Rate

BAB 1

Mystery & Detective Completed 356

Sosoknya masih mengembun di benak semua warga. Dari saban hari, aktifitasnya hanya mengumpulkan kamboja, menjemur dan menjual. Pak Suyasa, sudah rabun memang. Tapi tidak ada ragu bahwa ia akan tiba di rumahnya tepat sebelum malam berganti dini hari.

Sudah tiga hari jejak Pak Suyasa tidak membekas di jalan-jalan desa. Tiada lagi jalan yang terlihat bersih. Rumput meninggi di sudut rumah, guguran daun menutupi jalan, kelopak bunga menangis tak terjaga. Menjelang pagi, sosok pria tua ini muncul di ujung candi desa. Ia membawa sebuah sapu dan karung putih dekil. Sapu itu didapatnya dari mengumpulkan sisa tulang janur dan mengikatnya dengan tali dari batang pisang. Tali itupun ia temui di belakang gubuk yang ia bangun sepeninggalan istri tercintanya.

Pak Suyasa akan mulai mendatangi rumah pertama. Tangannya dengan lihai menari memungut guguran kamboja korban cuaca tempo hari. Setelahnya, gundukan sampah dan sisa keringat akan melebur di sudut rumah warga yang didatangi. Seperti biasa, Pak Suyasa akan pamit pergi dan melanjutkan aktifitasnya menjajal atmosfir ke rumah kedua, rumah ketiga, dan rumah-rumah selanjutnya hingga lututnya kaku. Atau, hingga penat di pikiran mengalahkan semangkuk ketela hangat sarapan pagi yang ia kunyah nikmat. Tubuhnya tak cukup kuat menahan terik matahari yang di campur pemanasan global. Ia hanya akan memungut kamboja hingga setengah desa lebih. Lalu, berhenti di sebuah rumah persinggahan.

Rumah itu unik. Atapnya berumbai daun kelapa tua. Dindinganya, menua bermotif guratan alam. Sangat jelas dinding itu dirangkai dari bambu muda yang diperintahkan meliuk dan menindih satu sama lain. Berandanya berkekuatan polesan tanah liat merah yang di ambil dari kali seberang desa. Beranda itu kokoh hingga sekarang. Seseorang pasti menghabiskan beberapa tahun untuk mengkreasikan diri membangun rumah itu. Orang yang menulis lagu balonku ada lima, orang yang menulis lagu pelangi, dan orang sama yang menulis lagu cening putri ayu1. Rumah itu begitu kecil, lahan satu are mungkin cukup untuk membuat tiga sampai empat rumah serupa. Kecil sekali. Rumah itu setidaknya mengetahui kematian Pak Suyasa yang meninggalkan misteri bagi penduduk desa.
“Ia memungut kamboja di pekaranganku, kemarin. Wajahnya biasa saja.” Kata seorang ibu di tengah orang yang berkumpul membicarakan Pak Suyasa.
“Aku sempat memberinya uang lebih. Suamiku lagi gajian.” Sahut ibu lain menimpali.
Perkumpulan itu dilanjutkan hingga malam menjemput mentari untuk ke peraduannya. Sangat banyak opini yang muncul. Ada yang bersua Pak Suyasa meninggal di makan harimau, tersesat di hutan, terpleset ke jurang hingga kena santet secara sengaja.
“Mungkin Pak Suyasa berada dalam rumah persinggahannya. Menjelang senja, ia sempat menyapaku dan menawarkan segelas air.” Kata seorang ibu pemalu di tengah polemik hilangnya Pak Suyasa.
Hanya ada beberapa orang yang acuh kepada saran itu. Yang lain, sibuk merangkai hiperbola untuk diberitakan saat menonton gosip artis, saat berbelanja di pasar, saat kumpul keluarga dan saat-saat lain.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience