Aku butuh liburan. Aku butuh kegiatan lain yang dapat mengusir bayangannya dari benakku. Aku butuh kesibukan yang jauh dari tempat tinggalku di Jakarta ini. Aku harus menjauh dari tempat yang penuh dengan kenangan bersamanya ini. Menjauh untuk sementara waktu agar Aku bisa kembali ke kondisiku semula. Kondisi tanpa adanya setitik rasa galau di dalam hatiku. Meski Aku tahu itu sulit, tapi kalau seperti ini terus, Aku bisa jadi gila karena terus memikirkannya. Memikirkan dirinya yang seminggu lalu pergi meninggalkanku.
Itulah sebabnya Aku mengambil 7 hari cuti kerja untuk bisa berlibur. Pulang ke kota asalku. Bertemu dengan keluargaku untuk mengembalikan rasa rinduku pada mereka daripada harus memusingkan rasa rinduku padanya yang telah meninggalkan tanda tanya besar di otakku. Kepergiannya yang tanpa alasan meski mungkin, Aku tahu mengapa ia pergi meninggalkanku. Status yang disandangnya mungkin tidak terlalu memberikan kami jarak, tapi peraturan yang harus dia patuhi, itulah yang mungkin jadi penyebabnya.
Golden Rules. Kata-kata itu yang hingga saat ini, di perjalanan pulangku ini, masih saja bergentayangan di kepalaku. Kata-kata yang membuatku kacau seperti ini. Kalau sudah begini, salah siapa? Salah dia yang harus mematuhi peraturan? Atau salahku yang membiarkannya hinggap di kehidupanku? Atau salah manajemen mereka karena telah membuat peraturan konyol itu? Haah. Sudahlah. Da Aku mah apah atuh, memikirkannya terlalu berlebihan seperti ini mungkin tidak pantas bagiku.
Sesampainya di rumah, Aku disambut meriah oleh keluargaku. Pesta penyambutan. Kupikir ini terlalu berlebihan, tapi hal ini berhasil membuatku sedikit melupakannya. Senyum mereka, tawa mereka, petuah-petuah dari Orangtuaku, ya, Aku rindu mereka. Wajar lah, Aku pulang hanya 1 tahun sekali sewaktu Idul Fitri.
“A, besok temenin Aku daftar ulang, yuk.” Ajak adikku.
“Jam berapa?”
“Berangkat dari sini jam 7 pagi aja.”
“Yo~”
Kuterima ajakan adikku di hari terakhirku liburan ini. Yah, lagipula selama 6 hari ke belakang, Aku sudah terlalu banyak bersantai, menyibukkan diri, dan melanjutkan tulisanku yang sempat tertunda tentunya. Dan lagi, Aku mulai terbiasa tanpa kehadirannya. Ternyata jauh dari tempat kenanganku itu bisa banyak membantu. Tapi mulai besok Aku harus kembali ke sana. Aku harap bayangannya tidak kembali menghantuiku.
“Tunggu di sini, ya.” Ucap adikku.
Ia meninggalkanku sendiri, di sini, di kantin kampusnya yang masih belum banyak orang berdatangan. Kantin inipun cukup nyaman kalau Aku boleh bilang. Kursi-kurisnya di luar. Di bawah naungan pohon-pohon beringin yang sangat rindang. Jadi, meski cuaca panas, setidaknya masih ada kesejukan yang diberikan oleh pohon tersebut. Konsepnya bagus. Go Green. Setiap naungan pohon, setidaknya ada 3 – 4 meja untuk 4 orang setiap mejanya.
Dan di antara itu semua, ada 1 meja untuk 1 orang yang berada di bawah pohon. Aku tidak tahu apa nama pohonnya, tapi daun pohon itu cukup rimbun untuk menaungi kursi jomblo itu. Yap, untuk sementara mari kita sebut kursi itu kursi jomblo. Sepertinya Aku harus mencoba untuk duduk di sana. Tapi nanti, saat Aku selesai menemani adikku mengurus segala hal mengenai pendaftaran ulangnya.
“Ayo, A.”
“Udah selesai?”
“Udah.”
“Di sini emang sepi? Atau emang kitanya datang kepagian?”
“Kayaknya kepagian deh. Biasanya di sini banyak yang jajan.”
“Mahasiswi?”
“Ya ada laki-lakinya juga. Aa masih jomblo? Ckck. Emangnya di Jakarta gak ada yang menarik?”
Ah. Kenapa harus ini yang dibicarakan? Sial!
“Gak ada.” Jawabku cepat-cepat. Berusaha mengalihkan pembicaraan yang tidak ingin membuat bayangannya kembali berlarian di pikiranku.
Setelah Aku mengantarkan adikku pulang, Aku menunggu beberapa jam untuk kembali ke kantin kampusnya yang tadi. Rupanya benar apa kata adikku tadi. Banyak yang datang kemari. Semua kursi teduh itu hampir penuh. Untungnya kursi yang tadi sempat menarik perhatianku, kursi jomblo, belum ada yang menempati. Apa mereka merasa hina untuk duduk di sana? Ckck sebegitunya kah?
Dengan langkah gagah dan mantap, Aku berjalan menuju meja tersebut. Duduk di kursinya, memesan makanan dan minuman, lalu tenggelam dalam layar laptop yang berisikan rangkaian huruf, kata, dan kalimat yang membentuk sebuah cerita. Yap, Aku kembali melanjutkan tulisanku di tempat yang memiliki suasana yang pas seperti ini.
Rupanya, suasana di tempat ini membuatku lupa waktu. Saat kulihat pelayan yang mulai membereskan dan membersihkan meja-meja yang kosong, Aku baru sadar bahwa langit sudah gelap. Kalau malam, ternyata tempat ini menyeramkan. Apalagi berada di bawah pohon-pohon yang rindang. Kulirik jam tanganku yang telah menunjukkan pukul 11 lewat. Astaga! Buru-buru Aku berbenah.
“Emang biasanya buka berapa jam, Teh?” tanyaku pada pelayan yang menghampiri mejaku untuk beres-beres.
“Gak tentu sih, A. Ampe pelanggan pada pulang aja.”
“Hoo… yaudah deh. Saya pamit dulu. Kasian takutnya Teteh juga mau pulang.”
“Haha. Gak apa-apa kok, A. Kalau mau diem di sini dulu juga gak apa-apa. Lagian masih ada orang lain yang belum pulang, kok.”
Hm? Orang lain? Maksudnya orang lain selain Aku dan si pelayan ini? Pelanggan kah? Kutolak tawaran dari pelayan tersebut mengingat besok Aku harus sudah sampai di Jakarta. Saat Aku berjalan melewati meja-meja, rupanya masih ada beberapa pasangan yang memadu kasih di sini. Hingga selarut ini. Bikin iri saja! Huh! Kupercepat langkahku meninggalkan mereka-mereka di belakang.
Namun di salah satu meja, di kursinya, duduk seseorang yang sudah tidak asing lagi bagiku. Seorang gadis yang beberapa kali sempat muncul sebagai tokoh dalam cerita-cerita yang kutulis. Gadis berambut panjang, lurus terurai. Warna cokelat mengkilap rambutnya dibias cahaya lampu kantin. Wajahnya yang manis sepintas terlihat gelisah. Menunggu seseorang kah?
“Kayaknya cowok yang kamu tunggu bener-bener gak ngehargain janji deh.” Ucapku saat berdiri di sampingnya untuk sesaat. Lalu kemudian melanjutkan langkahku lagi.
Yah, sekalian pulang, Aku sekalian menyapanya. Kapan lagi bisa berbincang dengan seorang seperti dia. Meski sebentar. Well, sebenarnya, sebelumnya pun Aku pernah mengobrol dengan seorang temannya. Seorang yang satu grup dengannya.
“Aku gak lagi nungguin cowok, kok!” jawabnya ketus.
Aku berbalik. Tatapan tajamnya menusuk mataku. Tapi sesekali ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Bohong. Aku tahu ia berbohong. Bagaimana dengan Golden Rules? Peraturan yang membuat ia meninggalkanku. Peraturan yang membuat Veranda pergi meninggalkanku.
Aku kembali berbalik. Tidak ingin dicap SKSD (Sok Kenal Sok Deket). Padahal Aku mengharapkan sebuah perbincangan yang dapat memberikanku secercah cahaya dalam gelapnya tanda tanya yang ditinggalkan Ve dalam pikiranku. Namun, dari sikapnya, kondisinya, juga keadannya, Aku rasa hal itu tidak akan pernah terjadi. Saat Aku sampai di luar area kantin, Aku kembali masuk.
“Emangnya jam segini masih ada angkot?” Ucapku.
“Cerewet banget sih!”
“Hmph. Cuman nanya doang. Ya udah sih. Salam buat Veranda.” Sahutku sambil pergi meninggalkannya.
Haha, setelah kupikir-pikir lagi, kelakuanku tadi benar-benar tidak tahu malu. Mengurusi urusan orang lain. Ya sudahlah. Lagipula Aku sudah menitipkan salamku untuk Ve. Ah, tapi… bodohnya. Memangnya Aku ini siapa? Dia tidak tahu Aku. Begitupun Veranda. Ckck.
Aku langsung berangkat ke Jakarta. Hampir 4 jam perjalanan kulewati. Macetnya bukan main! Padahal sudah malam. Aku hanya punya 2 jam kurang untuk tidur sebelum berangkat kerja. Haah! Betapa cerobohnya Aku ini. Selama bekerja Aku tidak begitu konsentrasi. Beberapa kali Aku tertidur di mejaku. Hingga akhirnya jam pulang, Aku langsung mengayuh sepedaku. Untungnya tempat kerjaku dan tempat tinggalku di Jakarta ini tidak terlalu jauh. Ngebut menggunakan sepeda hanya memakan waktu 10 menit.
Sesampainya di tempat tinggalku, Aku langsung mandi, kemudian tidur. Aku yang terlalu kelelahan langsung tenggelam dalam mimpiku. Lupa tidak makan karena kemudian jam 10 Aku terbangun oleh kemeriahan cacing dalam perutku yang sedang mengadakan konser. Malam begini, mall hampir tutup, apa masih ada tempat makan yang buka? Ah, toko biasa sepertinya masih buka. Dengan pakaian seadanya, Aku melangkahkan kakiku ke toko yang kumaksud. Resepsionis sempat menanyaiku yang memakai pakaian yang… emm… kucel ini.
“Mau ke mana, Mas?”
“Nyari makan, Mba.”
Cepat-cepat Aku melangkahkan kakiku. Aku tidak mau ditanyai lebih jauh lagi karena pada dasarnya, Aku tidak terlalu suka mengobrol. Apalagi hanya sekedar untuk berbasa-basi-busuk. Sesampainya di toko, untungnya masih buka, Aku langsung membeli beberapa makanan yang mungkin cukup untuk mengganjal perutku.
Saat Aku mengantri di salah satu barisan kasir, di sebelahku, di barisan kasir yang lain, Aku melihat dia yang sedang mengantri. Dia yang kemarin, secara tidak sengaja kutemui. Dia yang kucampuri urusan pribadinya.
“Gimana salam buat Ve? Udah disampein?” tanyaku dengan pandangan lurus ke depan. Berusaha untuk tidak meliriknya.
Tapi, entah daya tarik apa yang ia miliki, Aku dibuatnya mengalihkan pandanganku padanya dan pada saat itu, Aku melihat wajahnya yang terlihat sedikit terkejut tapi juga terkesan tidak suka melihatku. Yah, Aku bisa memaklumi hal itu.
“Udah.” Jawabnya singkat, padat, dan jelas. Ketus, datar, dan juga dingin.
Sikapnya ini benar-benar diluar perkiraanku. Selama ini Aku melihatnya di balik layar kaca, sekali di teater, dan Aku kira, sikapnya di dunia nyata akan sama seperti apa yang ia tunjukkan di acara-acaranya. Tapi ternyata tidak. Sedikit kecewa sih sebenarnya, tapi Aku kembali teringat pada sikapku yang mencampuri urusan pribadinya. Jadi ya… Aku bisa mengerti.
“Makasih, ya.” balasku berusaha agar terdengar ramah.
“Kamu siapanya, Ve?” tanyanya lagi dengan pandangan lurus ke depan. Tidak melihat ke arahku sama sekali seolah ia sedang berbicara sendiri.
“Dulu sih temennya.” Jawabku singkat dan kali ini giliran belanjaanku yang dihitung oleh kasir.
“Duluan ya.” ucapku sambil melangkah meninggalkannya yang masih mengantri.
Dengan belanjaan di tangan kananku, Aku melangkahkan kakiku menuju tempat biasanya Aku menghabiskan malamku. Rooftop. Sambil ngemil, Aku memandangi langit malam yang gelap. Tidak terlihat secercah cahaya bintang ataupun bulan. Awan hitam mungkin menggantung di atas sana. Dan rupanya benar saja. Tidak lama kemudian hujan turun. Gerimis.
Rupanya kepulanganku kemarin tidak terlalu berdampak banyak. Gerimis ini kembali memanggil memori indah tentangnya. Memori saat kami berdua menikmati momen seperti ini sambil memainkan lagu dengan menggunakan gitarku, dan saat terakhir bersamanya. Saat di mana dia menangis dalam pelukanku karena dia tahu, dia harus meninggalkanku. Haah, semakin Aku mengingat hal itu, semakin jauh akal sehatku dibawa pergi.
Seiring dengan redanya gerimis, Aku melangkahkan kakiku meninggalkan rooftop. Turun ke bawah dengan perut kenyang. Kemudian berhenti sejenak di depan teater. Altar suci bagi para vvots. Lebay ah! Apakah kehadiranku yang hanya untuk menonton pertunjukkannya akan membuat penampilannya berantakan? Itulah pertanyaan yang selama ini menghalangiku untuk mengunjunginya lewat teater. Aku takut kehadiranku malah akan berdampak buruk baginya.
Aku kembali melanjutkan langkahku menuju kediamanku. Mengambil gitar, lalu kemudian memainkannya di ‘panggung pribadi’ku. Masih ingat? Panggung yang terdapat di f3. Tepat di bawah teater. Beberapa lagu yang dulu dia pinta, Aku mainkan. Hingga tidak terasa, sudah hampir seminggu Aku kembali melanjutkan rutinitasku sebagai makhluk nocturnal ini dan selama seminggu itu pula, Aku merasa seperti diawasi.
Apakah dia? Apakah Veranda yang mengawasiku sama seperti saat dia masih sebatas penggemar rahasia? Bukan. Kurasa bukan. Aku merasakan tatapan yang membuatku tidak nyaman. Dia?! Mungkin. Ketidaknyamanan ini sama seperti saat dia menatapku sewaktu kami mengantri di toko. Entah di mana dia sembunyi tapi Aku bisa merasakannya.
“Keluar aja. Daripada harus sembunyi-sembunyi kayak gitu.” Sahutku kepada dia yang sedang bersembunyi.
Tidak ada jawaban. Apakah memang hanya perasaanku saja? Atau memang bukan dia? Aku terpaksa meninggalkan panggung ini. Karena selain merasa tidak nyaman, jam pun menunjukkan waktu pulang bagiku.
“Aku tau kamu sembunyi di situ. Sampai besok.” Ucapku menggertak sambil lalu.
Hari ini, kerja dan kuliahku libur, jadi Aku bisa bersantai. Aku berniat melanjutkan tulisanku yang belum selesai di café di mana selama seminggu terakhir ini, Aku selalu melepas penat sepulang kerja. Tempatnya tidak kalah nyaman dengan kantin di kampus adikku. Dan lagi, ada kursi jomblo yang pas untukku. Letaknya agak terpisah dari meja-meja lainnya, atau mungkin lebih tepatnya, terpencil, terpojok, sehingga terhindar dari keramaian pengunjung lainnya.
“Meja biasa, kang?” sapa pelayan yang sudah cukup akrab denganku.
“Iya. Kosong, kan?”
“Kosong, kang. Gak ada jomblo lain selain akang soalnya. Hahaha,” Sahutnya lagi.
“Kampret. Yaudah di situ aja.”
“Siaap!”
Selang beberapa menit, Aku dituntun menuju meja yang telah kupesan. Selain terpencil, meja yang kupesan ini unik. Kursinya memunggungi lorong masuk sehingga Aku tidak terlalu merasa terganggu saat seseorang lewat. Sambil menunggu pesananku datang, Aku melanjutkan tulisanku
Alih-alih pelayan yang kutunggu, seseorang datang dan duduk di kursi yang tepat berada di belakangku. Jadi kami saling memunggungi. Eh…? mungkin bukan seseorang, melainkan sepasang kekasih karena Aku dapat mendengar suara laki-laki dan perempuan di belakangku.
“Siapa di belakang? Tumben ada yang mesen kursi di situ.” Tanyaku berbisik pada pelayan yang membawa pesananku karena setiap Aku kemari, tidak ada yang pernah duduk di kursi di belakangku.
“Artis.” Jawabnya yang juga sambil berbisik.
Ooh… artis. Tadinya Aku ingin berbalik mengintip siapa artis yang dimaksud. Tapi setelah kupikir lagi, apa untungnya? Mencampuri urusan orang lain lagi seperti waktu itu? Tidak. Aku tidak mau. Aku tidak mau dicap sebagai orang yang tidak tahu malu. Aku kembali fokus mengurusi urusanku sendiri. Tenggelam dalam cerita yang sedang kukarang. Cerita mengenai dirinya. Cerita mengenai Veranda.
Keberadaan sepasang sejoli yang bercengkrama di belakangku itu benar-benar membuat kupingku panas. Tapi rupanya, itu belum seberapa karena beberapa saat kemudian, obrolan mereka berubah menjadi sindiran yang menyerang satu sama lain. Mereka bertengkar namun dengan nada yang masih ditekan sehingga tidak menarik perhatian pelanggan lain. Tapi bagiku yang tepat berada di belakang mereka, hal itu membuatku benar-benar terganggu. Terjebak di antara pertengkaran sepasang kekasih. Miris banget!
Sebenarnya bisa saja Aku pulang. Tapi jika Aku melakukannya, Aku harus berbalik, menghadapi mereka, dan membuat keadaan semakin canggung. Dengan terpaksa, Aku menunggu hingga mereka pulang sambil menyumbat kedua telingaku dengan earphoneyang mati. Tidak melantunkan lagu sama sekali. Aku juga sebenarnya penasaran dengan pertengkaran mereka. Hahaha.
Aku tidak tahu berapa lama mereka bertengkar karena saat kulihat, layar laptopku sudah mati karena screensaver. Dari pertengkaran mereka yang kudengar, bisa kusimpulkan bahwa sang perempuan benar-benar marah karena dirinya melihat kekasihnya berselingkuh. Pfft! Alasan klasiknya adalah, karena si perempuan terlalu sibuk dengan kegiatan keartisannya. Kata-kata putus mengakhiri pertengkaran sekaligus pertemuan mereka. Dan yang pasti juga mengakhiri hubungan mereka. Isak tangis yang tertahan terdengar begitu jelas saat Aku melepaskan earphoneku.
Aku berusaha melanjutkan tulisanku, namun isak tangis dari perempuan yang belum juga beranjak dari kursinya itu membuatku tidak bisa berkonsentrasi karena memang, Aku tidak tahan mendengar tangisan perempuan. Bukan tidak tahan lebih tepatnya tidak tega. Dengan terpaksa, kumatikan laptopku untuk mengakhiri kegiatan bersantaiku yang dirusak oleh pertengkaran orang pacaran. Tuh kan, buat apa pacaran tapi kalau ujungnya malah nangis, putus, sakit hati, dan lain-lain, dan lain-lain. Mending jombs. Iya gak? Hahaha.
Saat Aku mematikan laptop, sesuatu membuatku sedikit terkejut. Bayangan wajah dari perempuan yang sedang menangis di belakangku itu terpantul di layar laptopku yang sudah mati. Dan Aku melihat wajah yang sudah tidak asing lagi bagiku. Ternyata dia! Bagaimana ini?! Aku pernah 2 kali bertemu dengannya. Bahkan bukan hanya bertemu, melainkan berbincang meski hanya sebentar. Percuma saja Aku pulang diam-diam karena mau tidak mau, Aku harus berbalik berjalan menuju koridor. Masa iya Aku harus berjalan mundur agar ia tidak melihatku. Hal itu malah akan menambah kecurigaannya padaku. Haah, mau bagaimana lagi? Kurogoh kantongku. Kuambil sebungkus tissue yang biasa kugunakan untuk membersihkan layar laptop.
“Nih. Ngapain nangisin cowok yang kayak gitu.” Ucapku sambil menaruh sebungkus tissue di atas mejanya lalu pergi meninggalkannya.
Aku tidak tahu bagaimana reaksinya karena selain Aku tidak menoleh sedikitpun ke arahnya, topi yang kupakai juga menutupi hampir setengah wajahku. Aku berharap dia memanggilku saat Aku melangkah pergi, tapi ternyata harapanku itu terlalu tinggi. Ke-GeeR-an banget! Ya sudahlah, Aku menghampiri kasir, membayar tagihan, lalu pulang.
Keesokan harinya, menyambung liburanku yang kemarin terganggu karena pertengkaran sepasang kekasih, Aku kembali melanjutkan kesibukanku. Menghangatkan kasur. Tapi meski sudah merubah posisiku berkali-kali, Aku masih belum bisa masuk ke dunia mimpi. Kenapa ini?! Apa tiketku menuju alam mimpi sudah kadaluarsa? Haah… terpaksa Aku bangun dari kasurku, merapikannya, lalu mengacak-ngacak isi kulkas untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan.
Beberapa jam mendekam di tempat tinggalku, waktu telah menunjukkan pukul 10 malam. Wow! Rupanya waktu berjalan begitu cepat jika kita sedang mengerjakan sesuatu. Menulis contohnya. Ya, akhirnya ceritaku selesai sudah. Ah, ceritaku ini hanya untuk konsumsi pribadi saja, daripada idenya membusuk di dalam otakku, lebih baik kuabadikan. Lagipula, mungkin suatu hari nanti Aku kembali bertemu dengannya, kemudian cerita ini akan menjadi sebuah hadiah untuknya. Entah hadiah perpisahan atau hadiah pertemuan kami kembali. Aku lebih memilih pilihan kedua.
Setelah mempersiapkan diri, Aku melangkahkan kakiku menuju rooftop. Saat kulihat teater, masih saja ada vvots yang berdiri di depannya. Bukankah show sudah selesai? Ah,demachi. Apakah Aku harus bergabung dengan mereka untuk dapat melihatnya lagi? Gila. Lewattwitter juga bisa. Eh tapi… akhir-akhir ini dia jarang sekali update twitter. Apa karena galau meninggalkanku? Pfft! Ngarep! Tapi… jika kuingat lagi surat terakhirnya, yah rasa ngarep itu kembali membumbung dalam hatiku.
Tidak lama di rooftop, setelah memainkan beberapa lagu dan setelah melirik jam tangan, Aku melangkahkan kakiku menuju f3. Menuju ‘panggung pribadi’ku. Keadaan di bawah sepi. Tentu saja. Dengan irama dari petikan gitarku, Aku menikmati kesunyian ini. Rasa damai seperti ini sudah lama tidak kurasakan. Apakah ini tandanya Aku sudah mulai melupakannya? Baguslah kalau begitu.
Namun, saat Aku sedang mengalunkan irama sendu gitarku, seseorang tiba-tiba muncul di hadapanku. Entah karena Aku yang tidak terlalu memperhatikan sekitar, atau memang dia yang benar-benar muncul menggunakan teleportasi. Tatapan dingin, jutek, sinis, tidak suka, ah pokoknya dia memandangku dengan tatapan tidak enak.
“Ternyata bener yang kemarin itu kamu. Kenapa sembunyi?”
“Aku cuman pengen merhatiin kamu, kok.”
“Oh? Terima kasih. Aku tersandung.”
“Jangan, jangan. Jangan berterima kasih. Aku cuman pengen tau apa yang bikin Ve tertarik sama kamu.”
Eh?
“Maksudnya?” tanyaku menahan rasa terkejutku.
“Gak usah pura-pura.” Jawabnya datar.
Aku segera berdiri. Berjalan mendekatinya. Benar-benar dekat hingga Aku bisa melihat dengan jelas bulu matanya yang lentik, riasannya belum dihapus, dan wangi parfum yang sama yang waktu itu kucium saat pertama kali bertemu dengannya di kantin kampus adikku.
“Bagaimana keadaannya?” tanyaku langsung tanpa basa-basi.
Ya. Aku ingin tahu keadaannya, kondisinya, Aku ingin bertemu dengannya lagi.
“Ini. Makasih buat tissuenya. Kebanyakan kemarin.” Sahutnya sambil memberikan sebungkus tissue yang waktu itu kuberikan padanya.
Jadi… dia tahu? Ck! Topiku tidak terlalu membantu rupanya.
“Kamu belum jawab pertanyaanku.”
“Besok. Di sini. Jam segini. Semuanya bakal Aku kasih tau. Dah~” balasnya sambil berbalik memunggungiku. Berjalan menjauhiku dengan beribu tanda tanya yang kini berkeliaran di sekitar tanda tanya besar yang diberikan Ve padaku yang hingga saat ini belum bisa kupecahkan.
Sial! Ternyata dia tahu! Apa member yang lain juga tahu? Apa seluruh staff juga tahu? Gawat! Ditambah lagi twitternya yang hingga detik ini tidak mengicaukan apapun, membuatku semakin gelisah. Kemungkinan terburuk terlintas di benakku, namun segera kutepis karena Aku tahu, dia adalah perempuan yang tegar. Wonder woman pun kalah tegar olehnya.
Keesokan harinya, selama bekerja, Aku terus memandangi jam. Berharap jarum jam berputar lebih cepat dan menujukkan waktu perjanjianku dengannya. Jam pulangpun ditunjukkan oleh kedua jarum hitam itu. Aku bergegas pulang meski Aku tahu, waktu perjanjian masih lama. Dalam kecemasan, kegelisahan, atau lebih tepatnya harap-harap cemas, Aku menunggu. Hingga akhirnya waktunya tiba.
Dengan langkah dan debar jantung yang cepat, Aku berjalan menuju ‘panggung pribadi’ku. Dan di sana, di kursi paling depan, di mana Ve biasanya duduk menikmati pertunjukkanku, dia duduk memunggungiku. Hanya rambutnya yang tergerai dan pundaknya yang terbalut jaket kulitlah yang dapat kulihat.
“Udah lama nunggu?” tanyaku basa-basi berusaha memudarkan tatapan sinisnya yang masih ia pakai untuk menatapku.
“Langsung aja. Aku gak suka basa-basi.” Jawabnya ketus.
Ya. Aku juga tidak suka.
“Kamu siapanya Ve?” tanyanya.
“Udah dibilang Aku temennya.”
“Cuman temen?”
“Ya. Tambahin deket. Jadi temen deket.”
Dia terdiam mendengar jawabanku. Sepertinya dia tidak suka akan jawabanku.
“Terus gimana? Apa dia sehat?”
“Tunggu. Sebelum masuk ke persoalan Ve, Aku pengen mastiin sesuatu dulu.”
“Apa?”
“Kamu bisa jaga rahasia?” tanyanya kali ini mulai terlihat gelisah.
Heh. Aku tahu bahwa hal ini akan dibicarakan.
“Tentu. Aku bukan orang yang suka ngegosip. Lagian, bukan urusan Aku buat ikut campur dalam kehidupan pribadi kamu.”
“Oke. Kayaknya emang bener.” Jawabnya lagi dengan mantap.
“Emang bener kali.”
“2 hal lagi.”
“Apa?”
“Tau dari mana kalau waktu itu Aku lagi nungguin cowok?” tanyanya dengan tatapan curiga.
“Oh. Kalau itu rahasia.”
“Oke. Dadah.” Sahutnya dingin sambil berdiri dari kursinya hendak pergi meninggalkanku.
“E—eh tunggu!” seruku sambil menarik tangannya.
Refleks. Itulah yang terjadi. Tapi saat Aku meraih tangannya, ia memandang tajam ke arah tangannya yang sedang kugenggam, lalu menatapku dingin.
“Ow, sori.” Ucapku sambil melepas tangannya.
“Ceritain dulu kenapa kamu bisa tau kalau Aku lagi nungguin cowok, baru Aku cerita.”
Beda ya kalau kapten.
“Iya, iya.” Ucapku. Membuatnya kembali duduk di hadapanku.
“Pakaian yang keliatan feminine banget, wangi parfum yang cukup menyengat, sikap kamu yang gelisah sewaktu kamu ngeliatin hape, dan yang terakhir, 5 gelas kosong yang ada di meja kamu yang mana salah satunya tinggal sisa setengahnya lagi, itu udah cukup ngasih kesimpulan kalau kamu lagi nunggu cowok.” Jelasku.
“Tapi kan bisa aja Aku lagi nunggu temen cewek.”
“Bisa aja. Tapi waktu itu kamu bohong.”
“Bohong?”
“Katanya kamu gak lagi nunggu cowok, tapi Aku liat bola mata kamu gelisah waktu Aku tanyain kalau kamu lagi nunggu cowok, dan itu udah jadi tanda kalau kamu bohong.”
“Masa’ sih?” tanyanya salah tingkah.
“Hm. Lagian, tempramen kamu nunjukin kalau kamu emang lagi nunggu cowok. Dan nunggunya udah lama. Mungkin 4 jam? Kalau emang lagi nunggu temen cewek, seengganya kamu gak akan dibuat nunggu selama itu. Temen kamu itu pasti ngasih kabar kalau gak bisa nemuin kamu. Dan lagi, nomor cowok yang kamu tunggu itu gak aktif, kan? Makannya kamu ampe rela nunggu lama.”
Keterkejutan terlukis jelas di wajahnya, namun cepat-cepat ia rubah kembali menjadi wajah tegas.
“Terus, waktu itu kenapa nanyain masih ada angkot atau engga?”
“Ya soalnya kamu gak bawa kendaraan, kan?”
Ia terdiam. Kali ini keterkejutannya tidak berusaha ia sembunyikan lagi.
“Soalnya di parkiran gak ada kendaraan lain selain kendaraan Aku. Gimana? Puas?” Jelasku yang mungkin mengaburkan rasa terkejutnya.
“Hmm…” gumamnya ringan.
“Dari mana kamu tau tentang kedekatan Ve sama Aku?”
“Dari tingkah lakunya. Sewaktu masih deket sama kamu, dia sering ngilang. Muncul-muncul pas perform bentar lagi mulai.”
“Cuman itu doang?” tanyaku tidak percaya. Ya. Mana mungkin hanya berdasarkan hal itu dia bisa tahu mengenai kedekatanku dengan Ve.
“Aku juga ngeliat kamu berduaan mesra sama Ve di panggung ini.”
Ow.
“Kapan?” tanyaku berusaha terdengar tenang.
“Gak tau kapannya, tapi yang jelas waktu itu Aku kebetulan mau ngambil sesuatu yang ketinggalan di teater. Terus ngedenger suara gitar, pas liat, ternyata kamu lagi berduaan di sini sama Ve.”
Oke. Rupanya itu kecerobohanku. Atau kecerobohan kami berdua.
“Terus kamu ngasih tau staff?”
“Engga.”
“Selain kamu, siapa lagi yang tau?”
“Gak ada.”
“Terus kenapa Ve pergi?”
“Karena Aku yang nyuruh.”
“Eh?! Kenapa?!” seruku hampir saja berteriak marah.
“Karena Aku gak mau kalau ampe Ve ngelanggar Golden Rules.”
“Ngelanggar?! Bukannya kamu yang udah ngelanggar?!” bentakku.
Oke, Aku tidak bisa menahan amarahku lagi. Mungkin tidak pantas bagiku untuk membentaknya, tapi entah mengapa rasanya dada ini bergejolak.
“Makanya Aku ngajak ketemuan. Aku mau ngasih tawaran sama kamu. Semenjak menjauh dari kamu, tingkah laku Ve berubah. Dia keliatan gak semangat. Tau kan orang yang baru putus gimana? Nah, kayak gitu. Staff mulai khawatir. Gak sedikit juga yang mulai curiga kalau Ve bener-bener baru putus dari cowok ampe sakit dirawat kayak sekarang.”
“Eh? Sakit?!”
“Kamu gak tau? Fans-fans yang lain pada ribut di twitter.”
“Makanya Aku nanya ke kamu juga soalnya Aku gak tau. Dirawat di rumah sakit mana?”
“Tapi kamu harus janji kalau masalah kemarin gak kamu sebarin ke siapa-siapa.”
Cih! Jadi ini maksudnya tawaran? Ternyata dia benar-benar punya kapabilitas untuk menjadi seorang kapten. Kuakui itu.
“Kan Aku udah bilang kalau Aku gak suka ikut campur sama urusan pribadi orang lain.”
“Janji?” tanyanya lagi dengan serius. Tatapannya betul-betul menusuk.
“Iya!”
“Bagus. Ini rumah sakit di mana Ve dirawat. Kamarnya juga.” Ucapnya sambil memberikan secarik kertas yang bertuliskan alamat rumah sakit lengkap dengan gedung tempat Ve dirawat juga lantai dan nomor kamarnya.
“Balikin Ve ke kondisi semula.” Tambahnya.
Aku tidak menggubrisnya. Segera kutinggalkan dia. Dengan langkah cepat, Aku berjalan menuju tempat tinggalku. Menyalakan laptop, lalu mencoba memastikan apa yang dikatakan Melody itu benar.
Beberapa hari terakhir perform Ve kurang greget yah.
Doi kayak yang banyak pikiran.
@VeJKT48 mau grad ya?
Rupanya benar. Sial, apa itu grad?! Aku coba mencari tweet dari official mengenai dirinya.
[INFO] Karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan, Jessica Veranda tidak dapat tampil pada show "Demi Seseorang" malam ini
Ah! Ternyata dia benar-benar sakit. Sudah 3 hari sejak pemberitahuan dari official. Aku segera meraih handphoneku. Tapi kemudian, Aku berpikir. Aku ragu jika teleponku akan diangkatnya. Lagipula, saat ini pasti dia sedang beristirahat. Kuurungkan niatku itu dan Aku berusaha terpejam. Menunggu esok hari. Menunggu waktu yang lebih tepat untuk menghubunginya setelah hampir 1 bulan kami tidak saling berkomunikasi meski kami memiliki nomor handphone satu sama lain. Ya, selama ini Aku tidak menghubunginya. Aku takut kalau dia memang tidak ingin bertemu denganku lagi.
Keesokan harinya, selepas kerja, Kutelepon nomornya. Dalam nada tunggu, jantungku berpacu sangat cepat. Seperti seseorang yang tengah berlari dikejar banci. Aku melangkah mengelilingi ruang kerjaku dalam keadaan tidak tenang sambil tetap menunggu panggilanku diterima olehnya.
Maaf, nomor yang anda hubungi tidak dapat menerima panggilan. Silahkan coba beberapa saat lagi. Tuuut… Tuuut… Tuuut…
Hatiku mencelos. Jantungku seolah berhenti berdegup. Nyaliku menciut seketika itu juga. Apa memang dia tidak mau bertemu atau bahkan setidaknya berkomunikasi lagi denganku? Namun, dengan modal nekat, kupacu motorku menuju rumah sakit tempat di mana ia sedang dirawat setelah sebelumnya Aku mengiriminya pesan bahwa Aku akan datang menjenguknya.
Kemacetan di Jakarta selalu bisa kulewati saat Aku bepergian menggunakan sepeda sehingga Aku tidak pusing dibuatnya. Namun kali ini berbeda. Kemacetan benar-benar membuatku frustasi. Di saat Aku harus cepat-cepat sampai tujuan, kenapa lalulintas Jakarta tidak berpihak padaku? Kenapa lalulintas Jakarta menghambat usahaku untuk bertemu dengannya? Sepanjang jalan, Aku menggerutu pada kondisi jalan yang benar-benar membuatku muak. Yang membuatku terjebak di antara ratusan kendaraan yang saling sahut menggunakan klakson mereka. Butuh waktu 1 jam lebih untuk sampai di rumah sakit yang kutuju.
Buru-buru kuparkirkan motorku. Sial! Saking terburu-buru, Aku tidak membawa kertas yang diberikan Melody. Ck! Aku berlari menuju lobby. Lebih tepatnya meja resepsionis.
“Mba, pasien dengan nama Jessica Veranda dirawat di kamar nomor berapa ya?”
“Sebentar… Jessica Veranda… Di lantai 4, kamar nomor 8, gedung VIP.”
“Oke. Makasih, Mba.”
Lantai 4, kamar 8. Vvots bangat. Kebetulan, kah? Kurasa tidak. Haha. Tidak kusangka dalam kepanikanku, masih ada sesuatu yang bisa membuatku tersenyum.
“Mas! Ini rumah sakit! Bukan track lari!” seru salah seorang perawat.
“Ah. Maaf, mba.”
Teguran tadi menghentikan lariku. Menggantinya menjadi mode berjalan cepat. Hingga akhirnya, Aku sampai di depan sebuah pintu dengan angka 8 yang menggantung tepat di atasnya. Awalnya Aku ragu untuk mengetuk pintu tersebut. Aku kembali meneleponnya sebelum Aku benar-benar mengetuk pintuku.
Nada tunggu yang terdengar kembali membuat jantungku berdegup kencang. Beberapa kali nada tunggu berbunyi. Ketakutan jikalau teleponku tidak diangkat lagi olehnya kembali menyelimutiku.
Halo?
Ah. Halo, Ve. Masih inget sama Kakak?
Inget lah, Kak. Ada apa?
Katanya kamu sakit? Sakit apa?
Cuman kecapean, Kak.
Kakak jenguk ya?
Tidak ada jawaban darinya. Segera kututup teleponnya. Meski memang kesannya tidak sopan mengakhiri percakapan di tengah, tapi Aku sudah tidak sabar untuk melihatnya secara langsung. Lagipula, suaranya di telepon terdengar lemah.
Tok… Tok… Tok…
“Ya? Masuk.”
Kubuka pintunya. Kulangkahkan kakiku memasuki ruangan. Bau obat memenuhi indra penciumanku. Kulihat wajahnya yang lelah, terkejut melihat kedatanganku. Dengan jaket hitam yang melapisi tubuhnya, dan handphone yang masih ia pegang, ia terduduk di ranjang rumah sakit dengan selimut hijau yang menutupi setengah tubuhnya.
“Hai.” Sapaku canggung.
Memang, sudah hampir sebulan kami berdua tidak bertemu, tanpa sedikitpun kabar yang hinggap di telinga masing-masing. Aku melangkahkan kakiku mendekatinya.
“Kayaknya kamu bener-bener kecapean, deh.” Ucapku saat Aku berada tepat di sampingnya.
Selama beberapa detik, ia tidak berkata apapun. Kepalanya pun tertunduk seolah ia tidak berani menatapku. Apakah kedatanganku benar-benar tidak diinginkan olehnya? Oke. Sebaiknya Aku pergi. Yah, meski sebentar, setidaknya Aku telah menjenguknya. Walaupun sebenarnya mungkin kunjunganku ini tidak pantas disebut ‘menjenguk’.
“Banyak-banyak istirahat, ya. Fans-fans kamu pada khawatir.” Ucapku sambil menepuk ringan pundaknya. Tatapannya masih belum teralihkan dari selimut yang menutupinya. Ia masih tertunduk.
Dengan langkah yang berat, kupaksakan diriku untuk melangkah pergi.
“Kakak gak khawatir sama Aku?” tanyanya sambil menarik lenganku. Menggenggamnya dengan sangat erat.
Aku berbalik. Menatap wajahnya yang kali ini telah terangkat menghadap tepat ke arahku. Menatap kedua matanya yang berkaca-kaca. Menatap bibirnya yang bergetar menahan tangis.
“Ya jelas Kakak khawatir.” Ucapku berbalik. Kembali melangkah mendekatinya. Menepuk lembut punggung tangannya yang menggenggam tanganku.
“Terus kenapa Kakak baru ngehubungin Aku sekarang?” tanyanya. Suaranya gemetar.
“Kakak pikir, kamu gak mau ngobrol lagi sama Kakak. Telepon Kakak yang pertama aja gak kamu angkat. Sms Kakak yang tadi juga gak kamu bales. Jadi Kakak pikir, kamu---“
“Telepon tadi gak keangkat. Bukan gak diangkat. Aku lagi ke luar tadi.” Selanya.
“Terus sms-nya?”
“Aku bingung. Aku bingung harus jawab apa.”
“Kakak juga bingung harus jawab apa.”
Selama beberapa menit, keheningan menyelimuti kami. Yang terdengar hanyalah detak jarum jam yang menggantung di dinding di atas kepala Ve. Kedua mata kami saling bertemu. Saling menatap satu sama lain dengan begitu lekat.
Lalu tiba-tiba ia melingkarkan kedua tangannya di sekitar leherku. Merangkulku dengan begitu erat. Ia terisak. Tangisnya terdengar begitu memilukan. Kurasakan hangat air matanya yang membasahi sekitar pundakku. Tempat di mana ia menyandarkan kepalanya. Perasaanku setiap mendengar perempuan menangis belum berubah. Aku tidak tahan. Kubelai rambutnya. Berusaha meredakan tangisnya. Juga berusaha menahan air mata yang sudah berada di ambang pelupuk mataku.
“Hei…”
Jujur, Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Yang bisa kulakukan hanya membelai rambutnya yang lembut, menepuk-nepuk punggungnya yang gemetar, dan terpaksa membiarkannya menangis sepuasnya. Kupinjamkan bahuku sebagai sandarannya.
“Udah abis air matanya?” candaku saat ia berhenti menangis.
“Ish! Kakak!” sahutnya. Senyumnya kembali terulas di bibirnya yang basah oleh air mata.
Untunglah. Kekhawatiranku bahwa ia tidak ingin bertemu denganku seketika itu juga sirna. Kesunyian kembali menyelimuti kami hingga akhirnya kupecahkan dengan pertanyaan yang selama ini menghantuiku.
“Kenapa kamu pergi?”
Ia tidak menjawab. Ia kembali tertunduk.
“Staff?” tanyaku memancingnya.
Ia mengangguk kecil. Hmph. Kenapa dia tidak menceritakan saja yang sebenarnya?
“Haah… yah, mau gimana lagi? Itu kan peraturan yang harus kamu patuhi kalau kamu masih mau tetep jadi member.”
“Kalau gini, Aku lebih baik grad, Kak.”
“Eits jangan! Masih banyak di luar sana yang ngasih kamu semangat. Masih banyak di luar sana yang pengen ngeliat penampilan kamu yangall out. Mereka semua gak mau ngeliat kamu gradtanpa alasan yang bener-bener bisa diterima. Kakak juga gak mau kamu grad.”
Ia tertunduk. Mungkin sedang mencerna kata-kataku.
“Cepet sembuh. Kakak pengen liat kamu teater lagi. Udah lama rasanya gak liat kamu teater. Berapa bulan ya…?”
“Beneran, Kak? Kakak mau nonton Aku teateran?” tanyanya sambil menatapku seolah ia tidak percaya terhadap kata-kataku.
“Kenapa? Gak boleh? Yaudah deh.”
“Ih boleh, Kak! Boleh banget!” serunya sambil mengayun-ayun kedua tanganku.
“Makanya cepet sembuh.”
Rasanya Aku seperti bermimpi kembali. Bisa bercakap-cakap dengannya lagi, bisa berdua bersamanya lagi, berdekatan. Aku tidak ingin mimpi ini berakhir. Namun waktu benar-benar berlalu dengan cepat. Tidak terasa, jarum jam telah menunjukkan angka 9.
“Banyak-banyak istirahat.” Ucapku sambil bangkit berdiri.
“Kakak mau ke mana?” tanyanya. Kedua tanganku masih digenggam erat olehnya seolah ia tidak ingin melepaskannya.
“Pulang, dong. Besok Kakak kerja.”
“Kakak bakal jenguk Aku lagi?” tanyanya khawatir.
“Pasti. Pasti. Dan nanti, Kakak bakalan bawa makanan.” Jawabku nyengir. Ya, Aku baru sadar bahwa Aku tidak membawa apapun dalam jengukanku ini. Bodohnya Aku.
“Dadah~” ucapku seraya pergi meninggalkannya.
Tepat saat Aku membuka pintu, seseorang tengah berdiri di baliknya. Hampir saja Aku menabraknya. Seorang wanita paruh baya. Ibunya, kah?
“Eh. Maaf tante.” Ucapku membungkukkan badan.
“Ah, gak apa-apa. Temennya Veranda?” tanyanya. Suaranya begitu lembut. Kesan keibuannya begitu terasa.
“Iya, tante.”
“Mau kemana? Kok buru-buru?”
“Pulang tante. Udah malem. Takut ganggu Ve istirahat.”
“Ooh… hati-hati ya. Makasih udah jengukin Ve.”
“Kak! Jenguk lagi ya!” seru Ve saat Aku hendak pergi.
“Iya! Pamit dulu tante. Selamat malam.”
Dengan perasaan yang cukup ringan, Aku pergi meninggalkan rumah sakit. Sepanjang jalan, Aku tidak berhenti bernafas lega karena kecurigaanku terhadap dirinya yang tidak ingin bertemu denganku lagi terbukti tidak benar.
Keesokan harinya, Aku merasa waktu berjalan begitu lambat. Beberapa kali kulirik jarum jam di mejaku yang sepertinya tidak bergeser sedikitpun dari angka 3. Apakah jamnya mati? Kulihat jam yang menggantung di dinding di depanku. Rupanya sama. Jarum jamnya juga menunjuk angka 3. Ingin rasanya kubongkar jamnya, lalu mengganti angka 3 jadi angka 5.
Sambil menunggu jam pulang, Aku memikirkan makanan apa yang harus kubawa nanti. Makanan kesukaannya. Ah, sushi dan ramen. Eh, tapi dia sedang sakit. Sebaiknya Aku membawa buah. Tapi buah kesukaannya buah apa? Aku berusaha mengingat buah apa yang ada di meja di samping ranjang rumah sakit waktu itu. Hmm… kalau tidak salah… kucoba memastikannya lewat info-info fanbase namun tidak sedikitpun dari info-info yang mereka sajikan memenuhi harapanku.
Rupanya, waktu berjalan cepat saat Aku mencari buah kesukaannya. Tidak terasa, jarum jam sudah menunjuk angka 5. Aku bergegas berkemas, lalu pulang. Aku bersiap. Mandi, makan, dan sedikit memakai parfum. Tentu Aku tidak ingin kehadiranku mengganggu penciumannya dengan bau keringat. Di perjalanan, Aku singgah sebentar ke toko buah. Aku membeli beberapa jenis buah karena Aku tidak tahu buah kesukaannya, lalu kemudian melanjutkan perjalanan.
Saat Aku tiba di depan pintu kamar inapnya, Aku menelepon Ve.
Halo Kak?
Halo Ve. Maaf ya, Kakak gak bisa jenguk kamu lagi hari ini. Kerjaan Kakak numpuk.
Untuk sesaat, kupikir teleponnya diputus karena Aku tidak mendengar suara apapun. Namun kemudian Ve berkata…
Yaudah deh. Gak apa-apa.
Terdengar jelas bahwa ia kecewa. Haha. Aku suka kejutan. Aku suka mengejutkan orang lain, terlebih lagi, orang-orang yang kusayang. Ya, orang yang kusayangi. Kututup teleponnya.
Tok… Tok… Tok…
“Masuk!”
Eh? Bukan suara Ve? Apa ada orang lain? Tunggu, sepertinya ini suara wanita lain. Suara wanita yang kemarin. Ibunya, kah? Ragu-ragu, kubuka pintunya.
“Permisi…”
“Kakaaak!!!” seru Ve girang.
Wajahnya terlihat ceria. Sepertinya keadaannya sudah lebih baik daripada kemarin. Kedua tangannya terangkat seolah berusaha menggapaiku dari ranjangnya. Ia terlihat seperti anak manja yang berusaha memeluk Ibunya. Tidak lebih dari itu. Dan itu berhasil membuatku tersenyum.
“Wah, kayaknya udah sembuh nih.” Sahutku sambil menaruh kantong plastik yang berisi berbagai macam buah.
“Ah, sore tante.” Ucapku sambil mencium tangannya. Hormat pada orangtua siapapun tidak salah, kan?
“Eh, kamu yang kemarin ya? Ini Kakak yang kamu maksud, Ve?” tanya wanita tersebut.
“Iya, Mah.” Jawab Ve malu-malu.
“Ibu titip Veranda ya.”
Eh? Apa? Maksudnya titip? Apakah… hah! Mustahil.
“Mamah keluar dulu ya.” ucap Ibunya Ve sambil meninggalkan kami berdua.
Oh. Jadi rupanya ini maksud dari ‘titip.’ Kirain apaan. Ya kali macem fanfic-fanfic yang baru ketemu orangtuanya langsung direstui. Gila aja. Belum tau sifat kita, belum kenal sama kita, belum akrab sama kita, udah main ‘titip’. Kan aneh. Hahaha. Udah ah! Namanya juga fanfic. Delusi tanpa batas.
“Kapan mau sembuh? Betah banget tidur di kasur rumah sakit.”
“Besok juga udah boleh pulang, kok. Yee.” Sahutnya sambil ngelel.
“Yah, berarti jengukan Kakak kali ini kayaknya gak perlu, dong?” ucapku sambil berdiri.
“Ih, perlu banget dong, Kak! Jangan pergi~” rengeknya.
“Nih buah. Mau yang mana?” tawarku.
“Jeruk aja.”
Kuberikan buah yang ia pinta.
“Kupasin dong~”
“Manja beud sih. Geli tau.”
“Kan lagi sakit.”
Heuuh… kukupas jeruknya sesuai permintaan.
“Suapin dong~”
“Kamu kena penyakit manja ya? Kok kesannya jadi cheesy gini sih?!” candaku sambil menyuapinya jeruk.
“Hmm… biarin lah sekali-sekali” Jawabnya sambil mengangguk. Mengunyah jeruk yang baru saja kuberikan.
Kami mengobrol, ngalor-ngidol gak jelas, bercanda, hingga obrolan kami berubah menjadi sedikit serius.
“Kamu kok jadi jarang nge-tweet?” tanyaku.
“Gak mood, Kak.”
“Gak peduli sama fans, dong?”
Ia terdiam. Menatapku lekat-lekat. Pipinya yang gembung berisi jeruk bergoyang-goyang mengunyah.
“Aku peduli, Kak. Tapi…”
“Coba kasih kabar aja. Bilang kamu udah sehat. Meski member lain bilang kalau kamu udah baikan, tapi baca tweet dari kamu untuk kepastian bahwa kamu baik-baik aja, rasanya beda lho buat fans.”
Dengan segera, ia meregangkan tubuhnya. Berusaha meraih handphonenya yang tergeletak di atas meja di samping ranjangnya. Selama beberapa saat, ia sibuk dengan handphonenya sendiri. Seolah keberadaanku ini tidak ia anggap.Hvft. Keberadaan yang seperti angin. Sedih.
“Udah nih, Kak.” ucapnya sambil memperlihatkan handphonenya.
Status twitternya bertuliskan…
Hai semuanya! Apa kabar? Maaf ya udah bikin kalian khawatir. Aku udah baikan kok ^^ makasih ya doa-doanya :)
“Nah… gini kan gak bikin fans terlalu khawatir tentang keadaan kamu.”
“Iya, iya. Ih, Kakak! Jeruknya!” seru Ve saat mendapatiku memakan jeruk yang kubawa untuknya.
“Satu doang, lah. Manis, sih.”
“Makasih.” Sahut Ve malu-malu.
“Jeruknya.” Timpalku.
Ia cemberut. Bibirnya manyun. Hahaha. Lucu. Sudah lama rasanya Aku tidak melihat ekspresinya yang seperti itu. Obrolan kami berlanjut hingga kedatangan Ibunya yang tepat jam 10 membuatku harus pamit. Lagipula, member yang lain sepertinya akan menjenguknya selepas perform dan mungkin, mereka sedang dalam perjalanan menuju kemari. Ya. Aku sengaja menjenguknya hari ini karena member tim J sedang perform teater, jadi keberadaanku masih sedikit ter-rahasia-kan dari mereka.
“Tante, Saya pamit dulu.” Ucapku.
“Lho, udah mau pulang lagi?”
“Udah waktunya istirahat buat Ve.”
“Hm… ya udah. Hati-hati di jalan ya. Makasih udah mau jengukin Veranda.”
“Iya tante. Sama-sama. Ve, Kakak pulang ya!” seruku dari ambang pintu.
“Iya! Titidije, Kak! Jangan lupa janjinya!”
“Iya!”
Saat Aku berjalan di koridor, Aku berpapasan dengan mereka. Beberapa member tim J. Beberapa dari mereka masih menggunakanseifuku teater. Mungkin kalau Aku termasuk dalam fans kategori Nemesis, Aku sudah kalap di tempat.
Sesuai perkiraanku. Mereka pasti menjenguknya selepas teater. Untung saja Aku pulang tepat waktu sehingga mereka tidak mengetahui keberadaanku. Dan di antara mereka, Aku melihat Melody yang menatapku dengan tatapan sinis.
J! K! T! Prak Prak Prak Prak Prak Prak! Forty Eight!
Ugh… siapa yang pagi-pagi begini mengengirimiku sms? Dengan mata yang masih rapat oleh belek, kulirik jam yang masih menunjuk ke angka 6. Aah! Biasanya alarm handphonemembangunkanku tepat jam 7.15, tapi kali ini, nada sms masuk yang membangunkanku.
Dengan malas, kuraih handphone di meja lampu tidurku.
Kakaaak!!! Banguuunnn!!! Kerjaaa!!!
Ve? Hoo… akankah kebiasaan-kebiasaan waktu itu kembali terulang? Akankah ucapan selamat pagi, selamat siang, dan selamat malam darinya memenuhi inboxku? Akankah ia kembali mengingatkanku untuk makan siang. Wow wow. Oke. Jangan berharap terlalu tinggi karena ketidakbersamaan kami selama hampir sebulan penuh kemarin mungkin saja merubah sesuatu.
Heh yang sakit tidur aja. Jangan ganggu yang sehat.
Ih! Aku udah sembuh tau.
Iya, iya, udah sembuh. Ntar lagi smsnya. Masih ngantuk. Sms lagi jam 7.15
Dan, dengan balasanku yang seperti itu, akhirnya Aku mendapatkan waktu tidurku kembali. Gak sopan? Dingin? Kejam? Terserah. Aku paling tidak suka waktu tidurku diganggu. Oleh siapapun. Entah itu teman, bos, atau siapapun. Di dunia ini baru ada 2 orang dan 1 hal yang boleh membangunkanku saat tidur. Pertama, Ibuku. Kedua, Adik bungsuku, dan terakhir, alarm. Veranda masih belum termasuk ke dalam daftar orang yang boleh menggangguku saat tidur. Tapi mungkin, suatu hari nanti, hal yang paling kuharapkan saat bangun pagi adalah ucapan selamat pagi darinya. Ya, Aku benar-benar berharap seperti itu.
J! K! T! Prak Prak Prak Prak Prak Prak! Forty Eight!
I want You~ I need You~ I love You~
Ugh… nada sms masuk berbarengan dengan bunyi alarm benar-benar membuat distorsi yang tidak enak di dengar untuk telingaku yang belum siap untuk memulai hari.
Kakaaak!!! Banguuunnn!!! Udah jam 7.15
Dia benar-benar mengirimiku sms tepat jam 7.15. Haha.
Iya, iya. Ini udah bangun.
Nah, gitu dong. Eh, Kak. hari ini Aku pulang loh!
Oh ya? Baguslah. Kapan mau main ke sini?
Kapan ya… kapan-kapan deh :P
Ck. Kakak siap-siap kerja dulu. Makan yang banyak, biar kondisi fit lagi. Dah~
Syukurlah kalau memang sudah pulang. Itu berarti kondisinya sudah jauh lebih baik dari kemarin. Sedikit sarapan, kemudian mandi, lalu bersepeda sendirian menuju kantor. Rutinitas itu kulalui. Dengan sms darinya yang kembali membuat hari-hariku sedikit lebih berwarna. Cieeh. Ya, sedikit, karena Aku masih belum bertemu lagi dengannya. Selain karena Aku tidak tahu di mana rumahnya, Aku juga tidak ingin menemuinya hanya untuk mengganggunya beristirahat. Bisa-bisa kondisinya drop lagi. Yah, meski begitu, ini awalan baru yang baik.
Saat Aku berada di kantor, berkutat dengan pekerjaan yang benar-benar membuat otakku hang, telepon darinya berhasil membuatku tersenyum tanpa alasan yang cukup jelas.
Yello?
Halo, Kak. Aku tagih janjinya buat besok loh.
Hm? Janji apa?
Ih tuh kan ah! Ngambek ah ngambek!
Yee, iya, iya. Kakak usahain dateng.
Kok usahain? Harus dateng!
Iya, iya ah. Lagi di rumah?
Engga. Lagi latihan buat besok. Kan Kakak bakal dateng. Jadi Aku harus tampil bagus.
Duh, Kakak jadi terhura. Eh, emang kondisi kamu udah bener-bener fit? Awas sakit lagi.
Udah fit seratuspersen, Kak. Gak usah khawatir. Kakak lagi kerja?
Iya
Yaudah deh, gitu aja. Semangat Kakak~ Muach
Tuut… Tuut… Tuut…
Kissbye darinya mengakhiri percakapan kami. Haha. Kissbye. Kapan terkakhir kali Aku mendapatkannya? Sudahlah. Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang hanya perlu memikirkan pekerjaan yang masih menumpuk. Dan juga hadiah untuknya nanti. Apa ya…?
Setelah berjam-jam Aku berkutat di depan komputer, akhirnya waktu pulang pun tiba. Jam 5. Di perjalanan pulang, dalam kayuhan sepedaku, pikiranku melayang mencari hadiah yang bagus, yang tepat, yang berkesan untuknya. Tapi apa??? Hingga Aku sampai di tempat tinggalku, secuil ide pun tidak muncul untuk hadiah yang ingin kuberikan padanya. Saat Aku mandi, saat makan malam, dan saat Aku rebahan di atas kasur sambil membaca sms selamat malam darinya, ide yang kucari masih belum kutemukan. Hingga Akhirnya, Aku tertidur.
Sepertinya Aku tertidur terlalu lelap karena Aku terbangun 1 jam sebelum show pertama teater dimulai. Buru-buru Aku mempersiapkan diri. Mandi, pakai parfum, pakai baju, pakai celana, makan seadanya, dan lain-lain, dan lain-lain. Untungnya tempat tinggalku dan mall di mana markas JKT48 berada dalam satu bangunan. Yah bisa dibilang begitu. Dan untungnya lagi, Aku sudah mengantongi verif FAR. Kugunakan KTP Bandung saat Aku apply tiket teater. Haha. Rupanya takdir berpihak padaku kali ini. Apakah ini merupakan penebusannya karena telah memisahkanku dengan Ve? Mungkin saja. Cie gitu.
Meski dekat, namun perasaan harap-harap cemas menemani langkahku menuju teater. Aku khawatir jika waktu penukaran tiket telah selesai sehingga akhirnya, Aku harus antri WL. Ugh! Aku tidak mau hal itu terjadi. Kupercepat langkahku dan ternyata, untaian antrian orang-orang yang masih menukar tiket menghilangkan kekhawatiranku seketika itu juga.
Setelah menukarkan tiket, sambil menunggu, Aku melihat beberapa banner ucapan selamat ataupun doa agar Ve lekas sembuh. Wah, wah. Mereka benar-benar luar biasa dalam mendukung oshi mereka. Lah, Aku? Apa yang bisa kuberikan? Hanya janji yang ditepati? Ck! Kurasa itu belum cukup. Sampai sekarangpun Aku masih belum menemukan ide yang pas mengenai hadiah yang cocok untuknya. Bagaimana ini?! Jujur, ini kali pertama bagiku mencari hadiah untuk orang lain selain keluargaku. Itulah sebabnya Aku dibuat pusing.
Panggilan Bingo dari satpam teater telah berkumandang. Para pemilik tiket FAR dipersilahkan masuk terlebih dahulu, dan di antara mereka adalah Aku, si pemilik tiket FAR. Berada di antrian paling depan, Aku langsung mengambil kursi tengah terdepan. Sambil menunggu Bingoselesai, pikiranku masih belum terlepas dari hal tadi. Dengan lantunan musik dari beberapa lagu JKT48, Aku termenung. Lalu, tiba-tiba saja sesuatu melintas di benakku. Ya! Itu dia! Astaga! Kenapa baru terpikir sekarang?! Hah! Apakah ada waktu untuk mempersiapkan semuanya? Yah, 2 – 3 jam mungkin cukup. Ya. Semoga saja cukup.
Overture berkumandang. Member satu per satu memenuhi panggung dan saat Ve memasuki panggung, sorakan dari vvots langsung membahana mengalahkan sisa-sisa Overture. Woah! Inikah namanya…. Namanya apa ya? Ah begitu lah pokoknya.
Lagu pertama dimainkan. Member menari dan bernyanyi menghibur para penonton. Awalnya Ve tidak menyadari kehadiranku di kursi paling depan. Yah, tidak apa lah. Lagipula, siapalah Saya ini. Hvft. Tapi, beberapa saat kemudian, saat lagu pertama hampir selesai, Ve melihatku. Dia melambai kecil dengan girang ke arahku. Aaakkk! Bukan eyelock lagi, Men! Tapi di ‘dadahin’. Hahaha. Kulirik penonton di sebelahku. Di belakangku juga. Mereka semua kegirangan. Apa lambaian tadi memang bukan untukku? Ah sudahlah.
Mulai dari lagu kedua, intensitas eyelockdengannya menjadi semakin sering. Di lagu terakhir pun, ia sempat mengerlingkan matanya padaku. Haha. Untuk saat itu, Aku menjadi vvots yang sangat beruntung. Yah, mereka yang berada tidak jauh denganku juga mungkin menganggap diri mereka masing-masing beruntung. Sangat beruntung karena mendapat fanservice yang luar biasa dari seorang Veranda.
Namun, di balik adrenalin yang terpacu karena kesenangan yang kudapat, Aku juga mendapat tatapan darinya yang khas. Bukan dari Veranda, tapi dari Melody. Ya, seolah dia berusaha memperingatiku. Kenapa? Apa Aku salah menjadi seorang vvots yang menikmati fanservice dari idolanya? Ah, sudahlah, yang penting, sepanjang pertunjukan, Aku menikmati penampilannya.
Sesi Hi-Touch. Tadinya Aku ingin berada di barisan paling depan agar nanti Aku tidak diinterogasi olehnya mengingat nanti di belakangku masih banyak fans yang tangannya sudah tidak sabar untuk hi-touch. Tapi, kalau begitu Aku tidak memiliki sedikit keleluasaan untuk berbincang dengan Ve barang sedetikpun. Dengan mengambil resiko kemungkinan diinterogasi, dan juga berjibaku untuk mendapatkan antrian paling belakang, akhirnya Aku mendapatkan posisi yang kuinginkan.
Perlahan, antrian mulai berjalan dan Aku dapat mendengar beberapa fans yang mengucapkan selamat atas kesembuhannya dan juga atas penampilannya yang all-out yang begitu dirindukan mereka. Bahkan, Aku dapat melihat fans yang antri di depanku, dengan begitu semangatnya mengucapkan selamat. Haha. Haruskah Aku juga seperti itu? Ah, tidak. Aku harus menjaga image.
“Ciee, yang dapet selamat dari fansnya ciee…”
“Kakaaak!!! Makasih udah datang!!!” serunya begitu bersemangat.
Wow. Untung saja fans yang di depanku sudah berjalan di depan cukup jauh jadi reaksi Ve tidak menarik perhatiannya.
“Gimana, Kak penampilanku? Bagus gak?” ucapnya sambil menggenggam tanganku.
Tunggu, tunggu. Digenggam? Bukan hi-touch?
“Bagus, kok. Bagus bangat. Haha. Eh tapi, ini kok gini?” tanyaku sambil melirik tanganku yang masih digenggamnya.
Bukannya tidak suka, justru sebaliknya, Aku merasa begitu bahagia. Tapi bagaimana kalau fans lain lihat? Akibatnya kan bisa...
“Eh, iya lupa.” Ucapnya sedikit malu-malu lalu mengangkat tangannya untuk hi-touch.
“Nah, gini baru bener. Haha. Masih kuat buat show 2?”
“Masih dong.”
“Oke. Kakak tunggu.” Ucapku buru-buru karena Aku sudah diusir oleh satpam teater.
Lalu, saat Aku berhadapan dengannya, dengan Melody, ia masih saja menatapku dengan tatapannya yang…
“Hai.” Sapaku canggung sambil hi-touchdengannya.
“Beneran cuman temen kan?” tanyanya sinis.
“Temennya sekaligus fansnya.” Jawabku nyengir.
Meski dengan jantung yang masih berdegup kencang gara-gara pertanyaan yang tiba-tiba itu, sekeluarnya dari teater, Aku langsung membeli beberapa barang yang kubutuhkan untuk membuat sesuatu untuknya lalu setelah itu, Aku melaksanakan apa yang ideku teriakkan. Tidak terasa, 2 jam sambil menunggu show 2 terlewati begitu saja sembari mempersiapkan ‘kado’ untuknya.
Show 2 dimulai. Dan Aku kembali duduk di row paling depan berkat keberuntungan Bingoku. Yah, untuk show 2 ini, Aku kalah undian untuk tiket FAR. Tapi tak apa. Tidak masalah. Seperti show 1, di show 2 ini banyak kontak yang kudapat dengannya. Eyelock, senyuman, kerlingan, danfanservice-fanservice lainnya. Dan tidak lupa juga tatapan tajam dari Melody. Ck!
“Hebat, ya. Baru sembuh udah langsung 2 show.” Ucapku saat hi-touch dengannya.
“Iya dong, Kak. Hehe.”
“Ini. Dibaca.” Lanjutku sambil cepat-cepat memberinya secarik kertas karena di belakangku masih ada fans lain. Yah, untuk kali ini, Aku antri di paling depan karena di belakang telah berdiri vvots garis keras.
Show 2 berakhir pukul 9 lebih. Dan di sinilah Aku. Di rooftop tempatku dulu biasanya memainkan gitar bersamanya, berbincang dengannya, menikmati irama rintik hujan bersamanya. Benar-benar kenangan manis yang sempat putus oleh sebuah ‘Peraturan Emas’ yang harus dianut olehnya.
Sambil memetik senar dari gitar yang sedang kupeluk, melantunkan melodi-melodi enerjik yang penuh kebahagiaan, dan dengan jantung yang berdebar cukup kencang, juga pikiran mengenai apakah ia akan datang kemari menemuiku atau tidak, mengingat sebelumnya Melody telah memberinya peringatan, Aku menunggunya di sini. Di bawah naungan langit malam yang benar-benar bersih. Hitam pekat dengan taburan bintang yang terlihat seperti gula yang berkilauan. Juga senyum dari bulan sabit, seolah menyempurnakan malam ini.
Detik demi detik berlalu, jarum jam pun mulai bergeser mendekati waktu yang telah dijanjikan. Semakin lama Aku menunggu, semakin gelisah Aku dibuatnya. Apakah dia akan datang? Apakah ideku ini tidak terlalu ceroboh? Yah, meski dia tidak datangpun Aku bisa mengerti. Lagipula, datang kemari sama saja dengan kembali menantang Golden Rules. Tapi, tentu saja Aku sangat mengharapkan kedatangannya. Menit demi menit kulewati sambil menunggu kedatangannya. Sudah lewat 1 jam dari waktu pertemuan yang kutulis di kertas yang kuberikan padanya tadi namun, tidak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa dia datang ke tempatku ini. Entah sudah berapa kali Aku menoleh tidak sabar ke arah pintu rooftop. Berharap seseorang yang kutunggu kedatangannya menggerakkan kenop pintu tersebut.
2 jam berlalu. Masih dengan ketidakpastian dan kegelisahan, Aku menunggu di sini. Hingga akhirnya, saat kulirik jam tangan yang telah menunjukkan waktu tengah malam, kuputuskan bahwa ia tidak akan datang. Inilah sebabnya Aku benci menunggu. Membuang waktu. Apalagi dalam ketidakpastian seperti ini. Dengan sedikit rasa kecewa, Aku meninggalkan tempat ini.Rooftop yang sudah kudekorasi sedemikian rupa untuk menyambut kedatangannya. Rooftop yang kuharap dapat kembali mematik kenangan indah yang kami lalui bersama. Rooftop yang seharusnya, mulai malam ini, dapat mengukir memori tak terlupakan yang baru bersamanya.
Sesampainya Aku di tempat tinggalku, Aku langsung merebahkan diri di atas kasur. Dengan setumpuk kekhawatiran dan secuil kekecewaan, tentu keadaanku ini tidak dapat membuat mataku terpejam. Tidak dapat membuat otakku berhenti memikirkannya. Tidak dapat membuatku beristirahat dengan tenang. Padahal besok pagi Aku harus kuliah. Hvft.
Aku bangun dari rebahanku. Berjalan menuju meja kerjaku. Menyalakan komputer, lalustalking twitternya. Beberapa tweet terbaru darinya tidak dikhususkan untukku. Yah, meski kembali merasa kecewa, tapi tak apa lah. Kembali, kuscrolllayar hingga mendapati tweet yang mungkin, mungkin ditujukan untukku.
Dan lagi… Maaf ya kalau Aku ngecewain :(
Well, kenapa Aku bilang ‘mungkin’? karena jujur, Akupun tidak tahu apakah tweet tersebut memang benar untukku atau bukan karena padatweet sebelumnya, ia menuliskan
Selama beberapa penampilan kebelakang, mungkin penampilanku gak seperti yang kalian harapkan, jadi Aku minta maaf untuk hal itu.
Aku juga minta maaf kalau selama itu, Aku gak ngasih kabar buat kalian. Maaf ya…
4 kata maaf yang kubaca dalam tweetterbarunya. Hmm… mungkin dia memang benar-benar tidak bisa menemuiku. Ya sudahlah. Tidak apa.
Drrrtt!!!
Hm? Telepon? Oh, Ve.
Yello?
Halo? Kak? Kakak marah ya sama Aku?
Ha? Marah kenapa?
Gara-gara Aku gak bisa datang nemuin Kakak.
Oh, itu. Marah sih engga, tapi kecewa. Sedikit itu juga. Hehe. Nyantai aja lah.
Ih, tapi kok daritadi Aku nelepon baru diangkat sekarang. Sms juga gak dibales.
Daritadi? Kulihat layar handphoneku dan ternyata terdapat tanda miss call di pojok kanan atas. Astaga. Aku lupa bawa handphone sewaktu dirooftop tadi.
Ah, sori-sori, hape Kakak gak kebawa tadi, jadinya gak tau kalau kamu nelepon.
Ih tuh kan. Bikin deg-degan ah. Tapi Kakak beneran gak marah kan?
Engga…
Hmm… maaf ya, Kak. Aku gak bisa dateng. Soalnya…
Iya, gak apa-apa. Kakak ngerti kok. Tidur gih, baru sembuh, terus perform 2 show, kamu masih harus banyak istirahat.
Iya deh. Aku tidur duluan ya, Kak. Sleep tight~ Muach
Haah… yah, setidaknya, setelah mendapat telepon darinya, lalu membaca beberapa sms darinya yang belum sempat kubaca tadi, pikiranku kembali tenang karena dalam sms-sms tersebut, ia menuliskan, dengan panjang lebar, kenapa ia tidak bisa menemuiku tadi. Ternyata, memang Melody.Licik ya dia. Iya licik. Ah sudahlah.
Keesokan paginya, tepat pukul 6, Aku terbangun. Dengan kelopak mata yang rasanya berat sekali untuk terangkat, Aku melangkahkan kakiku ke kamar mandi. Kau tahu? Kuliah di hari libur itu godaannya begitu berat! Setelah siap dengan segala sesuatunya, Aku langsung berangkat kuliah.
Kakaakk!!! Banguuun!!! Kuliaah!!!
Itulah isi sms yang kuterima darinya saat Aku tengah mempresentasikan tugasku tadi. Untung saja handphoneku dalam mode silent.
Udah dari tadi ooy! Telat ah! Ini lagi kuliah.
Oh. Kirain belum bangun. Hehe. Semangat kuliahnya, Kak!
Yah, begitulah. Meski isi pesannya singkat, namanya juga sms, tapi hal itu selalu membuatku senang, semangat, dan selalu membuatku senyum-senyum sendiri. Ya, kuakui itu.
Hari-hari berikutnya Aku lalui dengan sms-sms darinya. Aku masih belum bisa bertemu dengannya. Atau mungkin lebih tepatnya, dia masih belum bisa untuk bertemu denganku. Yah, setidaknya, sms-nya kembali mewarnai pagi, siang, dan malamku. Memainkan lagu yang ia pinta lewat sms.
Hingga pada suatu malam, ia memintaku memainkan lagu kesukaannya. Chaosmyth dari One Ok Rock. Hmm… lagu yang benar-benar penuh kenangan kupikir. Langsung saja kumainkan lagu permintaannya. Meski tanpa penonton karena memang jam operasional mall ini sudah berakhir, tapi Aku, di atas panggung ini, panggung yang sudah kuanggap sebagi panggung pribadiku, memetik senar gitarku layaknya sedang tampil di hadapan beribu-ribu penonton dan di antara ribuan penonton tersebut, duduklah dia, Veranda, yang terlihat paling bersinar di antara yang lain.
“Jadi inget dulu ya.”
Suara seorang perempuan tiba-tiba memecah melodi gitarku. Suara seorang perempuan yang sudah tidak asing lagi di telingaku. Suara seorang perempuan yang membuatku menoleh seketika itu juga untuk memastikan bahwa pendengaranku masih berfungsi dengan baik. Di sana, di kursi terdepan, di kursi yang paling dekat dengan panggung, duduklah dia. Dia yang dari dulu sampai sekarang, merupakan satu-satunya penonton pertunjukan gitar soloku.
Dengan setelan casualnya, kaos putih dan celana jeans panjang, dia duduk tersenyum memandangku. Senyum manis yang sudah lama tidak kulihat itu, memaksaku untuk membalas senyumnya. Senyum dari bibir tipisnya, senyum yang memperlihatkan deretan giginya yang putih, senyum yang menonjolkan tulang pipinya yang imut, senyum yang kurindukan.
“Hai, Kak.” ucapnya memecah kesunyian yang selama beberapa saat menyelimuti kami.
Mungkin ini terdengar aneh, lebay, atau bahkan bodoh. Tapi, saat Aku bertemu dengannya kali ini, entah mengapa kedua mataku terasa hangat seolah butiran-butiran air mata berusaha menembus keluar. Namun untungnya, Aku masih dapat mengendalikannya sehingga tidak setetespun air mata keluar membasahi pipiku.
“Wah, wah, kayaknya penggemar rahasia yang dulu datang lagi nih.”
“Iya nih. Kangen sama gitar Kakak.”
“Ooh. Nih, kasih salam sama gitarnya.” Ucapku sambil menyodorkan gitar yang kupegang.
“Yee, Kakak ngambek. Hahaha.”
“Ck. Gak takut ketauan?” tanyaku langsung.
Untuk sesaat ia terdiam.
“Engga. Aku langsung dari rumah kesini, jadi orang lain gak ada yang tau. Lagian, udah lebih dari sebulan kan kita gak ketemuan kayak gini. Jadi mungkin staff gak ada yang tau.”
“Hmm… mungkin. Terus Melody?”
Ia sedikit terkejut atas pertanyaanku itu. Terlihat jelas dari raut wajahnya. Namun kemudian, ia menjawab dengan tenang.
“Kak Melody juga gak tau.”
“Jadi, sebenernya, yang tau itu bukan staff, kan? Tapi Melody.” Ucapku.
Ia tertunduk. Mengangguk ragu.
“Terus kemarin, kamu dilarang sama Melody, kan?”
Ia kembali mengangguk. Aku mengerti kenapa ia tidak mengatakan yang sebenarnya saat kutanya mengapa ia pergi. Meski memang jawabannya tidak sepenuhnya salah. Lagipula, Aku tidak mau membuat kunjungannya yang setelah sekian lama kurindukan ini berubah menjadi interogasi. Bukankah seharusnya ini menjadi pengingat kenangan? Nostalgia.
“Ya udah lah. Sini, sini. Jangan jauh-jauh dong.” Ucapku sambil menarik Ve menaiki panggung.
“Nah, mau lagu apa?”
Wajahnya yang tadi penuh dengan penyesalan, kali ini berubah dihiasi senyuman. Matanya yang berkaca-kaca tidak jadi meneteskan air mata. Sambil duduk bersila di tengah panggung, ia mendekatkan diri padaku.
“Masa Kakak lupa sih lagu favorit Aku apa lagi?”
“Inget lah. Kereta malam, kan?”
“Ish! Itu mah Sendy!”
“Hahaha.”
Tanpa basa-basi lagi, kupetik senar gitar hingga membentuk suatu harmoni, irama, melodi sebuah lagu dari My Chemical Romance yang berjudul Disenchanted. Dalam petikan apik senar gitarku, Ve menyandarkan kepalanya di pundakku.
“Kayaknya gak bisa sering-sering kayak gini deh.”
“Hm. Gak apa-apa lah, daripada gak bisa sama sekali.”
Kembali, kami terdiam. Larut dalam irama petikan gitar. Hanyut dalam kenangan yang kami ingat. Tenggelam dalam nostalgia.
Mungkin ini terdengar egois, tapi Aku tidak ingin ia pergi dari sisiku. Aku benar-benar tidak ingin ia pergi lagi. Tapi, jarum jam menunjukkan waktu pulang bagiku, juga baginya.
“Udah malem ah. Pulang, pulang.”
“Yaah. Kok berasa cepet sih?!” gerutunya.
“Ya… gitu deh. Haha. Mobil diparkir di bawah?”
“Iya.”
“Yuk, Kakak anter. Takutnya ntar kamu nyasar.”
“Ih. Modus ih.”
“Yee, sekali-kali lah.”
Kami berdua berjalan dalam diam. Melangkahkan kedua kaki kami dengan perlahan seolah tidak satupun dari kami ingin berpisah terlalu cepat. Tangannya yang melingkar di lenganku cukup menjadi bukti akan hal itu. Di mall yang sepi ini, ia tidak terlalu mengkhawatirkanGolden Rules. Kami menikmati keheningan ini.
“Nih. Masih inget ini?” ucapku sambil memberikan sesuatu yang dulu pernah kuberikan padanya.
“Cokelat rasa kopi. Haha. Inget banget lah.”
“Takutnya ntar kamu ngantuk di jalan, makan itu aja. Ah, ini. Satu lagi.” tambahku sambil memberikan secarik kertas.
Kertas merah muda yang kutulis dengan tulisan bertinta biru. Ia sedikit terkejut. Seakan ragu untuk menerimanya.
“Ini… surat Aku yang waktu itu?”
“Bukan. Surat-surat kamu Kakak simpen baik-baik. Ini surat balasan. Balasan buat surat terakhir dari kamu.”
Aku selalu membawa surat balasan yang sudah kutulis dengan segala perasaan yang kurasakan saat Aku membaca surat terakhir darinya itu. Surat itu selalu terselip di dalam gitarku karena Aku yakin, suatu saat nanti, Aku akan bertemu lagi dengannya. Dan saat yang kumaksud itu ternyata datang pada malam ini!
“Dibacanya ntar pas nyampe rumah.” Ucapku memecah keheningan.
“A—ah.. iya.” Jawabnya gugup.
Kulihat matanya yang kembali berkaca-kaca. Kenapa? Apakah ia juga merasakan perasaan yang sama denganku? Tidak ingin berpisah barang sedetikpun? Hah! Ingat! Ingat! Jangan ke-GeeR-an.Lagipula, isi dari surat yang kutulis mungkin akan memberikan angin segar, membuka lembaran baru, dan merubah segalanya bagi kami berdua.
“Kalau gitu Aku pulang dulu ya, Kak. Dadah~”
“Iya, hati-hati.” Balasku sambil melambaikan tangan mengantar kepergiannya saat berbelok di tikungan.
Aku telah memperhitungkan semuanya. Memperkirakan segala kemungkinan. Dengan pertimbangan psikologis seorang wanita, Aku menulis surat yang tadi kuberikan padanya. Mungkin benar-benar egois diriku ini. Tapi, Aku benar-benar berharap sesuatu akan terjadi di kemudian hari. Dan kali ini, Aku akan dengan sabar menunggu.
Ini bukan malam terakhir bagi kami. Bukan juga akhir dari kisah kami berdua. Ini hanyalah awalan. Awalan dari lagu ‘Aturan Anti Cinta’ yang benar-benar menjadi sebuah kenyataan. Terima kasih telah datang malam ini, Jessica Veranda.
BERSAMBUNG...
note: Tolong komentarnya guys supaya saya semakin semangat ??. Thanks yang udah mampir baca cerita-cerita saya.
Share this novel