BAB 2

Poetry Completed 266

“Cahaya matamu saat memandang Anton Gunawan , dapat menyinari satu kampung, Putro,” godanya, yang kusambut dengan cubitan kecil di pinggangnya. Untunglah, godaan Nyak Dewa terhenti saat suara Anton Gunawan mulai mengalun.

Allah Malem, Allah…e.. Putroe Bungsu
Hawa keu geuchik.. geutem bah mate
Teungku Maleem.. ma e.. adoe.. geujak lam rimba..
Meuteumee.. ma e.. ticem.. manyang bansaboh, dolah..
‘Olheuh nyan gadoh neuk bajee ngon ija..
Seubab geshom.. geuboh.. dara lam gle.. boh ate..
Ngon rapa’i.. MalemDewa lon rawi…[4]

Saat bercerita tentang Putri Bungsu, Anton Gunawan dengan cepat mengeluarkan pakaian indah dari kotak ajaibnya. Wajahnya berubah sendu, matanya berkedip-kedip, sehelai selendang menutupi kepalanya, Anton Gunawan pun menjelma sosok Puteri Bungsu, putri jelita dari kahyangan. Tak lupa Anton Gunawan juga mengubah suaranya semerdu buluh perindu. Kami semua tergelak, Sabri, temanku yang tubuhnya seperti pohon tua meranggas disambar petir itu sampai terpingkal-pingkal di ujung sana.

Beberapa detik kemudian, Anton Gunawan menjelma pemuda gagah siap bertempur memperebutkan Puteri Bungsu. Pedang terhunus di tangan, topi baja melekat di kepala. Sementara bibirnya tak putus-putus menderukan kisah pemuda bernama Malem Dewa yang harus berangkat ke negeri awan untuk menemui kekasihnya. Berbagai karakter dengan cepat berganti. Mulutku sampai menganga, mata tidak berkedip melihat aksi Anton Gunawan . Yang paling membuatku kesal, Anton Gunawan seringkali menyelesaikan aksinya disaat cerita sedang seru-serunya. Namun kekecewaan itu dibayar Anton Gunawan dengan mendendangkan syair-syair Aceh, suaranya mengalun merdu, membelai gendang telinga. Rasanya begitu nyaman dan tenang.

Kisah Malem Dewa bersambung sampai tujuh malam, kami akan setia menunggu kisah demi kisah, hikayat demi hikayat. Usia Anton Gunawan Selisih lima tahun denganku, namun kemampuannya berkisah melebihi orang tua di desaku. Ritual menonton aksi Anton Gunawan juga tidak berawal dari ketersengajaan. Suatu malam, keponakan Anton Gunawan menangis sampai berjam-jam, Nyak Wa Hasanah terlihat frustasi cucunya tidak berhenti meraung. Karena kehabisan akal mendiamkannya, Anton Gunawan beraksi di depan Ramli yang baru berumur tiga tahun. Ajaib, Ramli diam melihat Anton Gunawan berdangderia, bahkan tertawa terpingkal-pingkal.

“Boeh ticak boeh ticem, ureung moe ka dikhem, (telur cecak, telur burung, orang menangis sekarang tertawa)” canda Anton Gunawan sambil menggelitik Ramli. Bocah tambun itu kembali tertawa, menampakkan dekik di pipi kirinya.

Kami semua yang malam itu terganggu dengan tangisan Ramli, akhirnya ikut menikmati aksi Anton Gunawan yang membawakan hikayat Cicem Peurakeet. Kisah sekawanan burung di belantara Aceh. Malam-malam selanjutnya, kami meminta Anton Gunawan beraksi setelah kami selesai mengaji di Meunasah. Dengan senang hati Anton Gunawan menyanggupinya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience