Rate

BAB 3

Drama Completed 573

Berkat bantuan dari kolega yang telah lebih dulu berada di lapangan, Aku tak menemukan kesulitan bererti. Ternyata mereka pun (Aku hanya ingat Mat dari Australia dan Debora si jurnalis kawakan dari Amerika) sama-sama menjalin kerja-sama dengan lembaga Benjamin . Aku seolah mendapatkan keluarga di tempat yang jaraknya ribuan mil dari rumah.

Kami pun menjalin kontak dengan beberapa penguasa. Dan, yang tak kami duga-duga, mereka ternyata seratus kali lebih cerdik dan licin. Adakalanya kami harus menjaga jarak dengan para pentolannya. Aku mewanti-wanti pada diri Aku sendiri bahwa ini bukanlah proyek Timur Tengah, meski berdasar informasi dari Debora, karakter sebagian penduduknya memang tak segan-segan untuk menjadikan tanah airnya sendiri sebagai gurun pasir. Dua kata yang disebut terakhir, Debora ucapkan dengan agak perlahan, sambil menirukan gaya tanda kutip.

Masa kerja pertama kami berakhir dengan ditandai beralihnya tampuk kekuasaan tak lama setelah tumpah-ruahnya mahasiswa ke jalanan Ibu Kota. Aku bersulang bersama Mat dan Debora. Gelas dan botol wine itu berdenting sampai pagi, saling berpagut dengan mulut yang terus melebarkan senyum. Sampai akhirnya Mat dan Debora masuk kamar dan terdengar lenguhan panjang dan derit kasur. Sementara Aku cuman duduk menghadap tembok dengan menggigit bibir bagian bawah, sampai kuning sinar matahari menembus korden.

Di saat momen yang seharusnya membahagiakan itu, mendadak Aku jadi merasa kesepian. Aku menghubungi Benjamin . Namun, belum sempat Aku ungkapkan perasaan Aku , Benjamin menyela ucapan Aku dan meminta untuk menghubunginya semula dua jam kemudia, “Kamu tahu ini penting sekali dan menyangkut nasib kita bersama, ok?”

Aku menyalahkan diri Aku sendiri saat itu sebab Benjamin , rupanya, tengah memikirkan nasib kami, meski suasana di tempat kami bermukim saat itu bisa dikata mulai kondusif. Peralihan kekuasaan yang sedang terjadi bukan bererti mereka yang menang itu mendapati apa yang mereka dambakan. Jika saja hal itu terjadi, kami harus segera memberi salam perpisahan bagi negeri tropis kesukaan kami ini, mungkin untuk selamanya.

Tak lama, Aku pun mendapati kabar baik dari Benjamin . Setidaknya untuk beberapa waktu, Benjamin hendak memberi Aku seorang pembantu. Secara rasmi Aku naik jabatan menjadi pengurus projek, lengkap dengan seorang pembantu dan rumusan agenda dari Benjamin yang sedang dalam perjalanan untuk kami pelajari dan kami kerjakan di kemudian hari.

Aku bekerja cukup erat dengan asisten Aku . Ia perempuan lajang dan itu, katanya, adalah hal yang tak lazim di negara yang memandang perempuan harus sudah berumah tangga sebelum umurnya menginjak kepala tiga. Sejauh ini tampaknya ia tak merasa risih menyoal konvensi yang kuat mengakar di masyarakatnya itu. Bahkan, Aku anggap ia perempuan yang cerdas dengan pikiran terbuka.

Namanya Laksmi, sebelum menjadi asisten Aku , Laksmi adalah seorang penulis yang aktif di sebuah kantung budaya yang mempunyai jaringan yang telah lama mapan. Beberapa budayawan di lembaga itu sempat menjalin kontak dengan Benjamin dan Debora. Aku tak tahu persis proyek apa yang mereka jalani waktu itu. Aku baru tahu dari Laksmi, kurang-lebih, tak jauh berbeda dengan apa yang kami lakukan. Semacam lembaga think-tank yang mendapat arahan langsung dari Benjamin .

Tiba-tiba Aku jadi takjub sendiri. Benjamin mempunyai orang-orang yang tangguh, baik di lapangan maupun di balik layar. Dan selama Aku mengenal orang-orang seperti Debora, Mat, dan Laksmi, tak pernah sekali pun Aku mendengar kabar sumir mengenai Benjamin . Orang tua yang rambutnya putih semua itu tak menampakkan celah sedikitpun. Ingatan Aku tentang pertemuan di sebuah simposium di Melbourne bertahun-tahun lalu semakin menjelaskan bahwa gurat kasar di pipinya, gaya bicaranya yang diplomatik, serta sorot matanya yang alim itu, adalah aset bangsa kami yang berharga dan tak bisa ditukar oleh apapun.

Masa penantian (Mat mengatakan bahwa penantian program anyar ertinya liburan yang cukup) Aku dan Laksmi berpetualang, seperti turis mancanegara lainnya. Meski Aku sudah mengunjungi tempat-tempat yang bisa jadi belum dikunjungi para turis bule, Aku masih takjub akan kekayaan budaya yang dimiliki negara ini. Tak heran beragam proyek keluar dan masuk, beragam program yang berhasil bekerja pun sebanyak program yang gagal, di negeri yang perlahan membuat Aku betah ini.

Karena sudah mempunyai pengalaman yang serba mendadak dengan Benjamin , belum sempat Aku menerima rumusan program darinya, Benjamin mengontak Aku . Ia memberi Aku pilihan apakah meneruskan sekolah di Australia, atau kembali ke rumah Aku , Amerika, dan meneruskannya di sana.

“Benjamin , tolong katakan pada Aku , apakah anda sedang mendepak agen anda?” kata Aku di telepon.

“Ha ha ha… Ayolah, tak ada secuil pun niat kami mendepakmu. Ini proyek besar, rupanya terdapat perubahan pada anggaran dasar.”

“Dan itu ertinya?”

“Ertinya, selama perubahan-perubahan itu belum kami rampungkan, kamu kami beri jatah liburan dengan bonus gelar doktoral. Bukankah itu mengasyikkan? Lagi pula, untuk sementara, Debora dan Mat bisa mengatasi situasi. Kamu pun masih bisa berkoordinasi dengan Nyonyamu itu. Ah, atau, jangan-jangan, kamu ingin Laksmi turut serta? Ha ha ha… Baiklah, itu bisa kami atur!”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience