Rate

BAB 4

Drama Completed 573

Ini tahun kelima Aku menjalani liburan di negeri sendiri setelah separuh hidup Aku dihabiskan di negeri orang. Beruntung ada Laksmi di sisi Aku . Kami menyewa sebuah apartemen dan kami tinggal berdua saja. Kami tidur di bawah selimut yang sama dan ranjang yang sama.

Namun bukan hal itu yang justru membuat kami selama ini bertahan. Kami seharusnya sudah kembali ke negerinya dua tahun lalu jika Benjamin tidak menahan kami, “Agen lapangan baru tengah dilatih dan menemukan masalah langka yang berbahaya,” katanya, tegas seperti biasa. Wataknya sebagai mantan jenderal terasa kentara jika situasi menjadi sedemikian genting. Kami pun patuh dan tetap memantau perkembangan dengan saksama.

Yang Aku tahu, keadaan memang berubah drastis di negeri Laksmi. Setahun belakangan, negeri itu dalam keadaan serba gawat. Aliran listrik beberapa kali diputus pemerintah. Bank-bank di negara itu tiba-tiba kolaps. Para taipan dan pengusaha memindahkan tabungannya ke rekening bank lain di luar negeri. Juga, tak hanya uang yang berpindah rekening bank, melainkan hampir sejuta penduduknya pun diberitakan menyebrang ke negara tetangga.

Kabar yang kami dapat dari Mat (yang merasa jengah dengan program barunya itu dan memilih dipindahtugaskan ke negeri Gajah Putih), bahwa api konflik berasal dari sebuah pidato. Orang yang memberi pidato itu telah lama dijadikan sasaran, “Dan tak sedikit yang menanti lidah orang itu keseleo,” kata Mat. Mendadak, Aku jadi teringat Debora yang telah mengabarkan potensi khaos, jauh hari saat Aku masih jadi peneliti. Debora mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh dari komplotan yang tengah berkuasa di sana, dan ia ikut Mat angkat kaki.

Berita belum selesai. Yang mengejutkan justru datang dari keluarga Laksmi.

Meski Laksmi, sejauh yang Aku kenal selama ini, merupakan sosok tangguh dan cerdas, derai air mata tetap membekas di pipinya setelah ia menerima telepon dari nun di sana: rumah ibu dan ayahnya habis dibakar orang. Laksmi sudah menduga hal itu akan terjadi. Kedua orang tuanya memang sosok yang keras kepala. Para tetanggalah yang menolong mereka, dan mencegah massa –yang entah berasal dari daerah mana—bertindak lebih brutal terhadap dua orang yang mereka tuduh sebagai “kafir” di rumah tersebut. Laksmi belum menadapatkan kabar pasti ke mana ibu dan ayahnya akan mengungsikan diri.

Diam-diam Aku mengontak Benjamin tak lama selepas Aku menenangkan nyonyaku yang gerak-geriknya seperti orang kebakaran janggut.

“Ayolah, di sini jam dua subuh, tauk!” jawab Benjamin di telepon.

“Ah, maaf, maaf. Tapi ini hal genting yang harus Aku sampaikan.”

“Keaadan memang sedang genting. Apa yang bisa kubantu malam-malam begini?”

“Ini tentang Laksmi. Bisakah Aku mendapatkan kontak salah seorang agen di lapangan?”

“Aku agen lapangannya. Memangnya, ada apa dengan nyonyamu? Bukankah sudah kami beri tahu agar seluruh sanak keluarganya angkat kaki untuk sementara dari sini?”

“Anda sedang berada di lapangan?”

“Tentu saja! Aku kok jadi menyesal telah mengirim kamu liburan. Tapi pun, Aku menyesal belum dapat mengembalikanmu ke gelanggang. Jadi, ada apa dengan Laksmi? Ayo, lekas.”

“Orang tuanya masih berada di sana.”

“Baiklah. Esok kami atasi. Kami kabari perkembangannya. Sekarang Aku mau tidur.”

Dua belas jam kemudian, seluler Aku dikirimi sebuah foto. Dua orang renta mengenakan pakaian yang lusuh; kedua mata mereka sipit, kulit mereka putih langsat. Di samping kedua orang tua itu, yang merupakan orang tua Laksmi, berdiri gagah sosok Benjamin . Ia memakai janggut putih dan baju gamis panjang, lengkap dengan kopiah haji di kepalanya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience