2. IH, SYEREEEM!

Humor Completed 2585

2. IH, SYEREEEM!

MAMi baru aja selesai slholat isya, ketika Lulu narik-narik roknya. "Apa-apaan sih ni anak? Kalo robek, mau kamu gantiin?"

Lulu dibentak begitu, langsung mengkeret di pojokan.

Mami menghela napas. "Ya, kalo ada perlu ngomong, dong. Gak usah pake narik-tarik rok segala. Ayo sekarang ngomong, ada apa? Adda, deh, pasti gitu jawabnya. Huh! Dasar anak zaman sekarang emang suka aneh-aneh." "Ini, Mi..."

"Ini apa? Ini Budi?"

"Bukan." Lulu menjentikkan jari jempol dengan telunjuknya sambil tu wajah dibikin memelas.

"Apaan, tuh? O, kamu mau ngajakin ngadu suit? Boleh, boleh..."

"Aaaaah, Mami. Masa Mami nggak ngerti, sih? Duit, Mi, duii'"

"Duit? Duit apaan?"

"Lulu mo' minta duit jajan besok, Mi. Tapi karena Lulu ada perlu, maka mintanya sekarang."

"Perlu apaan, sih?"

"Lulu kan disuruh Pak Guru nganter surat buat orangtuanya temen. Anak itu udah beberapa hari gak masuk sekolah tanpa keterangan yang jelas. Dan surat itu mesti disampein sekarang juga, Mi" "Lha, lantas duit itu untuk apa?"

"Untuk Lupus."

"Lupus?"

"Abis dia gak mao nganterin Lulu kalo gak kasih duit lima ratus perak, Mi."

"Kurang asem! Mana anak itu!" u|ar Mami mbil buru-buru melipat mukenanya.

"Eeee, t-tapi Lulu ikhlas kok, Mi," talian Lulu buru-buru. "karena Lulu juga belon tau persis rumahnya anak itu. Nanti si Lupus yang Lulu suruh nanya-nanya alamatnya."

Si Mami mengernyitkan dahi. Ia sebenernya heran banget ama Lulu yang ngebela-belain ngasih duit jajan nya untuk Lupus. Tapi Mami gak sempet tanya-tanya lebih jauh lagi, karena Lulu udah keburu menyeret Lupus ke luar. "Ayo,

Pus."

Lupus pasti hepi banget, cuma nganterin ke rumah si Drakuli, diupahin lima ratus perak. Andai Lulu nawar tiga ratus pun sebetulnya Lupus masih mau. Tapi Lulu sama sekali gak nawar waktu Lupus bilang, "Bayar ongkos anter lima ratus!"

"Cepet, Pus. Ntar keburu malem."

"Sabar, dong, Lu. Tangan gue gak usah ditarik-tarik, dong. Emangnya maling?"

Mereka pun berjalan menembus kepekatan malam.

Setelah kira-kira berjalan setengah jam, mereka tiba di depan bentangan tembok tua yang berlumut. Suasananya meneekam Untung masih bulan purnama. Jalan setapak sekitar situ masih keliatan.

Lupus diem-diem memperlambat langkahnya, dan menguntit di belakang rambut Lulu. Ia ternyata masih kebayang cerita tangan yang melayang-layang di udara. Jangan-jangan tu tangan ada di belakmg lagi. "Huaaaa!" "Eh, kenapa. Pus?" Lulu kaget.

"Ah, enggak. Rumahnya masih jauh nggak, sih?"

"Enggak. Ini kan ada alamat nya di amplop, Dekat kuburan."

"Kuburan?"

"Iya, dan kita udah sampe di dekat kuburan yang dimaksud."

"Ha?'" Lupus tereekat, "L-lu. d-duit lo yang lima ratus gue pulangin, deh. Atau kalo mau duit j-jajan g-gue besok juga boleh lo ambil. Asal sisain seratus perak buat b-beli p-permen k-karet..."

"Kamu ini gimana, sih? Kan dikit lagi nyampe masa mau pulang? Mendingan kamu cari-cari orang buat tanya-tanya di mana rumah Drakuli. Kan perjanjiannya begitu."

'T-tapi k-kalo orang yang gue tanya tau-tau m- mukanya r-rata, gimana?"

"Ya, jangan cari yang mukanya rata, dong!"

Lulu terus menyeret tangan Lupus, mendekati pintu gerbang kuburan. Lulu pernah denger, kalo mau ke rumah Drakuli harus lewat pintu itu. Dan jam-jam segini, pintu gerbang itu belum digembok sama bapaknya, Pak Gali. Sementara Lupus tuulai keluar keringat dingin.

Lulu menyusup ke celah pintu gerbang kokoh yang agak terbuka sedikit. Pintu itu kelihatan kokoh dan berat. Besibesinya udah pada karatan. Lumut basah tumbuh melapisi permukaan pintu. Lupus ragu mengikuti. Tapi ketika sosok Lulu menghilang dibalik pintu itu, Lupus buru-buru menyusul. Ya, daripada sendirian?

"Lu, apa nggak ada jalan lain?"

"Ada, tapi jauh. Lewat belakang. Dan katanya lebih serem. Banyak ilalang tinggi-tinggi." "Hiii."

Lulu terus berjalan.

"Lu, a-apa gak sebaiknya surat itu kita antar besok siang aja? Karena malam ini saya mau belajar, Lu. Ada ulangan besok."

Lulu tak menanggapi. Ia terus saja menerobos masuk ke kegelapan malam. Pohon besar-besar tumbuh di sekeliling. Lulu merasa surat itu harus diantarkan sekarang. Dan lagi, Drakuli adalah temen baik Lulu. Lulu gak mau membiarkan surat peringatan tujuh belas Ag.. eh, surat peringatan dari wali kelas ini gak sampai ke tangannya. Masalahnya sebentar lagi kan mau semesteran. Banyak ulangan-ulangan pemanasan diadakan tiap harinya. Kalo sampe sering bolos, Drakuli bisa gak diizinkan ikut ulangan semester. Padahal kan Drakuli anak yang cukup cemerlang otaknya.

Perjalanan yang dirasa Lupus seperti berabad-abad itu belum juga berakhir. Di kejauhan emang tampak sinar kecil. Lupus berharap, moga-moga itu taman ria. Banyak orang berkumpul, main perosotan, ayunan...

"Pus, ayo dong tanya-tanya," pinta Lulu memecah kesunyian.

"Nanya ke siapa?"

"Siapa, kek, setan, kek."

"Hus!"

Kalo gak malu sama Lulu, terus-terang Lupus pengen nangis. Bibirnya terus komat-kamit baca doa supaya gak teringat hal yang menyeramkan. Tangan melayang-layang itu, misalnya. Duh Tuhan kenapa harus ada kuburan sih di dunia ini? ratap Lupus

Beberapa kali mereka kesandung batu nisan. Memang agak gelap di balik gerbang sini. Hamparan tanali merah yang penuh gundukan-gundukan bertebaran di mana-mana. Pohon-pohor kamboja pun tumbuh liar di mana-mana. Menyerupai makhluk hitam besar mengeiikan. Cahava kecil, nampak masih agak jauh. Di ujung sebelah barat.

"Idih, kok ada yang bertuliskan nama kamu Pus?" olok Lulu memecah kebekuan, sambt menunjuk ke sebuah batu nisan.

Lupus kaget. "Sialan! Nggak lucu, ah!"

"Atau kalo kamu mau sekalian pesan tempat sama bapak nya Drakuli, bisa juga, Pus," Lulu terus menggoda.

"Lulu! Bisa diem nggak sih, kamu?Amit-amit. Lo aja pesen tempat sana!" sungut Lupus. "Lagi pula jangan sebutsebut nama temen lo di sini. Kesanya gimanaaa... gitu."

"Gimana? Kenapa dengan Drakuli?"

"Lulu!"

Sesampainya di ujung jalan setapak, mereka melompati beberapa kuburan. Alamat yang ada di amplop belum juga mereka temukan. Padahal Lupus udah gak tahan. Bener-bener mau pipis.

Lagi pula di sekitar situ baunya rada gak enak. Apek. Lulu beberapa kali menyoroti semak-semak gelap yang menimbulkan suara yang meneurigakan dengan senternya. Kresek-kresek..

Nama jalan setapak yang tertulis di surat itu pun kayaknya belum nampak. Aduh, luas sekali sih pekuburan ini?

'"Aneh, temen lo kok betah di tempat beginian?" Lupus mulai menggerutu.

"Tenang, Pus. Bapaknya kan penggali kubur..."

"Lulu!"

Lho, saya bicara apa adanya."

Lupus bersungut-sungut. "Pasti serem sekali ya tampang bokapnya temen lo itu?"

"Ah, kalo diliat anaknya secakep Drakuli, ya paling sial bokapnya pasti lebih kece dari si Boim."

Bulan purnama tertutup awan di langit. Jadinya suasana gak begitu terang. Jadinya rumput ilalang yang bergoyanggoyang ditiup angin terlihat bak sebarisan setan lagi menari.

Lagi serem-seremnya, tiba-tiba muneul bayangan hitam mengerikan, Lupus dan Lulu menjerit tertahan "Hiyaaaaaa!" Lalu denga segera mengambil langkah seribu. Tapi makhluk hitam itu tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh. Dan Lulu langsung menghentikan langkahnya. Ia mengenali suara itu "Drakuli, ya? Apa-apaan si kamu?" Lulu berbalik menghampiri makhluk itu dengan geram. Lupus makin tercekat. "Eh, Lu lu..." Lupus menghentikan langkahnya juga. Ia hendak menahan Lulu. Tapi lututnya gemeteran. jantungnya serasa mau copot.

Lulu makin mendekati bayangan hitam yang berambut acak-acakan, berjubah hitam dan menyeramkan. Dan dengan cuek, Lulu berkacak pinggang.

"Stop, Drak. Gak lucu."

Drakuli masih terbahak-bahak. Ia memegang perutnya sambil berguling-guling. "Takut, ya? Takut? Hahahaha..." Kali ini Lupus baru yakin kalo itu memang temennya Lulu.

"Bagus, ya. Coba kamu dengar, Drak. Gue capek-capek jauh-jauh datang mau nganter surat ini buat bapak kamu, kok malah begitu sambutannya? Sama sekali nggak lucu. kampungan. Di mana rasa terima kasihmu?" Lulu misuh-misuh.

"Iya, di mana, ayo?" Lupus ikut-rkutan. Drakuli berhenti tertawa. Diam-diam Lupus kagum juga sama Lulu yang gak punya rasa rakut.

"Surat? Surat dari siapa?"

"Dari wali kelas. Kenapa kamu sering gak masuk belakangan ini?"

Drakuli diam. Ia melepas jubah hitamnya yang bau. Lalu menjumput batang rumput liar, dan nenggigit-gigit pangkalnya yang terasa agak manis.

Lulu lalu memberikan surat itu pada Drakuli. Tanpa membaca, Drakuli memasukkan surat itu kantong bajunya. 'Trims,

Lu."

Drakuli mengajak Lulu dan Lupus duduk di atas kuburan di bawah sinar bulan pumama yang kembali bersinar lembut. Lupus agak ragu meletakkan pantatnya di gundukan tanah itu.

"Nggak apa-apa," ujar Drakuh seolah tau apa yang dikuatirkan Lupus.

"Eh, iya, Drak. Ini kakak gue, Lupus," kata Lulu. Dan kepada Lupus, "Ayo, salaman Katanya mau kenalan." Drakuli menjabat tangan Lupus erat-erat. Lupus berusaha tersenyum. "L-lupus." Lalu hening.

"Gak apa-apa, ya, duduk di atas kuburan? Katanya kalo penghuninya gak rela kita bisa digerayangi. Betul nggak, Drak?" tanya Lupus.

Drakuli mengangguk.

"Hah? Kalo gitu saya berdiri aja, deh." Lupus langsung berdiri.

Drakuli tersenyum. "Kok berdiri?"

"Gak apa-apa. Lagi pula kalo kebanyakan duduk saya suka kesemutan, tuh."

Lupus benar-benar gak berani duduk lagi. Tinggal Lulu dan Drakuli cekikikan.

"Drak. kamu sebenernya kenapa sih gak masuk-masuk?" Lulu memulai percakapan. Dan ini membuat Drakuli kembali murung.

Ia meneeritakan kepedihannya "Objekan Babe lagi sepi, Lu. Jarang ada orang yang meninggal belakangan ini," kaunya sambil membuang rumput ilalang yang mulal terasa pahit.

Lupus yang tadinya berdiri, jadi ikutan duduk lagi. Agaknya ia tertarik dengan problem yang dihadapi Drakuli. Baginya, ini lucu sekali. Luar biasa sekali.

"Padahal Babe udah menurunkan harga tanah kuburan di sini. Masih aja belon ada yang mati-mati. Tadinya Babe malah mau kasih diskon segala. Lu."

Lulu terharu juga mendengar penuturan Drakuli. Tapi bagi Lupus, ini benar-benar lucu. Lucu betul. Ia sampai menahan ketawa mendengar cerita sedih yang menggelikan itu.

"Eh, kita masuk ke dalam rumah saya aja, yuk? Kita minum-minum sebentar. Oya, Babe tadi abis meneabut singkong yang tumbuh di atas kuburan Ibu. Yuk?" ajak Drakuli sambil bangkit. "Enak kan ngobrol sambil makan singkong goreng."

"Eh, Drak, mungkin Pak Guru mau memberi dispensasi kamu untuk ikut ujian. Soalnya anak secemerlang kamu, sayang kalo gak dipupuk," ujar Lulu sambil mengikuti Drakuli menuju rumahnya.

"Ya, mudah-mudahan, deh."

Memasuki rumah Drakuli, Lupus dan Lulu bener-bener merasa tegang. Keadaannya remang-remang. Hanya ada satu cahaya lilin di pojokan. Lebih-lebih ketika mengamati hiasan-hiasan dinding yang terdiri dari lukisan pemandangan alam kuburan, kelelawar besar, dan juga puluhan gigi orang mati yang sekarang ikut-ikutan dipajang di situ. Juga tulang-belulang yang dirangkai hingga membentuk rumah-rumahan. Di atas meja juga ada bunga warna-warni sisa orang berziarah yang kemudian dirangkai pada sebuah jambangan.

Belum lagi bau apek kain gorden yang nampaknya dari kain kafan bekas orang meninggal, dan bertahun-tahun gak dicuci.

Lupus makin bergidik. "Lu, jangan lama-lama, ya?"

Lulu sendiri asyik melototin boneka kuntilanak-kuntilanakan.

"Lu, jangan lama-lama, ya?" Lupus mengulangi permohonannya.

Lulu cuek. Dan Drakuli muneul membawa baki berisikan tiga cangkir air teh. "Wah, singkongnya belum mateng, Lu." "Ah, gak pa-pa. Kita gak lama, kok," serobot Lupus.

"Lho, Lulu bukannya mau nungguin singkong mateng?"

Lulu tersenyum

"Oya, Babe lagi ngebersihin pacul di belakang," ujar Dakuli seraya meletakkan ketiga cangkir itu di meja mungil. "Ya, kalo malam malam begini Babe emang sibuk banget Meneangkuli tanah-tanah kuburan yang rada longsor Abis banyak kuburan yang nggak dilapisi batu kerikil dan pasir, sih. Hingga mudah longsor.

Sebentar lagi, Babe juga mau mengontrol semua kuburan, jangan-jangan ada yang bangun...."

"Bangun?" Lupus merapatkan dirinya ke Lulu

"Ya, kadang-kadang," ujar Drakuli sambil tersenyum geli, Memangnya kamu pikir gak pegal berbaring terus di lubang sekecil itu sepanjang hari?"

Tiba-tiba Pak Gali muneul. Lupus dan Lulu serempak memberi salam. "Met malem, Pak

"Malem..."

Pak Gali cuek mengganti baju dengan baju dinasnya di depan Lupus dan Lulu. Badannya nampak gagah dan kekar. Masih ada keliatan tatto gambar tengkorak di lengannya. Ia sudah siap mengontrol ke seluruh kuburan sambil membawa lentera dan kunei gembok pintu gerbang kuburan

"Eh, bertamunya mau sampe jam berapa?" tegur Pak Gali. "Kalo mau ampe malem, pintu gerbang kagak gue kunei dulu."

Pak Gali emang cuek. Dengan Lupus dan Lulu ia ber-lu-lu gue-gue.

"S-sebentar lagi juga pulang kok. Pak," ujar Lupus.

"Kenapa sebenrar? Kagak betah, ya?" "Betah, Pak," timpal Lulu.

"Kok sebentar?"

"S-saya besok ada ulangan, Pak," ujar Lupus beralasan.

"O, ulangan."

Pak Gali menyisir rambutnya yang panjang, kemudian melilitkan sarung di pinggangnya. Kumis yang panjang dan tebal sebentar-sebentar dilinting. Kumpulan kuneinya ia masukkan ke dalam kantong celana, hingga terdengar bunyi gemerineing.

"Kalo mau ngobrol, ngobrol deh. Sekalian nunggu singkong goreng. Tapi sisain gue ya, jangan diabisin semua," kata Pak Gali sambil bersiap-siap berangkat.

"Bokap mau ngeceng dulu, Drak. Lo jaga rumah, ya? Oya, temen-temen lo pada bawa duit, nggak? Patungan dong buat beli rokok gue."

Lupus buru-buru mengeluarkan duit lima ratus peraknya dan segera disambar oleh Pak Gali. Makasih, ya?" Pak Gali keluar sambil bersiul-siul

"Ya, begitu deh, bokap gue, Lu," ujar Drakuli.

Lalu Drakuli cerita-cerita tentang masa lalu bapaknya yang jawara dan playboy itu. Juga tentang ibunya yang tak pernah ia lihat, kecuali di foto. Juga tentang kesepiannya yang membuat ia sering bermain-main sendinan di tanah pekuburan.

Sementara jarum jam di tangan Lulu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Air teh pun udah tuntas. Mereka minta diri.

"Jangan bosen main ke sini, ya?" ujar Drakuli mengiringi tamunya pulang.

"Nggak," saliut Lupus cepat, "nggak sekali-kali lagi, deh. E-eh, maksudnya nggak ngebosenin kok tapi nyeremin."

Drakuli tersenyum sambil meninju pelan lengan Lupus, "Ati-ati ya, lewat sebelah situ. Pernah ada yang gantung diri."

"J-jadi yang aman lewat mana?" lagi-lagi Lupus tercekat

"Lewat mana. ya? Mending lewat sebelah sini."

"Aman?"

"Aman. Paling cuma nemuin tuyul doang. Hihihi..."

Lupus bener-bener kapok Walau diupah sejuta juga gak mau balik ke situ lagi.

Tapi di perjalanan pulang, Lupus jadi curiga juga sama Lulu. Kenapa Lulu begitu ngebela-belain nganterin surat dan berharap Drakuli agar masuk sekolah kembali besok. Sebegitu mulianyakah hati Lulu?

Rasa curiga Lupus mengurangi rasa takutnya pada kepekatan malam yang kelam. Apalagi Lulu amat berharap agar Drakuli benar-benar masuk besok. Lupus ingat omongan Lulu pada Drakuli, waktu Drakuli melepas mereka berdua di depan pintu gerbang. "Drak, lo bener-bener masuk kan besok?" harap Lulu.

Dan Drakuli mengangguk. "Mudah-mudahan Lu. Insya Allah."

Heran Baek banget ya, si Lulu? Apa ia naksir Drakuli? Ah, orangnya ternyata gak kece-kece amat. Serem, malah. Hati Lupus terus bertanya-tanya.

Dan ketika mereka sudah berada di jalan ramai, Lupus tak bisa membendung kecurigaannya lagi, "Kenapa sih, lo kok baek amat ama Drakuli?"

"Gak apa-apa. Besok ada ulangan kimia. Drakuli jago banget kimianya. Dan dia kan duduk pas di depan gue. Siapa yang mau ngebantuin gue kalo besok dia gak masuk? Gue kan paling sebel kimia," ujar Lulu kalem sambil ngeloyor meningalkan Lupus yang bengong di bawah temaram lampu malam.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience