Tentara kompi bantuan se-kabupaten tidak mendatangkan hasil maksimal. Semuanya hilang tak berbekas debu sekalipun. Bupati tambah bingung dengan kehebatan tukang santet yang boleh mengalahkan pasukan tentara bersenjata lengkap. Gubernur bertindak cepat dengan mengadakan rapat pleno. Hampir seluruh bupati memberi keluhan serupa dari rakyatnya. Kasihan bupati malang tersebut. Beberapa tidak sempat menghapus digit nol dari pajak rakyat dan menyimpan di saku rapat-rapat. Beberapa lain, kehilangan momen untuk mencari daun muda untuk di kunyah nikmat.
Bukti baru di temukan. Sebuah rumah persinggahan disyak sebagai tempat tinggal tukang sihir tersebut. Bahkan sumber yang boleh dipercaya menulis seluruh warga hilang di rumah itu. Bagaimana boleh rumah sekecil itu menampung lusinan orang yang hilang tak berbekas?
Singkat cerita, pemerintah pusat sudah mulai menerima laporan tentang tukang santet dan hilangnya penduduk dan Pak Suyasa. Tim dari intelejen negara bergerak menuju lokasi. Misi memasang CCTV diberi. Misi itu direncanakan sejak jauh-jauh hari.
“Hanya untuk memasang. Dan pergi!” perintah kepala Intelejen kepada anak buah terbaiknya.
Dua orang anak buah tersebut menyusuri tempat yang di tuju. Jalan-jalan kotor, tiada seorang penduduk yang ditemui. Tanah tertutup sampah setinggi lutut. Bau bunga kembija kering menusuk hidung menerbangkan sukma. Kepala BIN (Badan Intelejen Negara) duduk cemas menanti anak buah kepercayaannya. Pucuk di cinta ulampun tiba. Kedua anak buah itu tiba dengan selamat. Tanpa luka, tanpa cedera. Hanya saja, banyak mozaik yang terlupa oleh mereka. Setidaknya, mereka tidak meregang nyawa.
Sangat sedikit informasi yang boleh di korek dari dua intelejen negara yang selamat. BIN tidak tahu kenapa mereka selamat, dan puluhan intelejen lain tidak kembali pasca misi mereka memeriksa rumah tersebut. Apakah tukang santet tersebut sedang tidak di rumah? Apakah beberapa orang memang tidak masuk dalam kriteria? Entah. BIN menyerah dan melaporkan kepada jajaran kabinet kecuali presiden yang selalu sibuk setiap hari. Setiap waktu. Setidaknya, itu keterangan dari memo singkat di depan pintu ruangan beliau.
DPR mengadakan rapat pleno membahas hal ini. Seminggu penuh rapat itu di gelar, berbagai media meliput pasrah pasca berkurangnya penduduk negara kecil ini secara signifikan. Semua menghilang di rumah persinggahan itu. Kena santet? Setidaknya itu pemikiran yang cuba di dukung kaum mayoritas. Rapat tersebut mendapatkan kesimpulan mencengangkan. Untuk menjaga kestabilan negara, maka akan di bentuk undang-undang santet. Betul-betul kontroversional. Setidaknya kalimat dalam pasal tersebut pasti sangat tangguh dan tegas. Hal yang tak terdefinisi kini cuba diinterprestasi, bak manusia yang cuba menjelaskan Tuhan dalam rangkaian not-not kalimat liris.
Berbagai ahli cuba menguji keetisan undang-undang santet tanpa menghiraukan jumlah penduduk yang terus berkurang. Jalan-jalan menuju desa Pak Suyasa akan sangat ramai pada jam tertentu. Rombongan warga bermacam kendaraan melintas. Tak kembali, seorangpun. Padahal desa itu adalah desa paling ujung, bak gang buntu di tengah semraut ibu kota. CCTV menunjukkan sangat banyak orang masuk ke rumah itu. Mereka antri untuk mengobati penasaran yang sudah menembus batas realitas di otak. Tidak jelas apakah CCTV berbohong, akan tetapi tidak ada sebutir debupun yang keluar dari rumah persinggahan kecil itu. Rumah itu kosong, bahkan. Boleh di lihat dari rongga dinding bambu yang agaknya di buat dengan tergesa. Rumah itu bak menampung penduduk satu negara. Apakah rumah itu memiliki jalan rahasia? Kemanakah orang-orang yang telah memasuki rumah itu? Apakah ada suatu tempat di balik tembok bambu keropos itu? Entahlah. Yang terlihat hanya laut luas dan tebing dalam. Rumah itu terletak di atas tebing yang di hantam lautan ganas berhias pemandangan sawah di sekitar rumah uzur itu.
Jam sudah menunjukkan lunch time. Presiden keluar dari peraduannya. Ruang sumpek yang pengap. Betapa bingungnya ia kerana semua staffnya tidak ada di tempat. Tidak satupun. Nomor orang-orang kepercayaannya tidak aktif. Berada di luar jangkauan. Ia melangkah ke luar istana yang khusus dibuatkan untuknya. Gedung DPR hendak ia datangi. Terkejutlah presiden mendapati jalan yang lengang, suasana yang sepi, dan kondisi yang begitu tenang. Sangat berkebalikan dari hari normal. Dipercepatnya langkah hingga di gedung DPR. Ia menemukan sebuah surat yang ditujukan kepadanya. Surat tersebut menyatakan bahwa semua anggota DPR menjalankan studi banding ke sebuah desa di ujung pedalaman sana. Sangat jauh. Ia tahu desa tersebut sangat indah, asri dan terkenal seantero jagat. Iapun mengerti kode anak buahnya yang bermaksud plesiran. Mungkin hobi.
Sudah dua jam sang presiden duduk mematung di depan gedung DPR yang kosong. Menunggu manusia menyapanya. Terbalik dari hari-hari sebelumnya. Tiada pesan dan kesan dari orang-orang yang biasanya berebut melindungi dirinya dan tikus-tikus berdasi peliharaannya. Sang presiden terhenyak dan berkata sendiri.
“Betapa bodohnya aku. Mana mungkin ini kenyataan, aku pasti sedang bermimpi.” Secepatnya ia mengambil sedikit kulit pipi dengan kuku panjang yang belum sempat di potong oleh anak buahnya.
Ia merenggut dan mencubit pipinya. Kemudian, ia berteriak keras di negara sunyi itu.
“Awwwwwww! Sakit!”
Share this novel