Aku di sini, di tempat biasa, menunggu kabar yang tak kunjung datang. Menunggu kabar yang entah itu kabar baik yang selama ini Aku harapkan, atau kabar buruk yang akan benar-benar mengakhiri kedekatan kami, mengakhiri keakraban kami, mengunci segala kenangan indah kami dalam sebuah kotak memori yang dikubur dalam-dalam di otakku, juga mungkin di otaknya.
Sudah hampir 1 minggu semenjak perpisahanku dengannya. Kukira tadinya, perpisahanku itu tidak akan memutuskan komunikasi kami, seperti berkirim pesan, atau saling mengabari satu sama lain melalui telepon, tapi rupanya Aku salah. Ini kesekian kalinya Aku salah memperhitungkan sesuatu yang ada hubungannya dengan perempuan. Haah, mereka memang sulit ditebak, mereka memang sulit diperkirakan layaknya kantong ajaib Doraemon yang menyimpan berjuta-juta kejutan menyenangkan maupun menyedihkan.
Salahkah Aku, sebagai seorang lelaki, menunggu suatu keputusan dari seorang perempuan? Bukankah seharusnya, dan biasanya, kaum hawa yang menunggu keputusan dari kami, kaum adam? Ganjil, kan? Akupun bahkan sempat meragukan apa yang sebenarnya Aku lakukan ini. Memang, setiap malam biasanya Aku selalu duduk di tengah ‘panggung pribadi’ ini sambil merajut nada dari petikan senar gitarku dan itu merupakan rutinitasku sebagai makhluk nocturnal. Yah, tidak sepenuhnya nocturnal sih sebenarnya, tapi mari kita lewati penjelasan ini. Tapi kini, hampir setiap hari semenjak perpisahan kami, apa yang sebenarnya Aku lakukan adalah menunggu jawabannya. Kegiatan ‘menunggu’ itu Aku kamuflasekan menjadi rutinitasku setiap malam, selama seminggu terakhir ini.
Mungkin diantara kalian ada yang menganggapku aneh, 'gak laki’, atau mungkin bahkan ada yang mengatakan ‘masa laki yang nunggu.’, well, tentu kalian juga pernah mendengar suatu perkataan ‘cinta itu buta.’ Atau ‘cinta bisa membuat tai jadi rasa cokelat, dan cokelat jadi rasa tai.’ Dan itulah sepertinya yang terjadi padaku. Aku menjadi seseorang yang berada di pihak ‘yang harus menunggu’ bukan di pihak ‘yang memegang keputusan’ dimana hal itulah yang seharusnya Aku, sebagai lelaki, pegang.
Haruskah Aku melanggar janjiku yang kubuat sendiri? Janji untuk menunggunya, menunggu jawaban darinya? Tapi itu akan membuatku berada dalam posisi yang hina. Astaga! Sudah berapa kali Aku dibuat bingung seperti ini olehnya? Cih! Aku harus sedikit jalan-jalan. Merapikan segala kekusutan pikiranku.
Dari lantai f3, Aku beranjak naik langsung ke f7. Mencoba menikmati sepinya keadaan sekitarku hingga langkahku terhenti saat berhadapan dengan anak tangga yang mengarah ke rooftop, tempat penuh kenangan, tempat yang indah sekaligus tempat yang menyakitkan. Tempat yang selama 7 hari terakhir ini tidak kujamah karena… Akupun tidak tahu karena apa.
Aku melanjutkan langkahku, mengelilingi lantai f6, kemudian turun ke f5, hingga berhenti di depan tempat pertunjukkannya. Teater JKT48. Disitu, di depan teater itu, Aku terpaku. Termenung. ‘Apakah mungkin seorang biasa menjadi pacar seorang superstar?’. Kutipan lirik dari lagu Project Pop tadi tiba-tiba terbersit di pikiranku. Kalau hanya sebatas dekat masih mungkin karena Akupun pernah dekat dengannya, tapi kalau menjadi kekasihnya? Sepertinya takdirpun enggan mengguratkan garisnya untuk mendukung khayalanku itu. Meski mungkin ‘hampir’ menjadi kekasihnya, tapi tetap saja, takdir belum menuliskan peresmian kami berdua. Haah.
Kelihatannya Aku harus kembali ke kehidupanku yang dulu, yang bersih tanpa sepercik noda galau seperti sekarang ini. Aku turun ke lantai f3. Pikiran logisku mengutarakan bahwa tidak ada gunanya Aku menunggu lebih lama lagi. Memang, Aku orangnya paling tidak suka menunggu. Tapi, Aku sudah berjanji akan menunggu berapa lamapun waktu yang disia-siakan. Ckck. Sepertinya sifat asliku itu memang tidak bisa ditekan. Pada akhirnya, dan mungkin seterusnya, akan kulepaskan harapanku itu. Berusaha kembali ke kehidupan asalku meski sebenarnya Aku agak pesimis karena sebelumnya Aku telah mencoba hal yang sama namun gagal total.
Kalian tahu? Meski Aku berniat seperti itu, tapi jauh di dalam lubuk hatiku, Aku sedikit mengharapkan kejutan berupa kedatangannya yang selama ini kutunggu. Cih! Menyedihkan, ya? Haah. Dengan langkah perlahan, Aku menuruni tangga eskalator yang sudah tidak bergerak. Memperhatikan panggung yang selama ini menjadi pusat kegiatan malamku.
Dan tepat saat kakiku menginjak anak tangga eskalator terakhir, Aku dihadang olehnya, oleh dia. Tentu kehadirannya benar-benar merupakan sebuah kejutan bagiku. Lucu kalau boleh kubilang. Dengan menggunakan sweater bulu putih, snapback(?), dan matanya yang sedikit sipit namun tajam menatapku seperti waktu itu, ia berdiri di hadapanku.
“Ada apa?” tanyaku.
Aku tahu, pasti ada sesuatu yang membawanya kemari untuk menemuiku. Tapi Aku tidak tahu pastinya apa. Semoga saja sesuatu yang ia bawa adalah sesuatu yang kuharapkan.
“Aku nyariin kamu.” jawabnya. Suaranya terdengar parau.
“Oh? Aku benar-benar merasa tersanjung. Ada yang bisa kubantu, Mademoiselle? Membuat anda yang baru bangun langsung menemuiku seperti ini.”
Matanya sedikit membelalak terkejut mendengar responku. Namun ia masih dapat mengendalikan rasa terkejutnya itu.
“Lebih baik kalau kita berbicara sambil duduk, Monsieur.”
“Ahaha, ya. Tentu. Betapa tidak sopannya Aku.” Sahutku.
Kami menghampiri kursi terdekat. Duduk berhadapan. Ia masih menatapku dengan tatapannya yang begitu menusuk. Sungguh, mungkin tatapannya itu tidak akan pernah Aku lupakan hingga Aku tua nanti.
“Ada yang salah sama Ve.” Ujarnya membuka pembicaraan.
“Ve kenapa?! Sakit apa lagi dia?”
“Engga, engga. Ve gak sakit. Cuman…”
“Cuman?” desakku. Aku benci jawaban sepotong-sepotong seperti ini.
“Akhir-akhir ini Ve sering ngomongin hal mengenai Hak Asasi Manusia.”
“Eh? Maksudnya?”
“Ya, kayak manusia itu berhak hidup, berhak memiliki kebebasan, dan berhak mengetahui juga merasakan apa itu cinta.”
“Kenapa emangnya? Perasaan gak ada yang salah sama itu.”
“Awalnya Aku, kami, member lain juga nganggep hal itu sebagai hal yang wajar. Tapi, 2 hari kemarin, Ve mulai menyangkut-pautkan obrolan mengenai HAM itu dengan golden rules.”
“Misalnya?” tanyaku.
Melody tidak menjawab pertanyaanku. Ia memandangku semakin dalam. Semakin tajam. Semakin menakutkan kalau Aku boleh bilang. Matanya semakin menyipit, seolah ia sedang menyelidikiku, membaca isi pikiran dan hatiku. Pandangannya itu benar-benar membuatku tidak nyaman!
“Kamu pasti udah tau jawabannya.” Sahutnya.
“Hm?” Aku bergumam.
“Aku gak keberatan mengenai pelanggaran terhadap golden rules karena Aku juga pernah ngelanggar.”
“Dan sekarangpun masih.” Selaku.
“Oh, udah engga. Bukannya kamu juga ngeliat sendiri?”
Aku hanya mengedikkan bahuku.
“Seperti apa yang Ve pernah bilang, ‘manusia berhak merasakan apa itu cinta’, dan kalau saatnya tiba, Aku cuman pengen bilang, jangan sampe bikin kesalahan kayak Aku waktu itu.” ucapnya menutup pembicaraan.
Ia berdiri. Melangkah meninggalkanku.
“Perlu kuantar ke tempat mobil anda berada, Mademoiselle? Takutnya anda masihngalindur, terus nyasar ke WC. Kan bahaya.”
Ia berbalik. Mendelik ke arahku. Tapi ada yang beda dari tatapannya itu. Entahlah, apa itu hanya perasaanku saja atau memang caranya menatapku terasa lebih lembut dari biasanya.
“Bonsoir, .” Ucapnya sambil melanjutkan perjalanannya lagi.
Ia tidak menjawab pertanyaanku. Tidak sopan. Hvft. Yah, sebagai lelaki yang baik, jugagentle, kuantar dia menuju tempat di mana mobilnya terparkir. Ah, mungkin kalau dibilang ‘mengantarnya’ kurang tepat. Lebih tepatnya, Aku mengikutinya. Tidak secara diam-diam tapi. Ia tahu Aku sedang mengikutinya.
“Kamu selalu bikin Aku bingung.” Ucapnya tepat saat ia berada di samping mobilnya.
“Eh? Kenapa?”
“Darimana kamu tau Aku baru bangun tidur? Kamu bukan stalker, kan?”
“Ya bukan, lah! Gila aja.”
“Terus?”
“Dari mata kamu. Mata khas orang-orang yang baru tidur. Terus suara kamu yang parau, terus celana piyama yang masih kamu pake itu.” jelasku sambil menunjuk apa yang kumaksud.
Ia menunduk mengikuti arah telunjukku, lalu kembali menatapku. Tatapannya terlihat sedikit kesal, tapi masih terkesan lembut. Astaga, ada apa dengannya? Kenapa tatapannya tiba-tiba berubah seperti itu? Au' ah, binun!
“Bonsoir, Mademoiselle. Titidije.” Ucapku saat ia memasuki mobilnya lalu pergi meninggalkanku. Ah, maksudku pulang.
Setelah cahaya lampu belakang mobilnya menghilang di tikungan, Aku melangkahkan kakiku menuju tempat tinggalku. Sementara tubuhku telah kurebahkan di atas tempat tidur, isi kepalaku masih terus berputar memikirkan apa yang tadi dikatakan Melody. Dan jika memang apa yang dikatakannya benar, maka surat yang kuberikan, juga penantianku tidaklah sia-sia. Aku hanya perlu menunggu sebentar lagi. Menunggu sedikit lebih lama. Sesuai dengan apa yang telah kujanjikan.
Keesokan harinya, hari Senin, hari yang dibenci oleh hampir setiap manusia, Aku memulai kegiatanku dengan sedikit asa dari harapan yang hampir saja kubuang. Tapi tetap saja, rasa malas akibat sugesti ‘hari senin’ masih tetap ada.
Tidak ada yang istimewa. Padahal Aku berharap sesuatu dari perbincanganku dengan Melody kemarin. Apa masih terlalu cepat untukku mendapatkan apa yang kuharapkan? Ataukah harapanku itu harapan palsu? Hvft. Aku terlalu banyak melibatkan emosi kali ini. Kulirik jam dinding yang menunjukkan hampir pukul 12 siang. Waktu istirahat benar-benar kubutuhkan untuk kondisiku saat ini. Berlebihan memang, tapi tidak biasanya Aku mencampurkan emosi saat Aku bekerja.
Drrrddd…
Hm? Oh! Kukira hari ini tidak akan ada kejutan, tidak akan ada hal yang istimewa. Tapi rupanya Aku salah. Handphone-ku bergetar. Panggilan masuk dari Ve. Setelah seminggu lebih Aku menunggu, akhirnya yang kunanti tiba juga.
“Halo?”
“Halo. Kak, lagi di mana?”
“Eh? Maaf, ini siapa ya?” tanyaku jahil.
“Oh, jadi gitu. Oke.”
Tuut… Tuut… Tuut…
Hahaha, dia marah? Kuharap sih tidak, karena Ve yang Aku kenal, meski baru beberapa bulan, tidak akan marah hanya karena lelucon seperti ini. Selang beberapa menit, handphone-ku bergetar kembali.
“Halo?”
“Ih, Kakak beneran gak inget sama Aku?!”
“Maaf, ini siapa ya? Nomornya gak ada di kontak.”
“Oh…”
Hening sesaat. Dan dari sana, dari lawan bicaraku, Aku mendengar suara nafas tercekat. Dia menangis?!
“Halo?” ucapku.
“I---iya, halo. Maaf kalo gitu, Sa---saya salah sambung.” sahutnya.
Ya ampun! Ternyata dia benar-benar menangis!
“He—hey, gak salah sambung kok, ini Aku.”Astaga, bagaimana ini?! Ini pertama kalinya Aku menjahili perempuan hingga menangis. Ibu, maafkanlah anakmu ini.
“A---Aku?”
“Ah, Kakak. Ini Kakak.”
Entah karena panik, atau karena perutku yang mulai berontak, Aku mempercepat langkahku keluar kantor menuju kantin di seberang. Aku berhenti menunggu lampu merah menyala. Kalian tahu sendiri kan kondisi jalan Jakarta seperti apa.
“Ini beneran Kakak, kan?”
“Iya.”
“Kakak yang gak punya nama itu, kan?”
Heish!
“Iya. Udah jangan nangis.”
“Kalau mau nyeberang, liat kanan kiri dulu.”ucapnya.
Eh?
“Kamu di mana?” sahutku bingung.
“Kan Aku udah bilang, kalau mau nyeberang, liat kanan kiri dulu.”
Langsung kutengok sebelah kiriku, namun tidak kulihat apa yang kucari. Dan saat Aku menoleh ke sebelah kanan, Aku mendapati dirinya yang tidak berada tidak terlalu jauh denganku.
Dengan kaos biru tua dan rompi hitam, juga celana denim panjang berwarna hitam, ditambah topi teduh berwarna biru gelap, dia terlihat seperti sedang mengenakan seifuku RIVER. Tangannya kanannya terjulur ke depan.
“Dor!” serunya.
Ia berlari-lari kecil ke arahku.
“Halo Kakak.”
Kuakui, untuk sesaat, Aku benar-benar terkejut hingga tidak menyapanya kembali. Kenangan terindah itu kini muncul kembali. Menjelma menjadi sesosok bidadari yang berada tepat di hadapanku. Wangi parfumnya, senyumnya, matanya, wajahnya yang ceria, semuanya kembali membongkar nostalgia. Padahal baru seminggu kami berpisah. Apa karena Aku benar-benar mengharapkan kehadirannya sehingga beginilah rasanya? Aku tidak tahu. Aku tidak dapat menjelaskan bagaimana rasa ini. Haha.
“Wah, ada artis.”
“Ih, kok gitu?!”
“Ya, kan emang artis.”
“Iya sih, tapi kok reaksinya gitu? Biasa-biasa aja.”
“Emang harusnya gimana?”
“Yaa, gimana kek. Yang wah! Gitu.”
“Aku kan emang orangnya gini.”
“Aku?”
“Hm? Ah, Kakak. Ih meni gak boleh bilang 'Aku'.”
“Gak. Gak boleh.”
Lampu sudah merah dan kendaraan pun memberikan kesempatan bagi para pejalan kaki untuk menyeberang. Aku mulai melangkah, menyusuri zebra cross, diikuti Veranda di sampingku. Sebenarnya agak tidak nyaman berada di sampingnya di tempat terbuka seperti ini. Aku merasa seluruh pasang mata yang berada di sekitar kami, menatap kami berdua. Sepertinya aura idol yang ia pancarkan yang menarik perhatian mereka, juga pakaiannya yang mencolok di tengah-tengah pegawai yang lalu-lalang saat jam istirahat ini.
“Kamu gak takut ketauan staff?” bisikku yang masih mencoba menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dengannya.
“Takut sih, tapi biarlah.” Jawabnya kembali mendekatkan dirinya padaku.
Ya ampun. Jawaban macam apa itu?! Kalau gosip yang tidak enak didengar menyebar bagaimana? Lagipula, dia bukan Melody yang kalau terkena gosip bisa lewat begitu saja. Eh, tunggu, kenapa Aku jadi ingat Melody? Hush, hush!
“Kamu udah makan?” tanyaku.
“Belom.”
“Ya udah. Cuman nanya sih.”
“Gak nawarin?”
“Gak ah.”
“Ih, kan! Kakak!”
Haha, instingku untuk menjahili seseorang yang kusayang, yang kurindu, benar-benar tidak bisa kutahan. Apalagi mengingat Ve selalu saja terbawa oleh kejahilanku.
“Hehe, mau pesen apa?” ucapku pada akhirnya.
“Samain aja.”
“Ih, jangan sama. Harus beda.”
“Lho, kok?”
“Biar ntar bisa tuker-tukeran makanannya.” Jawabku jahil.
“Ah, bilang aja pengen suap-suapan.”
“Emangnya Kakak anak kecil pake disuapin.”
Ve hanya menatapku jahil kemudian kami berdua memesan makanan yang berbeda.
“Kok dibungkus?”
“Jangan di sini makannya. Banyak orang.”
“Terus, makan di mana?”
“Ikut Kakak.”
Kami kembali menyeberangi jalan, kembali ke kantorku, lalu ke ruang kerjaku.
“Waah, tempatnya nyaman ya.” ucapnya saat duduk di depan meja kerjaku.
“Tunggu di sini.” sahutku.
Semenit kemudian Aku kembali dengan perlengkapan makan.
“Kamu tau dari mana kalau kantor Kakak di sini?” tanyaku membuka percakapan saat kami menyantap makan siang.
“Aku ngikutin Kakak.”
Hampir saja Aku tersedak mendengar jawabannya tadi.
“Kapan?” tanyaku lagi.
“Sebenernya ngikutin udah dari kemarin-kemarin.”
“Kok bisa? Padahal kan Kakak naik sepeda.”
“Aku juga naik sepeda waktu itu.”
“Kalau sekarang?”
“Naik mobil lah.”
“Pake ngikutin segala. Nanya aja kan bisa.”
“Lebih seneng tau sendiri daripada nanya.”
Hening sejenak. Kalian tahu, Aku paling tidak suka keheningan seperti ini. Meski sebenarnya Aku suka keheningan, tapi Aku tidak suka yang seperti ini. Membawa kesan canggung.
“Jadi, kemana aja selama seminggu ini?” tanyaku memecah suasana canggung.
“Gak kemana-mana. Aku sama member lain.”
“Hm…”
“Kenapa? Khawatir ya?”
“Iya.”
“Ah, seneng deh dikhawatirin sama Kakak.”
“Lebay ah.”
“Eh, Kak. Di pojok kanan bawah surat yang Kakak tulis, angka 143, 7 itu maksudnya apa?”
“Masa gak tau?”
Ve hanya menggelengkan kepalanya. Mirip boneka. Haha.
“Nanti juga tau.”
“Ih! Gitu kan.”
“Tapi kamu dapet kan maksud dari pertanyaan yang Kakak tulis?”
“Hm. Maksudnya dapet sih. Makanya Aku kesini.”
Sudah kuduga. Ternyata Melody tidak mengada-ada cerita. Sebenarnya pertanyaan yang kutulis cukup sederhana. ‘Apa itu Hak Asasi Manusia?’. Hanya itu. Ditambah dengan angka 143, 7 di pojok kanan bawah. Ternyata Ve dapat mengartikan pertanyaanku itu, tapi untuk angkanya, dia masih kebingungan. Hahaha. Padahal itu sangat sederhana.
“Minta dong tuna-nya.” ucapku.
“Nih. A…”
“Apaan?”
“Buka mulutnya.”
“Kakak bisa makan sendiri.”
“Ya udah kalo gak mau.”
“Iya, iya. Mana.”
Dengan senang hati, kubuka mulutku untuk menerima suapan Ve. Perasaanku? Tentu saja bahagia, tapi juga aneh. Hal-hal seperti ini, baik di film-film, ataupun di cerita-cerita, selalu saja membuatku bergidik malu. Tapi, tidak apa lah. Yang penting Aku dapat ikan tuna.
“Kok rasanya gini ya?” tanyaku ragu.
“Kenapa?”
“Biasanya gak seenak ini. Apa gara-gara kamu yang nyuapin Kakak?”
“Oowh… cocwiit.” Ucapnya sambil memeluk dadanya. Ekspresi wajahnya benar-benar membuatku gemas. Hih!
“Lebay deh ah.”
“Yee, Kakak sendiri yang duluan gombal.”
“Hmmh… kapan pulang?” tanyaku saat makanan kami sudah habis dilahap mulut-mulut kelaparan.
“Nunggu bareng Kakak.”
“Nunggu di sini? Mana boleh.”
“Kok gak boleh?”
“Iya lah. Ntar Kakak kerja, terus ada kamu yang mengalihkan perhatian Kakak, bisa-bisa kerjaan Kakak gak selesai-selesai.”
Wajahnya seketika lesu. Sepertinya kecewa terhadap apa yang kuucapkan. Tapi mau bagaimana lagi? Aku harus profesional. Jangan sampai ada hal-hal lain yang mengganggu kerjaku seperti waktu itu. Saat Aku tahu bahwa dia sakit. Aku terlalu sibuk memikirkan buah apa yang cocok untuk dibawa menjenguknya sampai-sampai menelantarkan pekerjaanku. Aku tidak ingin hal itu terjadi lagi.
“Kamu gak ada teater hari ini?” tanyaku berusaha membuatnya sedikit tersenyum.
“Engga.” Sahutnya datar.
Suasana seketika itu juga berubah canggung.
“Ve, kita masih bisa teleponan atau sms-an, kan?” tanyaku.
“Bisa dong.”
“Jangan ampe kayak kemarin-kemarin.”
“Hehehe.” Ia hanya tertawa garing.
“Kalo gitu Aku pulang ya.” lanjutnya lagi sambil menghampiri pintu ruang kerjaku.
“Eh, tunggu.”
“Ya?” ia berhenti tepat di depan pintu.
Ve Menoleh padaku. Rambutnya yang terkibas hampir saja membuatku lupa apa yang tadi ingin kutanyakan. Senyumnya mengembang seolah ia senang Aku panggil kembali.
Sungguh. Ia benar-benar terlihat bak bidadari yang baru saja mengunjungi seorang tuna asmara yang dilanda rindu begitu berat. Apa mungkin karena sudah seminggu ini Aku tidak melihatnya? Ataukah dia memang benar-benar terlihat lebih cantik dari saat terakhir kali kami bertemu. Saat Aku hanya bisa memandanginya dari layar kaca selama beberapa terakhir ini? Entahlah.Lebay ah!
“Tadi kamu gak nangis, kan?” tanyaku.
“Menurut Kakak?”
“Dasar. Jangan pura-pura nangis lagi. Kamu kan tau, Kakak gak tega ngedenger perempuan nangis. Apalagi kamu.”
“Hihi. Iya, maaf. Gak akan lagi deh. Aku pulang ya. Dadah~” ucapnya sambil melambaikan tangannya.
Ia menghilang dari pandanganku seiring dengan menutupnya pintu ruang kerjaku. Hening. Hanya wangi parfumnya yang tersisa di sini. Haah, sebenarnya berat untukku tidak mengijinkannya tinggal disini hingga Aku pulang, tapi ya mau bagaimana lagi? Pekerjaan hari ini begitu banyak jadi Aku harus benar-benar fokus.
Akhirnya seluruh pekerjaanku untuk hari ini selesai. Tepat saat jam menunjukkan waktu pulang. Akhirnya Aku bisa mengistirahatkan pikiran dan badanku. Kukayuh sepedaku untuk pulang menuju tempat tinggalku.
Sepanjang jalan, Aku memikirkan bagaimana bisa Ve mengikutiku hingga ke tempat kerja? Dia naik sepeda? Seharusnya Aku tahu. Aku ini orangnya selalu waspada terhadap keadaan sekitar. Bukan maksudku untuk ‘sok’ tapi memang begitu kenyataannya. Dan lagi, jarang sekali Aku melihat orang sekitar tempat tinggalku menggunakan sepeda. Jadi seharusnya Aku mengetahui bila Aku diikuti. Apakah Ve berbohong padaku? Semoga saja tidak. Semoga saja memang Aku yang tidak terlalu memperhatikan.
Sesampainya di tempat tinggalku, Aku langsung merebahkan diri di sofa untuk sekedar mengistirahatkan kakiku. Setelah mandi, Aku melangkahkan kakiku keluar menuju tempat makan karena perutku kembali berontak. Rupanya makan siang berdua bersama Ve tadi tidak mempengaruhi bahwa Aku akan kenyang hingga malam nanti.
Mall di sore hari benar-benar seperti sarang semut. Penuh, tapi tidak sesak. Aku berkeliling tiap lantai. Mencari makanan yang tepat. Lalu tiba-tiba Aku teringat Ramen dan Sushi. Dua makanan yang Aku, dan Ve makan bersama. Bila kuingat-ingat lagi, saat itu jantungku berdegup begitu kencang ketika ia menuntun lenganku untuk memegang sumpit. Haha.
Aku ingin merasakannya kembali. Saat-saat berdua dengannya di rooftop, menikmati gemerlap bintang, sunyinya malam, semilir angin, juga terangnya rembulan. Saat-saat berdua dengannya di atas ‘panggung pribadi’ku. Memainkan lagu-lagu favoritnya, bercanda, dan mengobrol. Haah… haruskah kuajak dia untuk kembali mengulang kenangan kami nanti malam? Yap, sepertinya harus. Lagipula Aku merasa tidak enak saat ia meninggalkanku di kantor tadi dengan perasaan kecewanya yang ia bawa pulang serta.
Pikiranku tadi menemani langkahku yang akhirnya berhenti di sebuah restoran Jepang dengan ornamen-ornamen khasnya. Tanpa basa-basi, Aku langsung memesan. Dibungkus. Aku tidak terlalu suka makan di tempat-tempat umum. Lebih nyaman untuk makan di tempat tinggalku sendiri. Dan lagi, Aku tidak mau terlihat kikuk saat Aku bergelut dengan sumpit.
Aku duduk menunggu pesananku datang di meja dekat pintu keluar. Sambil menunggu, Aku memperhatikan keadaan sekitar. Orang-orang yang sedang makan yang mahir menggunakan sumpit, sejoli yang saling suap, keluarga bahagia yang tertawa ketika salah satu anak bungsunya bersin, semua kuperhatikan. Ah, ini juga salah satu hobiku. Memperhatikan sekitar. Aneh memang. Mungkin karena tertular oleh kebiasaan Sherlock Holmes yang selalu mengamati dan waspada. Dan hobiku ini berhasil membuat Ve dan Melody terkejut. Haha.
Setelah membayar pesananku, Aku langsung kembali ke tempat tinggalku. Tepat saat Aku menyuap sendokan pertama, handphone-ku bergetar. Hm? Ve. Kebetulan sekali karena Aku akan menghubunginya setelah makan.
“Yello?” sapaku.
“Halo. Kak, udah pulang?”
“Udah daritadi. Ada apa?”
“Ooh… engga. Cuman pengen nelepon aja. Hehe. Kakak lagi apa?”
“Lagi makan.”
“Ih, kok gak ngajak-ngajak.”
“Emang harus ya?”
“Oh gitu… Makan sama apa, Kak?”
“Kepo banget sih.” Ledekku.
“Ih Kakak! Kok gitu sih?!”
“Hahaha. Becanda, becanda. Makan samasushi sama ramen. Mau?”
“Mau banget dong! Itu kan makanan waktu kita makan bareng-bareng.”
“Eiy, masih inget ternyata.”
“Masih lah. Yang itu mana mungkin lupa.”
“Ciee, nostalgia. Eh, kamu lagi ngapain?”
“Kepo banget sih.”
Asem! Dibalas juga perkataanku tadi.
“Iya. Kepo.”
“Lagi ngerjain tugas, Kak.”
“Pasti susah. Pasti banyak. Pasti pusing, ya?”
“Ih! Kakak tau banget sih! Stalker ya?”
“Enak aja! Sebanyak apa?”
“Banyak banget. Kayaknya harus begadang deh.”
“Haha, semangat deh kalo gitu. Jangan maksain begadang, ntar malah sakit.”
“Ciee Kakak perhatian ciee.”
“Ck ah! Udah ya, Kakak mau lanjutin makan. Dadah. Muah~”
Well, sekali-kali boleh lah Aku yang memberinya kissbye. Haha. Dan melalui perbincangan dengannya tadi, ternyata harapanku untuk kembali mematik kenangan-kenangan indahku bersamanya sirna. Tidak sepenuhnya sirna, sih, tapi ya… untuk kesempatan pertama ini, Aku tidak dapat merealisasikannya. Kecewa memang, tapi kalau dia sedang sibuk dengan tugasnya, Aku tidak boleh egois. Keegoisanku sudah cukup hanya sebatas memberinya surat waktu itu, dan itu sudah memberikan hasil yang kuinginkan.
Meski kecewa, perutku masih bersemangat untuk mencerna makanan yang masuk lewat mulutku. Setelah habis dan beristirahat sebentar, waktu untukku melakukan rutinitas malamku pun tiba. Pukul 11 malam. Kugendong kantong gitarku, yang tentu saja berisi gitar, lalu melangkah ke tengah-tengah mall yang kali ini keadaannya berbanding terbalik saat Aku melihatnya tadi sore meski ada beberapa yang masih berkeliaran. Sepertinya mereka pegawai toko.
Ketika Aku tiba di hadapan anak tangga menuju rooftop, Aku berhenti sejenak. Berandai kalau saja Ve dapat menemaniku malam ini, tentu dekorasi di atas sana, dekorasi yang kubuat sekitar seminggu yang lalu, akan membuatnya cukup terkesan. Sebaiknya Aku memeriksa keadaan di atas sana. Lagipula sambil menunggu mall benar-benar kosong, Aku bisa menikmati indahnya malam.
Ketika kubuka pintu rooftop, pemandangan di hadapanku masih sama persis seperti seminggu lalu. Sebelum kutinggalkan. Hanya beberapa yang tidak berada pada tempat yang semestinya. Mungkin tertiup angin, tapi sisanya masih persis sama. Tidak ada yang berbeda.
Setelah selesai melihat keadaan sepintas, Aku langsung bersembunyi di balik pintu. Seseorang datang dan Aku tahu, itu bukan satpam. Langkahnya ringan, terdengar berhati-hati. Wangi parfumnya sepertinya Aku kenal. Tunggu, ini kan… tidak, tidak. Aku harus memastikannya hingga orang yang datang ini melewatiku. Langkahnya membawanya ke tengah rooftop. Melewatiku yang bersembunyi di balik pintu.
Figur belakangnya benar-benar familiar. Rambutnya yang coklat disiram cahaya lampu temaram, terkibas angin malam yang sejuk. Baju hitamnya, juga celana hitamnya memberikan kesan misterius. Tapi Aku hampir yakin bahwa itu dia.
“Tidak kusangka. Sudah 2 kali Aku dibuntuti oleh member JKT48. Bonsoir, Mademoiselle.” Sapaku.
Ia berbalik. Tangannya dilipat di hadapannya. Tatapan matanya tidak lagi tajam seperti waktu pertama kali, kedua kali, atau ketiga kalinya kami bertemu. Tatapan matanya kali ini terlihat lebih menantang dengan senyum misteriusnya yang merekah di wajahnya.
“Bonsoir, Monsieur.” Balasnya sambil melangkah dengan mantap dan perlahan ke arahku.
“Ada apa?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Tidak ada.” Jawabnya singkat.
“Tempat yang romantis.” Lanjutnya lagi sambil berbalik menghadap ke arah dekorasi meja dan kursi seminggu yang lalu.
“Oh, menurutmu begitukah? Merci.” Sahutku sambil berjalan menuju sofa. Membiarkannya menikmati indahnya dekorasiku. Haha.
Suasana malam ini benar-benar cerah. Langit ditaburi bintang yang berkelip, juga di tengah sana, menggantung bulan sabit seolah itu adalah senyum sang langit. Angin bertiup dengan tenangnya. Membawa nada petikan gitarku hinggap di telinga Melody yang masih saja melihat entah ke mana.
“Aku masih belum ngerti, apa yang bikin Ve tertarik sama kamu.” ucapnya seraya mendekatiku. Mengambil tempat di sampingku.
“Tanya aja sama Ve.” Jawabku.
Ck! Padahal Aku berharap yang menemaniku duduk di sampingku adalah Ve. Veranda. Tapi yang menemaniku malah Melody, dan ini benar-benar di luar dugaanku. Kecerobohanku membuatnya bisa membuntutiku hingga kemari. Tidak, bukannya Aku membencinya, hanya saja kehadirannya ini membuatku sedikit merasa tidak nyaman. Canggung. Ditambah lagi dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah. Tatapan matanya yang juga tiba-tiba berubah. Ah! Aku benar-benar tidak tahu. Apakah ini sesuatu yang baik atau malah sebaliknya. Ck! Sepertinya otakku ini berpikiran terlalu banyak hingga memperkirakan hal-hal yang tidak masuk akal.
“Kamu bisa mainin lagunya Taylor Swift?” tanyanya.
“Yang mana? Red? Love Story? You belong with Me? At---“
“Nah itu. You belong with Me.” Selanya.
Hm. Oke lah. Daripada mengecewakannya yang telah susah payah mengikutiku, kupenuhi saja permintaanya. Kupetik senar-senar gitarku hingga terangkai beberapa nada yang mengalun membentuk suatu lagu yang ia pinta. Aku menikmati petikan gitarku karena memang itu adalah salah satu lagu kesukaanku. Dan sepertinya Melody juga menikmatinya. Sesekali Aku mendengarnya menggumamkan lirik dari lagu ini.
“Kok kamu gak nyanyi?”
Haha. Pertanyaan yang sama dengan yang pernah Ve lemparkan padaku.
“Udah ada kamu yang nyanyi.” Balasku.
Hening sesaat. Hanya terdengar suara hembusan angin malam.
“Ngomong aja. Ada apa kamu kesini.” Ucapku memecah keheningan.
Ia sedikit ragu. Namun saat kedua mata kami bertemu, dan Aku berusaha berbicara menggunakan tatapanku, akhirnya ia pun mengatakan maksud kedatangannya, maksud dari mengapa ia mengikutiku.
“Tadi kamu ketemuan sama Ve?”
Oh, jadi ini. Interogasi.
“Gimana ya…”
“Udah, ngaku aja. Aku liat kok.”
“Liat apa?”
“Liat kamu nyeberang jalan bareng Ve.”
Hah?! Bagaimana… apa dia mengikuti Ve? Astaga! Ada apa sebenarnya dengan hari ini? Kami bertiga saling mengikuti? Ini gila! Benar-benar…
“Nah, kalau tau kenapa nanya lagi?” tanyaku balik. Aku menjaga intonasiku agar tetap terdengar tenang.
“Hehe. Kalo gitu, Aku cuman mau bilang kalau apa yang kamu lakuin tadi siang itu cerdas.”
“Tentu saja. Aku gak mau Ve terlibat gosip yang bisa membuatnya didepak dari JKT48.”
“Baguslah. Tapi, kenapa gak ambil langkah paling aman?”
“The Power of Love. You know much that better than I am, don’t you?”
Ia hanya tersenyum tipis mendengarkan jawabanku. Lalu berdiri dari duduknya, kemudian melangkah mendekati pintu rooftop. Sepertinya dia akan pulang.
“Bonsoir, Monsieur.” Ucapnya berpamitan.
Sebagai lelaki yang gentle, berbudi pekerti yang baik, sopan, santun, rajin menabung, rajin merapikan tempat tidur, tentu Aku harus mengantarnya kembali ke mobilnya seperti waktu itu. Aku mengikutinya dari belakang secara terang-terangan. Ia juga tahu Aku mengikutinya.
“Oh, gak usah repot-repot.” Ujarnya sambil terus berjalan.
“Gak apa-apa. Aku cuman khawatir.” Sahutku.
“Haha, ya sudah.” Sahutnya.
Sepanjang sisa perjalanan menuju tempat parkir mobil, tidak ada sepatah katapun yang keluar. Hanya suara sepatu yang beradu dengan keramik yang menemani kami. Sunyinya mallmembuat langkah kami terdengar seperti ketukan palu yang lambat karena jalannya Melody tidak terlalu cepat. Well, sebenarnya Aku cukup kesal dengan langkahnya yang lambat ini.
“Terima kasih sudah mau mengantarku hingga kemari.” ucapnya sopan.
Tumben. Tidak terdengar nada merendahkan, ataupun mencurigai dari ucapannya kali ini. Apa benar dia tulus mengucapkannya? Hah, tidak usah terlalu berprasangka buruk. Siapa tahu dia memang benar-benar tulus mengatakannya.
“Sama-sama.” balasku.
“Hey, Mel.” Sahutku tepat saat ia baru saja membuka pintu mobilnya. Membuatnya berhenti sebentar. Mematung mendelik ke arahku sambil melipat lengannya.
“Ya?” tanyanya. Nadanya kali ini terdengar dingin.
“Kalau mau ketemu, ketemu aja. Gak usah sembunyi-sembunyi kayak tadi sore.”
Kembali, ia menunjukkan reaksi terkejut mendengar ucapanku. Sama seperti saat kami akan berpamitan kemarin.
“Kok kamu tau banyak hal, sih?!” serunya.
“Nah, hati-hati. Kamu udah mulai tertarik.”
Ia terdiam seketika itu juga. Lalu kemudian masuk ke dalam mobil setelah sebelumnya setengah membungkuk pamit padaku.
“Bonsoir, Mademoiselle.” Ucapku mengantar mobil itu pergi menjauh.
Jadi benar, yang tadi sore mengawasiku, saat Aku tengah membeli makanan, adalah dia. Hah! Tentu saja Aku tahu, karena Aku merasakannya. Aku pernah membaca sebuah artikel bertuliskan hasil suatu riset yang mengatakan bahwa manusia dapat merasakan jika dirinya tengah diawasi oleh seseorang. Dan itu terbukti benar olehku beberapa kali. Termasuk tadi. Ada apa sebenarnya dengan dia?
Beberapa kemungkinan melintas di kepalaku sehubungan dengan perubahan sikap Melody yang menurutku boleh dibilang drastis. Apa dia merencanakan sesuatu? Sepertinya begitu. Hah! Otakku ini benar-benar sudah dikontaminasi oleh novel-novel detektif. Hal seperti ini saja dipikirkan terlalu jauh. Padahal ini sudah waktunya bagiku untuk beristirahat, tidur.
Aku membuang semua pikiran mengenai kemungkinan-kemungkinan tersebut, lalu memejamkan kedua mataku hingga akhirnya, tanpa sadar, Aku terlelap.
I want you~ I need you~ I love you~
J! K! T! Prak Prak Prak Prak Prak Prak! Forty Eight!
Uurgh… distorsi itu lagi. Distorsi ringtonepesan masuk dan alarm. Hm?! Sms? Ve, kah? Aku harap sih begitu.
Kakaaakk!!! Kerjaaa!!!
Iya~
Irit banget balesnya -_-
Iyaaa Cantiiikkk
^_^
Tidak ada pesan lagi. Pujian memang cocok untuknya. Ah, kurasa untuk setiap insan yang hidup di muka bumi, pujian memang dapat membuat hati mereka merekah.
Aku mempersiapkan diri untuk memulai hari. Mandi, berpakaian, sarapan… tidak. Tidak ada sarapan karena Aku tidak bisa masak. Beginilah hidup membujang. Coba saja Ve membawakanku sarapan, mungkin akan lain ceritanya. Mungkin senyum di wajahku, yang hanya membayangkah hal itu saja, tidak akan pernah lepas. Yah, semua itu masih mungkin.
Cepat-cepat kuusir imajinasi itu. Aku tidak mau disangka gila. Kukayuh sepedaku, mengerjakan pekerjaanku dalam keadaan sedikit lapar hingga akhirnya jam istirahat pun tiba. Meski perutku lapar, namun langkahku masih sigap dan gesit untuk berjalan menuju kantin seberang. Sambil menunggu pesananku datang, Aku kembali teringat hal kemarin. Ketika Aku dan Ve memesan makanan.
Kemarin Aku mengusulkan agar makanan yang kami pesan berbeda supaya kami bisa saling berbagi. Kemudian dia bilang apa? Ya, dia bilang itu hanyalah alasanku agar kami bisa saling suap. Hahaha, konyol. Tapi memang itulah yang kuinginkan. Tidak kusangka dia dapat membaca rencana menggelikanku. Hebat.
Setelah pesananku datang, Aku kembali ke ruang kerjaku. Makan di sana sendiri. Terdengar menyedihkan bukan? Kenapa Aku tidak makan bersama rekan kerja yang lain? Ah… Aku sendiri juga tidak tahu. Bukan, bukan. Aku bukan seorang yang meng-exclusive-kan diri. Tapi entahlah, seperti yang telah kutulis sebelumnya, Aku lebih suka menyendiri saat makan. Selebihnya, kegiatan-kegiatan kantor yang lain, Aku selalu bersama dengan rekan yang lain.
Tepat saat Aku menelan suapan terakhir, sebuah pesan menggetarkan handphone-ku.
Kak, jangan lupa makan ya~
Yo~
Selalu deh!
Apaan?
Irit banget balesnya.
Lah, emang harusnya gimana?
Selama beberapa menit, pesanku tidak dibalasnya. Hal itu sedikit membuatku merasa bersalah. Tapi mau bagaimana lagi? Memang begitu kan seharusnya membalas pesan? Dalam kegundahanku yang enteng itu, tiba-tibahandphone-ku bergetar. Telepon. Oh, Ve rupanya. Kenapa tidak balas pesannya saja?
“Yello?”
“Kak, kalo bales sms itu panjang-panjang dikit napa?”
“Namanya juga sms. Short Message Service. Jadi ya gitu deh.”
“Tuh kan. Kakak mah.” Suaranya terdengar lesu.
“Emangnya harus gimana coba?”
“Harusnya, tadi tuh Kakak bales ‘Kamu juga jangan lupa makan ya’, gitu.”
“Mirip abege-abege yang baru pacaran aja. Geli ah! Lagian kalo kamu ngingetin Kakak makan, berarti kamu udah makan, kan?”
“Iya sih. Ya udah deh. Eh, Kak ntar kan Aku teater, boleh mampir ya. Buat istirahat.”
“Pintuku selalu terbuka untukmu.”
“Geli ah! Ngomongnya begitu.”
“Yee, ya sok boleh. Tinggal minta ke mba-mba resepsionisnya aja.”
“Oke. Makasih Kakak. Muah~”
Ah… kissbye darinya. Haha. Bolehkah Aku berharap lebih dari sekedar kissbye? Yah, jika Aku mampu mempertahankan akal sehatku atas harapan yang hampir mustahil terwujud itu, kupikir tidak masalah. Aku senang memikirkan Ve yang menunggu teaternya di tempat tinggalku. Kuharap ia akan sering-sering mengunjungiku lagi seperti waktu itu.
Aku membersihkan bekas makanku. Duduk di kursi malas di ruanganku, lalu termenung memperhatikan handphone-ku. Aku berpikir, apakah Aku memang harus membalas setiap pesan darinya dengan gaya sms yang alay jijay menggelikan itu? Hii… membayangkannya saja Aku bergidik geli.
Mengesampingkan bayangan itu, Aku menguhubungi resepsionis yang berjaga di kediamanku. Memberinya pesan bahwa Ve akan berkunjung nanti, jadi kuminta ia memberikan kuncinya jika dipinta.
Pekerjaan hari ini terasa ringan dan sedikit kalau kupikir. Entah karena memang sedikit, atau karena Aku yang bersemangat ingin segera menyelesaikan pekerjaan dan menemui Ve di tempat tinggalku. Setelah beres-beres, Aku langsung mengayuh sepedaku pulang. Semoga saja Ve masih menunggu.
“Dia ada di sini, Mba?” tanyaku saat berpapasan dengan resepsionis.
“Ada, Mas.”
Aku langsung bergegas menuju tempat tinggalku. Aku sedikit kesal ketika mendapati pintu depan yang tidak dikunci. Bagaimana kalau ada perampok masuk? Meski kecil kemungkinannya, tapi Aku selalu waspada dan berhati-hati. Aku melangkah melewati ruang tamu dimana terdapat tas kecil berwarna biru muda, dan Aku yakin itu milik Ve.
Tepat di hadapan jendela, dia berdiri memunggungiku. Sepertinya sedang memperhatikan kolam renang di bawah sana. Bajunya yang biru muda motif kotak-kotak, terlihat begitu serasi dengan warna kulitnya yang putih. Rambutnya yang diikat jatuh, menambah kesan anggun figur belakangnya.
“Lain kali, pintu depannya dikunci.” Sahutku sehingga membuatnya menoleh.
“Ah, hai Kak!” sapanya.
Ia berbalik, melambai ke arahku yang berada beberapa langkah darinya. Senyum manis terlukis di bibir merah mudanya yang tipis. Sebagian rambut juga tergerai di depan pundaknya.
Wajahnya, senyumnya, kehadirannya benar-benar membuat lelah dan letihku sirna seketika itu juga.
“Oh, tadi pintu depannya gak dikunci emangnya?” tanyanya.
“Engga.”
“Hehe. Aku lupa kayaknya.”
“Hmmh… udah daritadi?”
“Udah lumayan lama sih.”
“Sendirian di sini nungguin teater. Gak bosen? Lebih seru sama temen-temen kamu kayaknya. Ketawa-ketiwi layaknya abege muda.”
“Kenapa emangnya? Gak suka Aku di sini?”
“Suka, dong!”
“Eh? Apa?”
“Gak ada siaran ulang.” Sahutku. Tadi itu keceplosan. Sungguh.
“Lagian, selain nunggu teater, Aku juga nungguin Kakak, kok.”
“Oh? Beneran? Duh, Kakak merasa tersanjung.”
“Lebay deh ah.”
“Ck. Ada apa ampe nunggu-nunggu segala?”
“Gak ada apa-apa. Kangen aja.”
“Baru juga kemarin ketemu, udah kangen lagi.”
“Emangnya Kakak gak kangen sama Aku?”
Aku terdiam mendengar pertanyaan itu. Cepat-cepat Aku alihkan arah perbincangan kami hingga tidak terasa, waktu untuknya bersiap-siap tampil di teater tiba.
“Ih udah jam segini aja!”
“Kalau dinikmati, waktu emang terasa lebih cepat.”
“Iya. Lebih cepat dari hari di kalender.”
“Emh. Udah sana. Ntar telat terus kena omel.”
“Iya deh. Dadah Kakak~ Sepulang teater Aku bakal kesini lagi. Jangan kemana-mana ya.”
“Hm.”
Aku mengantarnya hingga depan pintu. Tidak mungkin Aku mengantarnya hingga teater. Bisa ribut seantero dunia per-idol-an kalau mereka sampai melihat kami berdua berjalan berdampingan. Meski Aku sesekali membayangkan bagaimana rasanya berjalan berduaan dengannya di alam terbuka. Berdampingan sambil saling mengaitkan lengan. Bebas tanpa ada hal apapun yang mengekang.
Kini, tempat tinggalku kembali hening. Hanya detak jarum jam yang menemani. Eh tunggu. Aku melihat jaket beludru hitam yang terkait di kursi. Aku yakin itu kepunyaan Ve. Jadi dia benar-benar akan kemari selepas teater nanti. Untuk mengambil jaketnya yang sengaja ditinggalkan? Bebas.
Sejenak Aku terduduk. Bingung mau melakukan apa hingga Aku mendengar perutku berbunyi. Kenapa akhir-akhir ini Aku jadi cepat lapar? Haah sudahlah. Buru-buru Aku mandi. Menghilangkan bau keringat dan lengketnya. Aku tidak mau dipandang dengan tatapan menjijikan oleh kasir nanti. Setelah selesai mandi dan berpakaian lengkap, Aku pergi menuju toko di lantai bawah.
Seperti biasa, mall pada sore hari memang ramai dan sore ini, untaian antrian di f4 depan teater benar-benar terlihat seperti antrian sembako. Panjang dan terlihat sesak. Ada apa memangnya hari ini? Member ulang tahun, kah? Sepertinya bukan. Atau mereka hanya ingin melepas RINDU yang sudah tak tertahan? Lebay ah wots.
Tanpa terlalu memperdulikan barisanzombie yang dilanda RINDU yang sangat hebat, Aku kembali melangkah. Melewati beberapa restoran yang menguarkan aroma masakan yang menggugah selera. Membuat perutku bergetar semakin hebat akibat kelaparan. Dasar. Aku melangkah cepat melewati restoran-restoran tersebut. Turun menuju toko yang akhir-akhir ini sudah jarang kukunjungi. Padahal Aku selalu membeli cemilan untuk menemaniku memainkan gitar.
“Eh, Mas. Kemana aja?”
“Sibuk, Mba.”
“Wih, banyak bener belanjaannya. Persediaan?”
“Iya.”
Lihat? Kasir toko saja sampai bertanya padaku. Saat Aku menunggu belanjaanku dihitung, dari sampingku, tercium wangi parfum yang sepertinya pernah Aku cium. Saat Aku menoleh ke barisan kasir sebelah, Aku melihatnya.
Rambut cokelatnya yang mengkilap dibias cahaya lampu, poninya yang terjun menutup sebelah matanya, lalu senyum menantang yang ia sunggingkan saat Aku menoleh padanya berhasil membuatku sedikit terkejut.
Dan sepertinya, reaksi keterkejutanku membuatnya terkikik. Ia tertawa kecil sambil menutup bibirnya dengan kepalan kecil tangannya. Sopan dan anggun. Itulah kesan saat Aku melihatnya seperti itu.
Aku langsung membuang muka. Mengarahkan pandanganku pada kasir yang masih menghitung belanjaanku. Namun sesekali Aku mencuri pandang ke arahnya. Aku berpikir, kenapa Aku bertemu dengannya lagi?! Selama 3 hari terakhir ini Aku selalu bertemu dengannya di tempat yang tidak terduga. Sepertinya jika Aku bertemu Ve, maka Aku juga akan bertemu Melody. Ada apa dengan mereka berdua ini sebenarnya? Apakah hanya kebetulan semata? Tapi, ini benar-benar kebetulan yang… manis.
Sementara belanjaanku masih dihitung, ia sudah pergi meninggalkan kasirnya.
“Aku duluan, Monsieur.” Bisiknya saat lewat di belakangku.
Semilir wangi parfumnya benar-benar terpatri di ingatanku kali ini. Wanginya khas. Tidak tajam, tidak juga terlalu lemah. Lembut dan juga manis. Kira-kira seperti itu.
Tepat saat ia berbelok menghilang dari pandanganku, belanjaanku telah selesai dihitung kasir.
“Makasih, Mba.” Ucapku.
“Sama-sama, Mas.” Sahutnya tersenyum.
Aku melangkah keluar toko sambil membaca struk belanja yang menjuntai cukup panjang. Haha. Macam Ibu-ibu yang membeli belanjaan bulanannya saja. Saat Aku fokus membaca sambil berjalan, wangi parfum itu kembali menyapa hidungku. Wangi parfum Melody.
Aku mendongakkan kepalaku. Menatap kedepan, dan kulihat Melody yang berjalan tidak jauh dariku. Memang, rentang waktu saat ia pergi dan saat Aku selesai mengurusi bawaanku ini tidak terlalu lama. Tapi bukankah seharusnya ia berjalan lebih cepat mengingat waktu tampilnya di teater tidak lama lagi?
Dan lagi, kehadirannya itu membuat seluruh pasang mata para vvots menatapnya, menggerakkan kepala mereka seiring dengan gerakan Melody. Aku tahu memang Melody memiliki aura dan kharisma tersendiri, tapi apakah sampai sebegitunya menghipnotis mereka? Mereka benar-benar terlihat seperti zombie yang lapar.
Aku mempercepat langkahku. Menyusulnya hingga kami sejajar.
“Semangat teaternya. Titip salam buat Ve.” Bisikku lalu kemudian berjalan menjauhinya.
Sebenarnya bisa saja Aku menemui Ve, menyampaikan salamku langsung padanya. Tapi Aku tidak memesan tiket untuk pertunjukkan hari ini. Lagipula, Aku tidak suka berdiri di waiting list.
Saat Aku tiba di tempat tinggalku, Aku langsung menyantap makanan yang kubeli. Mulai dari roti, snack, hingga minuman mengenyangkan. Aku menikmatinya sambil memainkan beberapa lagu dengan gitarku hingga tiba-tiba Aku teringat lirik lagu Bingo!
Kebetulan itu sebenarnya skenario yang telah disiapkan.
Aku langsung tertegun. Kebetulan. Skenario yang telah disiapkan oleh Tuhan. Tidak, tidak. Aku harap Aku tidak dipusingkan oleh hal itu karena nanti Aku akan mengajak Ve untuk menikmati pekatnya langit malam yang bertabur bintang. Dengan dekorasi yang sudah kuperbaiki sedikit di beberapa titik, Aku yakin itu akan membuatnya senang.
Menunggu adalah hal yang paling menjemukan dan paling kubenci. Tentu hal itu sudah kalian ketahui. Jadi, Aku kembali melangkahkan kakiku keluar menuju rooftop. Awalnya Aku hanya ingin memeriksa beberapa hasil dekorasi indah yang dibuat oleh kedua tangan artistikku, tapi sebentar kunikmati damainya suasana di sini, hal itu membuatku bertahan. Menunggunya di sini hingga ia selesai performsepertinya bukan hal yang buruk. Bahkan bagus kalau kupikir.
Sambil menikmati suasana, Aku memainkan beberapa lagu. Lagu-lagu favoritnya, lagu-lagu favoritku. Untung saja Aku membawahandphone-ku yang sudah kusetel alarm. Jam 9. Aku harus kembali karena sebentar lagi ia selesaiperform.
Saat Aku turun hingga tiba di lantai f4, Aku lihat keadaan di depan teater sepi. Sepertinya pertunjukkan belum selesai karena kalau sudah, biasanya mereka-mereka, fans-fans JKT48 masih ada sebagian yang berkeliaran di sekitar teater. Entah itu menunggu temannya, atau memang menunggu oshi mereka pulang.
Setengah jam Aku menunggu di tempat tinggalku, handphone-ku berdering.
“Yello?”
“Halo, Kak. Di mana?”
“Di hati kamu~”
“Ah, basi.”
“Ck. Di dalem.”
“Aku ke sana ya.”
“Yo~”
Tidak lama percakapan kami selesai, Aku mendengar pintu depan diketuk. Aku sudah hampir yakin bahwa yang mengetuk adalah Ve, maka Aku segera menghampiri pintu, kemudian membukanya.
Saat kubuka pintunya, ia berbalik padaku. Menoleh. Senyumnya yang cerah, dipadukan dengan gaun putih yang ia kenakan, lalu hiasan ikat rambut yang berbentuk bunga, membuatku terpana.
Jika kalian berada di posisiku, berada berhadapan dengannya begitu dekat, maka kalian akan beranggapan bahwa yang sedang berdiri di depanmu adalah bidadari. Ya, bidadari. Aku tidak melebih-lebihkan. Memang itu yang kulihat.
“Gak disuruh masuk nih?” ucapnya membuyarkan pandanganku yang terpikat parasnya yang cantik.
“Engga ah. Udah diem aja di situ.”
“Ih, jahat.” Sahutnya sambil melangkah masuk.
“Ah, ya. Silahkan masuk.”
Ia langsung duduk di ruang tengah. Meneguk minuman yang ia bawa.
“Teater tadi?”
“Teater, lah. Kok nanyanya gitu?”
“Soalnya kamu gak keliatan cape.”
“Oh ya?”
“Hm. Wajahmu masih mampu mengalihkan duniaku.”
Ia terdiam sesaat.
“Ciee, gombalannya.” Sahutnya sambil tersipu malu.
“Gimana tadi teaternya?”
“Ih, seru lho, Kak! jadi gini…”
Ia langsung berbicara panjang lebar. Menceritakan kejutan-kejutan yang fans berikan, lalu kejadian-kejadian lucu yang terjadi dibackstage. Jujur, Aku tidak terlalu menyimak apa yang ia bicarakan karena seperti yang sudah kutulis di atas, wajahnya benar-benar mengalihkan duniaku. Ditambah lagi rasa rinduku akan celotehannya yang bahkan sempat membuatku tidak percaya bahwa ia adalah seorang pendiam.
Obrolannya terhenti saat handphone-nya berdering.
“Duh, udah jam segini aja.” Sahutnya.
Oh, alarm. Bukan panggilan masuk. Saat kulirik jam dinding yang menggantung di belakangku, jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas.
“Aku pulang dulu ya, Kak.”
“Tumben.” Ucapku menahan kekecewaanku.
“Tugas kemarin belom selesai. Kan Kakak sendiri yang bilang jangan ampe begadang.”
“Hm. Hati-hati kalo gitu.”
“Gak akan nganterin nih?” tanyanya saat ia berada di ambang pintu.
“Ya nganter cuman sampe sini. Kalo ampe keluar, ntar takutnya masih ada fans.”
Ia terdiam. Menunduk sebentar lalu menatapku tajam. Dan tiba-tiba saja dia menarik tanganku.
“Anter Aku!” ucapnya.
“Hey, hey.” Sahutku menahan tarikannya.
“Kenapa? Bukannya Kakak udah ngasih Aku surat mengenai hal ini, mengenai semuanya?” balasnya.
Tatapannya begitu lekat padaku. Membuatku jadi salah tingkah. Malu sendiri. Aku berpikir sebentar. Memang, Aku memberinya surat mengenai hal ini dan diapun mengerti apa yang kumaksud.
“Oke. Kakak anter, tapi jangan sambil pegangan tangan.”
“Nah, gitu dong.” Balasnya. Kali ini senyumnya merekah begitu lebar.
Aku menemaninya menuju tempat parkir. Untungnya suasana mall sudah sepi. Tidak banyak orang terlihat dan sebagian besar toko-toko sudah tutup. Hanya satpam yang berkeliaran, juga satu atau dua pegawai toko. Yap, Aku, atau kami kali ini memang benar-benar beruntung.
Langkah kami ditemani oleh obrolan mengenai tugasnya yang banyak dan sulit. Tidak hanya obrolan mengenai tugasnya tentu saja. Beberapa kali kami tertawa garing terhadap lelucon yang Aku atau ia ucapkan. Hingga tidak terasa, kami sudah sampai di depan mobilnya.
“Hey, Ve.”
“Ya?” sahutnya berhenti di samping pintu mobil sambil menoleh padaku.
“Hati-hati di jalan.”
Ia hanya tersenyum. Kemudian mengendarai mobilnya pulang. Meninggalkanku di parkiran dengan beribu penyesalan. Kenapa Aku tidak menanyakan jadwalnya besok malam? Aarrghh!!! Bisa saja Aku menelepon lalu menanyakannya, tapi Aku lebih suka berbicara langsung. Repot ya jadi diriku ini? Hvft.
Apa boleh buat, daripada melewati malam yang indah ini, lebih baik Aku menikmatinya sendiri. Lagipula, bukankah Aku sudah terbiasa sendiri? Haha. Aku kembali ke rooftop. Dengan membawa beberapa cemilan dan minuman, Aku memainkan beberapa lagu hingga akhirnya Aku kembali ke tempat tinggalku untuk istirahat.
Tidak banyak yang terjadi di hari Rabu ini kecuali lembur yang membuatku harus menginap di kantor. Argh! Padahal malam ini Aku ingin mengajak Ve untuk kembali memandangi langit malam seperti yang selalu kami lakukan dulu. Ya sudahlah. Nikmati saja.
Kakaak~ Lagi apa?
Kerja~
Ih, jam segini masih kerja?
Hm. Ada sesuatu, jadinya lembur.
Mau Aku bantu?
Gak ah. Yang ada malah makin ribet ntar.
Ih!
Sepenggal percakapan kami melalui pesan singkat. Hal itu cukup membuatku kembali segar setelah sebelumnya 2 cangkir kopi tidak mampu melakukannya.
Tengah malam. Sebaiknya Aku meregangkan otot-ototku sebentar. Duduk selama beberapa jam bisa juga membuatku lelah. Aku melangkah keluar ruanganku, meminum segelas air, lalu melangkah mendekati jendela. Memandangi langit malam yang tidak pernah membuatku bosan, juga melihat hiruk-pikuk jalan raya yang masih saja terlihat semrawut di waktu seperti ini.
Drrddd…
Hm? Telepon dari Ve? Tengah malam begini? Dia tugas ronda?
“Yello?”
“Hallo, Kak. Aku udah di bawah nih?”
“Hah?!”
“Aku udah di bawah kantor Kakak.”
“Serius?!”
“Iya serius! Cepetan turun. Takut nih!”
Astaga! Apa-apaan dia ini?! Buru-buru Aku turun. Kemudian menghampirinya yang sedang bersandar pada mobilnya. Dengan mengenakan jaket Lilo & Stitch yang ia tudungkan, ia tersenyum tipis.
“Kamu ngapain ke sini?!”
“Bantuin Kakak.”
“Ya ampun. Bukannya Kakak bilang gak perlu bantuan.”
“Aku gak denger.” Ledeknya.
Ia melirikkan pandangannya ke arah lain sambil menutup kedua telinganya.
“Ck! Ayo masuk. Dingin di luar.” ajakku menarik lengannya.
Ia menunjukkan respon bahagia. Melompat-lompat kecil saat kami berjalan berdampingan dengan tangan kami yang saling terkait. Well, setidaknya sesekali boleh lah Aku mengambil beberapa tindakan nekat. Toh, ia juga senang, dan sepertinya, memang ini yang ia tunggu. Dan juga yang Aku tunggu. Hehe.
“Orang tua kamu udah tau kamu ke sini?” tanyaku membuka perbincangan saat kami tiba di ruang kerjaku.
“Hm.”
“Yang bener? Kok diijinin sih? Aneh nih…”
“Beneran! Eh, Kak. Kakak cuman sendirian di sini? Serem banget.”
“Engga lah. Ada beberapa yang juga ikut lembur, tapi beda ruangan. Beda lantai.”
“Ooh… Kakak lagi ngerjain apa? Sini, sini Aku bantu.”
“Nih.” Sahutku sambil menyodorkan laptopku padanya.
“Ini ‘IP’ apaan, Kak? Indeks Prestasi? Tapi kok ampe ratusan? Terus ini ‘routing’ apaan Kak? Muter-muter?”
Haah… kujelaskan apa-apa saja yang tadi ia tanyakan. Beberapa pertanyaan darinya menyusul kemudian. Jadilah sesi belajar-mengajar di ruanganku ini. Hanya beberapa menit karena Aku harus kembali terjun ke dalam pekerjaanku.
“Jangan ganggu.” Ucapku.
Ia hanya mengangguk. Menarik kursi ke sebelahku, lalu duduk manis. Ia sempat menanyakan beberapa hal saat Aku bekerja. Rupanya kehadirannya benar-benar merubah suasana. Senang. Itulah yang Aku rasakan saat ia menemani di sampingku. Memperhatikan apa-apa saja yang Aku ketik. Meski begitu, mataku masih aja merasa lelah setelah hampir satu jam menatap layar laptop.
“Istirahat dulu lah, Kak.”
“Nanggung, dikit lagi.”
“Mau dibikinin kopi?”
Ooh… tawaran yang menarik. Tapi sayangnya, sudah 2 cangkir kopi kuminum tadi.
“Hey, Ve.”
“Ya?”
“Emangnya siang nanti kamu gak kuliah?”
“Gak ada kelas, Kak.”
“Teater libur, ya?”
“Hm.”
“Gak latian?”
“Gak ada.”
“Hmm… besok siang… temenin Kakak makan siang lagi ya.”
“Eh? Apa?” tanyanya seolah ia tidak percaya akan permintaan yang baru saja kulontarkan.
“Besok, hari Jumat, temenin Kakak makan siang lagi kayak kemaren.”
Ia tersenyum lebar. Menjawab permintaanku dengan anggukannya yang cepat. Mirip anak kecil yang baru saja diberi hadiah.
Setelah akhirnya seluruh pekerjaanku selesai, kami pulang. Sebenarnya Aku khawatir saat Ve bilang ia bisa pulang sendiri, tapi, ia berhasil meyakinkanku. Yah, apa boleh buat. Kuberi cokelat rasa kopi untuk menemani perjalanannya. Aku harap cokelat itu mampu membuat matanya tetap terbuka karena sebelumnya, cokelat itu tidak memberikan efek apapun pada mataku yang sudah sangat berat saat Aku bekerja tadi.
Aku pulang menggunakan sepeda. Yap, sepeda. Untung saja jarak kantor dengan tempat tinggalku tidak terlalu jauh. Bersepeda di malam hari cukup menyegarkan, lho. Dan juga menyenangkan, kalau kau tidak mengantuk. Huuh.
Sesampainya di tempat tinggalku, Aku langsung bersih-bersih badan, kemudian merebahkan tubuhku di atas kasur yang, malam ini terasa begitu empuk, nyaman, dan membuatku langsung terlelap. Tenggelam dalam mimpi yang tidak kuingat.
Aku tertidur selama lebih dari 12 jam. Mengalahkan rekor tidurnya Ayana mungkin. Saat Aku terjaga, kukira waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding adalah jam 10 pagi. Tapi ternyata ketika Aku melihat jam di handphone-ku untuk memeriksa apakah ada pesan masuk, jam menunjukkan waktu malam! Dan hal lain yang membuatku sedikit terkejut adalah, tidak ada pesan dari Ve. Apa dia masih tertidur? Haha.
Setelah memakan beberapa makanan yang tersedia di dalam kulkas, Aku melanjutkan tidurku. Aku masih merasa terlalu lelah untuk melakukan aktifitas nocturnal-ku. Kelanjutan tidurku membawaku menyambut hari yang kutunggu. Hari Jumat.
Suara alarm dan nada dering pesan masuk kembali membuat telingaku meradang. Tapi, inilah yang kutunggu. Pesan darinya.
Kakaakk bangun!!!
Yo~
Ntar siang jadi, kan?
Jadi dong. Jam 12.45 ya.
Oke~ Cepet mandi! Baunya ampe sini.
Sialan. Masa iya bau… ah, sebaiknya Aku mandi.
Hari ini tidak terlalu banyak pekerjaan. Mungkin karena kemarin lembur, jadi pekerjaan sedikit berkurang. Tidak sabar Aku menunggu waktu yang kami janjikan tiba. Yah, sambil menunggu, sambil mengerjakan beberapa pekerjaan untuk hari Senin. Kalian tahu, jika sambil bekerja, waktu akan terasa berjalan lebih cepat. Dan benar saja, 10 menit menuju waktu perjanjian.
Aku langsung bangkit berdiri dari kursiku. Melangkah turun dengan senyum yang, Aku rasakan sendiri, tidak memudar sedikitpun. Entah mengapa Aku merasa begitu senang hari ini. Langkah kakiku kupercepat hingga akhirnya Aku berada di luar kantor. Berada di sisi jalan tempat menyeberang.
Tepat saat Aku akan meneleponnya, teleponku bergetar akibat panggilan masuk darinya.
“Yello?”
“Kalo mau nyeberang liat kiri-kanan, Kak.”
Aku langsung menoleh ke kiri, lalu ke kanan. Dan kulihat ia memakai pakaian yang mirip seperti saat pertama kalinya kami makan siang bersama. Topi teduh, rompi dan kaos hitam, lalu celana denim biru tua.
“Halo, Kak.” sahutnya sambil memainkan kedua tangannya di atas kepalanya.
Ia melangkah mendekatiku. Kami langsung menyeberang jalan. Berjalan menuju kantin berdampingan. Kali ini Aku tidak terlalu khawatir karena waktu itu, hingga hari ini, tidak muncul secuil gosip yang berhubungan dengan Ve. Jadi Aku asumsikan bahwa kehadirannya di sini, di tempat yang tidak terlalu jauh dengan markas-nya, masih bisa disebut wajar oleh mereka, fans-fans yang mungkin kebetulan melihatnya.
Siang itu menjadi salah satu siang yang paling indah dalam hidupku. Kami kembali makan bersama, sesekali ia menyuapiku meski Aku menolaknya dengan susah payah malu-malu tapi mau. Aku masih merasa geli jika harus disuapi seperti itu. Entahlah. Canda tawa menemani waktu makan siang kami. Dan hari itu, Aku mengijinkannya untuk menungguku selesai kerja di ruanganku karena memang tidak terlalu banyak pekerjaan.
“Kak, besok kuliah ampe jam berapa?”
“Maghrib kayaknya. Udah beberapa minggu Kakak gak kuliah soalnya. Jadi Kakak gak mau ngelewatin satupun mata kuliah besok.”
“Ooh…”
Haha, Aku tahu maksudnya. Dan Aku sudah mempersiapkan hal itu. Verifikasi tiiket untuk teater show ke-2 besok sudah kupegang. Jadi, besok tinggal menikmati penampilannya saja. Sekalian undangan untuk menikmati langit malam bersamanya di rooftop. Semoga saja ia dapat memenuhi undangan itu.
Hari ini terasa begitu cepat berakhir. Apakah karena Aku, kami, terlalu larut dalam kebahagiaan? Mungkin. Dan harus kuukir dalam ingatanku mengenai hari ini.
Keesokan harinya, bangun sedikit lebih siang, Aku menikmati waktu lenggangku. Untung saja kuliahku libur. Sambil menunggu pertunjukan ke-2, Aku bermalas-malasan. Berleha-leha. Menjaga kasur agar tetap hangat. Hingga akhirnya, waktu menunjukkan bahwa teater show 2 akan dimulai satu jam lagi. Aku langsung mempersiapkan diri. Mempersiapkan diri di sini adalah mandi, makan. Itu saja.
Sepucuk surat undangan, dan seikat bunga melati telah kusiapkan. Aku sempat merasa malu saat melihat diriku di hadapan cermin. Mungkin penampilanku ini akan sangat berbeda dengan fans-fans yang lain nanti. Dengan seikat bunga yang kubawa, Aku lebih mirip seperti seorang pria yang akan melamar gadis idamannya. Duh, jadi malu.
Aku sengaja berada di standing area(?)karena Aku tidak ingin kehadiranku ini diketahuinya saat ia tampil. Dengan kondisi teater yang gelap, tentu hal itu benar-benar membantuku dalam menyembunyikan diri. Lagipula, sesekali Aku ingin melihat dari jauh, melihat keseluruhan penampilan JKT48.
Tidak terasa, teater telah berakhir. Memasuki sesi hi-touch, Aku berusaha keras untuk mendapatkan antrian paling akhir. Terdengar lebay memang, tapi itulah kenyataannya. Sulit untuk mendapatkan antrian paling akhir. Apalagi kau seorang diri, single fighter, seorang fans yang tidak membawa seorang temanpun.
Percakapan yang kudengar darinya saat berbincang dengan fans-fans terdengar begitu menyenangkan hingga akhirnya tiba saatnya bagiku untuk memberikan apa yang kubawa. Seikat bunga dan sepucuk surat undangan.
“Meski dari jauh, kamu tetep menarik perhatian ya.” ucapku.
“Kakak!” serunya terkejut, namun wajahnya benar-benar menunjukkan perasaan senang.
Seruannya menarik perhatian fans dan juga member lain. Untung saja tawa garingnya menetralkan situasi. Menghilangkan seluruh perhatian mereka yang tertuju pada kami. Kecuali Melody mungkin, karena saat Aku panik akibat seruan Ve, Aku buru-buru memperhatikan sekeliling, kemudian tatapanku dengan tatapan Melody bertemu. Ia menatapku dengan tatapannya yang tajam. Tatapan peringatan.
“Dibaca ya.” ucapku sambil pergi ketika selesai hi-touch dengannya.
Aku melanjutkan langkahku. Hi-touchdengan member yang lain hingga Aku berhadapan dengan Melody.
“Jangan terlalu narik perhatian.” Bisiknya.
“Oui, Mademoiselle.” Balasku.
Dan kini, Aku di sini. Di rooftop. Menunggunya memenuhi undanganku. Aku sangat ingin ia datang kali ini. Hanya sekedar melepas rindu pada tempat ini, kemudian berbincang sebentar, memadu nada, yah, hanya itu.
“Uwah!” serunya membuatku langsung menoleh ke pintu rooftop.
“Romantis banget!” lanjutnya.
Haha, sudah kuduga ia akan terkesan dengan dekorasiku ini.
“Kangen tempat ini?” tanyaku.
“Hm.” Angguknya.
“Kapan Kakak ngehias ini semua?” tanyanya lagi.
“Udah lama. 2 minggu yang lalu mungkin. Waktu kamu gak bisa nemuin Kakak di sini selepas teater.”
Ia terdiam sebentar.
“Maaf ya, Kak.” ucapnya penuh sesal.
“Udahlah, yang lalu biarlah berlalu.”
Kami mengobrol banyak di situ. Menggali kembali ingatan yang terkubur, mengenangnya. Tidak ada lantunan petikan gitar maupun nyanyian darinya. Kami benar-benar menikmati momen ini. Momen di mana semuanya berawal, lalu berakhir. Dan sekarang, awal yang baru.
Saat kami tengah asik bercanda gurau, tiba-tiba saja ia terdiam. Tersenyum tipis padaku sambil memandangku lekat-lekat. Baru kusadari rambutnya yang tergerai sebagian itu bergelombang di ujungnya.
Bayangan bidadari itu kembali melintas di kepalaku dan itu berhasil membuatku gugup.
“Ada apa?” tanyaku berusaha bersikap tenang.
“Besok, ada yang pengen Aku omongin.” Jawabnya lembut.
Oh, God. Not again. Please, I beg You…
BERSAMBUNG....
Share this novel