BAB 1

Poetry Completed 266

Di desaku, hikayat-hikayat indah sering dilantunkan sepanjang waktu, ditemani bulir-bulir padi nan ranum serta canda tawa anak-anak bermain di pematang sawah. Gunung-gunung menjulang di sisi kiri, dihiasi kabut tipis hingga menjelang siang dan lautan biru terhampar bak berlian di sisi kanan, dengan pulau-pulau kecil yang letaknya tidak terlalu jauh dari bibir pantai berpasir putih.

Terkadang aku sering menantang angin, berdiri di tepi pantai, menikmati saat butir-butir pasir terangkat, melayang dan menyepuh udara. Pasir menempel di rambut, wajah dan pakaianku.

Aku bersama teman-teman sering mandi di laut, sambil mencari umang yang berserakan di pantai, mengisinya dalam kotak korek api, lalu mengadu lari hewan-hewan lucu itu. Lelah bermain, kami duduk menghadap laut dan menebak-nebak bentuk pulau yang terlukis di hadapan kami. Dalam imaji kanak-kanak kami, pulau itu berbentuk buaya raksasa dengan mulut menganga dan onggokan umpan di depannya. Seringkali kami bermain hingga menjelang magrib, biasanya ibu sampai menyusul ke pantai dan menarik kulit perutku karena tidak menggubris azan yang berkumandang di meunasah. Namun dari semua keindahan masa kanak-kanak itu, satu hal mengisi ruang terdalam dan tak akan tergantikan di hatiku.

Orang tua kami melakoni dua pekerjaan sekaligus, bertani dan melaut. Jika musim Barat dan laut berubah ganas, maka orang tua kami turun ke sawah. Setelah musim panen selesai, dengan setia mereka kembali ke laut. Ritme itu telah berjalan turun temurun.

Dingin menggigit kulit, udara pegunungan dan lembabnya angin laut membuat tubuhku menggigil. Betapapun dinginnya, ritual ini tetap harus berjalan. Selesai mengaji di meunasah, kami berlari ke rumah Teungku Razali. Rumah panggung itu berdiri anggun dengan ukiran-ukiran di bagian dindingnya.

Kami berebutan naik ke rumah panggung yang luas. Setelah adegan dorong mendorong di tangga rumah selesai, kami duduk teratur di teras yang lebar. Ajaib, bocah-bocah kampung yang sukar diatur tiba-tiba begitu tertib. Di hadapan kami, di atas tikar pandan duduk seorang pemuda, kami memanggilnya Anton Gunawan , ia anak Teungku Razali. Obor di halaman rumah meliuk-liuk ditiup angin. Wajah Anton Gunawan membentuk siluet dari lampu teplok yang dipasang di beberapa sudut rumah. Hidung bangirnya menjulang sempurna.

Aku baru berumur 13 tahun waktu itu, bersama teman-teman sebaya menyaksikan Anton Gunawan beraksi. Sesekali orangtua kami ikut menikmati tontonan gratis ini. Inilah hiburan bagi kami anak-anak Gampong[2] Cot Ara. Anton Gunawan duduk bersila, di samping kirinya terdapat sebuah kotak, yang kami sebut kotak ajaib, bagaimana tidak, kotak itu mengeluarkan baju nan indah, topi, baju perang, dan semua yang diperlukan Anton Gunawan berdangderia. Di sisi kanannya tergeletak senjata kayu mainan. Malam ini Anton Gunawan akan memainkan Hikayat Malem Dewa , hikayat kesukaanku, karena berkisah tentang seorang putri jelita dari kahyangan bernama Putri Bungsu. Nama putri itu persis namaku, Putro[3] Bungsu. Di malam lain, Anton Gunawan dengan mahir beraksi membawakan hikayat Prang Sabi, Malem Budiman, Raja Si Ujud, Malem Dagang, Hikayat Aulia Tujoh, serta banyak hikayat lainnya. Aku kagum dengan daya ingatnya, satu cerita bersambung sampai seminggu bahkan dua minggu, namun ia mampu menghafalkannya tanpa cacat. Jika aku punya kemampuan menghafal sebagus itu pasti Teungku Razali tidak melecutku dengan rotan belah tiga karena selalu lupa hafalan Surat pendek Al-Quran. Malam-malam di tahun-tahun berikutnya, saat aku menjelma gadis remaja, mungkin mataku terlalu berbinar hingga mengalahkan cahaya obor dan rembulan saat memandang Anton Gunawan . Sampai-sampai Nyak Dewa n, teman sebayaku sering menggodaku.

“Kalau semua cahaya padam, tempat ini pasti tetap terang benderang,” ujarnya.

“Kenapa?” tanyaku penasaran.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience