Marlina mencengkeram lengan Dee kuat-kuat begitu mereka bergerak mendekati jendela. Dan dari sana, mereka dapat melihat ruangan seni berantakan itu, dan juga piano itu. Sayanganya…, mereka tidak melihat siapapun. Tapi bunyi piano itu masih terus terdengar.
“Mustahil! Piano itu tidak mungkin bermain sendiri.”
Dee menarik lengan Marlina . Ia memutuskan untuk masuk ke dalam ruang seni melalui pintu samping yang memang tidak terkunci. Marlina sebenarnya tidak menyetujui rencana itu. Tapi ia juga tidak mau ditinggal sendirian di luar.
Dee dan Marlina bergerak pelan melalui koridor gelap, hingga akhirnya mereka sampai di pintu ruang seni. Bunyi piano semakin terdengar jelas, dan Dee memutuskan untuk membuka pintu ruangan itu. Keduanya melihat…
Tidak ada siapapun. Sama seperti ketika mereka mengintip dari luar jendela, tidak ada seorangpun yang memainkan piano tua itu. Lalu, bagaimana mungkin piano itu…
Dee dan Marlina terpaku dalam kebingungan, sampai-sampai mereka tidak menyadari bahwa ada seseorang yang bergerak di belakang mereka. Orang itu bergerak semakin dekat, dekat, dan dekat, hingga akhirnya Dee memutar kepalanya, dan…
“Jangan berteriak! Ini aku!”
Dee dan Marlina membuka kedua mata mereka, dan menemukan sesosok remaja telah berdiri di depan mereka. Dee dan Marlina kenal dengan remaja itu.
“Anton ?”
Anton tersenyum. Namun ia masih tidak tahu kenapa kedua gadis itu berkeliaran malam-malam.
“Kenpa kalian disini?” tanya Anton dengan wajah keingungan. Dan membalikkan pertanyaan itu pada Anton .
“Aku…”
“Kami kesini kerana bunyi piano itu.” Ucap Marlina sambil menunjuk ke arah piano yang masih memainkan alunan musiknya.
“Bagaimana…”
“Oh! Piano itu?”
Anton bergerak ke arah piano, lalu merogoh ke bagian belakangnya. Sedetik kemudian, bunyi piano itu berhenti.
“Kenapa boleh begitu?” tanya Dee.
“Kerana ini.” Anton menarik keluar sebuah benda kotak besar dari bagian belakang piano. Benda itu adalah sebuah pemutar tape, yang ternyata Anton gunakan untuk memainkan rekaman piano.
“Kenapa?” tanya Marlina . “Bagaimana…, bunyi -bunyi yang kudengar setiap malam itu, lalu sekarang…”
“Kurasa, memang aku pelakunya.” Ucap Anton sambil tersenyum, lalu meminta maaf.
“Kenapa kau lakukan itu? Kau hanya mau menakut-nakuti Marlina ?” bentak Dee.
“Tidak, aku…” Anton mendesah, kemudian mengakui semuanya. Memang ialah pelaku dari misteri bunyi -bunyi piano itu setiap malamnya.
“Bilikku berada tepat di bawah bilik kalian. Dan aku mendengarkan musik piano hanya ketika mau tidur. Itu sebabnya kau hanya mendengarnya saat tengah malam.”
“Tapi itu tidak menjelaskan…” ucap Dee. “Kenapa setiap kali kami keluar dari bilik bunyi itu berhenti. Kau tidak mungkin tahu apa yang kami lakukan, ‘kan?”
“Aku melihat pantulan cahaya dari bilikmu di dinding depan bilikku.” Jawab Anton . “Ketika aku memainkan rekaman piano itu, dan kulihat bilik kalian tiba-tiba saja menyala, aku kira bunyi rekaman itu mengganggu kalian. Itu sebabnya aku segera mematikannya. Lalu saat lampu bilik kalian padam, kukira kalian sudah tidur lagi. Lalu kuputar lagi rekaman itu. Dan seterusnya.”
Marlina menghembuskan nafas lega. Jika sejak awal dia tahu bahwa bunyi itu hanyalah bunyi rekaman piano, mungkin ia tidak akan begitu ketakutan.
“Bunyi piano di rekamanmu itu berasal dari piano ini, ‘kan?” ucap Marlina . “Aku selalu mendengar nada sumbang dari piano ini.”
“Ya.” Jawab Anton . “Kau tahu penjaga kampus ini, si pria tua itu? Dia ternyata adalah seorang pemain piano yang hebat. Ketika ia diam-diam memainkan piano ini, aku merekamnya. Dan aku mendengarkannya, kerana aku ingin belajar musik yang ia mainkan. Dan malam ini, aku berencana untuk berlatih. Hingga akhirnya kutemukan kalian…”
“Kau gila!” bentak Dee. “Kenapa kau lakukan malam-malam? Kau membuat kami ketakutan.”
“Maaf!” balas Anton . “Aku sedikit pemalu. Aku tidak mau memainkannya siang-siang. Lagipula, ruangan ini diperbaiki saat siang. Jadi aku hanya boleh memainkannya saat malam.”
Marlina dan Dee merasa kesal dengan apa yang sudah terjadi. Mereka berhasil tertipu oleh bunyi piano itu. Yang mereka kira bunyi piano hantu. Tapi jika difikir-fikir, pemikiran mereka memang terdengar aneh dan tidak masuk akal. Hantu bermain piano? Bahkan mungkin Dracula akan menertawakan keduanya.
“Tidak ada yang perlu ditakuti.” Ucap Dee beberapa detik kemudian.
“Seandainya kami tahu kebenaranya…, tapi kini kami tahu kebenarannya.”
“Anton , kau keterlaluan.” Ucap Marlina .
Anton hanya tersenyum, lalu berkacak pinggang. Dengan satu aksi, ia berkata,
“Hantu hanya akan ada jika rasa ketakutan telah mempengaruhi cara kita berfikir. Hantu itu…, tidak ada.”
Ya. Mungkin begitu. Mungkin mereka dapat berfikir demikian untuk dapat mengusir ketakutan di dalam diri mereka. Tapi apakah benar hantu itu tidak ada?
Share this novel