Rate

BAB 2

Mystery & Detective Completed 356

Seminggu pasca tiada kabar dari Pak Suyasa, polemik telah mengudara melebihi gelombang radio nasional. Desa seberang mau tidak mau ikut campur dalam masalah ini. Penyebab yang paling populer adalah Pak Suyasa hilang kerana kena santet. Mereka semua sibuk mencari. Bukan apa, hanya memikirkan kemungkinan orang yang memiliki kemampuan di luar nalar tersebut. Beribu nama muncul, tiada tindak lanjut.
Sementara, beberapa orang lain cuba mendatangi rumah persinggahan Pak Suyasa. Memang aneh, Pak Suyasa bukanlah siapa-siapa sebelum dirinya hilang di telan bumi. Tiba-tiba, ia meledak bagaikan bakteri yang membelah ratusan kali dalam hitungan menit. Popularitasnya lebih tinggi dari artis retasan youtube. Salah satu dari 4 orang tersebut kebetulan seorang mantri kawakan desa. Orang ningrat. Penyuka misteri. Mereka sampai di rumah itu tengah hari. Beristirahat di beranda dan menenggak beberapa gelas air sembari menyusuri rumah mencari jasad Pak Suyasa. Mungkin mereka masuk ke dalamnya.

Seperginya empat pemuda tadi, desa semakin aneh. Empat orang itu tidak pernah kembali lagi ke rumah mereka. Istri sang mantri menangis sejadi-jadinya mengetahui suami tercintanya bernasib bak Pak Suyasa. Keluarga tiga orang lain juga, tiada bosan mengumbar kesedihan ke berbagai media desa. Mungkin mereka tidak menyangka, sosok yang mereka rengkuh berhari lalu telah tiada. Tapi, itulah hidup.

Berita tentang empat orang yang ikut-ikutan hilang kembali menetas ke semua desa di keSomad an daerah tersebut. Somad daerah yang awalnya hanya ngantor 3-4 jam menjadi rajin musiman. Ia sibuk mengobrol dengan bawahannya. Tentang Pak Suyasa dan empat orang yang hilang terkena santet. Setidaknya, itu yang semua anak buahnya serempak katakan. Entah kapan ia merumuskan pembangunan desa yang makin semraut di terjang moderenisasi. Atau, di serang seks bebas dan penyakit degradasi moral yang menular. Ia lebih senang menghabiskan hari dengan bertukar kabar burung yang tidak jelas riuh rendah dengungnya.

Beberapa warga yang penasaran memutuskan untuk mencari Pak Suyasa, dan empat warga lain yang hilang. Kali ini, mereka membawa senjata tradisional seperti bambu runcing, arit, dan pedang panjang. Mungkin mereka berpikir ada sekelompok kanibal yang menghuni hutan di dekat rumah persinggahan Pak Suyasa. Atau bahkan di rumah itu? Tim SAR mendadak ini bergerak pada subuh hari. Menyusup, mencari kebenaran. Seorang bocah tanpa sengaja ikut menyusup. Menjelang siang hari, bocah itu pulang seorang diri kerana di anggap masih bocah. Memang bocah.
“Mereka semua masuk ke dalam rumah kecil itu. Aku di suruh pulang.” Ratap anak kecil itu di dekapan ibunya saat ngerumpi dengan ibu-ibu lain.

Berita buruk kembali melanda desa. Kelompok pemuda itu, lagi-lagi, menghilang tak berbekas. Hilang dengan menyisakan sedih yang entah mengapa tidak lebih dari rasa penasaran warga. Mengundang ribuan pertanyaan lain yang tidak terpecahkan logika macam manapun.

Maka sepakatlah warga desa menyebut orang-orang tersebut hilang di dalam rumah. Sudah sangat jelas, sebelum hilang, jejak terakhir selalu mengarah pada rumah itu. Penduduk makin kalut dan terpaksa mendesak kepala desa untuk bergerak. Kepala desa tentu tak mau kehilangan muka. Ia mengajak seluruh pemuda dan pria dewasa berkumpul di aula desa pada hari minggu. Tujuannya, untuk melakukan pencarian. Hendaknya, kepala desa berpikir tidak akan mungkin seluruh pasukan kali ini –termasuk dirinya- akan hilang. Terlalu banyak. Tersebutlah pasukan besar tersebut bergerak bagaiakan koloni semut yang mencari seonggok roti yang jatuh pasrah menyambut tanah. Rumah persinggahan itu sudah di depan mata mereka. Satu demi satu orang masuk ke dalam rumah itu. Mereka masuk tanpa bertetes ragu bak telah di cuci otak oleh pemimpin, cara tradisional yang menguap lagi.

Betapa terkejutnya Somad mendengar seorang kepala desa dan seluruh pemudanya menghilang. Terkena santet, itulah yang di benaknya. Langsung ia menyuruh supir pribadinya menyiapkan mobil dan segera melaporkan ke Bupati di daerahnya. Tidak mau ambil repot, sang bupati tidak segan-segan melaporan ke gubernur prihal santet yang meresahkan warga tersebut. Pasalnya, warga satu kabupaten telah melupakan untuk apa mereka di kirm Tuhan menuju dunia. Semua warga sibuk mempermasalahkan apa, mengapa, bagaimana dan di mana. Tidak ada pikiran untuk bekerja, tidak ada pikiran untuk sekolah, tidak ada pikiran untuk melakukan kegiatan positif. Pembangunan menurun, sampah menumpuk, pengangguran menular bak virus influenza. Bupati bingung, kompi bantuan dikerahkan menuju lokasi, sementara laporan tentang hilangnya warga satu keSomad an di tempat Pak Suyasa sudah sampai di tangan Bupati. Tidur kini merupakan harta bagi Bupati malang itu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience