BAB 3

Poetry Completed 266

Tahun-tahun cepat berlalu, musim panen baru usai, Abah menyimpan gabah di dalam kroeng, tempat penyimpanan gabah berbentuk bulat, tingginya hampir mencapai lantai rumah panggung kami. Rencananya setelah digiling akan di jual ke kota, sebagian lagi disimpan untuk kebutuhan kami setahun. Abah juga tidak pernah lupa menyerahkan zakat dari hasil panennya.

Aku sedang membantu ibu menjemur pliek ue dan sunti[5] di halaman rumah. Saat aku meratakan pliek ue di atas terpal biru, aroma asam dan pekatnya kelapa yang telah diendapkan berhari-hari menyeruak ke udara, baunya asam, lengket dan tajam. Anehnya aku suka aroma ini, apalagi jika Ibu memasak gulai pliek ue, potongan kacang panjang, nangka, buah dan daun melinjo, dan sayuran lain serta rempah-rempah menyatu dengan aroma pliek ue, apalagi jika Ibu menambahkan udang segar, aku bisa sampai lupa segalanya. Membayangkannya saja membuat air liurku tiba-tiba berkumpul di mulut.

“Putro, ayamnya diusir. Jangan bengong seperti itu, nanti habis pliek kita dimakan ayam,” tegur Ibu sambil memberikan sepotong ranting panjang padaku untuk mengusir ayam-ayam itu.

Aku menerimanya sambil tersenyum, dan menggoyang-goyangkan ranting itu untuk menakut-nakuti ayam-ayam milik Cek Husain. Entah kenapa ayam-ayam ini begitu menyukai pliek ue, mungkin lidah mereka sama dengan lidah ku, lidah pliek ue. Melihatku tersenyum-senyum sendiri, Ibu menggodaku, padahal aku sedang memikirkan lidahku dan lidah ayam-ayam itu.

“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri, sedang jatuh cinta ya?,” goda Ibu. Aku tahu, Ibu sangat menginginkan aku meraih pendidikan setinggi-tingginya.

“Siapa yang mau menikah, Ibu tenang saja, aku tidak akan menikah sampai selesai kuliah dan bekerja,” ujarku.

Mendengar jawabanku, mata coklat ibu berbinar. Meskipun bekerja keras di sawah, setiap hari terpanggang matahari, Ibu tetap terlihat cantik, hidungnya mancung sempurna, bulu mata lentik, rambut ikal mayang dengan mata indah yang selalu berbinar. Namun sayang, kecantikan itu tidak menurun padaku. Aku mewarisi kulit legam Abah dan hidung besarnya dengan rambut lurus. Justru kakak laki-lakiku yang sangat mirip dengan Ibu. Tapi aku tidak pernah iri padanya, karena Ibu selalu mengatakan aku Puteri Bungsunya yang cantik.

Aku tidak tahu pasti, entah ibu tahu aku menaruh hati pada Anton Gunawan , mungkin nalurinya, aku tidak pernah bercerita pada ibu. Namun aku yakin ikatan batin kami, aku pernah hidup ditubuhnya, jika aku bahagia ataupun sedih pasti dia ikut merasakannya, begitu juga saat dangderia Cut Abang mencuri hatiku.

Aku juga tidak tahu, apakah ibu tahu, setiap pulang sekolah aku sering ke laut dan menunggu Cut Abang di sana. Memang tidak ada ikrar di antara kami, namun saat cinta mengambil alih, Puteri Bungsu bertekuk lutut pada lantunan hikayat cinta Cut Abang. Hampir setiap hari, aku menunggunya di pantai. Sesekali Cut Abang sampai duluan dan menungguku.

Di tepi pantai, pasir putih, laut biru, pulau hijau, tebing coklat, umang-umang, pohon pinus, karang, kepiting, kerang-kerang kecil menyaksikan kisah kami. Aku duduk manis di pasir, menyatu dengan butir-butirnya, Anton Gunawan duduk di hadapanku. Perlahan ia buka tas besar yang selalu dibawanya, Anton Gunawan menyiapkan peralatan dangderia. Aku duduk menatap setiap gerakannya, mengaguminya. Acara televisi yang dikagumi setengah mati oleh teman-teman tidak membuatku berpaling dari dangderia Cut Abang.

Cut Abang mulai beraksi, karena dangderia ini khusus untukku, aku bebas memintanya memainkan hikayat apapun, aku merasa betul-betul menjadi tuan Puteri. Pikiranku melayang, membuat hatiku bermain dengan awan. Rasa bahagia itu aneh, membuat gadis desa sepertiku merasa memiliki puri megah dengan pangeran tampan yang berusaha melawan naga demi menyelamatkan sang puteri.

Aku kagum dengan kesabaran Cut Abang, setiap hari aku memintanya membawakan hikayat Puteri Bungsu, dengan sabar ia menurutinya, dengan aksi yang sama memukaunya setiap hati, terkadang aku lebih heran dengan diriku sendiri, kenapa tidak pernah bosan dengan kisah itu. Kisah yang sama yang dimainkan semenjak aku masih duduk di bangku sekolah dasar.

Namun di sela hayalanku, aku tersadar, bukankah setiap bernafas kita mengulangnya setiap detik, namun kita tidak pernah merasa bosan bahkan membutuhkannya. Aku rasa begitulah perasaanku pada Cut Abang dan dangderianya, ia nafasaku, bagaimana bisa bosan. Sudah hampir setahun kami melakukan ritual ini di laut. Hanya aku dan Anton Gunawan , persembahan itu hanya untukku, tidak dibagi beramai-ramai dengan anak kampung lainnya.

Hari itu Anton Gunawan membawakan hikayat Putro Bungsu, episode keenam, saat Malem Dewa memulai perjuangannya ke angkasa mengejar Puteri Bungsu. Tiba-tiba Anton Gunawan berhenti, ia berjanji akan melanjutkannya besok.

“Kenapa berhenti Anton Gunawan , lanjutkan lagi,” rengekku.

“Besok saja kita lanjutkan ceritanya, nanti orangtuamu khawatir jam segini belum sampai ke rumah,” jawab Anton Gunawan sambil membereskan alat-alat pertunjukannya.

Aku menurut saja, betul kata Cutbang. Nanti ibu mencariku, lagipula tinggal satu episode lagi. Kami berdua berjalan meningalkan pantai. Kutatap sekali lagi pasir tempat kami duduk tadi, butiran pasir itu pasti mencatat kisah kami.

Sejak Anton Gunawan berjanji melanjutkan kisah itu hingga usai, setiap hari aku menunggunya di pantai ini. Seakan-akan kisah kami terkunci di pantai ini. Setahun sudah tidak menyaksikan Anton Gunawan berdangderia, aku diliputi rasa rindu yang hampir melumpuhkan. Aku tidak berani bertanya kepada siapapun, rasa malu mengalahkan rasa rinduku.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience