4. KELASKU ISTANAKU

Humor Completed 2583

4. KELASKU ISTANAKU

PERNAH denger pepatah "Kelasku adalah istanaku"? Pasti belum Sebab pepatah ini memang belum diciptakan. Tapi bagi warga IIA2 di SMA Merah-Putih pepatah itu terasa ada. Dan sakti rasanya. Abis gimana gak sakti kalo IIA2 kelas yang semula butut, jadi makin but... eh-jadi serasa istana. Makin membuat betah para penghuninya. Apalagi letaknya yang strategis, mau ke man-mana dekat. Ke kantin, tinggal loncat, ke perpustakaan tinggal masup, ke laboratorium tinggal jalan, keluar saat belajar tinggal... disetrap!

Hihihi....

Kelas yang bikin iri kelas lainnya itu adalah kelasnya Lupus. KeIas itu selain amat jauh dari WC (ya, baunya kira-kira tiga kali naik bislah!), suasana sekelilingnya juga sangat sejuk. Banyak pohon akasia yang lebih seneng tumbuh dekat kelas "istana" itu. Kalo gak salah kemaren-kemaren cuma ada dua pohon akasia dan satu pohon asoka, sekarang sudah ada lima akasia, tiga asoka dan satu pohon kelapa "kongkow" di situ. Jadi tambah sejuk aja. Saat istirahat, banyak anak-anak kelas lain suka ikut-ikutan duduk di sana. Ngobrol sambil main catur jawa. Sementara itu Gusur pun memanfaatkan situasi ini. Dia membuka jasa penyewaan tiker yang dibawa dari rumah. Satu anak yang mau duduk dikenakan biaya seratus perak tiap jamnya. Sedang tiker yang pake AC dua ratus perak. Kalo yang ada tipinya dua ratus lima puluh. Dan yang paling mahal tiker yang ada kolam renang dan layar tancepnya. Tiap 1 jam enam ratus perak, harus kontan. Jadinya, sejak itu Gusur rada lumayanlah jajannya. Dan makin gendut idungnya, hihihi.

Sejak anak-anak menyadari banyak pohon-pohon yang betah tumbuh di sekitar situ, mereka menata taman kecil di depan kelas biar semarak. Biar enak dilihat. Pinggir-pinggirnya ditaburi batu-batu kecil berwarna. Sementara bagan belakang sebelah kirinya sengaja ditinggikan. Biar anyelir yang ada di atasnya menonjol. Jadinya di situ mirip-mirip taman makam, eh, taman bunga.

Meski sekali waktu Boim menyalahgunakan taman itu buat ngerayu Nyit-nyit, aiau Gusur yang ngejogrok berjam-jam nyari inspirasi, suasana nyaman tak berkurang. Dari situ juga tempat srategis untuk ngecengin cewek-cewek yang berolahraga.

Dan yang makin membuat iri anak kelas lain adalah. anak-anak IIA2 itu amat pinter menghias kelasnya. Sehingga kelas mereka bisa nampak "lain" dibanding kelas lainnya. Dengan modal swadaya anak-anak, kelas Lupus keliatan centil dengan cat dinding yang berwarna pink. Ini mereka lakukan berbarengan dengan Valentine beberapa waktu yang lalu.

Nampak centil lagi ketika Lupus mengusulkan agar kelas itu dilengkapi dengan aksesori yang unik-unik.

"Biar kita semua makin betah di sini," kata Lupus.

"Iya," kata Anto, "Dan nanti keluargaku akan kuajak nginep di sini."

Hasilnya peribahasa-peribahasa unik bertebaran menempel di dinding, dibuat dari kertas-kertas berwarna ceria.

Semua kocak-kocak. Seperti yang terrulis di dinding belakang, "Daripada nyontek dapat nilai tujuh, lebih baik tak nyontek tapi dapat nilai sembilan". Juga di dinding sebelah samping, "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepiBersakit-sakit dahulu, baru mati kemudian" itu yang di depan, "Janganlah memandang orang dari wajahnya, tapi lihatlah dia dari kece tidaknya". Dan satu lagi, "Hidup sederhana bukan berarti banyak harta".

Di situ juga ditaroin kalender Garfield, ditambah beberapa boneka mungil menghias di ujung kanan papan tulis, sumbangan dari Fifi Alone dan Poppi. Di dinding bagian belakang, ada fiber-board, papan yang bisa ditempeli macam-macam hasil kreativitas anak-anak. Fungsinya seperti Majalah dinding.

Isinya, ada karikatur karya Lupus, ada puisi cinta Boim, ada foto-foto unik bikinan Gito. Dan inilah yang membuai

Gusur makn betah menyatroni kelas Lupus. Lewat media itu, Gusur berekspresi mencurahkan isi hatinya kepada Fifi Alone. Fiberboard itu juga sering ditempeli, misalnya lukisan anak-anak yang terbaik, atau kertas jawaban ulangan anak-anak yang terbaik. Gak lupa, kertas ulangan fisika si Boim, yang selalu always dapet nilai delapan- "ngakak" alias tiga, juga dipajang. Ya, supaya Boim malu, dan lebih giat belajar. Tapi dasar Boim, doi cuek bebek aja.

Asyiknya, guru-guru pada gak keberatan dengan kreativitas anak-anak itu, walau akibatnya kelas Lupus jadi nampak lain. Gak seragam.

Malah ada beberapa guru yang ikut-ikutan betah mengajar di kelas tersebut. Mr. Punk misalnya. Biar jatah ngajarnya udah abis, beliau gak mau keluar.

"Anak-anak, zaya mengazar di zini razanya zeperti mengazar dalam iztana zadza. Zuazanany begitu gemerlap, betulbetul menyenangkan Zaya mau uzul zama kepala zekolah agar zaya ditugazkan mengazar dalam kelaz ini lebih lama. Pazti beliau mengizikan. Dan kalian tak keberatan bukan kalo tiap zam belazar fizika?" Mampus lu!

***

Bagi anak-anak sendiri, kelas IIA2 selain membetahkan, di sana banyak peristiwa historis terjadi. Seperti Anto yang pernah pipis di celana lantaran gak sanggup ngerjain tugas mitamitik (baca: matematik, bego!). Tentu peristiwa itu gak mudah dia lupakan. Dijadikannya sebagai peristiwa sejarah, sebagai tempat berkaca diri, bahwa Anto kok pernah bersifat kayak anak kecil umur lima tahun. Akhirnya niat buat bebenah pun muncul ke permukaan Kini Anto telah berubah, dia mengaku sudah lebih dewasa. Seperti ujarnya, "setetah mengingat peristiwa menjijikkan itu saya bertekad untuk menjadi lebih dewasa. Kini saya gak lagi seperti anak lima tahun, tapi telah meningkat jadi kayak anak umur tujuh tahun...."

Bagi Aji nilai historisnya pada peristiwa ketika dia dipergoki karena bawa-bawa gambar orang telanjang. Dia sempat menggegerkan, dibawa ke kantor, diantar pandangan mata anak-anak yang mendecak. Aji kapok, insap. Ternyata memang tak boleh membawa gambar porno ke dalam kelas, tapi harus langsung diserahkan ke kantor Kepsek.

Lain Anto, lain Aji, lain lagi Boim. Bagi Boim nilai historisnya adalah peristiwa-peristiwa kecil yang selama ini dilakukan setelah pulang sekolah. Yaitu nulis surat cinta buat anak kelas satu yang masup siang, yang juga menempati kelas itu. Mungkin kalo surat yang dikirim Boim langsung dapet balasan. gak usah dibilang peristiwa sejarah. Tapi karena sampai sekarang ini belon ada satu surat balasan pun yang nongol, jadinya pantes dong dianggap monumental.

Eh, tapi Boim gak putus asa. Dia tetap ngirim terus. Dan akhirnya memang dibalas.

Isinya singkat saja:

"Kak, nama saya Slamet, dan teman yang duduk di samping saya Rosyid.

Lalu Kakak seneng sama yang mana?"

Hahaha... anak-anak ngakak. Abis ternyata Boim naro suratnya di bangku anak kelas satu yang cowok sih. Hahaha...

***

Pagi itu di rumah Lupus, Lulu lagi marah-marah. Lulu kalo marah suka gak liat sikon. Padahal dia lagi sikat gigi, akibatnya odol dari mulutnya beterbangan. Kayak orang main sulap jadinya.

"Pus, kenapa spidol warna saya dibawain semua? Itu kan spidol hadiah dari Decky. Saya aja makenya sayang-sayang, kamu malah ngebawa ke sekolah segala. Buat apaan sih bawa-bawa spidol segala?"

"Mo ada perlombaan menghias dinding kelas, Saya pinjem sebentar doang, nanti juga saya pulangin. Kamu kok jadi adik pelit banget sama kakaknya?"

"Ee, apa kamu sebagai kakak sudah pernah baik sama saya?"

"Sudah, waktu kamu pinjem crayon, saya kasih."

"Crayon? Emangnya kamu pernah punya crayon?"

"Nggak. Makanya saya kasih. Hihihi..."

Lulu yang udahan kumur-kumur nggak suka diledek begitu. Dia berusaha merebut spidolnya dari tangan Lupus. Lupus lari ke ruang makan. Taunya di sana lagi ada Bu RT lagi ngobrol sama Mami.

"Lup... eh-Bu RT. Udah lama, Bu?"

"O, Nak Lulu. baru saja."

"Kirain udah lama...."

Lupus langsung duduk di antara Mami dan Bu RT, sambil nyomot sepotong roti. Sementara, Lulu mendongkol di pojokan.

"Wah, anak-anak di sini pada rukun-rukun ya?" komen:ar Bu RT sambil tersenyum manis pada Lulu. Lulu yang ditanya ngangguk sambil senyum basa-basi.

Ngapain sih Bu RT pagi-pagi udah ngajakin Mami ngerumpi? Huh, mengganggu jadwal berantem orang aja, batin Lulu.

"Kalo di rumah, ya ampun! Bayangin aja, i Goti sama Geno gak bisa ngeliat rumah sepi dikit. Langsung aja mereka main kejar-kejaran, jenggut-jenggutan. Masalahnya sih kadang sepele banget Nak Lulu, cuma rebutan apusan, tapi ya berantemnya kayak orang perang rebutan apusan gitu."

Lupus diam-diam langsung beringsut ke luar seraya monyomot tas dekilnya di meja, untuk pergi ke sekolah. Tinggal

Lulu yang maki-maki dalam hati. Huh, kalau berantem gara-gara hapusan emang keterlaluan, tapi ini kan gara-gara spidol. Mau dibilang perang kek, nggak rukun kek, masa bodo teing. "Heh, Lupus, kamu tunggu nanti siang, ya, saya sentrum baru rasa!"

"Lulu, masa kakakmu mau disetrum?" tegur Mami tau-tau.

Hah?

Bu RT kaget, Lulu apalagi.

***

Di sekolah sudah banyak anak-anak yang siap-siap mau ngegambar dinding kelas.

Lomba hias-menghias ini diponson Svida, teman sekelas Lupus yang multi-milyuner. Svida menyediakan hadiahhadiah menarik. Seperti juara satunya dapet hadiah mini-kompor (itu lho, kompor kecil yang buat kemping). Juara duanya dapet spidol sama kertas kado Garfield. Sedang juara tiga cuma dikasih penggaris, buku tulis, pulpen, tas, TV berwarna, tiket pesawar ke Bali, dan Tabanas.

Perlombaan ini memang sengaja diselenggaraka, kata Svida, guna menyambut Bulan Juli (idih, apa istimewanya?).

Untuk menghiasnya selain pake spidol, diperbolehkan juga pake cat tembok. Sayangnya ada satu anak yang terpaksa di-diskualifikasi alias dianggap gugur, yaitu Boim, karena ikut lomba tapi pake arang.

Karena kecintaan anak-anak pada kelasnya cukup gede, pesertanya lumayan banyak. Sementara Mr. Punk direncanakan kebagian tugas membuka lomba secara simbolis, dengan nyiramkan cat tembok ke muka Bo eh,.. ke muka kelas. Panitia juga menyediakan pita buat digunting. Sengaja dibikin, biar masup Berita Nusantara di tipi. Sayangnya panitia rada gegabah, yang dipasang bukan pita seperti biasanya, melainkan pita kaset. Jadinya panjang banget.

Acara lomba ini diramal bakal meriah, sebab sepasukan drum band Swara Mas Andhika ikut ngeramein juga. Sengaja Svida mengundangnya karena kehebatan yang dimiliki sang mayoret kala melempar tongkatnya tinggi-tinggi dan jarang balik-balik! ***

Sementara di jalan Lupus asyik membayang gambar apa yang mau dibikin di lomba nanti.

Hm, gambar apa, ya? Gimana kalo gambar pemandangan? Ah, kuno. Masa kayak anak kecil. Eh, tapi ngomongngomong soal gambar pemandangan, Lupus jadi inget sama Suro, okem pasar dekat rumah Gusur. Ceritanya biar serem, dia mentatto dadanya. Tapi gambarnya bukan tengkorak atau apaan gitu yang serem. Melainkan gambar pemandangan! Hihilu gimana mau ditakutin?

Sambil bersiul-siul gede (idili, bersiul kok gede?), Lupus iseng menghitung jumlah spidol yang ditilap dari tas Lulu. Ada lima, ya,cukuplah!

"Eh, apaan tuh yang keluar-masup?"

Lupus surprais banget ngeliat ada mobil sedan Capella baru parkir di depan pintu sekolahnya. Wah, setelah diintip, nggak taunya Kepsek lagi bingung memarkirkan mobil yang ternyata baru dia beli. Busyet, nyetirnya ati-ati banget. Takut nabrak 'kali, ya?

"Ee, Nak Lupus, tolong bantu Bapak memarkirkan mobil ini, ya?"

"Baik, Pak. Eh, maksud Bapak sayanya bantuin nyetir, gitu?"

"Bukan. Kamu bilangin aja kalo mobil Bapak parkir nanti."

Lupus yang baru kali penama jadi tukang parkir bingung juga. Ngasih aba-abanya gimana, sih? Apa saya harus teriak-teriak?

"Ya, terus-terus... Pak!"

'Terus ke mana? Wong mobilnya belum distarter."

Ya, ampun. Lupus keki, kenapa gak bilang-bilang sih, kalo belon starter? Saya udah semangat, nih!

"Gimana, Pak, udah bisa dimulai belum?"

"Sebentar, Nak Lupus, Bapak mau baca buku petunjuk dulu. Mau cari keterangan tentang gigi mundur. Ya, ya... sekarang mulai!"

"Mundur... mundur... terus, Pak, jangan ragu-ragu. Sedikit lagi, Pak." Brak! "Ya, stop. Udah nabrak, tuh!"

Pak Kepsek sempet kaget belakang mobilnya nabrak pintu gerbang. Tapi Lupus buru-buru menyarankan, "Abis gimana gak nabrak? Pelataran parkirnya pas-pasan banget sih."

Lagi pula biasanya guru-guru di SMA Merah Putih kan cuma naik motor aja ke sekolah. Anak-anak juga gak boleh bawa mobil pribadi. Dan Kepsek biasa-biasanya cukup puas diantar anaknya yang kuliah di Trisakti. Kok sekarang dia bawa mobil?

Eh, ini pertama kali lho ada mobil masuk sekolah Lupus. Wah, apa sebaiknya dimasupin Guiness Book of Records aja?

Kemudian Lupus secara iseng bilang, "Udah Pak. Perluas aja pelataran parkirnya, biar mobil Bapak bisa leluasa parkir."

Pak Kepsek jadi mikir, Ternyata doi menanggapi serius.

Iya, bener juga, ya. Abis daripada mobil saya gak bisa parkir. Wah, usul yang bagus sekali, pikir Kepsek.

"Hei, Nak Lupus. Ini dua ratus perak buat kamu. Yang seratus untuk upah parkir, seratus lagi buat usul kamu yang cemerlang itu."

Lupus bingung.

Tapi inilah awal bencana itu!

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience