Mini Series Veranda (4)

Drama Completed 510

‘Besok, ada yang pengen Aku omongin.’

Satu kalimat darinya, satu pernyataannya itu, sukses membuatku resah, gelisah, tidak bisa tidur seperti sekarang ini. Hanya merebahkan diri di atas kasur, berusaha mencari posisi yang pas agar Aku dapat terlelap sepenuhnya, tapi percuma saja. Perasaan ini, perasaan yang hampir sama seperti saat Aku menunggunya waktu itu benar-benar membuatku tidak bisa terjun ke dunia mimpi. Ketakutan akan kehilangannya, ketakutan akan perpisahan, dan rasa penasaran. Argh! Ayolah!

Kenapa harus besok? Kenapa tidak tadi saja? Dua pertanyaan yang kuajukan saat mendengar pernyataannya itu tidak ia jawab. Senyum tipis misteriusnya seolah mewakili jawaban yang Aku harapkan. Tapi yang namanya misterius, tetap saja misterius. Aku tidak tahu apa-apa dan itu membuatku kembali hampir gila seperti ini. Ck!

Lagi, Aku memejamkan mataku. Menutupnya rapat sambil berusaha menenangkan pikiranku agar tidak terlalu khawatir karena sesuatu dalam lubuk hatiku berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aal iz well. Apa yang membuat sesuatu itu berkata bahwa semua akan baik-baik saja? Akupun tidak tahu. Dalam pejamku, Aku berharap bahwa esok hari, semuanya memang akan baik-baik saja.

Akhirnya, setelah sebelumnya Aku membaca salah satu buku mata kuliah untuk membantuku tertidur, Akupun terlelap hingga tiba-tiba Aku terbangun. Tanpa bantuan alarm, ataupun tanpa ada seseorang yang membangunkanku. Aneh. Baru kali ini Aku terbangun seperti ini. Kulirik jam yang menggantung di dinding kamarku. Masih 3 jam lagi menuju waktu yang dijanjikan olehnya. Kemarin malam, ia juga bilang bahwa ia akan menjemputku jam 9 pagi. Haah… 3 jam lagi. Apa yang sebaiknya kulakukan sambil menunggu jarum jam menunjukkan angka 9? Tidur lagi? Tidak. Bukan tidak mau, tapi Aku tidak bisa kembali terlelap.

Yah, lebih baik Aku lari pagi daripada harus berdiam diri di kamar. Lagipula, sudah lama juga Aku tidak lari pagi. Padahal, kediamanku ini tidak terlalu jauh dari lapangan tempat di mana banyak orang melakukan aktivitas menyehatkan di pagi hari. Setelah selesai menyiapkan diri, langsung Aku meluncur ke lapangan.

Belum ada 5 putaran Aku berlari, seseorang, dari arah berlawanan, berlari ke arahku. Dengan hoodie abu-abu yang menutupi kepalanya, membuatku tidak dapat mengenali siapa dia. Tapi satu hal yang jelas adalah, dia perempuan, dan menyeramkan karena tepat saat jaraknya sudah dekat denganku, ia melompat, melayangkan tendangannya ke arahku.

?

Untungnya Aku masih dapat menghindari tendangan tersebut meski mungkin, mungkin itu adalah candaan

“Bonjour, Monsieur.” Sapanya sambil terkekeh.

“Bonjour, Mademoiselle” Sahutku sekilas.

Aku melanjutkan lari pagiku, meninggalkannya di belakang hingga Aku dikejutkan olehnya yang kemudian ikut berlari di sampingku.

“Sering lari pagi di sini?” tanyanya.

“Jarang sih.”

“Ooh…”

Tidak ada lagi percakapan lanjutan antara Aku dan Melody karena memang kami kelelahan kalau harus berbincang sambil lari hingga akhirnya, Aku tidak melihatnya lagi di sampingku, ataupun di track lari. Sepertinya dia sedang beristirahat.

Setelah 15 putaran, Aku menyudahi lari pagiku. Aku berjalan santai di tepian track lari untuk menenangkan denyut jantungku, juga mengatur nafasku, dan kembali, kehadiran Melody yang tiba-tiba ikut berjalan di sampingku membuatku terkejut.

“Ngikutin mulu.” Candaku.

“Yeh, geer. Cuman jalan-jalan doang, kok!”

“Hmm.”

“Kuat banget kamu tadi lari bisa dapet 11 puteran.”

11? Lebih tepatnya 15, tapi mungkin, ia tidak menghitung putaranku sebelumnya. Eh, tunggu.

“Kamu ngitung?”

“Hm.”

“Gak ada kerjaan banget. Haha.”

“Ya sambil istirahat juga sih.”

“Ooh. Kali ini, ada perlu apa?” tanyaku curiga.

“Apaan?”

“Mau nanya-nanya tentang Ve?”

“Hah?! Enggak lah!”

“Oh?! Tumben. Biasanya kalo ngedeketin Aku itu pengen tau tentang Ve gimana.”

“Ih! Gitu banget sih mikirnya!” sahutnya ketus.

“Makannya Aku bilang tumben.”

“Enggak lah. Itu kan urusan pribadi dia, jadi Aku gak punya hak buat ikut campur.”

“Lah, yang kemarin-kemarin?”

“Ya… itu… yang lalu biarlah berlalu.” Jawabnya malu-malu.

?

Untuk sesaat, ketika Aku melihat ekspresi dan senyumnya yang malu-malu, Aku benar-benar terpesona. Baru kusadari wajahnya yang bahkan, mungkin ini terdengar berlebihan tapi memang seperti itulah menurutku, lebih cerah dari mentari pagi yang sedang menyinari kami berdua, karena sedari tadi, kepalanya tersembunyi di balik hoodie miliknya.

Ketika Aku kembali dapat menguasai diri, Aku mengarahkan langkah kakiku menuju tepian lapang untuk duduk di atas rumput hijau keperakan akibat cahaya matahari yang dibias embun pagi. Melody masih saja mengikutiku dan itu membuatku sedikit…

“Kenapa gak balik ke Bandung?” tanyaku basa-basi.

“Soalnya besok ada event, jadi yah, nanggung.”

“Hmm… tempat tinggal kamu deket-deket sini?”

“Kenapa emang? Mau nge-zombie?”

“Iya.”

“Haduh… gimana ya…” ucapnya menggoda.

“Ck. Tapi, Mel. Aku lebih suka kamu kayak gini daripada kayak kemarin-kemarin. Judes, galak, nyeremin.”

Tidak ada respon darinya. Tidak masalah sih, karena Aku bukan sedang memintanya untuk menjadi kekasihku atau apa, Aku hanya mengutarakan perasaanku saat itu karena memang, Melody saat ini, benar-benar bertolak belakang dengan Melody yang sebelum-sebelumnya, dan itu membuatku curiga kalau-kalau ada sesuatu yang sedang ia rencanakan. Tidak sopan memang pikiranku itu, tapi beginilah Aku. Selalu curiga dan waspada, terhadap siapapun, kecuali Ibuku. Dan perubahannya yang tiba-tiba itu, patut mendapatkan perhatian khusus dariku.

Saat kami berdua saling diam, kulirik jam di handphone-ku yang ternyata telah menunjukkan pukul 8 lewat. Cepat-cepat Aku berdiri meninggalkan tempat lari pagi ini.

“Eh, tunggu!” serunya.

“Kenapa? Mau ngikutin lagi?”

“Ih! Aku cuman pengen tau nama kamu.”

“Namaku …”

Hampir saja Aku menyebutkan namaku. Ya ampun, kenapa Aku ini?!

“Rahasia.” Candaku.

“Seriusan!” sahutnya.

Aku menghampirinya, lalu membisikkan sesuatu tepat di telinganya yang masih hangat akibat keringatnya. Dengan pelan, kukatakan padanya,

“Gak banyak yang tau nama Aku. Veranda juga gak tau, dan kamu bukan pengecualian buat tau nama Aku.”

Setelah membisikkan hal itu, Aku menarik diri. Menatap wajahnya yang sedikit ditekuk cemberut, kemudian Aku berbalik berjalan menuju tempat tinggalku. Tentu saja Aku tidak memberitahu siapa namaku. Dia bukan sahabatku, bukan keluargaku, juga bukan seseorang yang dekat denganku, yang pantas untuk mengetahui namaku. Angkuh memang kedengarannya, tapi beginilah adanya. Dan seperti yang sudah kutulis sebelumnya, Aku selalu curiga pada setiap orang. Waspada.

Masih ada setengah jam lagi menuju jam 9. Kusempatkan diriku sarapan ala kadarnya. Makanan yang ada di dalam kulkas, kusantap hanya untuk sekedar mengganjal perutku. Selesai urusan perut, Aku langsung mandi. Mempersiapkan diri untuk menyambut seorang Veranda. Tentu Aku tidak mau bau keringat tercium olehnya ketika ia datang.

Sedikit lama Aku membersihkan badan, dan itu adalah hal yang biasa. Namun, apa yang tidak biasa adalah, ketika Aku selesai mandi, Aku mendapati Veranda tengah duduk manis di ruang tengah yang letaknya berseberangan dengan kamar mandi.

Ia terkejut ketika melihatku keluar dari kamar mandi yang hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangku.

?

“Ve!” seruku terkejut.

Aku langsung berlari menuju kamarku sementara Ve tertawa geli. Ya ampun! Bagaimana bisa dia masuk?! Aku kan sudah mengunci--- ah! Resepsionis! Ck! Bukan salahnya juga sih mengingat Aku telah memberinya ijin untuk keluar masuk sesuka hatinya dari tempat tinggalku ini.

Cepat-cepat Aku mengenakan pakaian, kemudian sedikit parfum. Setelah kurasa cukup rapi, Aku melangkah ke ruang tengah sambil berusaha menyembunyikan rasa malu tadi. Di ruang tengah, Veranda menyambutku dengan tawanya yang masih tersisa.

?

“Malah ketawa.” Sahutku.

“Abisnya, Kakak sih. Hahaha.”

“Lah, kok Kakak sih? Kamu tuh yang datang gak bilang-bilang.”

“Kan tadinya mau bikin kejutan, Kak.”

“Dan kejutannya berhasil.” Lanjutku.

“Banget. Hahaha.”

Setelah berbincang sebentar, basa-basi-busuk, Aku langsung menanyakan padanya apa yang waktu itu ingin ia bicarakan.

“Jadi, hari ini mau ngomong apa?” tanyaku.

“Ah, bukan ngomong sih, Kak. Lebih tepatnya, ngajak Kakak ke suatu tempat.”

“Ooh…”

“Oh doang, Kak?” tanyanya kesal.

“Lah, emang harusnya apa?”

“Kakak gak penasaran sama tempatnya?”

“Penasaran sih.”

“Terus, kenapa gak nanya?”

“Percuma nanya juga, paling gak dikasih tau sama kamu.”

“Hehe. Iya sih. Yuk!” ajaknya langsung menggaet lenganku. Memaksaku untuk ikut berdiri.

Setelah mengunci pintu, kami langsung menuju tempat di mana Ve memarkirkan mobilnya. Tadinya Aku menawarkan untuk pergi ke tempat tujuannya menggunakan mobilku saja, tapi Ve berkeras untuk menggunakan mobilnya dan supaya dia yang mengemudi. Yah, sudahlah. Lagipula, hanya Ve yang tahu kemana kami akan pergi.

Selama langkah kaki menuntun kami ke tempat parkir, Veranda tidak sedikitpun melepaskan genggaman tangannya. Aku sempat merasa was-was kalau-kalau ada fans yang melihat.

“Masih sepi, Kak.” ucapnya seolah ia membaca pikiranku.

“Hm. Sepi. Enak ya.”

“Iya. Coba bisa kayak gini terus.” Sambungnya menambah erat genggaman tangannya.

Akupun berharap begitu, Ve. Akupun berharap begitu.

Sepanjang perjalanan, sementara Ve mengendarai mobil, Aku duduk di sampingnya sambil berusaha membuat suasana lebih hidup, lebih terasa menyenangkan karena macetnya Jakarta beberapa kali membuat Ve terlihat kesal. Memang, seharusnya, sebagai seorang gentleman, Aku yang mengemudi, bukannya Ve. Tapi sebagaimanapun Aku berusaha, Ve tetap pada keinginannya untuk mengemudi. Yah, sebagai seorang penumpang sekaligus pendamping, Aku harus bisa membuat kondisi hati si pengemudi tetap bahagia.

Aku mengajaknya ngobrol-ngobrol yang sesekali, Aku menyisipkan pertanyaan tidak langsung mengenai ke mana kami akan pergi. Dan, dari beberapa pertanyaanku yang ia jawab, Aku membuat kesimpulan sementara yang bahkan Aku sendiri tidak percaya. Haha. Masa iya sih kalau… ah, semoga saja.

“Bentar lagi nyampe nih.” Ucap Ve.

Otomatis Aku langsung melihat ke pinggiran jalan yang memang, kalau boleh Aku bilang, sama seperti di kota asalku. Tepian jalan ditumbuhi pohon-pohon yang rindang sehingga membuat jalanan teduh. Aku tidak tahu ini daerah mana karena Ve tidak mau menjawab ketika Aku menanyakannya.

Ve menurunkan kecepatan laju mobilnya hingga akhirnya, kami berbelok ke kiri yang langsung disambut oleh pintu gerbang yang menjulang sangat tinggi, terbuat dari kayu yang diperkuat oleh besi hitam di sela-selanya.

“Ini tempat apaan?” tanyaku.

“Ini tempat Aku, sama member tim J yang lain istirahat, nongkrong-nongkrong, santai-santai. Udah kayak rumah ketiga deh.”

“Cuman tim J doang?”

“Hm. Gak ada yang tau tempat ini selain tim J, sama manajer yang terpilih.”

“Yang terpilih?”

“Yang bisa jaga rahasia.”

“Hoo… terus, siapa aja yang udah nunggu kita di dalem?”

Sekilas, Ve menangkat kedua alisnya ketika mendengar pertanyaanku.

?

Tapi kemudian dengan tenang sambil sedikit diselingi nada canda, ia menjawab,

“Semua member tim J kayaknya.”

Sepertinya, ia sudah mulai terbiasa menerima kejutan analisa-analisaku yang ternyata terbukti benar! Aku akan diperkenalkan kepada member tim J. Ya ampun, senangnya. Hehe.

Setelah seorang satpam membukakan pintu gerbang itu untuk kami, Ve memarkirkan mobilnya di dalam. Di sebuah pelataran yang sudah berjejer 3 mobil lain yang berlindung di bawah teduhnya pohon-pohon yang tumbuh di sekitar pelataran tersebut.

Keluar dari mobil setelah selesai diparkir, Aku terpukau oleh betapa luasnya halaman di sini. Aku masih belum tahu tempat apa ini, tapi yang kuketahui adalah, selain luasnya halaman juga banyaknya pohon yang tumbuh, membuat kesan Jakarta kota yang panas, hilang seketika itu juga.

“Terus, kita ke mana, Ve?” tanyaku yang memang, sejauh mata memandang, tidak mendapati bangunan yang mungkin nanti disebut sebagai rumah.

“Kesana, yuk!” sahutnya sambil kembali menggandeng lenganku.

Kali ini, Aku tidak lagi khawatr akan fans karena Aku yakin, di sini tidak ada mereka, satu orangpun tidak ada. Maka dari itu, kulepaskan lengan Ve yang mengait lenganku.

“Kenapa? Gak ada fans, k---“

Kutarik tubunya lebih dekat padaku. Kurangkul pinggangnya. Ia sempat terkejut ketika kurangkul.

“Kakak tau. Makanya, mumpung gak ada fans, begini lebih enakan.”

Ia tersenyum. Ekspresi terkejutnya berubah menjadi lengkung senyuman manis yang menghiasi wajahnya.

?

Kami kembali berjalan menuju arah yang ditunjukkan Ve. Ditemani semilir angin, daun yang berguguran, perjalanan kami benar-benar terasa romantis mengingat suasananya begitu sepi, tenang, dan damai. Ditambah lagi dengan senyum Ve yang tidak memudar, semuanya begitu sempurna kalau saat itu, kami sedang berkencan.

Hingga ketika langkah kami sepertinya sudah dekat dengan bangunan utama, sayup-sayup Aku mendengar suara-suara mereka, member tim J. Tidak begitu jelas memang, namun Aku masih dapat menangkap teriakan mereka, tawa mereka, juga nyanyian aneh mereka.

“Rame, ya.” ucapku.

“Hm. Biasa emang gini kalo lagi libur.”

Kembali, kami tidak lagi berbincang. Hanya menikmati suasana yang ketenangannya sudah mulai tercemar.

Akhirnya, setelah kami melangkahkan kaki cukup lama, Aku dapat melihat bangunan utama melalui sela-sela pohon. Dengan tembok bermotif batu bata, atap dengan genteng sederhana, juga lampu lilin yang menempel tepat di samping pintu masuk, bangunan tersebut terlihat seperti rumah-rumah yang ada di cerita-cerita jaman dulu. Klasik.

“Sebentar ya, Kak.” ucapnya ketika kami berada tepat di depan pintu masuk.

Ia membuka pintunya, kemudian terlebih dahulu dengan pintu yang sengaja dibuka setengahnya.

“Nah, ini dia Kak Ve! Kemana aja Kak?!” seru salah seorang perempuan di dalam sana. Jika mendengar dari suaranya, itu adalah si cerewet, Nabilah.

“Katanya mau bawa cowok?” seru yang lain. Sepertinya itu Kinal.

Ada lagi suara-suara lain yang cukup nyaring dan Aku mengenali si empunya suara seperti Jeje, Dhike, Shania, dan yang lainnya. Wah, sepertinya memang semua member tim J sedang berkumpul di sini. Namun tiba-tiba, suasana menjadi hening. Tidak ada seruan, teriakan, atau apapun itu yang sebelumnya kudengar. Kenapa? Ada apa?

Belum selesai kebingunganku itu, Ve keluar menghampiri.

“Yuk masuk.” Ajaknya menarik lenganku.

“Kok jadi sepi?”

“Gak tau Aku juga. Nah, semuanya, kenalin, ini… Kakak Aku.” Ucapnya.

Aku langsung memalingkan wajahku ke arah Ve memandang. Dan di sana, di ruang tengah yang memang sangat luas itu, mereka berjejer rapi. Dimulai dari Ayana, Beby, hingga Tacil, member tim J hampir semuanya ada. Ya, hampir, karena sang Ibu Negara, Melody, tidak hadir di tengah-tengah mereka.

Berhadapan dengan mereka semua seperti ini, dan dalam jarak yang cukup dekat, benar-benar membuatku gugup. Jujur. Padahal, Aku ini jarang sekali gugup dan sulit gugup. Tapi entah kenapa, begitu dihadapkan dengan satu tim ini, Aku merasakan hal itu.

“Ah, kamu kan…!” seru Kinal yang langsung melangkah mendekatiku.

“Iya! Kamu yang waktu itu main gitar di bawah teater, kan?!” lanjutnya lagi.

Main gitar? Berarti dia pernah melihatku bermain gitar. Tapi kapan? Bukankah Aku bermain gitar saat mall sudah tak berpenghuni lagi? Oh! Jangan-jangan…

“?????” sapaku buru-buru.

“A—ah, ?????” balasnya.

“??? ? ? ?????” lanjutnya.

“? ??” jawabku.

“Ini, kalo ada Kak Mel, pasti ngomong gini ‘Kaliian ngomong apa? Saya gak ngerti’. Pasti gitu.” sahut Nabilah.

“Ah, maaf, maaf.” Ucapku buru-buru.

“Kakaknya Kak Ve?” tanya Nabilah menghampiri.

“Ah, emm… ya… semacam itu deh.” Jawabku yang tidak mampu menyembunyikan kegugupanku.

Setelah Nabilah, kemudian Shania menghampiri, menanyakan hal lain, kemudian Rica, hingga semuanya mengerubungiku untuk menanyakan satu pertanyaan yang benar-benar sulit untuk kujawab. Nama. Mereka menanyakan namaku.

“Kalian boleh manggil Aku apa aja, soalnya Aku gak punya nama.” Dalihku.

“Masa sih?” sahut Kinal.

“Beneran.”

“Terus, Ve manggil kamu gimana?” tanya Rica.

“Kakak. Aku manggilnya Kakak.” jawab Ve.

“Ciee, Kakak-adek-an nih!” seru Nabilah.

Ve hanya bisa tersenyum mendengar hal itu.

Setelah ‘sesi perkenalan’ selesai, mereka mengajakku ngobrol lebih jauh lagi. Aku ditarik ke ruangan yang lain. Ruangan yang luas dengan lantai parkit dengan dinding-dindingnya yang ditempeli cermin. Ruangan itu terlihat seperti sanggar senam. Ah! Tempat latihan sepertinya. Di sisi sebelah kanan, berjejer macam-macam alat musik, mulai dari drum, gitar akustik, gitar listrik, bass, saxophone, hampir semua alat musik ada di situ. Dan di dinding sisi kanan itu pulalah terdapat pintu yang sepertinya mengarah ke halaman luar karena jendela yang menggantung di sisi kiri pintu, jendela yang cukup besar, memperlihatkan apa yang ada di balik dinding tersebut.

Setelah mengobrol cukup lama, Aku pamit sebentar hanya untuk mencari udara segar. Kebetulan, di luar sana sedang hujan, jadi Aku bisa menikmati suara hujan sambil melihat guyurannya. Sudah lama juga Aku tidak menikmati hujan. Lagipula, dikelilingi sebegitu banyak perempuan membuatku sedikit risih. Entahlah, tapi itu tidak terlalu membuatku ‘wah’. Padahal, mereka semua adalah idola dari para fans yang terkenal militan itu.

“Gimana, Kak?” tanya Veranda ketika Aku baru saja mengistirahatkan kakiku di kursi yang menghadap ke halaman.

“Gimana apanya?”

“Dikenalin sama mereka. Seneng ga?”

“Biasa aja.” Jawabku mengelak.

“Emm… masa sih?” godanya.

Ia tersenyum padaku. Menunjukkan kedua pipinya yang bulat itu, dan memandangku dengan tatapan menyelidik jahil seolah ia tidak percaya jawabanku.

?

“Ck. Sini duduk. Temenin Kakak.”

“Ah, bentar ya.” sahutnya buru-buru.

Ia kembali masuk ke dalam, namun sebentar kemudian, keluar lagi dengan gitar di tangannya.

“Kalo sambil mainin ini, kayaknya lebih syahdu, deh.”

“Eiy, bahasanya. Haha. Mau lagu apa?”

“Masih inget lagunya Bruno Mars yang It Will Rain?”

“Masih. Mau lagu itu?”

“Hm.” Jawabnya mengangguk.

Setelah mengatur nada dari tiap-tiap senar gitar yang kupegang, kupetik mereka perlahan, dengan tempo yang tepat, juga dengan rangkaian yang sempurna, sebuah alunan musik yang ia pinta terdengar begitu merdu, bahkan dapat bersanding dengan baik bersama suara rintik hujan.

Setelah selesai memainkan lagu itu, tiba-tiba saja satu pernyataan terbersit di pikiranku. Aku rindu hal seperti ini. Bermain gitar sambil ditemani olehnya, baik itu di atas ‘panggung’, maupun di rooftop. Ya, Aku rindu itu semua.

“Aku juga kangen, Kak.” gumam Ve.

Mendengar apa yang digumamkannya, tentu saja membuatku terkejut. Aku langung menoleh ke arahnya. Apa ia benar-benar dapat membaca pikiran? Atau pikiran kami sama?

“Kapan dong bisa kayak gini lagi di rooftop?”

“Kakak bisanya kapan?”

“Lah, lupa ya? Kakak kan biasanya juga di sana tiap malem.”

“Oh iya, ya.”

“Lagu apa lagi nih? Hujannya belum reda juga.”

“Bebas deh, Kak.”

Bebas? Baiklah. Kembali kupetik senar-senar gitar, merajut nada hingga menghasilkan sebuah selimut musik dari Aerosmith yang berjudul I Don’t Wanna Miss A Thing. Kupikir lagu ini cocok untuk menggambarkan apa yang tengah kupikirkan. Juga apa yang tengah dipikirkan Ve.

Selesai memainkan lagu tersebut, yang terdengar kini hanyalah rintik hujan. Sementara kami berdua, diam membisu. Menikmati suasana seperti ini hingga tiba-tiba, Ve menanyakan sesuatu padaku.

“Kak, Kakak nganggep Aku sebagai apa?”

Astaga! Pertanyaan apa ini?! Pertanyaan sulit seperti ini?! Bagaimana Aku harus menjawabnya?!

“Maksudnya?”

“Aku yakin Kakak ngerti maksud pertanyaanku.”

“Hmm… karena kamu manggil Aku Kakak, berarti Aku nganggep kamu sebagai Adik Aku.”

“Adik doang, Kak?”

“Adik, Idol, Oshi, Sahabat.”

“Hmm…” sahutnya datar.

Begitupun dengan ekspresi wajahnya yang datar saat mendengar jawaban dariku. Matanya menatapku dingin. Dengan dagu sedikit terangkat, bibirnya terkatup rapat.

?

Setelah mendapatkan jawaban dariku, ia tidak lagi bicara. Suasanapun berubah menjadi tidak nyaman. Haah… beginilah akibatnya jika berbohong, tidak ada satupun kebaikan jika kita berbohong. Apalagi membohongi perasaan sendiri.

Ya, jawabanku tadi sebenarnya bukan seperti apa yang dirasa oleh persaaanku. Ingin sekali Aku menjawab bahwa dia sudah kuanggap lebih dari sekedar Adikku sendiri meski belum ada pernyataan apa-apa dariku. Tapi golden rules kembali mencegah apa yang ingin diucapkan oleh lubuk hatiku, padahal, Aku yang mengirimi surat padanya mengenai hal tersebut. Bodohnya!

Dalam renunganku, Aku baru sadar bahwa yang kini duduk di sampingku bukan lagi Ve, melainkan sahabatnya, Kinal.

“Lho?!” gumamku terkejut.

“Kenapa, Kak?” tanyanya.

Sambil tersenyum, ia mengedikkan kepalanya. Wajahnya yang cantik, berjarak begitu dekat denganku. Dan itu kembali membuatku gugup.

?

“Umm… Ve mana?”

“Tadi baru masuk, Kak. Mukanya keliatan sedih. Tadi ngomongin apaan emangnya?”

Sedih?! Bodohnya Aku! Benar-benar bodoh!

“Nal, kalian, maksud Aku, member yang lain, ada yang pacaran gak? Atau paling gak deket sama cowok, gitu?”

“Ada, lah. Masa iya gak ada.”

“Ha? Tapi… golden rules?”

“Yang penting gak ketauan, Kak.”

“Nah ini Aku tau, gimana?”

“Gak apa-apa lah. Soalnya Ve pernah bilang kalau Kakak orangnya baik.”

“Oya?”

“Hm.”

Lalu, tiba-tiba saja suatu ide terbersit di pikiranku. Ide untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Ide untuk membuatnya bahagia, mungkin.

“Aku pamit dulu kalo gitu. Makasih ya udah nyambut Aku di sini.” Ucapku lalu pergi ke luar melalui halaman yang terhampar di hadapanku.

“Eh, gak pamit sama Ve?!” tanya Kinal.

“Engga deh. Makasih, ya.”

Berlari menembus hujan, menahan dingin, akhirnya Aku sampai di pos satpam yang berada di depan. Dan tepat saat Aku hendak menanyakan ke mana arah yang tepat menuju daerah tempat tinggalku, sebuah mobil sedan merah membunyikan klaksonnya. Membuat satpam yang kutanyai mengabaikan pertanyaanku untuk membukakan gerbang. Ck!

Sambil berlindung di pos satpam, Aku melihat ke arah pengendara mobil tersebut. Dan tepat seperti dugaanku, mengingat tempat ini hanyalah member tim J yang tahu, dan yang tidak hadir saat Aku diperkenalkan kepada mereka hanyalah Melody, dialah yang mengendarai mobil sedan merah tersebut.

Mobil tersebut berhenti di ambang gerbang. Perlahan, jendela pengendara turun, memperlihatkan ia yang sedang memegang setir dengan sebelah tangannya sementara yang sebelah lagi menurunkan kacamata hitamnya untuk memastikan bahwa yang ia lihat tidaklah salah.

?

“Monsieur?!” sahutnya terkejut.

“Mademoiselle.” Balasku sedikit membungkuk.

“Kok bisa di sini?!”

“Emm… diajak Ve.”

“Terus ngapain di situ? Ve mana?”

“Ve di dalem. Eh, kalo mau ke teater, dari sini ke arah mana?”

“Ngapain juga ke teater? Gak ada show kan sekarang?”

“Euuh… ada urusan bentar.”

“Ooh… dari sini…”

Aku berusaha menangkap apa yang dikatakan Melody karena suaranya sedikit terganggu oleh deru mesin mobilnya, juga rintik hujan.

“Oke. Makasih, ya.” ucapku langsung berlari mengikuti arahannya.

“E—eh! Tunggu!”

“Ya?”

“Kamu gak bawa mobil?”

“Engga. Haha. Dah~”

Aku mempercepat lariku sebelum gerimis ini berubah menjadi badai. Tapi ternyata, tidak lama setelah Aku berlari, sepertinya Ve mengetahui bahwa Aku pulang terlebih dahulu. Buktinya, hujan ini langsung berubah deras menjadi badai dalam sekejap. Haah… terpaksa Aku berteduh di bawah naungan terpal sebuah kedai yang sudah tutup. Kedinginan, sendirian, menyedihkan. Hvft.

Tapi rupanya, pertolongan segera datang dalam bentuk sedan merah. Melody! Ya, dia menghampiriku dengan mobilnya.

“Ngapain di situ? Ayo masuk.”

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Aku langsung melangkah menuju mobilnya. Duduk di sampingnya. Aah… untung saja dia datang. Eh, kenapa dia datang?

“Kamu ngikutin?” tanyanya.

“Abisnya kamu gak bawa mobil, lari-lari ditengah ujan kayak gini.”

“Ciee perhatian ciee.”

“Ssh! Ke teater kan?”

“Hm.”

Sepanjang jalan, ia terus menanyakan ada perlu apa Aku ke teater, maka kuceritakan saja yang sebenarnya, dan itu berhasil membuatnya diam. Tidak lagi menanyakan hal-hal lainnya juga. Sebenarnya, sempat Aku merasakan sesuatu saat ia mendapatkan jawaban dariku, tapi segera kutepis perasaan itu karena kupikir, tidak mungkin bahwa dia…

Jalanan yang macet membuatku khawatir. Akankah waktu yang tersisa untuk mendekorasi rooftop cukup? Semoga saja.

“Thanks ya, Mel.” Ucapku buru-buru.

“Mau dibantuin gak?”

“Kamu udah bantuin Aku, kok. Hehe.”

Cepat-cepat Aku berlari masuk ke dalam mall. Membeli bebarapa perlengkapan yang kuperlukan untuk mendekorasi ulang rooftop. Sudah kuputuskan, Aku harus mengambil resiko tersebut! Sendirian, dengan bermandikan keringat, Aku menghiasi tempat ini. Untung saja hujan sudah reda. Dan nant, tempat ini, rooftop, akan menjadi saksi bisu atas…

Selesai menghias rooftop, giliran diriku sendiri yang kuhias, kubersihkan, kutata rapi untuk menyambut kedatangannya. Setelah membersihkan diri, kulihat jam menunjukkan pukul 7 malam.  Masih ada waktu 4 jam untuk mengundang Ve kemari, ke rooftop. Sebaiknya Aku tidur. 3 jam sepertinya cukup. Kupasang 7 alarm agar Aku tidak telat bangun.

Tepat di alarm terakhir, Aku terbangun. Aku langsung meraih handphone-ku, kemudian mengirimnya pesan.

1 langkah sebelum 2 ksatria menatap langit, kayangan telah menunggumu. Kemarilah. Don’t forget the dancing man.

Aku menunggu kedatangannya di rooftop sambil memainkan gitar. Menunggunya seperti ini, Aku teringat ketika Aku menunggunya untuk yang pertama kali. Ketika itu, dia datang melalui pintu itu, dengan gesture sedikit malu-malu, ia menghampiriku, kemudian berbicara banyak. Haha, lucu juga kalau Aku mengi---

CKLEK!

Eh?! Kulirik jam tanganku yang ternyata sudah menunjukkan pukul 11. Cepat-cepat Aku berbalik, berdiri menyambut seseorang yang sudah kunantikan kedatangannya. Veranda. Dan tepat ketika Aku berbalik untuk menyambutnya, Aku terpaku seketika itu juga. Terpana, terpesona oleh apa yang dilihat oleh kedua mataku.

Bidadari. Itulah yang hinggap di otakku saat itu. Dengan dress putih berenda, bermotif warna kuning, ditambah dengan hair pin bunga yang ia kenakan, membuatnya benar-benar terlhat seperti bidadari. Apalagi Aku mendekorasi rooftop ini dengan tema kahyangan, semuanya benar-benar mendukung.

“Udah gak marah lagi, kan?” tanyaku menggoda.

Ia hanya tertunduk sambil tersenyum malu.

?

“Ayo.” Ajakku menggenggam tangannya yang lembut.

“Kak, ngehias ini sendirian?” tanyanya saat kami duduk saling berhadapan di antara meja.

“Hm. Cocok kan temanya? Hehe.”

“Cocok sih.”

“Umm… Ve, kamu tau kan kalo Kakak gak bisa basa-basi, jadi langsung aja. Kakak minta maaf buat yang tadi siang karena Kakak tau, jawaban Kakak tadi bikin kamu kecewa. Dan, umm... Kakak juga yakin kamu juga tau gimana perasaan Kakak yang sebenernya kalo kamu udah bisa nebak apa arti dari angka yang Kakak tulis di surat waktu itu.”

“Aku tau kok, Kak. Tapi Aku masih belum tau apa arti angka-angkanya. 143, 7, kan?” selanya sambil tersenyum berusaha menenangkan debar jantungku yang begitu menggebu.

“Masih belum tau? Ya udah lah. Gak apa-apa. Haha. Lagipula, Kakak manggil kamu ke sini buat ngasih ini.”

Aku berdiri untuk memberikan secarik kertas yang bertuliskan namaku. Tidak, Aku tidak menggunakan kertas merah muda dan tinta biru lagi karena Aku ingin, hal ini menjadi awalan yang baru untukku, untuk kami berdua. Dan tentu saja Aku tidak sembarangan memberikan nama. Aku kamuflasekan namaku itu menggunakan sandi yang hanya diketahui olehku, olehnya, dan orang-orang lain yang sejenis.

“Ini…” gumamnya ketika ia membaca isi surat tersebut.

“Ya. Itu nama Kakak. Kakak pikir, udah waktunya buat kamu tau nama Kakak. Disamping itu juga, karena Kakak ingin… kamu jadi pacar Kakak.”

Ia terkejut mendengar perkataanku tadi. Ya. Terlihat jelas dari ekspresi wajahnya yang ia alihkan padaku.

“Engga. Kamu gak salah denger, Kakak pengen, kamu jadi pacar Kakak. Yah, meski mungkin ini terdengar bodoh, atau mustahil, atau apalah, tapi Kakak pengen kamu jadi pacar Kakak.”

Ia masih tidak bersuara. Tidak mengatakan sepatah katapun. Perlahan, ia berdiri, berjalan menghampiriku. Mendekatiku. Kali ini, Aku dapat melihat kecantikannya dengan sangat jelas. Kulitnya yang putih, matanya yang bulat bersinar, rambutnya yang panjang tergerai, tidak heran mengapa Aku, juga mereka-mereka para fans, tertarik padanya.

“I will be your girl, in one condition.” Ucapnya.

“What is that?”

Dengan telunjuknya yang ramping, ia menunjuk bibirnya sendiri.

?

“Kiss me.” Bisiknya sambil tersenyum.

Aku sangat terkejut mendengar syaratnya itu, tapi juga bercampur senang. Tidak pernah Aku membayangkan bahwa seorang idolyang kukagumi, meminta sebuah ciuman dariku sebagai syarat untuk menjadi kekasihnya. Tidak pernah. Tapi sekarang, hal yang tidak pernah kubayangkan tersebut justru menjadi kenyataan, dan sedang terjadi saat ini.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, kugenggam lembut tangannya. Kudekap ia mendekatiku lebih dekat lagi hingga Aku dapat merasakan hembusan nafasnya yang mulai sedikit tidak teratur. Aku juga dapat merasakan debar jantungnya yang begitu kencang. Aku tidak tahu, apakah itu debar jantungku atau jantungnya. Kurangkul mesra dirinya, kudekatkan wajahku ke arahnya, hingga akhirnya kedua bibir kami saling bersentuhan. Saling berpagutan. Saling mengunci satu sama lain dalam sebuah kecupan mesra yang hangat. Menghangatkan kami di tengah hembusan angin malam di atas rooftop ini.

Entah berapa lama kami berciuman, namun yang jelas, Aku menikmati momen itu. Mungkin juga dengan Veranda karena ketika kulepaskan ciumanku, ia tersenyum manis padaku, dengan kedua matanya yang masih terkunci menatapku lekat.

“Now you are mine, and I’m yours.” Gumamnya yang masih tetap tersenyum.

?

Akhirnya, terjawab sudah sepenggal lirik dari lagu Project Pop yang berjudul Pacarku Superstar.

Apakah mungkin, seorang biasa menjadi pacar seorang superstar.

Dan ternyata jawabannya adalah mungkin! Haha. Ah, untuk yang ingin tahu siapa Aku, ini, ada salinan surat yang waktu itu kuberikan pada Veranda. Jika kalian dapat membacanya, tentu kalian mengetahui siapa namaku.

?

Mengenai Melody? Sepertinya dia tidak lagi mencampuri hubungan kami mengingat dulu, diapun pernah melakukan hal yang sama. Berpacaran. Namun, ada sedikit keanehan padanya seperti yang sudah kutulis di atas sebelumnya. Entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi saat ia mengetahui kami berpacaran, ia terlihat kecewa. Apa mungkin dia suka padaku? Haha, tidak. Tidak mungkin.

-The End-

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience