hasil tes, ternyata Wina dan Olga keterima. Yuhuuu, kedua anak itu langsung spontan berpelukan.

-***

-Sampe di rumah, Wina buru-buru mencium maminya.

"Selamet, Mi, keterima!" kata Wina semangat.

"Wah, asyik, dong. Duit Mami bakal diganti, kan?"

"Pasti, Mi. Tapi Mami mau kan nyiapin duit lagi buat selametan? Ya, sekadar ngucapin syukuran sama Tuhan." .

"Wah, kok pake selametan segala?"

"Iya, dong, Mi. Kita kan harus selalu bersyukur sama Tuhan," paksa ,Wina.

-Mami ngalah lagi. Selametan jadi dilangsungkan. Mami Wina bener-bener dibuat puyeng. Soalnya, kerja aja belum, tapi duit yang keluar udah seabrek-abrek.
Sampe duit Mami jebol. Makanya walau Mami bangga dengan diterimanya Wina kerja, tapi sebenarnya rada sebel juga. Doi merasa dikerjain. Jangan-jangan itu cuma alasannya Wina untuk minta dibelikan macem-macem.

***

-Lebih seminggu menunggu sambil ditraining, akhirnya saat pameran itu tiba. Wina dan Olga langsung sibuk di depan cermin. Berusaha dandan sekec-e mungkin. Itung-itung buat modal mejeng, selain jaga pameran. Cowok yang dateng pasti bakal keren-keren. Siapa tau ada pengusaha muda yang kepincut.

"Ol, buruan, dong. Nanti kita telat, nih!" pinta Wina cemas. Padahal dia sendiri masih sibuk memoles-moles bibirnya dengan Revlon.

"Sebentar lagi juga rapi, Win. Tenang aja dulu," jawab Olga sambil merapikan roknya. Sementara dengan diam-diam dari lubang kunci, mami Wina mengintai dengan saksama. Hati mami Wina terharu. Nggak nyangka anak secentil Wina ternyata juga punya kemauan kerja. Punya kemauan nyari duit sendiri seperti Olga. Saking terharunya, mami Wina sampe gak sadar kalo ternyata anak-anak udah rapi dandan. Wina dan Olga pun buru-buru menghambur ke luar, lalu menerjang mami Wina yang masih membungkuk di lubang kunci. Akibatnya ketiganya jatuh berguling-guling.

"Aduh," Jerit Mami sambil mengusap jidatnya yang benjol kejeduk kaki bufet. Olga dan Wina juga punya nasib sama. Wina malah langsung nyap-nyap gak keruan. Tapi karena jam pembukaan pameran udah mepet, terpaksa marahnya dibawa-bawa ke Wonder kuningnya.

Olga cuma bisa menutup kuping ngedenger Wina terus-terusan ngedumel. Untung gak lama kemudian, mereka sampe di tempat tujuan. Mereka buru-buru lapor ke pengawas. Lalu disuruh ganti baju dengan seragam pameran yang berwarna pink.

Menjelang siang, ternyata pengunjung pameran melimpah ruah. Hingga Balai Sidang yang ber-AC itu jadi terasa gerah. Wina dan Olga sibuk nerangin ke setiap pengunjung, sambil mengipas-ngipas dengan brosur yang harus dibagikan. Keringet mengumpul di ujung hidung.

-Lama-lama emang keki juga. Soalnya yang datang kebanyakan mau ngeceng yang jaga, bukan tertarik beli mobil. Buktinya ada seorang cowok nanya-nanya tentang keistimewaan Diahasut sama Olga, tapi buntut-buntutnya minta nomor telepon rumah. Bah.

Di sudut lain, Wina lagi kebingungan, karena salah ngebagiin brosur. Soalnya brosur yang di baliknya ada catatan coret-oretan tentang harga dan data spesifik mobil buat diapalin, ternyata ia berikan kepada seorang pengunjung. Walhasil, karena gak apal, ia sembarangan aja menjawab pertanyaan pengunjung dengan seenak perut.

Ketika jam jaga usai, Olga membuka seragamnya di kamar ganti. Malam cukup larut.

Dan waktu berjalan cepat.

"Nggak terasa udah lebih seminggu kita jaga pameran, ya Win?"

"He-eh. Asyik, dong, sebentar lagi kita gajian. Sehari lima puluh ribu. Jadi berapa ya, honor kita? Kamu niat beli apa, Ol?"

"Gue sih pengen beli sepatu roda buat ngegantiin yang waktu itu patah. Yang mahal punya."

Di dalam Wonder kuningnya menuju pulang, Wina juga asyik membayangkan sesuatu yang bakal dibelinya. Ah, betapa senangnya bisa membeli barang dengan hasil jerih payah sendiri. Nggak minta Mami lagi.

Berbarengan dengan habisnya masa liburan sekolah, tugas mereka sebagai penjaga pameran usai. Ah, Olga dan Wina menarik napas lega seolah terlepas dari belenggu.

Ya, selama seminggu mondar-mandir di ruang pamer dengan suasana yang itu-itu juga, ternyata bikin mereka jenuh sumpek. Mereka juga merasa jenuh dengan watak para pengunjung yang kadang-kadang suka aneh-aneh.

Bersama rekan penjaga pameran lainnya, Olga dan Wina lalu berbondongbondong ke bagian keuangan untuk pembagian honor selama kerja.

Ternyata sampai di bagian keuangan mereka masih diminta menunggu. Ibu kepala bagian keuangan lagi sibuk rapat, katanya. Untung nggak lama kemudian si ibu yang ditunggu muncul juga. Wina dan Olga mulai sibuk mengkalkulasikan uang yang bakal diterima. Lebih-lebih Wina, karena ini adalah uang pertamanya yang bakal ia terima dari hasil keringat sendiri.

"Dipotong utang Mami, sisanya beli apa, ya?" tanya Wina dalam hati.

-"Wina!" Wina tersentak kaget waktu si Ibu memanggil. Tapi kemudian girang, karena tiba gilirannya menerima uang.

Olga ternyata udah lebih dulu dapat bayaran.

Dengan amplop putih berisi segepok uang, Wina menerima bayarannya. Kemudian buru-buru menarik Olga keluar.

"Ke mana kita, Win?" tanya Olga.

Wina bingung sejenak.

"Kita pulang saja. Gue pengen bayar tang dulu sama Mami," Wina akhirnya kasih keputusan.

"Wah, apa enggak sebaiknya kita belanja dulu?"

"Nggak, ah. Yuk!" jawab Wina. Lalu menyeret Olga memasuki Wonder kuningnya.

Sesampainya di rumah, ternyata mami Wina udah menunggu dengan wajah berseri.

"Mi, Wina udah terima bayaran," teriak Wina girang dari pintu halaman.

Mami udah tau, kok. Kan Mami juga ngitungin hari kerja kalian. Lantas, Mami mau nagih utang, nih. Wina mau bayar ka?"

Ah, tumben, mami Wina ramah banget hari itu.

"O, so pasti dong, Mi. Berapa?" kata Wina mantap. Mami kemudian mengeluarkan setumpuk bon dari dompetnya.

"Kebetulan dulu Mami ngumpulin bon-bon belanja kamu. Nih, itung sendiri, kom-plet dengan biaya selametan," tukas Mami seraya menyerahkan bon-bon Itu pada Wina. Wina langsung nerima, dan mengkalkulasikan.

Selesai menghitung, Wina bengong lama sekali.

"Lho, kenapa?" tanya Olga yang heran ngeliat tingkah Wina.

"Kenapa kamu, Wina?" Mami juga gak kalah heran campur cemas ngeliat Wina yang kayak kesambet jin iprit.

Wina pelan-pelan membuka mulut. "Bon-bon ini jumlahnya tiga ratus lima puluh ribu, Mi," kata Wina lemas.

"Iya, lantas?" si Mami cemas.

"Honor Wina cuma tiga ratus ribu, Mi," kata Wina makin lemas.

"Jadi?"

"Jadi nombok Mi. Masih kurang lima puluh ribu lagi. Dan Wina juga harus bayar kredit jaket kulit yang udah duluan Wina ambil di butiknya Tante Siska..."

"Ha?" Mami kaget.

Di dekat pintu, Olga cekikikan keras sekali. Kik, kik, kik....

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience