CHAPTER 3: CINTA MEREKAH DI PENGHUJUNG LARA

Romance Completed 8452

Cafe Pelangi terletak persis di seberang jalan dari sekolahku. Cafe mungil itu merupakan tempat favorit yang kusinggahi bersama Janna. Tempatnya asri. Ada musik lembut dari tiupan saksofon Kenny G., yang kadang-kadang diselingi hentakan cadas kelompok band Linkin Park. Aku sengaja memilih tempat di sudut cafe. Hanya ada seorang pengunjung yang terlihat santai menikmati jus apel dan sebatang rokok. Lelaki separo baya itu terlihat santai dengan dunianya. Sesekali menyedot sigaret di bibirnya lalu asapnya dihembuskan ke langit-langit cafe. Asap rokok itu melayang-layang sejenak lalu melesat dan lenyap lewat jendela cafe.

"Kamu mau pesan apa, Kristal?" Aku mulai membuka-buka daftar menu yang tergeletak di atas meja.

"Kamu masih memanggilku Kristal, Re?" Aku tersenyum.

"Aku akan terus memanggilmu, Kristal," sahutku. Menelusuri wajah aristokrat yang telah berbulan-bulan tidak pernah lagi kutatap.

"Oya, mau pesan apa?"

"Aku tidak pesan apa-apa, Re," sahut Janna.

"Teh botol, ya?" tawarku.

"Terserah kamu saja."

Aku memesan dua teh botol dan dua bungkus kentang goreng.

"Sekarang kamu ingin membicarakan apa?" Aku memulai pembicaraan serius usai menyerahkan pesanan kepada pelayan.

Janna menatapku sejenak. Gadis itu masih terlihat ragu-ragu untuk mengungkapkan masalahnya.

"Soal Bian, Re." Akhirnya bibir sensual itu terbuka dengan berat.

"Bian?"

Janna mengangguk.

Teh botol dan kentang goreng pesanan tiba di meja kami.

"Ada apa dengan Bian?" tanyaku serius.

Janna menatapku dengan wajah murung.

"Dia selingkuh, Re." Bibir sensualnya bergetar. Dua butir bening menggelinding dari matanya. Merembes lamat di kedua pipinya yang putih.

Sesuatu mengiris ulu hatiku!

Aku mengambil tisyu dan mengeringkan cairan bening itu dari pipinya.

"Aku sedih mendengarnya. Kamu tahu, Kristal. Aku kadang sering berdoa agar hubungan kamu dengan Bian abadi," kalimatku mengambang. Aku menjangkau teh botol dan membasahi kerongkonganku dengan cairan manis itu.

Janna menatapku tak berkedip. "Aku sendiri tidak tahu, Re. Kenapa Bian tega melakukan itu."

Ada isak tangis di sela-sela kalimat Janna.

"Kamu yakin Bian mengkhianati kamu?"

"Aku memergoki sendiri, Bian berjalan dengan mesra dengan seorang cewek."

"Mungkin itu saudaranya?"

"Bukan, Re. Saat itu juga aku menghampiri Bian. Dan Bian mengatakan kalau sebenarnya dia tidak mencintai aku!" Aku tersedak.

"Begitu?!"

"Ya, Re. Menyakitkan. Aku seperti sampah tak berguna di depan cewek Bian yang baru.

Aku malu, Re." Kini aliran sungai dari kelopak mata itu mengalir deras.

"Berarti Bian itu berengsek, Kristal! Dan, aku ingin memberi pelajaran padanya!" Sesuatu meledak di hatiku, memaksaku mengatupkan geraham dan mengepalkan tangan dengan keras. "Ja-jangan, Re!"

"Kristal, aku pernah berjanji, aku tidak ingin siapa pun melukai hatimu!"

"Aku tahu, Re. Tapi bukan itu yang aku inginkan." Janna menghela napas.

Di luar cafe, angin bergerak gemulai. Menggoyang-goyangkan pucuk flamboyan dengan sesekali menerbangkan bunga-bunga dari rantingnya.

"Aku hanya ingin meminta maaf, Re. Selama ini aku telah membuat jarak dengan kamu," ucap Janna lembut. Menatapku untuk beberapa saat dengan mimik bersalah.

"Lupakanlah, Kristal. Aku maklum."

"Kamu masih menganggap aku sahabat, Re?" Janna menatapku dengan sungguhsungguh.

Aku mengangguk. "Kamu masih sahabatku yang terbaik, Kristal."

Sesuatu kembali berkelebat di kelopak mata Janna. Mata bening itu kembali bersinar ceria. Dan aku menikmatinya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience