Mini Series Veranda (1)

Drama Completed 510

Semilir dinginnya angin malam membelai kulitku dengan tajam. Wajah pucat sang bulan menjadi satu-satunya penikmat dari petikan gitarku yang lembut dan berirama sendu ini. ‘Moon on the Water’. Itulah judul dari irama gitar yang ku mainkan. Tidak heran jika sesekali Aku melihat seulas senyum yang tersungging dari wajah sang bulan yang sedang menikmati pertunjukan sederhana dari seorang pria dengan gitar hitamnya ini karena sosoknya dijadikan judul lagu. Bintang-bintang ramai bertebaran menghiasi hitamnya langit malam layaknyaconfetti yang ditaburkan saat seorang Idol telah selesai mementaskan sebuah pertunjukan yang megah. Ya. Hanya mereka dan imajinasilah yang menemaniku dalam memainkan gitar ini. Tidak ada yang lain.

I want you~ I need you~ I love you~

Alarm dari handphone-ku seolah menjadi distorsi dari suasana malam yang kuanggap syahdu ini. Aku beranjak dari satu-satunya tempat favoritku di kota ini untuk turun 1, 2 lantai hingga akhirnya Aku tiba di lantai 5 sebuah pusat perbelanjaan atau bisa juga disebut mall di daerah Senayan ini. Ku lihat sudah sebagian besar toko-toko di lantai 5 dan lantai-lantai sebelumnya tutup. Tidak heran. Tengah malam ini mana ada pelanggan yang menyambangi toko mereka kecuali Kuntilanak. Bayangkan sesosok wanita dengan daster putih dan punggung berlubang dan penuh darah juga belatung menyambangi toko bakso di lantai 5 ini lalu berkata “Mas, baksonya 500 mangkok. Hihihihihi.” Ah sudahlah. Tidak mungkin ada Kuntilanak yang mau makan 500 mangkok bakso. Hal itu bisa menyebabkan perutnya gemuk dan terpaksa harus diet untuk membentuk kembali tubuh idealnya. Dan lubang punggung yang ideal.

Oke. Kembali ke kenyataan. Aku baru sampai di lantai 5 dan dengan segera, Aku menghampiri tepian lantai tersebut untuk memeriksa keadaan lantai di bawahku. Ya. Aku hanya ingin memastikan apakah para fans dari idol group itu sudah bubar atau belum. Namun, tampaknya masih ada 1 atau 2 makhluk yang bertengger di depan teater JKT48. Aku tidak mengerti apa sebenarnya tujuan mereka.  Padahal teater sudah selesai. Demachi? Gila. Tidak cukupkah idol mereka menampilkan penampilan yang baik di teater hingga mereka harus diikuti sampai keluar mall ini demi memuaskan hasrat idiot para fans yang biasa disebut zombie itu? Ah itu bukan urusanku. Lagipula, sesama fans tidak boleh saling menghina, benar kan? Tapi Aku baru saja melakukannya. Haha. Lupakan.

Aku turun ke lantai 3 untuk menggunakan panggung kecil yang biasanya dipakai oleh orang-orang yang telah perform di sana. Panggung yang tepat berada di bawah teater JKT48 sehingga kau bisa melihat  siapa yang sedang menginjakkan kaki di atas panggung itu dari sana. Itulah sebabnya mengapa Aku memeriksa apakah para zombie itu sudah lenyap dari lantai 4 atau belum, karena Aku tidak ingin petikan-petikan gitarku menyita perhatian mereka.

“Eeh, Udah turun aja.” Ujar salah seorang satpam yang sudah sering berbincang denganku jika tiba waktunya ia shift malam.

“Iya nih, Pak. Oh iya, ntar Saya kayak biasa, ya Pak.” Timpalku.

“Oke, deh.” Balas satpam seraya pergi meninggalkanku.

Sambil menunggu beberapa zombie lenyap dari pandanganku, Aku turun ke lantai bawah untuk sekedar membeli beberapa cemilan dan minuman sebelum akhirnya Aku kembali menginjakkan panggung kecil yang berada di lantai 3 itu saat kulihat mereka telah lenyap. Ya. Zombie-zombie itu telah lenyap. Akhirnya Aku bisa memanjakan jariku dan senar-senar gitarku dengan tenang. Sekitar setengah jam Aku melantunkan musik dari senar-senar gitarku ketika Aku mulai merasa sedikit suntuk.

Sambil membawa kantong plastik berisi beberapa cemilan yang tadi kubeli. Aku berkeliling mulai dari lantai dasar, lalu ke lantai 1, hingga ke lantai 4. Semuanya sudah tutup. Toko-toko di situ sudah tutup. Suasana sepi dan sedikit mencekam. Ini membuat imajinasiku menari liar. Aku suka keadaan seperti ini. Sambil berjalan, Aku membayangkan suatu invasi sekawanan fans JKT48 yang benar-benar berubah menjadi zombie. Mereka menyerbu satu lantai. Satu tempat di mana virus yang menyebabkan mereka menjadi zombie berasal. Teater JKT48. Ya. Tempat yang saat ini berdiri membisu di hadapanku. Tempat yang hampir setiap hari tidak pernah sepi pengunjung. Tempat sakral bagi para fans JKT48.

“Andai saja hidupku seperti fanfic-fanfic yang dibuat para fans. Bertemu secara tidak sengaja dengan sang Idol, lalu sering bertemu di tempat yang sama ini hingga akhirnya tumbuh benih-benih tjinta. Haah…”

“Heish!” Segera kutepis imajinasiku yang satu itu. Mengembalikan akal sehatku ke dunia ini. Dunia nyata di mana lagu dari project-pop yang berjudul ‘Pacarku Superstar’ lebih cocok menggantung di kehidupanku dan juga kehidupan mereka, fans JKT48 yang mendambakan idol mereka menjadi kekasih mereka. Belahan hati dan jiwa mereka. Teman hidup mereka.

Setelah selesai mengelilingi seluruh lantai yang telah diselimuti suasana sepi dan sedikit gelap, Aku kembali ke lantai 3 untuk melanjutkan apa yang sebelumnya telah kurasa suntuk. Gitar hitamku kembali bersentuhan mesra dengan kedua tanganku. Jemariku memanjakan setiap senar hingga menghasilkan dentingan irama yang Aku pikir cukup merdu. Cukup menenangkan untuk mendukung suasana di gedung ini.

“Cepetan! Gue ngeri di sini. Udah sepi, gelap pula.”

“Ya kenapa juga hape lo yang ketinggalan di teater harus banget diambil sekarang. Kan besok juga bisa.”

“Gak bisa… Kan udah Gue bilangin, itu bakalan penting banget buat kuliah besok.”

“Ya udah, ya udah. Cepetan.”

Itulah percakapan yang ditangkap oleh sebelah telingaku yang tidak kusumbat earphone. Suara yang berasal dari 2 wanita yang menyebut-nyebut tempat sakral bagi fans JKT48, yang mengganggu suasana khidmatku. Mungkinkah mereka member? Kalau memang iya, lalu Aku mau apa? Meneriaki mereka maling ditengah sepinya mall ini? Yang ada Aku yang mereka curigai sebagai zombie akut yang rela menginap di mall ini hanya untuk mendapatkan kesempatan untuk bertemu mereka. Hah. Tanpa sedikit memperdulikan suara mereka, Aku kembali memetik senar-senar gitarku.

“Hey! Cepetan. Ini beneran horror nih! Aku ngedenger suara-suara!”

Pfft! Ingin rasanya Aku tertawa mendengar perkataan itu. Masa iya melodi bagus begini dibilang horror.

“Suara apaan? Yuk ah cepetan udah dapet nih hapenya.”

“Eeeeh! Jangan pake lift! Takut ntar kejebak di dalemnya terus ada apa-apa. Hiii. Mending lari lewat eskalator aja!”

“Lah? Kan tadi naiknya pake lift?”

“Ah yang penting jangan.”

“Iya deh iya.”

“Elah! Penakut.” Gumamku.

Tanpa kuhiraukan, kulanjutkan kembali petikan gitarku hingga kutangkap oleh sudut mataku bahwa mereka berdua tengah berlari menuruni eskalator yang berada di samping kanan panggung yang sedang ku kuasai ini.

“Tuh sumber suara yang lo denger tadi kayaknya.”

“Ah, iya. Gila. Malem-malem sendirian di sini mainin gitar. Apa jangan-jangan dia…”

“Bukan! Tuh liat kakinya napak!”

“Ooh. Tapi kok dia gak ‘ngeh’ sama kita sih?!”

“Bukan fans kali.”

“Oh. Yaudah yuk ah. Kirain apaan tadi.”

Akhirnya mereka menghilang dari penglihatan sudut mataku dengan suara-suara dari gurauan mereka di mana Aku yang menjadi bahan gurauannya. Kenapa tidak sekalian saja mereka jadikan Aku bahan bangunan?! Hahaha. Comic Sunda banget yah. Seiring dengan menghilangnya suara mereka, Aku melihat jam tanganku yang telah menunjukkan waktu dimana Aku harus pulang. Oke. Sudah saatnya Aku kembali ke tempat tinggalku yang kebetulan dekat dengan mall ini. Bahkan mungkin bisa dibilang satu gedung.

Selama ini, rutinitasku mejadi penyanyi solo tanpa penonton yang selalu tampil tengah malam di mall ini tidak pernah diganggu oleh sesuatu yang aneh, hingga suatu malam, saat Aku berjalan naik menuju rooftop untuk memainkan gitarku sambil menunggu para zombie itu bubar, Aku mendapatkan secarik kertas saat Aku berpapasan dengan satpam biasa yang berjaga malam.

“Apa ini, Pak?”

“Itu kertas.”

“Dih! Saya juga tau. Tapi maksudnya ini apa?”

“Gak tau Saya juga. Tapi Saya dapet ini dari---, ah Saya gak ngebacanya kok. Itu belum Saya buka.”

“Hmm… Oke deh. Makasih ya, Pak.”

Sambil berjalan menuju rooftop, Aku terus memandangi kertas tersebut. Kertas berwarna merah muda dengan semerbak wangi jasminedari kertas tersebut. Sesampainya di tempat yang kumaksud, Aku menjatuhkan tubuhku di atas sofa yang terdapat di atap gedung mall ini. Ya. Sedikit banyak tempat ini sudah Aku modifikasi agar nyaman ku gunakan untuk merenung, bergalau ria, atau bahkan hanya sekedar untuk memanjakkan tanganku dengan senar gitar.

Dengan segala kemungkinan yang ada di kepalaku mengenai sang pengirim kertas feminine ini, Aku membuka dan membaca tulisan yang berada di balik lipatan kertas tersebut. Tulisannya rapi. Pemikiranku menyimpulkan bahwa kemungkinan besar ini adalah tulisan perempuan karena selama 22 tahun Aku hidup di muka bumi ini, jarang sekali Aku menemukan lelaki yang memiliki tulisan rapi. Tulisan tersebut ditulis oleh tinta biru.

Hai. Sejak hari itu, Aku berharap bahwa kau berada di situ setiap hari. Dan ternyata benar. Kau dengan gitar hitammu itu menjadi pemanja telingaku sejak hari itu. Aku yang tertunduk ini tidak pernah merasa pegal untuk mendengar atau bahkan melihatmu memainkan gitarmu. Aku berharap kau dan lantunan indah dari gitarmu itu selalu ada untuk melepas rasa lelah dan letihku. Semoga kedatangan tiba-tiba suratku ini tidak membuatmu risih.

10. 22 

Hmm… Penggemar rahasia, kah? Ah mana mungkin. Yang tahu Aku tampil tengah malam di panggung itu hanyalah satpam-satpam itu. Atau jangan-jangan… justru pengirim surat ini adalah salah satu dari satpam-satpam itu? Hii! Geli! Ah sudahlah. Ini bukan saatnya untuk memikirkan hal-hal aneh. Ini adalah waktu bagi otakku untuk rileks dengan dimanjakan oleh suara yang dihasilkan oleh hubungan intim antara jari jemariku dengan senar gitar hitam yang kupegang ini.

I want you~ I need you~ I love you~

Dan kembali, suara alarm ku menjadi sebuah distorsi dari suasana syahdu yang sedang kunikmati ini. Pukul 12 tengah malam. Aku harap malam ini tidak ada satupun zombie-zombie yang masih berkeliaran. Itu berarti secara tak langsung, Aku berharap para member JKT48 itu semuanya sudah pulang, meski sebenarnya Aku ingin melihat mereka. Ah, sepertinya otakku sudah mulai terjangkit virus yang diidap zombie-zombie itu. Bahaya.

Sesampainya di lantai f5, seperti biasa, Aku memeriksa lantai yang tepat berada di bawahku apakah sudah bersih dari zombie atau belum, dan ternyata… Aman. Dengan langkah ringan, Aku berjalan menuju ‘panggung’ku untuk memainkan beberapa lagu hingga waktu mengharuskanku untuk kembali ke tempat tinggalku.

Aku berpikir mungkin surat itu hanya selewat saja karena keesokan malamnya, saat Aku berjalan naik menuju rooftop dan kembali berpapasan dengan satpam yang memberiku surat tersebut, ia tidak memberikan surat lanjutan atau bahkan sedikitpun petunjuk mengenai surat tersebut. Yah, Aku tidak terlalu mengambil pusing hal itu. Kembali, Aku menjalankan rutinitasku sebagai makhluknocturnal.

Namun nampaknya, anggapanku mengenai surat tersebut yang mungkin hanya selewat langsung memudar karena Aku kembali mendapatkan secarik kertas yang sama seperti yang Aku terima 2 hari sebelumnya. Kertas merah muda beraroma jasmine.

“Pak. Ini dari siapa?”

“Rahasia~”

Mendapatkan jawaban seperti itu, Aku langsung pergi meninggalkan si satpam menuju rooftop. Sesampainya Aku di tempat sakral milikku ini, Aku membuka kertas yang telah kudapat melalui orang yang sama di hari rabu kemarin. Sambil merebahkan diriku di atas sofa empuk ini, kubaca tulisan rapi bertinta biru itu.

Kau kembali rupanya. Ya. Seperti dugaanku. Kau kembali. Membawakan beberapa lagu dan ternyata diantara lagu yang kau bawa itu, salah satunya adalah lagu kesukaanku. Ingin rasanya suaraku ini bersanding dengan irama dari petikan gitar milikmu. Ya. Aku benar-benar menunggu saat itu datang.

Hm?! Tunggu! Symbol ini kan... Mungkinkah? Tapi kemungkinannya sangat kecil. Alah, mungkin ini keisengan dari seseorang yang Akupun tidak yakin apakah ini benar-benar hanya sebuah lelucon belaka atau bukan. Setelah Aku berhenti memikirkan 2 surat yang Aku dapatkan itu, Aku melanjutkan rutinitasku sebagai makhluknocturnal yang doyan bermain gitar di rooftop,tempat sakralku ini, hingga alarm dengan intro lagu ‘Heavy Rotation’ kembali menjadi pengingat bahwa sudah waktunya Aku menyambangi ‘panggung’ kecil pribadiku dan memainkan beberapa lagu hingga sudah waktunya untukku pulang ke tempat tinggalku.

Keesokan malamnya, ya, malam. Tidak perlu ku ingatkan lagi Aku makhluk seperti apa, Aku kembali melakukan rutinitasku tanpa secarik kertas merah muda yang semalam lalu Aku terima. Namun, semalam kemudian, surat tersebut kembali mendarat di tanganku melalui satpam biasa yang telah mengantarkan 2 surat sebelumnya.

Aku kira di sabtu malam kemarin itu kau tidak akan tampil kembali di ‘hadapan’ku. Tapi ternyata penantianku tidak sia-sia. Kau datang sambil menggendong kantong gitar di punggungmu. Aku melihatmu, memperhatikanmu dari balik kegelapan, mendengarkan lantunan nada dari senar gitar yang telah kau petik sedemikian rupa. Hal itu membuat hatiku tenang. Entah mengapa. Semoga kau tidak merasa risih dengan surat-suratku ini.

Save ices dan jar.

Seperti tersambar petir di siang bolong. Atau mungkin lebih tepatnya malam bolong, terbersit di pikiranku seseorang yang mungkin adalah pengirim dari 3 surat ini. Meski sebelumnya Aku anggap kemungkinannya hampir 0, tapi kali ini Aku yakin hingga 99 bahwa ‘dia’lah yang mengirimkan surat ini. Sambil menunggu waktu tepat menunjukkan pukul 12 tengah malam, Aku memainkan gitarku di tempat sakralku ini, meski sebenarnya pikiranku melayang membayangkan surat tersebut dan pengirimnya hingga suara alarm menarik kembali pikiranku untuk turun ‘tampil di panggung’.

Setibanya Aku di atas panggungku, Aku langsung memainkan beberapa lagu yang benar-benar sudah tidak asing lagi bagi ‘dirinya’. Semua lagu yang Aku mainkan malam itu adalah lagu-lagu yang ia hafal. Aku berharap bahwa ia ikut bernyanyi, menemani lantunan nada-nada yang dihasilkan senar gitarku, meski hanya sebatas nyanyian dalam hati. Saking asiknya Aku memainkan lagu, tidak terasa jarum pada jam tanganku mengingatkanku untuk kembali ke tempat tinggalku.

“Sampai jumpa.” Ucapku seraya pergi meninggalkan ‘dia’ yang mungkin sedang bersembunyi untuk menikmati ‘penampilan’ dariku.

Keesokan malamnya hingga hampir seminggu penuh, Aku sengaja tidak ‘tampil di panggung’ kesayanganku hanya untuk memberinya kejutan. Hingga… di sinilah Aku. Berdiri di tengah-tengah fans yang sedang mengantri untuk menanti suara dari bapak penjaga berbaju hitam yang memanggil nomor Bingo mereka. Ya. Aku berdiri mengantri untuk menonton teater JKT48. Aku mendapatkan nomor keberuntunganku sebagai nomor Bingo. 7. Ya. Itulah nomor keberuntunganku yang rupanya benar-benar memberiku keberuntungan. Bingo 7 dipanggil kedua setelah yang pertama adalah Bingo 4.

Seiring dengan langkahku memasuki teater, jantungku berpacu cukup cepat mengingat ini pertama kalinya Aku menonton penampilan tim J, karena sebelumnya Aku baru menonton pertunjukan tim K, itu pun hanya 2 kali ketika memang ada waktu lenggang, Aku melangkahkan kakiku ke kursi paling kanan di barisan ke 3 bangku biru. Kursi yang tepat bersebelahan dengan bangku hijau. Kursi yang telah dipersembahkan oleh nomor keberuntunganku. Kursi yang Aku pikir cukup strategis. Tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh.

Debaran jantungku menemaniku menunggu show dimulai hingga suara ‘dia’ yang menjadi seorang Kageana menambah cepat degup jantungku. Ya. Sudah kuduga dia akan tampil karena sebelumnya Aku telah melihat jadwal siapa saja yang akan tampil di teater malam ini. Overture berkumandang. Tim J yang tampil pada malam itu mulai berdiri di panggung. Bersama dengan ‘dia’ di antara mereka. Di setlist teranyar ini, setlist ‘Dareka no Tame ni’, lagu-lagu yang mereka bawakan terdengar asing di telingaku. Tapi cukup membuatku menggumamkan irama-irama musiknya.

Aku menikmati penampilan lagu pertama dari mereka hingga suatu kejadian membuat Aku, 100% yakin bahwa ‘dia’ lah yang mengirimkan 3 kertas merah muda beraroma jasmine dengan beberapa kode yang ia sisipkan dalam tulisan di balik lipatan kertas tersebut.

Entah suatu kebetulan atau memang takdir yang menyebabkan tatapan matanya bertemu dengan tatapan mataku. Eyelock jika para fans menyebutnya, saat ia bertatapan denganku, dance-nya menjadi sedikit berantakan. Hingga yang benar-benar jelas terlihat adalah ketika ia membawakan unit song yang Aku tidak tahu judulnya apa, yang ia nyanyikan berdua bersama salah satu member lainnya, ia benar-benar terlihat gugup ketika Aku memperhatikannya dalam-dalam.

Aku hanya bisa tersenyum melihatnya seperti itu. Dan juga dance-dance-nya yang sedikit off-beatsaat kami bertatap mata di lagu-lagu sisanya. Ya. Aku terlalu fokus padanya hingga Aku tidak terlalu memperdulikan lagu apa yang sedang berkumandang. Teriakan ‘ankoru’ akhirnya membuatku tersadar bahwa show akan segera berakhir dengan beberapa lagu yang akan dibawakan setelah orang-orang yang meneriakkan ‘ankoru’ itu kehabisan suara, dan… show pun berakhir. Saat mereka mengucapkan terima kasih untuk yang terakhir kali, Aku lihat dia menatapku sambil menyunggingkan senyumannya yang khas.

Aku tidak bermaksud GeeR, tapi, Aku memiliki cukup keahlian dalam membaca bahasa tubuh dan gerakan-gerakan yang dihasilkan jika seseorang tengah merasa gugup, menyembunyikan sesuatu, senang, sedih dan yang lainnya. Dan gelagatnya tadi itu, sudah cukup jelas bagiku.

Sesi hi-touch. Dengan secarik kertas di sakuku, Aku berdiri mengantri di paling belakang barisan dengan maksud agar tidak menghambat orang yang mengantri di belakangku nanti. Namun rupanya, Aku harus bersusah payah untuk mendapatkan antrian paling belakang karena mereka-mereka, fans-fans yang mungkin layak dibilang ‘alay’, berebut untuk mendapatkan antrian paling belakang hingga akhirnya mereka dipaksa maju oleh petugas keamanan.

“Hei, kok tadi lo keliatan gugup sih?” Tanya orang kedua yang mengantri di depanku padanya.

“Masa, sih?” jawabnya.

“Iya. Dance-nya juga sedikit berantakan.” Tambah fans yang mengantri tepat di hadapanku.

“Yaah. Maaf ya. Aku bakal nampilin yang lebih baik lagi ke depannya.” Jawabnya lagi dengan wajahnya yang ditekuk cemberut.

“Tapi kalau kata Aku sih tadi itu penampilan yang bisa kubilang ‘jujur’ yang kamu tampilin.” Ujarku saat tiba giliranku hi-touch dengannya.

“A… Ah. Iya.. Ma- Makasih ya udah dateng.” Balasnya.

“Ini. Dibaca ya. Dibaca sesegera mungkin. Jangan ditunda-tunda.” Tambahku sambil memberikan secarik kertas yang telah Aku persiapkan sebelumnya.

Aku pun melanjutkan sesi hi-touch dengan member-member di depan setelah sebelumnya, ku lihat kertas yang Aku berikan padanya menjadi bahan rebutan dengan member lainnya. Haha. Idol juga ternyata bisa berebut kertas ya.

“Dia ngerti gak ya arti dari tulisan di dalem surat itu?”

Begitulah pertanyaan yang terus bergaung di kepalaku saat Aku melangkahkan kakiku menjauhi teater menuju tempat tinggalku. Hingga akhirnya, Aku berada di atas tempat tidurku. Merebahkan diri sambil melamun. Sesekali, Aku cek twitter apakah ada ‘sesuatu’ di timelineku.

“Makasih buat teater hari ini. Maaf ya kalau penampilanku tadi kurang bagus. Aku bakalan berusaha lebih baik lagi ke depannya.”

Oh. Tepat saat Aku membuka twitter, tweet dari ‘dia’ muncul. Yah. Rupanya tidak sesuai dengan apa yang Aku harapkan. Apa Aku terlalu ke-GeeR-an hingga membuat kesimpulan bahwa ‘dialah’ sang pengirim surat itu? Tapi beberapa petunjuk dari surat-surat itu menunjukkan bahwa ‘dialah’ yang mengirimkannya.

“Eh tapi teater hari ini bener2 seneng deh. Salah satu teater paling menyenangkan selain perayaan ultahku. Hehe. Makasih ya udah datengJ”

“Hoo…” gumamku.

Tweet yang memberikanku sedikit pengharapan bahwa semoga tweet ini ditujukan untukku. Haha. Bener-bener delusional deh.

I want you~ I need you~ I love you~

Alarmku berbunyi. 10 menit menuju waktu yang telah Aku janjikan untuk bertemu dengannya. Itupun jika ia menemukan arti di balik tulisan-tulisanku. Aku bangun dari nyamannya kasurku, menggendong tas berisi gitar di punggungku, lalu kemudian berjalan menuju tempat sakralku.Rooftop.

Masih 5 menit lagi menuju waktu yang telah ditentukan. Disini, Aku menunggunya. Sedikit harap-harap cemas. Sambil memainkan beberapa lagu yang bahkan Akupun tidak dapat berkonsentrasi untuk memainkannya. Sudah lewat 5 menit dari waktu yang dijanjikan. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan datang. 10 menit lewat. Haah. Apakah kode yang Aku sisipkan itu terlalu sulit? Atau memang bukan dia yang mengirimkan kertas merah muda itu?

Harapanku akan kedatangan dirinya hampir saja memudar ketika…

Cklek…

Suara pintu rooftop terbuka hingga menampilkan sesosok gadis yang Aku nantikan kehadirannya. Gadis berparas cantik dengan rambut panjang. Mengenakan kaos putih bertuliskan ‘JKT48’ danhot pants. Di wajahnya masih tergambar sisa-sisa kelelahnya setelah tampil di hadapan fans-fansnya. Namun di balik itu, terlukis perasaan bahagia yang tergambar jelas sejelas bulan yang menerangi malam pertemuanku dengannya ini.

“Hai. Aku kira kode yang tadi Aku kasih terlalu susah buat ditebak sama kamu.” ujarku setelah Aku menghampirinya untuk mempersilahkannya duduk di sofa.

“Yah. Lumayan sih. Tapi, kok kamu bisa tau kalo Aku yang ngirim surat-surat itu? Padahal Aku udah mikir lumayan lama loh buat bikin kode-kode itu.” ujarnya saat Aku menemaninya duduk di sofa di hadapannya.

“Sebenernya sih Aku udah yakin kalau yang ngirim surat-surat itu kamu, tapi keyakinanku itu segera pudar kalau Aku inget kamu adalah seorang idol. Seorang yang bahkan harus punya tiket handshake untuk bisa sekedar salaman sama kamu. Sesosok Badai, sesuai sama apa yang kamu tulis di surat kedua. Seorang Jessica Veranda.” Jawabku.

“Lagipula, kamu gak tau kan, kalau Aku juga seorang Sherlockian?” tambahku.

“Oh ya? Wah, Aku salah dong pake kode geng-nya Duke.” Tambahnya sedikit kecewa dengan pipi digembungkan.

Lucunya... Saat itu Aku bertanya-tanya apakah Aku sedang bermimpi atau tidak? Ah tapi tidak apalah kalau ini hanya sebatas mimipi. Berbincang dengannya. Bertatap mata. Saling berhadapan. Sebuah mimpi yang bahkan tidak bisa diwujudkan oleh lucid dream.

“Haha. Lagipula, Aku inget hari dimana surat-surat itu datang. Surat pertama datang di hari rabu, terus yang kedua hari jumat, dan yang ketiga hari minggu. Surat-surat itu datang sehari setelah kamu tampil di teater, yang membuat Aku berpikir kalau mungkin, kamu menikmati penampilanku selepas perform.”

“Yah, tanpa symbol itu pun Aku udah bisa sedikit menebak kalau kamu yang ngirim surat itu dari beberapa petunjuk yang mungkin dengan sengaja diselipkan sama kamu di sana. Misalnya, di surat yang pertama, ada kata-kata ‘sejak hari itu’ yang membuatku berpikir bahwa orang yang baru melihatku tampil di panggung itu lah yang ngirim surat tersebut.”

“Lalu, Aku inget 2 perempuan yang pada suatu tengah malam, datang ke teater cuman buat ngambil hape-nya. Yah, Aku kira itu hanya fans biasa, tapi kemudian Aku berpikir ‘fans gak mungkin dateng tengah malem ke teater yang mungkin udah dikunci cuman buat ngambil hape.’ Jadi, mungkin yang ngirim surat itu kalo gak member mungkin staff yang malam itu, secara gak sengaja, ngeliat Aku tampil di panggung.”

"Dan, hal terakhir yang bikin Aku berpikir kalau yang mungkin ngirim surat pertama itu adalah kamu, yaitu angka 10. 22. Kode yang sangat mudah kalau boleh Aku bilang. 10 itu huruf ke 10, yaitu J. Terus 22, yaitu huruf V. Terus, yang bikin Aku yakin kalau yang ngirim surat itu adalah kamu, bukan Jeje, yaitu symbol Duke tadi. Lucu juga ya. Ternyata kamu mengakui kalau kamu itu badai. Hahaha.”

“Ih. Habisnya Aku gak berani kalau Aku harus nulis nama Aku pake symbol itu.” Timpalnya malu-malu namun terkesan manja.

“Hahaha. Tapi kok di surat yang ketiga, kamu nulis nama kamu? Yah, meski secara gak langsung sih. ‘Save ices and jar’ itu kan anagram dari ‘Jessica Veranda’.”

“Itu kan…” jawabnya ragu sambil tertunduk.

“Tapi Aku suka, kok. Ternyata yang ngirim surat itu kamu.” balasku tersenyum.

“Nah, sekarang, dari beberapa kode yang Aku masukin di surat itu, apa yang bikin kamu berpikir kalau Aku ada di sini?” tanyaku.

“Ah, ini…” ujarnya sambil menunjukkan secarik kertas dengan tulisan tanganku tertera di atasnya.

2 langkah sebelum 2 ksatria menatap langit, Aku menunggumu tepat di atasmu. Di tempat di mana Aku dapat dengan jelas melihat para penguasa malam. Hanya orang yang terpilihlah yang mengetahui keberadaanku.

“Pertamanya Aku bingung, apa arti dari kata-kata ‘2 langkah sebelum 2 ksatria menatap langit’. Kata-kata itu bikin Aku bener-bener harus berpikir keras.” Lanjutnya dengan tatapan yang masih tertuju pada surat yang Aku berikan itu.

“Terus Aku baca ‘Hanya orang yang terpilihlah yang mengetahui keberadaanku.’ Aku berpikir, mungkin satpam yang Aku titipin surat ini dengan orang yang dimaksud di sini. Buru-buru Aku samperin satpamnya terus nanya-nanya kalau kamu biasanya ada di mana. Dan… dia ngasih tau tempat ini. Ya, padahal dengan kata-kata ‘Aku menunggu tepat di atasmu. Di tempat di mana Aku dapat dengan jelas melihat para penguasa malam’ itu udah jelas nyebutin kalau kamu ada disini. Tapi Aku takut kalau pintunya dikunci.”

“Oh, si Pak satpamnya gak ngasih tau kalau Aku punya kunci duplikatnya?” tanyaku.

“Engga.”

“Hmm… ya udahlah. Makasih loh karena kamu mau capek-capek kesini hanya buat sekedar ketemu sama Aku.”

“Gak apa-apa kok. Eh tapi, apa sih arti ‘2 langkah sebelum 2 ksatria menatap langit’?”

“Oh itu. Kayaknya kamu gak suka baca komik ‘Detective Conan’ ya?”

“Engga.”

“Itu kode Aku dapet dari komik itu. Yah dengan sedikit modifikasi tentunya. Jadi, arti dari ‘2 ksatria menatap langit’ itu 2 jarum jam yang menunjuk angka 12 tengah malam. Sementara untuk ‘2 langkah sebelum’ itu ya, 2 jam sebelum jam 12. Jadi, jam 10.”

“Ooh. Wah, berarti beruntung dong Aku gak terlau telat sama gak terlalu cepet datang kesininya.”

“Iya. Haha. Kayaknya dewi keberuntungan masih mau berdampingan dengan bidadari yang gak kalah cantik dengannya.”

“Ih. Kamu apaan sih.” Timpalnya tertunduk dengan senyum khasnya yang menonjolkan tulang pipinya yang imut.

Krriing…

“Ah, ya? Ada apa, Nal? Oh iya, sori-sori. Gue ke sana sekarang.”

“Eh, maaf ya. Kayaknya Aku harus buru-buru pulang deh.” Ujarnya setelah ia mengakhiri pembicaraannya dengan lawan bicaranya di telepon.

“Oh iya. Makasih ya udah repot-repot mau datang ke sini.”

Dia hanya membalas perkataanku dengan anggukan dan senyuman manisnya.

“Eh, Ve. Tunggu bentar!” seruku menghentikan langkah Ve yang sudah sampai di ambang pintu.

"Ya?”

“Tweet kamu barusan, apa itu buat Aku?” tanyaku sedikit ragu.

“Emm… dengan kemampuan hipotesis yang kamu punya, kayaknya kamu tau itu buat siapa.” Jawabnya sambil melambaikan tangannya pergi meninggalkanku yang masih tertegun atas jawabannya itu.

“Aw! Sshh… rupanya ini bukan mimpi. Hahaha.”

Ya. Itulah pengalaman pertamaku bertemu dan berbincang sedekat itu dengannya. Dengan dia, Jessica Veranda. Meski sebentar, tapi Aku benar-benar merasa… hah! Sulit rasanya jika Aku harus menuliskannya dengan huruf-huruf yang kemudian dirangkai menjadi kata-kata yang manisnya melebihi gula jawa sekalipun. Mungkin anggota OFC sekalipun jarang mendapatkan kesempatan seperti ini. Haha.

Tadinya kupikir, pertemuan itu akan menjadi pertemuan pertama sekaligus terakhirku dengannya mengingat dirinya yang seorang idol. Namun rupanya, pemikiranku itu segera terbantahkan oleh kehadirannya di keesokan malamnya, saat Aku, seperti biasa, sedang memainkan gitarku di panggung lantai f3. Dia datang dengan menggunakan kemeja lengan pendek berwarna biru dan celana jeans panjang berwarna hitam. Rambutnya yang tergerai menambahkan pesona yang ia pancarkan.

“Hai.” Ujarnya sambil tersenyum melangkah mendekat di hadapanku.

“Wah. Kayaknya penggemar rahasiaku bukan lagi penggemar rahasia.”

“Yah, jadinya kamu lebih milih Aku sembunyi buat denger kamu main gitar, gitu?” ucapnya dengan wajah datar

“Engga sih. Aku lebih seneng kalau ada yang nemenin Aku di sini.”

Mendengar jawabanku, ia kembali tersenyum sambil duduk di kursi terdepan yang paling dekat dengan panggung.

“Boleh request lagu?”

“Biasanya Aku gak nerima request dari siapapun. Tapi untuk penggemar pertamaku di konser malam ini, Aku bikin pengecualian deh.”

“Yee~ Aku pengen denger kamu mainin lagi lagunya One Ok Rock yang judulnya Chaosmyth, dong.”

“Oh. Jadi ini yang kamu maksud lagu kesukaan kamu?”

Pertanyaanku dijawab oleh anggukan kecil dan senyum manis darinya. Ya, Aku masih ingat, di surat kedua darinya, dia bilang bahwa Aku memainkan salah satu lagu kesukaannya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Aku memetik senar-senar gitarku hingga membentuk suatu harmoni dari lagu yang dipinta oleh satu-satunya penonton dalam ‘pertunjukanku’ kali ini.

“Wii!!! Bravo! Bravo!” serunya saat lagu yang ia pinta selesai dimainkan.

“Request lagi ya. Pengen lagunya My Chemical Romance yang judulnya Disenchanted, dong.” Pintanya lagi.

Aku kembali menyanggupi request lagu darinya dan request-request lagu selanjutnya yang ia pinta. Jika Aku hitung, sudah 8 lagu yang ia pinta padaku untuk dimainkan.

“Kamu kok gak nyanyi, sih?” tanyanya saat lagu terakhir yang ia pinta selesai Aku bawakan.

“Aku bukan penyanyi kayak kamu. Lagian, suaraku gak terlalu bagus.”

“Nyanyi dong~” rengeknya manja.

“Hahaha. Maaf ya, tapi untuk permintaan yang ini, Aku gak bisa kasih.”

“Ih gitu deh. Eh ngomong-ngomong, kayaknya kamu baru ya di Jakarta?”

“Hm? Kenapa emangnya?”

“Gak kenapa-kenapa. Pengen nanya aja. Soalnya udah jarang banget orang Jakarta asli yang bilangnya ‘Aku-Kamu’.”

“Wih, penarikan kesimpulan yang lumayan, kalo Aku boleh bilang.”

“Hehe. Berarti bener dong tebakanku?”

“Yap. Bener. Tapi, tadi kamu bilang ‘udah jarang banget’, itu bukan berarti ‘udah gak ada’ kan? Bisa aja kamu salah. Hayoo.”

“Iya sih. Ah yang penting tebakan Aku bener.” Timpalnya sambil jahil menjulurkan lidahnya.

“Dih. Nah, kamu sendiri kesini malem-malem gini mau ngapain? Perasaan hari ini kamu gak ada jadwal teater deh.”

“Pengen liat kamu perform.”

“Wah. Aku tersandung.”

“Tersanjung kali.”

“Nah iya itu.”

Begitulah. Malam itu, kegiatanku sedikit melenceng dari rutinitasku selama ini. Kami berdua mengobrol hal-hal tidak penting yang entah kenapa Aku tidak terlalu memusingkan hal tersebut karena biasanya, Aku paling tidak suka dengan basa-basi, obrolan-obrolan tidak penting dan hal-hal sejenisnya, hingga tidak terasa, waktu telah memanggilku untuk kembali ke tempat tinggalku.

“Eh, Aku pulang ya.” Ujarku sambil berdiri mengantongi gitarku.

“Eh? Udah mau pulang lagi? Biasanya kan jam 1.”

“Lah, emangnya sekarang bukan jam 1?”

“Ya ampun. Iya ya. Ya udah deh. Aku juga.” Jawabnya yang juga terlihat sedikit terkejut dengan jarum jam tangannya yang lajunya tidak dapat ia kendalikan.

Aku turun dari panggung, berpamitan dengannya dan berjalan menuju tempat tinggalku hingga tiba-tiba, langkahku terhenti oleh suaranya yang memanggilku.

“Eh, hei! Tunggu!”

“Yo?”

“Aku belum tau nama kamu.”

“Ah. Kapan-kapan deh Aku kasih tau. Dadah.”

Akupun meninggalkannya dengan pertanyaan yang mungkin akan menghantuinya sepanjang perjalanan pulangnya mengenai siapa namaku ini. Tapi sejujurnya, Aku lebih suka dipanggil dengan nama panggilan daripada nama asliku. Bukan karena nama asliku jelek, tapi Aku merasa dengan nama panggilan, seseorang yang baru dikenal akan lebih cepat akrab.

Aku benar-benar merasa bahwa hidupku kali ini seperti alur cerita di fanfic-fanfic yang para fans buat. Malam-malam berikutnya selalu kami lewati bersama. Ada atau tidaknya jadwalnya untuk tampil di teater seolah tidak mempengaruhi kunjungannya kepadaku yang mungkin hanya untuk sekedar mendengarkan harmoni dari petikan-petikan gitarku atau hanya sekedar berbincang-bincang kecil denganku. Dan tiap kunjungannya itu pula, ia selalu menanyakan namaku yang masih belum ia ketahui.

“Sampai sekarang Aku masih belum tau nama kamu, loh.” Ujarnya saat Aku beristirahat sebentar di atas panggungku.

“Gak banyak orang yang tau nama asliku selain keluargaku.”

“Kok gitu?”

“Alasan pribadi.”

“Hmm, kalo gitu, Aku manggil kamu gimana, dong? Masa ‘Hey, kamu.’.”

“Ya Aku sih gak masalah. Bahkan Aku pernah dapet nama panggilan ‘simpsons’.”

“Kok bisa?”

“Soalnya dulu, rambutku mirip Bart Simpsons.”

“Hahaha! Beneran?”

“Iya.”

“Hmm… kalo gitu… Eh, umur kamu berapa?”

“Seumuran sama Melody.”

“Oh, berarti… Kakak aja ya. Aku panggil kamu Kakak.”

Jujur, saat ia menyebut kata ‘Kakak’ dengan wajahnya yang imut dan suaranya yang manis, Aku tidak tahu apakah Aku sedang berbincang dengan sesosok bidadari atau dewi. Ya, mungkin ini terdengar ‘lebay’ tapi, coba bayangkan, seorang Veranda, yang sedang duduk di hadapanmu dengan jarak kurang dari 8 langkah, memanggilmu ‘Kakak’ dengan suara yang paling merdu yang pernah kau dengar.

“Hmm… gimana ya…” jawabku ragu.

“Kenapa? Gak boleh ya?”

“Bukan itu… hanya saja-“

“Udah. Aku panggil kakak aja. Kakaakk~” ucapnya dengan nada sedikit jahil.

“Hah… sepertinya adikku bertambah jadi 3.”

“Oh? Kakak punya 2 adik?”

“Iya.”

“Wah! Umurnya?”

“Yang pertama udah kuliah, semester 2. Yang kedua masih SD kelas 4.”

“Wiih, jadi pengen ketemu.”

“Haha. Semoga bisa ketemu deh.” Jawabku sambil mengantongi gitarku untuk bersiap-siap pulang.

“Ih. Udah jam 1 aja!” serunya saat melihatku berkemas.

“Iya. Gak kerasa ya? Hahaha.” Timpalku sambil pamit padanya dan berjalan menjauh.

“Eh, Kak! Tunggu!” serunya sambil berjalan cepat ke arahku hingga ia berdiri begitu dekat denganku.

“Apa?”

“Rumah Kakak di mana sih?”

“Ada deh. Kamu gak usah tau.” Jawabku usil sambil menjulurkan lidah. Dan, Aku pun berjalan meninggalkannya.

“Kakak… haha. Padahal Aku pernah mention dia di twitter. Tapi dengan ratusan mention yang masuk padanya setiap harinya, pasti mention dariku terkubur dalam-dalam hingga tidak diperhatikannya. Ah sudahlah, sudah waktunya tidur.”

Begitulah isi pikiranku saat Aku rebahan di atas kasurku ini. Meninggalkan Ve dengan misteri baru di kepalanya. ‘Dimanakah rumahnya?’. Ya, mungkin kira-kira itu yang menghantui isi kepalanya kali ini setelah sebelumnya dihantui pertanyaan tentang namaku. Tapi kemudian, Aku berpikir, Aku yang bisa dibilang pendiam ini, dengan mudah berbincang dengannya yang juga dikenal pendiam. Apa mungkin sesama pendiam seperti kami akhirnya bisa merasakan kecocokan yang membuat nyaman untuk mengobrol? Haha. Unik.

Malam-malam selanjutnya, seperti biasa, Aku lewati bersamanya di panggung f3 ini. Memainkan gitar dengan dia sebagai satu-satunya penonton setia, bercanda-gurau dengannya, bernyanyi bersamanya meski sebenarnya, hanya dialah yang bernyanyi. Haah sungguh. Hidupku kini benar-benar seperti mimpi.

“Kamu sendirian, tiap kali dateng tengah malem kesini?” tanyaku saat Aku tengah duduk istirahat di panggungku ini.

“Iya.”

“Gak ditemenin siapa gitu, supir atau temen, gitu?”

“Engga ah. Lebih nyaman sendiri. Lagian, Aku kan kesini buat nemenin Kakak yang juga sendirian. Ntar kalo bawa orang lain, takutnya orang itu jadi ‘kambing congek’, hahaha.”

“Ya tetep aja, kamu kan perempuan. Perempuan sendirian tengah malem begini kan bahaya.”

“Kenapa? Ciee, Kakak khawatir ya sama Aku? Kan ada Kakak disini, jadi Aku gak sendirian.”

“Ck. Iya, Aku khawatir, ntar ada apa-apa sama kamu, terus Aku dicurigai karena Aku orang terakhir yang ketemu sama kamu. Kan repot ntar urusannya.”

“Tenang aja deh, Ka.” Jawabnya yakin sambil menyunggingkan senyum manisnya.

Jujur. Aku terpesona setiap kali melihatnya tersenyum seperti itu. Senyum manis yang tulus dari hati yang seolah menghipnotis siapa saja yang melihatnya. Tidak salah ia mendapat julukan badai, karena senyumnya benar-benar menghempaskan kesadaranku meski hanya sesaat.

"Kakak!” serunya mengembalikan kesadaranku.

“Oy!”

“Yee malah ngelamun. Mikirin apaan?”

“Hahaha. Enggak, ternyata kamu asik diajak ngobrol ya. Aku kira kamu pendiem.”

“Aku emang pendiem, Kak. Tapi, kalau udah nyaman sama seseorang, Aku kadang bukan seorang pendiem lagi.”

“Oh? Apa yang bikin kamu nyaman sama Aku? Padahal, nama aja gak Aku kasih tau. Bahkan sekedar tempat tinggalpun gak Aku kasih tau.”

“Gak tau sih, tapi Aku ngerasa nyaman aja gitu kalau ada di samping Kakak.” Jawabnya dengan pandangannya yang menerawang jauh ke atas entah ke mana.

Sial! Aku merasa benar-benar bersalah dengan sikap tidak terbuka yang Aku berikan kepadanya. Mungkin benar apa kata teman-temanku. Sikapku ini yang menyebabkanku tidak mempunyai pasangan a.k.a jomblo. Tapi gak ngenes.

“Kamu aneh ya.” Ujarku sambil mengantongi gitarku.

“Aneh kenapa?” tanyanya seraya berdiri seiring dengan turunnya Aku dari panggung.

“Gak kenapa-kenapa sih. Mobil kamu diparkir di mana?”

“Di B1.”

“Yuk. Aku anterin. Setelah Aku tau kalau kamu ternyata dateng kesini sendirian, Aku takut kamu kenapa-napa.”

Mendengar pernyataanku barusan, ia hanya tersenyum simpul sambil mengangguk kecil. Dan akhirnya, Aku menemaninya turun ke lantai di mana ia memarkirkan mobilnya.

“Makasih ya udah mau nganterin.”

“Iya. Makasih juga udah mau nemenin. Hati-hati di jalan. Nih, kalau kamu ngantuk, ngemil ini coba. Biasanya ini bisa bikin Aku melek lagi.” ujarku sambil memberinya satu batang coklat rasa kopi. Ya, aneh ya, coklat rasa kopi. Ada-ada saja.

“Oke, makasih Kakak. Dadah~”

Aku melambai mengantarkan kepergiannya hingga akhirnya lampu mobilnya menghilang di tikungan lantai B1 ini.

“Apa Aku harus mulai sedikit terbuka padanya?”

Itulah pertanyaan yang kali ini menemani edisi ‘malam sebelum tidur’ku. Pertanyaan yang disebabkan oleh pernyataan darinya yang ternyata ia merasa nyaman jika berada di dekatku. Ya, mungkin kebersamaan kami yang hampir 2 bulan penuh ini yang membuatnya merasa seperti itu.

Tapi itu baru 2 bulan! Belum 2 tahun! Bagaimana bisa ia merasa nyaman denganku? Padahal, sejak awal kami bertemu, Aku tidak pernah membaginya informasi apapun mengenai diriku, selain informasi bahwa Aku punya 2 adik yang baru saja Aku akui tadi.

Namun dia, beberapa hari terakhir ini, mulai sering curhat mengenai masalahnya di kampus, di teater, di rumahnya, tentang perform-nya, dan segala hal lain yang bahkan membuatku sempat berpikir bahwa dia bukanlah seorang pendiam seperti yang member-member lain katakan. Tapi kenapa? Kenapa dengan sikap tertutupku ini, ia malah merasa nyaman berada di sampingku? Sungguh. Wanita memang aneh dan sulit dimengerti.

Sebenarnya, Aku sangat ingin memulai sedikit keterbukaan dengannya, tapi trauma itu selalu menghantuiku. Ya, Aku memang cowok pengecut. Tapi mau bagaimana lagi. Disamping itu, belum ada waktu yang pas untukku memulai keterbukaan dengannya, hingga suatu malam, ia menghampiriku di rooftop karena Aku tidak muncul di ‘panggung’ seperti biasanya.

“Ih, Kakak. Ternyata di sini.” Ujarnya sambil duduk di sampingku.               

Kedatangannya sedikit membuatku, yang tengah menikmati rintik hujan yang turun membasuh bumi ini, terkejut.

“Ck. Bikin kaget aja.”

“Hehe. Maaf-maaf. Habisnya, tadi Aku cariin di bawah, Kakak gak ada. Biasanya kan jam segini tuh lagi mainin gitar di panggung.”

“Hmm… kayaknya hari ini bakalan libur manggung dulu deh.”

“Loh? Kenapa?”

“Udah lama Aku gak nikmatin gerimis kayak gini. Nikmatin suasana damai dan tenang.”

“Puitis banget.” Ujarnya jahil.

“Yee. Sekali-sekali lah.”

“Kakak suka hujan?”

“Gerimis, lebih tepatnya.”

“Hmm… di suasana kayak gini, cocok buat mainin lagu-lagu mellow, loh.”

“Lagu mellow… lagu apa misalnya?”

“It will Rain dari Bruno Mars.”

“Lagunya kayak gimana?”

“Ih! Kakak gak tau? Ya ampun… nih, coba dengerin.” Ujarnya sambil memberikanku sebelahearphone yang mendendangkan lagu yang dimaksud. Sementara sebelah earphone satunya lagi ia pakai.

Tanpa sadar, kami menikmati lantunan lagu dari iPod miliknya. Cocok sekali dengan suasana gerimis seperti ini. Sangat cocok malah kalau Aku boleh bilang.

“Eh, Ve. Boleh Aku pinjem earphone dua-duanya?” pintaku sesaat setelah lagunya selesai.

“Hm. Nih.”

Sekali lagi, Aku mendengarkan lagu itu dengan seksama. Mencoba menerka kunci-kunci gitar yang pas untuk memainkan lagu ini. Jariku menari di atas senar gitarku seiring dengan tebakanku mengenai not musik yang kira-kira dimainkan di lagu ini.

“Wiih! Hebat! Hebat!” serunya saat Aku melepaskan kedua earphone dari telingaku.

“Hm? Apaan?”

“Itu tadi Kakak mainin lagunya Bruno Mars, kan?”

“Ah, tadi cuman nebak-nebak doang. Gak tau bener atau enggaknya.”

“Kayaknya bener deh. Coba mainin sekali lagi.”

Aku menyanggupi permintaannya. Kupetik senar gitarku sambil mengingat-ngingat not musik yang pas untuk lagu tadi dan tanpa sadar, Aku selesai memainkan lagu tersebut dengan cukup sempurna kalau Aku boleh sedikit berkomentar. Aku bersyukur karena Aku dianugerahi daya ingat yang sangat kuat. Karenanya, meski Aku baru pertama kali mendengarkan lagu itu, Aku bisa menebak not musik yang digunakan.

“Tuh kan! Bener! Bravo~ Bravo~“ ujarnya sambil bertepuk tangan.

“Haha. Hm? Pulang kuliah bukannya langsung pulang ngelanjutin tugas, malah kelayapan kesini.” Ujarku mengalihkan pembicaraan setelah kulihat ia membawa tas dengan resleting yang sedikit terbuka yang memperlihatkan buku-buku di dalamnya. Meninggalkan kesan bahwa ia pulang terburu-buru. Ditambah dengan tabung gambar yang ia selendangkan di bahunya.

“Ih. Kalo bukan karena Kakak jago narik kesimpulan, mungkin Aku udah nganggep Kakak ini stalker loh!” balasnya setelah ia mengecek tas dan tabung gambarnya dengan nada sedikit meledek.

“Yee. Kamu ini. Hayoh liat udah hampir jam 12 ini! Sana pulang. Kerjain tugasnya.”

“Ntar aja deh Kak. Lagian, Aku udah bilang ke Mamah Aku kalau Aku bakal telat pulang kuliah.”

“Ck. Tugas apa? Ngegambar?”

“Iya.”

“Gampang dong.”

“Gampang-gampang susah sih.”

“Mau Aku bantuin?”

"Mau dong! Mau!” jawabnya segera dengan semangat.

“Ah. Sepertinya Aku terjebak oleh perangkapnya.” Pikirku.

“Tapi ngerjain di mana? Di sini ntar takut kena air hujan.” Tanyanya.

“Ya udah. Di tempat Aku aja. Yuk!”

“Ayo~ Yee~”

Yah, akhirnya, dengan sedikit terpaksa, Aku mengajaknya ke tempat tinggalku. Bukannya Aku sombong karena Aku tidak mau mengajaknya ke tempat di mana Aku tinggal, tapi kalau 2 manusia yang berlawanan jenis berada dalam 1 tempat tanpa ada orang lain, maka… Ah, semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lagipula, Akulah yang pertama menawarinya bantuan. Tidaklah sopan bila Aku membatalkan niatku itu. Apalagi dia seorang perempuan.

“Ooh, jadi di sini tempat tinggal Kakak. Pantesan tiap malem bisa tampil.” Ujar Ve saat kami berada di depan pintu masuk kediamanku.

“Tumben mas jam segini udah pulang.” Ujar satpam penjaga pintu masuk kediamanku sambil melirik jam tangannya.

“Iya. Mau kerja kelompok sama temen, nih.” Balasku sambil masuk melewatinya.

“Malem, mas. Tumben mas jam segini udah pulang.” Ujar resepsionis dari mejanya yang nampaknya sedikit terkejut dengan kepulanganku yang sedikit lebih cepat dari biasanya. Terlebih lagi, Aku membawa seorang perempuan.

“Iya, mba. Mau bantu temen saya ngerjain tugas.”Ucapku sambil berjalan meninggalkan meja resepsionis.

“Kayaknya orang-orang sini udah tau kebiasaan Kakak, ya.” Ujar Ve.

“Yah. Begitulah. Nah, ini dia. Silahkan masuk.” Ujarku saat Aku membukakan pintu tempat tinggalku.

“Permisi~ Waah. Keliatannya nyaman, ya.”

“Bukan keliatannya lagi. Emang nyaman.”

“Tapi... kok sepi? Yang lain kemana?” tanyanya setelah selesai berkeliling.

“Gak ada yang lain. Cuman kita berdua disini.”

“Loh? Keluarga Kakak?”

“Mereka di Bandung.”

“Kakak sendirian di sini?”

“Iya. Eh engga deng. Berdua sama kamu. Tapi awas loh ya. Jangan macem-macemin Aku.”

“Ish! Yang ada juga Aku yang harusnya bilang gitu.” Ujarnya sambil mendelik ke arahku.

“Mau minum apa?”

“Yang anget deh, Kak.”

Semenit kemudian, Aku menghampirinya yang tengah duduk di ruang TV dengan 2 cangkir cokelat panas di kedua tanganku.

“Kakak sendirian di sini. Kakak kerja?”

“Ya. Sambil kuliah juga sih.”

“Oya? Kerja di mana? Udah semester berapa? Ambil jurusan apa?”

“Woey. Kok malah jadi sesi tanya jawab? Kan niatnya mau ngerjain tugas.”

“Oh iya ya.” Ujarnya sambil mengeluarkan selembar kertas karton yang ia gulung di dalam tabung gambarnya. Tak lupa ia juga mengeluarkan buku-buku dari dalam tasnya.

“Eh Kak. Rumah Kakak kan deket nih sama teater, kok Aku jarang  liat Kakak nonton teater, ya? Bahkan mungkin, kayaknya, baru waktu itu aja Kakak nonton teater.” Ujarnya di sela-sela pengerjaan tugasnya.

“Iya. Emang jarang. Kalau diitung sama yang kemarin itu, baru 3 kali nonton teater.”

“3 kali? Tapi kok Aku baru liat waktu itu doang sih?”

“Iya. 2 sisanya Aku nonton tim K. Itupun pas ada waktu senggang.”

1 jam kedepan, waktu kami diisi dengan pengerjaan tugasnya sambil sesekali bercanda. Yah, meski Aku bukan Standup Comedian, tapi mengetahui bahwa Aku mampu membuatnya tertawa atau mungkin hanya sebatas membuatnya tersenyum, Aku sudah merasa senang, hingga akhirnya, ia tidak merespon apapun yang Aku tanyakan.

“Ve. Ini lanjutannya gimana?” tanyaku dengan pandangan yang masih terkunci ke kertas berukuran besar yang membentang di meja.

“Ve. Ve? Veranda?! Jess—“

“Yee… malah tidur.” Gumamku.

Kuperhatikan wajahnya yang sedang tertidur. Ia terlihat kelelahan. Yah, mungkin tugasnya ini menguras cukup banyak energinya karena, ku akui, tugasnya tidak semudah yang kubayangkan. Aku pergi meninggalkannya sebentar ke kamar tamu untuk membawakan sehelai selimut untuknya. Kututupi dirinya dengan selimut putih yang kubawakan. Aku tidak berani membangunkannya karena, Aku sendiri akan sangat marah jika tidurku diganggu. Jadi kupikir, hal itu juga berlaku bagi dirinya.

“Kayaknya salah deh Aku ngasih dia cokelat panas. Harusnya kopi, biar dia melek.” Gumamku jahil.

Mau tidak mau, Aku mengerjakan tugasnya sambil mempelajari beberapa bagian yang tidak kumengerti. Saking fokusnya diriku pada tugas temanku yang sedang tertidur ini, tiba-tiba Aku merasa bahwa mejaku bergetar.

Drrttt! Drrrtt!

Kulihat handphone-nya bergetar. Aku cek siapakah yang menelepon dan ternyata Ibunya. Dengan perasaan sedikit tidak enak karena akan mengganggu petualangannya di alam mimpi, kubangunkan dirinya yang tengah tertidur pulas.

“Oy! Oy! Ve! Bangun! Mamah kamu nelepon nih!” ujarku sambil mendekatkan handphone-nya yang bergetar ke pipinya yang menempel rapat di permukaan meja.

“Hm? Hm? Eh? Oh! Ya! Halo Mah? Hah?! Iya iya. Emm… ini Ve lagi ngerjain tugas. Sebentar lagi pulang kok. Iya. Iya.”

“Emh. Ngerjain tugas apa ngerjain tugas?” tanyaku jahil setelah percakapan dengan Ibunya selesai.

“Ih Kakak! Kenapa gak bangunin Aku?!”

“Kamu dibangunin gak bangun-bangun soalnya.” Jawabku sedikit berbohong jahil.

“Wih! Udah segini?! Ini Kakak yang ngerjain sendiri? Hebat!”

“Ya, ya. Udah cepet sana beres-beres.”

Tanpa berkata apapun lagi, ia membereskan buku-bukunya juga tugasnya. Ia membereskan barang-barangnya dengan sedikit terburu-buru hingga hampir saja handphone-nya tertinggal jika Aku tidak mengingatkannya. Aku mengantarnya ke tempat parkir meski sebelumnya ia menolak niat baikku ini dengan alasan ‘takut ngerepotin’. Tapi Aku tetap memaksa dengan dalih ‘sekalian nyari nasi goreng’. Ya, Aku takut dia tiba-tiba tertidur di perjalanan menuju tempat parkir mobilnya.

“Nih. Dimakan! Kamu baru bangun banget soalnya.” Ujarku sambil memberikannya cokelat rasa kopi yang bisa bikin melek.

“Iya. Makasih Kak. Duh maaf ngerepotin.”

“Gak apa-apa. Cepetan. Ibu kamu nunggu di rumah.”

“Dadah kakak~”                                

Seiring dengan menghilangnya mobilnya di belokan menuju keluar, Aku melirik jam tanganku yang jarum pendeknya menunjukkan daerah antara angka 1 dan 2.

“Wih! 1 setengah jam buat ngerjain tugasnya. Gila. Tugas kuliah Aku aja belum dikerjain. Eh ini malah ngerjain tugas orang. Hahaha. Ya sudahlah. Sudah terlanjur.” Gumamku sambil berjalan kembali ke tempat tinggalku.

Selama seminggu selanjutnya, Aku tidak bertemu dia karena Aku disibukkan oleh pekerjaanku yang kali ini harus ku kerjakan di luar negeri. Sejujurnya, setiap malam di hari-hari itu, Aku sedikit kesepian karena biasanya, selalu ada sosok Veranda yang selalu menemaniku. Hingga akhirnya, pekerjaan yang menyita waktu seminggu itu selesai dan Aku dapat kembali beristirahat di tempat tinggalku.

“Pagi, Mas. Gimana Bisnisnya? Lancar?” sapa resepsionis saat Aku tiba di hunianku.

Ya, Aku sengaja memberi tahu resepsion bahwa dalam seminggu kedepan, Aku tidak akan ada di tempat tinggalku. Jadi, kunci tempat tinggalku kutitipkan padanya.

“Yah. Untungnya lancar. Makasih, ya.” Jawabku sambil mengambil kunciku yang sudah ia sodorkan dan dengan segera, Aku berjalan melewatinya. Aku tidak suka basa-basi seperti itu.

“Eh, eh, Mas. Sebentar.” Ujar resepsionis itu menghentikan langkahku.

“Ya?”

“Selama mas gak ada kemarin, temen perempuan yang waktu itu mas bawa kesini, itu datang terus tiap malem. Nanyain mas terus.”

“Oh. Terus, mba bilang apa?”

“Ya saya bilangin aja kalau Mas-nya lagi kerja.”

“Hmm. Oke. Makasih ya.”

Aku pergi menuju tempat tinggalku dan langsung membenamkan diriku di permukaan kasurku yang saat itu terasa seperti tumpukan bulu angsa yang lembut yang mampu menenggelamkan seseorang seketika ke dalam lautan mimpi, dan, memang itulah yang terjadi pada diriku hingga Aku mendapati langit telah berganti rupa saat Aku terbangun. Tugas matahari telah digantikan oleh sang bulan dan jarum jam telah menunjukkan waktu pukul 10 tepat.

Dengan langkah sedikit lunglai, Aku menyambangi kamar mandi dan 10 menit kemudian, Aku telah siap untuk memulai hari. Ya. Memulai kegiatan. Ingat, Aku ini makhluknocturnal. Yah, setengah nocturnal sih. Aku membawa kantong gitarku untuk kembali tampil di ‘panggung’ setelah sebelumnya, Aku menyantap makanan apa saja yang dapat kusantap di dalam kulkas.

Ketika Aku berbalik setelah Aku menutup pintu, Aku terkejut dengan kehadiran sesosok gadis yang selama seminggu terakhir ini tidak kuketahui kabarnya meski Aku yakin, dirinya baik-baik saja. Dia berdiri tepat di hadapanku. Jaraknya tidak lebih dari 3 langkah dariku. Dengan raut wajah yang tidak dapat Aku tebak sama sekali maknanya. Sedih? Senang? Marah? Astaga. Belum pernah Aku merasa begitu kesulitan untuk membaca suasana hati seseorang melalui raut wajahnya. Namun, dariseifuku yang masih ia kenakan, Aku dapat memastikan bahwa ia baru saja selesai perform.

“Hai.” Sapaku sedikit canggung karena selain ekspresinya yang sulit ditebak, sudah seminggu Aku tidak bertemu dengannya.

Namun, ia tidak menggubris sapaanku. Ia tetap berdiri di depanku dengan kedua tangannya yang mengepal di sampingnya dan matanya yang mulai berkaca-kaca. Oh astaga, Aku tidak tahu apa yang tengah terjadi tapi instingku menggerakkan tanganku untuk menggenggam tangannya dan mengajaknya masuk. Aku tahu, hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran besar di kalangan fans karena Aku, tanpa memiliki tiket handshake, telah menggenggam tangannya. Aku rasa, ini pertama kalinya Aku menggenggam tangannya.

“Kamu… kenapa?” tanyaku mencoba mencairkan suasana sekembalinya Aku dari dapur dengan 2 cangkir cokelat panas di kedua tanganku.

Namun nampaknya, usahaku untuk mencairkan suasana ini sia-sia. Dia masih diam membisu seribu bahasa. Terduduk di ruang TV seperti saat ia mengerjakan tugasnya saat Aku terakhir kali bertemu dengannya. Tepat di posisi yang sama. Selama mungkin sekitar 5 menit, suasana canggung, kaku dan mungkin ‘dingin’ ini Aku rasakan tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya. Sebetulnya, Aku sungguh tidak keberatan dengan keadaan sunyi sepi seperti ini, tapi jika suasananya seperti ini, ini benar-benar bisa membuatku gila, hingga akhirnya, ia memecah kesunyian dengan sebuah pertanyaan yang tidak Aku mengerti mengapa ia menanyakan hal tersebut.

“Kakak… marah ya sama Aku?” tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar.

“Eh? Maksudnya?”

“Kakak gak bilang apa-apa kalau Kakak bakal ngilang selama ini.”

“Tapi kan, resepsionis di depan bilang kalau Aku lagi kerja.”

“Sama resepsionis Kakak bilang. Tapi ke Aku, Kakak gak bilang apa-apa!”

Oh syit! Jadi ini kah alasan dari betapa sulitnya Aku menebak arti di balik raut wajahnya? Inikah alasan awan kelam melayang di atas kami sehingga membuat suasana menjadi sebegini kaku? Inikah alasan dari semua kondisi yang tengah terjadi ini?

“Kamu kan juga sebelumnya pernah gak ketemu sama Aku selama beberapa hari.” Ujarku akhirnya setelah diam selama beberapa detik.

“Kapan?” tanyanya dengan sorot mata yang tajam. Sorot mata yang jarang sekali Aku lihat dari seorang perempuan

“Waktu itu. Sebelum akhirnya, Aku datang buat nonton teater.”

“Tapi itu kan beda. Waktu itu Aku belum kenal sama Kakak! Dan juga…” perkataannya terhenti. Matanya kembali berkaca-kaca.

Ya ampun. Bagaimana ini?! Ia akan menangis! Jessica Veranda bakal nangis! Astaga! Aku paling tidak tega melihat perempuan menangis.

“Hei hei… Kakak minta maaf.” Ujarku pada akhirnya sambil berlutut di hadapannya dengan kedua tanganku memegang kedua lengannya yang tertelungkup di atas lututnya. Berusaha menenangkannya agar butiran-butiran air mata itu tidak terjatuh. Aku tidak ingin kebodohanku dibayar oleh air matanya. Sungguh tidak pantas, kupikir.

“Kerjaan Kakak waktu itu datang ngedadak. Jadi Kakak gak bisa ngabarin siapa-siapa kecuali resepsionis di depan sana.” Lanjutku yang entah mengapa, Aku merubah kata ‘Aku’ yang biasanya kupakai, menjadi ‘Kakak’ untuk diriku sendiri.

“Tapi, seengganya kan Kakak bisa ngabarin Aku… lewat twitter misalnya.” Ujarnya yang nampaknya, air matanya berhasil kutahan agar tidak tertarik oleh gaya gravitasi.

Ya. Dia benar. Setidaknya, Aku bisa mengabarinya lewat twitter. Kenapa saat itu tidak terpikirkan olehku? Ah sial!

“Hei… coba kamu bayangin. Waktu itu Kakak dapet kerjaan itu ngedadak. Mana mungkintwitter sempet terbersit di benak Kakak. Tapi percayalah, setiap malam, sebelum Kakak tidur, Kakak selalu inget sama kamu yang selalu nemenin kakak main gitar, selalu ngobrol-ngobrol gak penting. Selalu inget rengekan kamu tentang tugas kuliah kamu yang susahnya bisa bikin kamu jadi kayak orang gila itu. Kakak inget semuanya.”

Mendengar ucapanku, ia hanya bisa cemberut. Tapi, kali ini Aku dapat melihatnya dengan jelas bahwa ia tidak lagi menyimpan sesuatu yang membuatku tidak dapat membaca suasana hatinya. Tidak seperti sebelumnya. Ditambah lagi dengan cemberutnya yang sedikit manja. Inilah Ve yang selalu menemani malam-malamku. Akhirnya.

“Ini. Kalau ntar Kakak gak ada kabar sama sekali kayak kemarin-kemarin, kamu bisa nelepon ke nomor Kakak. Tapi jangan disebar ya. Itu nomor pribadi. Cuman orang-orang tertentu yang boleh tau.” Ucapku sambil memberikan nomor handphone ku.

Tidak lama kemudian, ia mengeluarkan handphone-nya. Mencatat nomorku di phon-nya.

“Emangnya kerjaan Kakak apa sih?” tanyanya setelah selesai mencatat nomorku dengan ekspresi sedikit lebih ceria.

Awalnya Aku ragu, apakah harus kujawab pertanyaanku atau tidak. Tapi kemudian Aku berpikir, mungkin ini kesempatan yang baik untuk memulai keterbukaan dengannya.

“Kakak Kerja di bidang IT.”

“Wih. Programmer?”

“Emangnya IT cuman programmer doang?” tanyaku balik dengan sedikit mengejek jahil.

“Ih. Terus apaan dong?”

“IT Manager.”

“Seriusan? Bohong ah.”

“Ye… yaudah kalau gak percaya.”

“Masa’ sih? Kan Kakak seumuran Kak Melody?”

“Emangnya Manager gak boleh ada yang muda?”

“Terus terus, katanya Kakak masih kuliah?”

“Ya, itulah uniknya. Di perusahaan Kakak, gelar gak terlalu dianggap penting. Kalau punya skillyang mumpuni, lulusan SD sekalipun bisa jadi manager.”

“Hoo… jadi, Kakak lulusan SD?”

“Sembarangan.”

“Hahaha. Lulusan SMA, kah?”

Akhirnya, ia benar-benar kembali ceria. Tertawa lepas di hadapanku.

“SMK, lebih tepatnya.”

“Sering tawuran dong?”

“SMK Kakak di Bandung. Gak ada yang namanya tawuran-tawuran.”

Begitulah. Dengan kembali cerianya suasana hatinya, kami menikmati ‘reuni’ kami dengan canda, obrolan-obrolan ringan, dan tentunya, rengekan darinya tentang tugas-tugas kuliahnya.

“Kamu dari teater langsung ke sini?” tanyaku.

“Iya.”

“Bukannya ganti baju dulu. Gak takut diikutinzombie apa kalau mereka liat kamu yang masih pake seifuku begini kelayapan ke sini.”

“Mereka itu fans, Kak. Bukan zombie. Lagipula, Aku pengen bener-bener mastiin.”

“Mastiin apaan?”

“Mastiin apa firasatku ini bener atau engga.”

“Firasat?”

“Iya. Sejak pagi tadi, Aku ngerasa ada sesuatu yang bener-bener bikin Aku gak tenang. Aku keinget sama Kakak. Dan ternyata, begitu Aku sampai di sini, Kakak ternyata udah pulang.”

Mengerikan. Ternyata benar apa yang orang-orang bilang tentang insting wanita yang terkadang lebih tajam dari insting hewan buas sekalipun.

“Wah wah. Aku mendapatkan perhatian seorang Veranda hingga sebegitunya, Aku benar-benar tersanjung.”

Mendengar ucapanku, ia mendelik jahil ke arahku.

“Apa?” tanyaku.

“Kok ganti lagi jadi ‘Aku’ sih?”

“Ha? Emang biasanya juga gitu, kan?”

“Ih. Tadi mah bilangnya ‘Kakak’.”

Ah. Itu rupanya alasannya.

“Iya deh, iya.” Ujarku mengalah. Padahal, Aku sendiri agak sedikit geli jika mengucapkan kata ‘Kakak’ untuk diriku sendiri, dengan mulutku sendiri.

Akhirnya, kamipun melanjutkan obrolan-obrolan ringan kami seperti biasa. Hanya saja, Aku tidak lagi mengucapkan kata ‘Aku’ sebagai penunjuk atas diriku sendiri, melainkan ‘Kakak’ sebagai gantinya. Obrolan-obrolan kami bersambung ke arah yang tidak jelas, meski kuakui, hal itu tidak pernah terasa mengasikan seperti ini sebelumnya, hingga nada dering dari handphone-nya berbunyi menghentikan obrolan kami.

“Oh. Iya, iya. Gue ke sana sekarang. Iya.”

“Kamu gak ijin sama yang lain?” tanyaku sesaat setelah ia menutup teleponnya.

“Engga.” Jawabnya sambil ‘nyengir kuda’.

Kulirik jam yang telah menunjukkan pukul 11 tepat.

“Ya ampun.” Gumamku.

“Yaudah, Kak. Aku pulang dulu ya.” Ujarnya bergegas.

“Iya. Hati-hati sama fans.” Ujarku jahil saat Aku mengantarkannya sampai ke pintu luar hunianku.

“Iya, iya. Dadah Kakak!” serunya sambil pergi melambaikan tangannya.

“Eh Ve!” seruku menghentikan langkahnya.

“Ya?”

“Promise me you won’t cry. I don’t wanna see your tears.”

“Okay. I promise.” Ujarnya tersenyum kemudian berbalik pergi bergegas.

Aku melambaikan tanganku seiring dengan langkahnya yang membawanya menjauh.

“Cie, ciee.” Ujar satpam penjaga jahil saat Aku hendak kembali ke tempat tinggalku.

Aku tidak menggubrisnya. Aku berjalan melewatinya meski Aku yakin, mungkin satpam penjaga tadi melihatku tersenyum setelah mendengar janji dari Ve.

Hari-hari selanjutnya, atau lebih tepatnya malam-malam selanjutnya, kami lewati seperti biasa. Tidak satu malampun kami lewati tanpa canda, tanpa obrolan, tanpa bertemu bertatap langsung. Jujur, kalau Aku boleh bilang, semenjak hari itu, semenjak ia berjanji tidak akan menangis, Aku rasa ia semakin dekat denganku. Terkadang, ia suka bersikap jahil padahal sebelumnya, ia tidak pernah seperti itu. Yah, Aku tidak keberatan sih. Ditambah dengan nomor handphone-ku yang kini sudah ia miliki, tidak hanya malam kami bisa saling berkomunikasi, tapi siangpun bisa. Inboxhandphone-ku hampir semua berisi pesan darinya.

Kakak, jangan makan siang ya. Kasian tukang nasinya ntar kalo harus ngelayanin Kakak :P

Yap. Itulah salah satu isi pesan yang ia kirim saat istirahat makan siang. Tidak jarang juga ia menanyakan apakah Aku akan ‘tampil’ atau tidak, menanyakan jam berapa Aku pulang dan pesan-pesan lainnya. Terkadang, handphone-ku dibuathang oleh semua pesan-pesannya. Maklum. Handphone-ku ini bukan handphone canggih jaman sekarang. Meski begitu, Aku tidak keberatan. Malah justru sebaliknya, Aku senang karena handphone-ku kini tidak terlalu sepi. Hahaha. Maklum. Soalnya tidak banyak orang yang mengetahui nomorku.

Dan, tidak jarang juga ia meminta izin untuk menggunakan tempat tinggalku. Entah sekedar untuk menunggu jadwalnya teater, atau sekedar untuk mengerjakan tugasnya.

Drrrtt…

“Yellow.” Sapaku saat Aku mengangkat telepon darinya.

“Kakak~ Aku boleh minjem tempatnya lagi ya buat nunggu teater. Soalnya kalo pulang dulu, takutnya ntar kejebak macet.”

“Iya, iya. Pake aja. Asal jangan berantakin.”

“Yee~ Makasih Kakak. Muach~”

Begitulah. Dia memberiku kissbye. Pernahkah kau membayangkannya? Seorang Veranda memberimu kissbye lewat telepon? Anggap saja lewat ‘call sounds good’. Tidak pernah? Sama. Aku juga tidak pernah membayangkannya. Tapi, itulah yang terjadi. Aku jadi merinding sendiri. Tapi seneng juga, sih. Haha.

Menyanggupi permintaannya itu, Aku harus memberitahu resepsionis mengenai kunjungannya ke tempat tinggalku. Seringkali kudapati dia, saat Aku pulang dari pekerjaanku, sedang mengerjakan tugas di tempatku, atau sedang menonton TV, atau bahkan sedang tertidur di kamar tamu, atau di sofa ruang TV.

“Dia masih di sini?” tanyaku pada resepsionis saat Aku baru pulang.

“Masih, mas.”

Saat Aku memasuki tempat tinggalku, kulihat dirinya yang mengenakan baju lengan pendek berenda dengan motif-motif sebagai hiasannya, tengah duduk sendirian serius membaca novel sambil menikmati lagu melalui earphone putih yang ia pakai di kedua telinganya.

“Serius banget.” Ujarku sambil duduk di sampingnya untuk melihat novel apa yang sedang ia baca.

“Eh, Kakak. Loh kok jam segini udah pulang? Gak kerja ya?” tanyanya sambil melepas earphone.

“Kerja lah.”

“Tapi kok bajunya gitu?” tanyanya seolah tidak percaya dengan pakaian yang kukenakan.

“Di kantor Kakak, boleh pake baju bebas asal sopan. Kayak di kuliahan gitu lah. Baca apaan? Novel?”

“Iya. A study in Scarlet.”

“Hoo… kasus pertama.”

“Hm. Eh, Kak. Tadi di kampus, Aku dapet tugas…”

Dan, dimulailah sesi ‘curhat tugas’ darinya. Aku tidak tahu berapa lama Aku mendengar kicauannya hingga perutku memberikan sinyal ke otakku agar menghentikan kicauan Ve.

“Lapar nih. Cari makan ah.”

“Aku ikut, Kak.”

“Hm? Gak salah? Ntar kalo ketauan fans kamu lagi jalan sama ‘cowo’ gimana?”

“Ah…” ia tertunduk lesu mendengar perkataanku yang memang benar.

“Nitip aja, nitip. Mau nitip apa?” tanyaku berusaha menghibur.

“Engga ah. Aku gak laper.” Jawabnya lesu sambil menjatuhkan dirinya kembali ke sofa untuk melanjutkan bacaannya yang tadi sempat tertahan.

“Oh. Yaudah.”

Kutinggalkan dirinya yang tengah cemberut membaca novelnya. Aku berjalan berkeliling mall mencari makanan yang cocok. Agak aneh juga berkeliling di saat seperti ini. Biasanya Aku berkeliling saat mall ini sudah tidak berpenghuni lagi. Aku berkeliling, melewati mereka yang hilir mudik yang entah apa tujuan mereka. Aku juga bertemu beberapa member yang nampaknya juga sedang mencari makan. Kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul setengah 5. Pantas saja primadona mall ini terlihat berkeliaran.  Hingga akhirnya, Aku menemukan makanan yang cocok kalau kupikir.

“Loh? Kirain Kakak bakal makan di luar.” Ujar Ve saat melihat Aku kembali membawa kantong plastik berisi makanan yang merebakkan aroma menggugah selera.

“Kasian kamu sendiri disini. Lagian, Kakak butuh bantuan kamu.”

“Bantuan apa?”

“Bantuan buat ngabisin ini.” Ujarku sambil membuka bungkusan plastik di atas meja makan di dapur.

“Wiih. Sushi! Ramen! Makanan kesukaan Aku!” seru Veranda sambil melompat dari sofa dan meninggalkan novelnya. Aku berjalan berkeliling mall mencari makanan yang cocok. Agak aneh juga berkeliling di saat seperti ini. Biasanya Aku berkeliling saat mall ini sudah tidak berpenghuni lagi. Aku berkeliling, melewati mereka yang hilir mudik yang entah apa tujuan mereka. Aku juga bertemu beberapa member yang nampaknya juga sedang mencari makan. Kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul setengah 5. Pantas saja primadona mall ini terlihat berkeliaran.  Hingga akhirnya, Aku menemukan makanan yang cocok kalau kupikir.

“Loh? Kirain Kakak bakal makan di luar.” Ujar Ve saat melihat Aku kembali membawa kantong plastik berisi makanan yang merebakkan aroma menggugah selera.

“Kasian kamu sendiri disini. Lagian, Kakak butuh bantuan kamu.”

“Bantuan apa?”

“Bantuan buat ngabisin ini.” Ujarku sambil membuka bungkusan plastik di atas meja makan di dapur.

“Wiih. Sushi! Ramen! Makanan kesukaan Aku!” seru Veranda sambil melompat dari sofa dan meninggalkan novelnya.

“Yuk makan. Kayaknya bentar lagi juga kamu harus siap-siap teateran.”

15 menit selanjutnya, kami fokus melahap makanan sampai-sampai, tidak ada sepatah katapun yang muncul dari mulut kami karena memang, mulut kami dipenuhi makanan.

“Eh tapi, kok Kakak tau sih?” ujarnya yang akhirnya memecah kesunyian.

“Apaan?”

“Ini kan makanan kesukaan Aku.”

“Oya? Gak tau kok.” Jawabku sekenanya. Padahal, Aku masih ingat tentang dia yang menceritakan makanan kesukaannya saat kami tengah menikmati indahnya langit malam dirooftop.

“Ooh…” timpalnya datar. Hahaha. Lucu.

“Kenapa?” tanyaku.

“Engga. Eh, Kakak makannya bukannya pake sumpit.”

“Engga ah. Lebih enak pake sendok. Sama garpu.”

“Aah, gak bisa pake sumpit ya?” godanya.

“Bisa, kok.”

“Mana coba?”

Sial. Aku berharap keajaiban benar-benar menghampiriku agar Aku bisa menggunakan sumpit. Ya. Aku, yang tidak bisa menggunakan sumpit ini, ditantang oleh seorang Veranda untuk membuktikan omonganku. Betapa bodohnya Aku. Coba dari awal Aku mengaku bahwa Aku memang tidak bisa menggunakan sumpit.

Saat Aku hendak menjepit sushi yang tersaji di atas piring di hadapanku, tiba-tiba, tangan lembut Veranda memegang tanganku. Membimbing jari-jariku supaya memegang sumpit dengan benar.

“Bukan gitu megangnya Kak. Tapi gini.” Ujar Veranda mengajariku.

Jujur. Saat itu Aku terkejut. Disamping karena Aku terlalu fokus pada sumpitku yang tidak bisa kugunakan sehingga Aku tidak melihat Veranda mendekat ke arahku, Aku juga terkejut olehnya yang berjarak sangat dekat denganku. Kami saling bertatapan. Wajahnya mungkin hanya berjarak 1 jengkal dari wajahku sebelum akhirnya, ia mengalihkan fokus pandangannya ke sumpit yang sedang Aku pegang bersamanya.

“Ini jarinya ke sini, terus yang ini di sini.”

Ve terus membimbingku. Aku memperhatikannya, namun Aku tidak fokus mengingat debaran jantungku yang sangat cepat membuatku seketika itu juga merasa gugup. Jujur. Ini kedua kalinya seorang perempuan membuatku merasakan hal seperti ini. Aku tahu. Aku benar-benar kenal gejala-gejala seperti ini. Tapi Aku harap, Aku salah mengartikannya. Ya. Aku benar-benar berharap Aku salah mengartikannya.

“Gimana? Ngerti?” tanyanya mengembalikan fokusku.

“Ngerti dong.” Jawabku berusaha terlihat biasa saja. Padahal tidak.

Menit-menit selanjutnya, kami lewati sambil makan, sambil bercanda, ngobrol-ngobrol kecil hingga tidak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 5 tepat. Makanan di atas meja sudah bersih dilahap mulut-mulut kami yang kelaparan. Jam pun mengharuskan Ve untuk segera bersiap untuk teater.

“Kak. Kapan mau teateran lagi?” tanyanya saat Aku mengantarkannya ke luar.

“Kapan ya… Kapan-kapan deh.” Jawabku jahil.

“Yee… kakak mah.”

“Eeh, tunggu bentar.” Ujarku saat kami berada tepat di depan resepsionis.

“Mba, kunci duplikat tempat Saya mau Saya ambil.”

“Oh. Boleh. Ini.” Timpal resepsionis sambil memberikan kunci duplikat tempat tinggalku.

“Nih. Kalau kamu mau pake tempat Kakak. Jadi gak usah nelpon-nelpon Kakak lagi. Sayang pulsa. Sama gak perlu ngerepotin mba-mba resepsionisnya. Tapi inget, jangan berantakin tempat Kakak.”

“Makasih Kakak!” Serunya seraya berhambur memelukku.

Wow. Oke. Ini merupakan pelanggaran besar terhadap hukum tidak tertulis seputar per-idol-an dan pelecehan terhadap golden rules yang melegenda. Karena setelah sebelumnya Aku menggenggam tangannya tanpa tiket handshake, kali ini Aku dipeluknya tanpa tiket hug(?).

“Sebegitu senengnya ya?” tanyaku sambil berusaha melepaskan pelukannya dengan agak canggung.

“Seneng dong. Akhirnya Kakak udah mulai mau terbuka sama Aku.” Jawabnya dengan wajah berbinar. Kental sekali dengan perasaan bahagia.

Ah ya, terbuka. Kupikir juga itulah yang tengah kulakukan saat ini karena yang mengetahui bahwa Aku tinggal di sini hanyalah keluargaku dan sahabatku seorang. Dan sekarang, bertambah seorang lagi. Terbuka dengannya. Meski Aku belum bisa sepenuhnya bersikap terbuka terhadapnya, apakah ini sudah pantas untuk disebut ‘membuka diri’?

“Yaudah. Cepet sana. Ntar malah telat teateran lagi.”

“Oh iya. Makasih Kakak. Ntar malem tampil, kan?”

“Iya.”

“Asiiik. Dadah~” ujarnya meninggalkanku sambil melambaikan tangan.

Aku kembali ke tempat tinggalku. Namun, saat Aku berbalik, Aku melihat resepsionis memandangku dengan tatapan jahil.

“Ciee masnya ciee.”

“Ssh. Jangan cerita-cerita ya. Bahaya soalnya.”

“Oke mas.”

Sekembalinya Aku, Aku langsung menyalakan laptopku setelah sebelumnya membereskan meja makan dari sisa-sisa makanan tadi.

Hari yang menyenangkan~ Benar-benar menyenangkan~ Ayo-ayo yang teater, Aku tunggu~

Itulah kalimat yang di-tweet olehnya sebelum ia perform. Apakah harinya menyenangkan karena Aku? Ya. Aku harap begitu meskipun bukan karena Aku, itu tidak masalah. Asalkan dirinya bahagia. Karena Aku tidak ingin melihatnya bersedih. Menangis. Meski mungkin, hal itu tidak akan terjadi karena ia sudah berjanji padaku.

Malam-malam selanjutnya, kami lewati bersama seperti biasa. Penuh canda-tawa, obrolan, dan curhat. Namun, di suatu malam yang damai dan tenang, ia melanggar janjinya. Di malam di mana langit tanpa ditemani cahaya bulan dan tanpa dihisai taburan bintang karena awan gerimis menutupinya, ia datang menemaniku di rooftopdengan wajahnya yang, kalau boleh Aku tebak, galau.

Aku memberikannya tempat untuk duduk di sampingku. Aku tidak berani berkata apapun hingga sebuah pertanyaan terlontar dari bibirnya. Pertanyaan yang membuatku bingung.

“Kak, hari ini Aku boleh nginep di tempat Kakak?”

Untuk sesaat, Aku menatap wajahnya. Ekspresinya. Mencoba menebak apa sebenarnya yang ia pikirkan. Namun hasilnya nihil. Yah, lagipula, Aku tidak melihat alasan lain untuk melarangnya menginap di tempatku.

“Emangnya ada apa?” tanyaku mencoba menenangkannya.

Namun, pertanyaanku sepertinya tidak mendapatkan respon apapun. Ia terdiam. Membisu. Menatap langit kelam yang sedang menangis yang kemudian membuatnya ikut meneteskan air. Air mata dari kedua pelupuk matanya yang indah. Dari kedua bola mata yang sudah dijanjikan tidak akan meneteskan setetes air matapun.

“Maafin Aku, Kak.” Ucap Ve yang rupanya tidak dapat lagi membendung air matanya.

“Hei, hei. Ada apa? Biasanya kalau ada masalah, kamu selalu cerita sama Kakak.”

Namun, alih-alih mendengarkan curhatnya, Aku malah mendengar tangisnya yang membuncah seolah ia benar-benar telah berusaha menahannya namun pada akhirnya, ia gagal. Langitpun nampaknya seirama dengan suasana hatinya. Hujan mulai lebat. Diikuti teriakan dari halilintar yang memecah suara air yang jatuh membasuh bumi.

“Hei, Jessica Veranda. Ada apa ini sebenarnya?” tanyaku sambil memeluknya. Berusaha menenangkan suasana hatinya.

Persetan dengan golden rules dan peraturan fans lainnya. Karena jujur, Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selain menenangkannya. Membuatnya berhenti menangis. Aku paling tidak tega melihat perempuan menangis.

“Kamu pingin nginep di tempat Kakak, kan?” bisikku sambil tetap berusaha menenangkannya. Membelai rambutnya yang halus dan entah mengapa, tiba-tiba Aku mendapat firasat yang cukup tidak menyenangkan. Aku tahu, firasat seorang laki-laki tidak setajam firasat perempuan, tapi Aku cukup yakin akan firasat yang kurasakan ini dengan melihat beberapa faktor. Meski begitu, Aku berusaha agar tetap terlihat tenang.

Kepalanya yang bersandar di pelukanku mengangguk kecil seolah menjawab pertanyaanku.

“Kalau gitu ayo. Kelamaan di sini bisa masuk angin.”

Selama perjalanan menuju tempat tinggalku, genggaman tangannya yang erat tidak pernah sedetikpun terlepas dari tanganku. Ini semakin membuatku yakin dengan firasatku sebelumnya. Hingga sesampainya Aku di tempat tinggalku dan mengantarkannya ke kamar tamu, genggaman tangannya masih tidak mau ia lepas.

“Kak. Kakak mau ya, jagain Aku semaleman ini?” pintanya dengan suara serak akibat tangisannya tadi.

“Iya.” Jawabku sambil tersenyum. Aku masih berusaha membuatnya tenang. Setidaknya hingga perpisahan menjemput kami.

Tanganku masih menggenggam tangannya yang lembut. Meski ia telah tertidur. Aku duduk di kursi yang kutempatkan tepat di samping tempat tidurnya. Sesuai dengan permintaannya, Aku menjaganya seperti Aku sedang menjaga seseorang yang sedang sakit, meski pada akhirnya, kantuk berhasil mengalahkanku saat Aku mengemban tugas ini.

Dan akhirnya… yap. Perpisahan telah benar-benar menjemput. Saat Aku terbangun, kudapati Kasur yang kujaga semalaman(?) telah ditinggalkan olehnya. Yang tersisa hanyalah kunci duplikat yang dulu kuberikan padanya dan secarik kertas. Kertas merah muda beraroma jasmine. Kertas yang bertuliskan kata-kata yang cukup kubaca sekali karena Aku yakin, jika kubaca untuk yang kedua kalinya, air mata dari kedua mataku tidak dapat kubendung.

Hai Kakak yang hingga saat ini namanya belum kuketahui. Kakak yang berhasil membuatku nyaman sekaligus membuat debar jantungku tidak karuan. Kakak yang selalu membuatku terhibur dengan petikan gitarnya di tengah sepinya mall di malam hari. Kakak yang hingga perpisahan ini, masih membuatku bertanya-tanya tentang Kakak.

Terima kasih atas waktu yang telah Kakak korbankan. Terima kasih atas kenyamanan yang telah Kakak berikan. Terima kasih atas canda dan tawa yang telah menghiburku. Terima kasih atas bantuan Kakak dalam mengerjakan tugas-tugasku. Terima kasih karena selama Aku bersama Kakak, Aku benar-benar selalu bersemangat menjalani hari. Terima kasih karena telah mau menerima Aku dalam kehidupan Kakak yang tertutup. Terima kasih karena telah mau membuka sedikit kehidupan Kakak untukku. Terima kasih.

Maafkan Aku karena Aku datang dan pergi secara tiba-tiba dalam kehidupan kakak. Maafkan Aku karena telah banyak mengganggu kakak. Maafkan Aku yang telah memaksa kakak untuk bersikap terbuka padaku. Maafkan Aku karena kehidupanku ini, Aku hanya bisa membalas semua kebaikan kakak dengan perpisahan.

Meski tidak lama, namun Kakak berhasil mengukir kenangan yang tidak akan pernah mungkin Aku lupakan. Kakak berhasil memenuhi relung hatiku yang kosong. Kurasakan itu sejak Aku pertama kali bersama Kakak. Dan Aku benar-benar meyakini perasaanku ketika kita saling bertatapan dengan jarak yang begitu dekat. Semoga takdir mempertemukan kita berdua kembali. Ya. Aku benar-benar berharap akan hal itu.

Maafkan Aku dan terima kasih atas semuanya, Kakakku yang kucintai.

Save ices and jar 

Surat keempat darinya. Surat yang kemudian Aku simpan bersama 3 surat lainnya di dalam sebuah kotak kayu berlapiskan kain beludru berwarna biru yang Aku khususkan hanya untuk menyimpan suratnya.

“Mba, ini kunci duplikatnya. Saya titipin lagi.” ujarku pada resepsionis sambil memberikan kunci yang seharusnya masih dipegang oleh Ve.

Aku segera pergi sesaat setelah resepsionis menerima kunciku. Meninggalkannya dengan wajah penuh pertanyaan dan kekhawatiran yang sepertinya ditujukan padaku.

Malam-malam selanjutnya, Aku kembali menjalani rutinitasku. Bermain gitar di rooftopsambil menunggu para zombie bubar. Bermain gitar di panggung f3. Pulang ketika jarum jam telah menunjukkan pukul 1 tepat. Aku kembali ke rutinitasku yang saat ini malah kurasa sangat membosankan. Padahal sebelumnya, sebelum Aku berkenalan dengannya, Aku selalu melakukan hal-hal tersebut.

Awal-awal kepergiannya, Aku tidak terlalu merasakan perbedaan karena memang, Aku kembali ke rutinitasku sebagai makhluk setengahnocturnal. Namun, setelah 2 minggu kulewati tanpa kehadirannya, Aku mulai merasakannya. Rasa kehilangan yang meninggalkan lubang yang begitu dalam pada perasaanku.

Di sini, di atas panggungku di lantai f3, Aku memainkan beberapa lagu yang pernah ia request saat kami baru kenal, saat kami sudah mulai dekat, dan saat dimana perpisahan mulai menunjukkan batang hidungnya. Satu persatu kumainkan lagu yang benar-benar kuingat itu. Hingga akhirnya, lelehan air mata yang terasa hangat ini tidak mampu kutahan lagi.

“Terima kasih. Jessica Veranda.” Gumamku.

BERSAMBUNG....

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience