BAB 1

Drama Completed 393

Seingatku saat darah yang mengalir dari telunjuk jemariku, ada beda warna yang keluar di saat raungan suaraku yang kesakitan melengking hebat di kamar. Aku tak menggubris kerana sakit yang kurasakan begitu terasa hingga tubuhku tak bisa menopang jati diriku. Terhempas dan tak sadarkan diri sudah pasti itu yang kualami saat itu. Kusempatkan diri keluar dari kamar dan berhasil. Hingga di tengah ruangan itu aku mulai memejamkan mata. Sempat suara yang parau ini berteriak namun sayang, nadanya tak cukup untuk memanggil keluargaku yang sibuk bersama diri mereka sendiri.

“Ambil air dalam botol di lemari Ibu Yok, cepaat!” Bentak Ibu pada adikku yang nomor 4.

Aku melihat betapa keluarga kecilku sangat memperdulikan jasadku saat itu. Dari alam yang berbeda aku bahkan merasakan kehangatan yang lebih dari keluargaku. Namun disaat alamku sama dengan keluargaku, entah kehangatan itu kapan aku bisa mendapatkannya. Aku minit ikkan air mata sederas mungkin di samping jasadku yang terkulai lemas dan terpejam.

Ku usap airmata Ibu yang menetes ke arah mataku. Namun Aku tak bisa mengusapnya hingga airmata Ibu membasahi mataku.

“Tuhan.. berikanlah tanganku ini dapat menyentuh tangan Ibu yang sangat kudambakan menyentuh pipinya yang sudah lekang oleh masa“ pintaku dengan ringkih airmata terhujam di alam fana.

Bapak kulihat berlari menuju pembaringanku di lantai dan membawaku ke kamar saat ia mendadak harus pulang dari sawah.

“Astagfirullahal’adzhim“ ujarnya tak henti-henti dalam bibir yang dulu kulihat bersinar dan memerah merona. Namun kini entah kemana semua itu pergi meninggalkan perlahan-lahan dari tubuh kedua orang tuaku.

Di dapur kulihat adik-adikku tak kuasa menahan beban tangisnya saat melihat jasadku tergeletak di tengah lantai.

“Kak Lin.. hiks hiks..“ Isak tangis mereka begitu keras hingga ruangan dapur yang pengap telah ramai dan banjir oleh tangis ke-4 adik-adikku.

“Dik.. kau tak usah menangis, Kakak masih disini menemani kalian.” pekikku dengan nada lembut. Namun ternyata tak berhasil. Mereka tetap menangis dan berpelukan entah sampai kapan.

Dan akhirnya satu persatu mereka berlari menuju kamarku yang sudah terisi jasadku, Ibu dan Bapak. Mereka berlari dan mengambil posisi di samping jasadku. Hingga kini jasadku sudah dikelilingi oleh keluargaku yang dulunya mengacuhkanku dan kini memperdulikanku.

Mereka semua mengurungku sejak usia 5 tahun. Dan kini usiaku 18 tahun namun masih saja hidup dalam kepengapan kamar yang tak begitu luas. Mereka terpaksa mengurungku kerana bercak-bercak di tubuhku tak kunjung menghilang. Hingga aku sudah remaja tak pernah mengenyam pendidikan. Adik-adikku yang lain mungkin sudah bosan mendapat pendidikan di luar sana.

Namun hati kecilku berkata “ilmu tak hanya kau dapat di bangku sekolah“

Dan akhirnya saat umurku tujuh tahun, aku dapat menjadikan di sekelilingku menjadi ilmu. Seperti kain-kain yang tak terpakai ku buat menjadi lap tangan. Hingga akhirnya aku telah bisa membaca dan menulis berkat suara-suara di luar sana ketika Ibu dan Bapak mengajar Adikku yang nomer 2 itu baca tulis.

Saat itulah aku sudah bisa menghasilkan tulisan dari secarik lembaran-lembaran yang kuminta dengan memelas dan momohon penuh linangan air mata pada Ibu.

“Jangan sentuh-sentuh… penyakitmu akan membahayakan Ibu. Jika Ibu tertular siapa yang mengurus adik-adikmu dan tentunya bagi kelangsungan hidupmu !” Ujar ibu menimpaliku dengan menyodorkan telunjuknya di kepalaku hingga raga ini tersungkur menjauh dari Ibu.

Ibu pergi dengan membuat hati ini tersakiti dan air mata kembali tertumpah ruah. Hati yang masih kecil dan tak tau apa, siapa dan bagaimana merasa sangat terkucilkan. Hingga saat itu masih ku ingat suara-suara Adikku yang memaksa untuk melihat bagaimana rupa Kakaknya, namun Ibu melarang dan tentu jika mereka berani-berani melihatku ancaman Ibu akan terlaksana.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience