1. DRAKULI

Humor Completed 2583

LUPUS - IHH SYEREEEMM

1. DRAKULI

Bulan purnama.

Malam telah larut. Angin terdengar menyayat di antara sisa gerimis yang tertabur becek. Wangi aspal basah memuat ke segala arah, meriangkan paru-paru hewan malam. Saat itu begitu hening. Benar-benar senyap Suara-suara gaduh pun seakan lenyap. Dingin yang menggigit, membuat sekelompok penjaga malam menarik erat sarung dekilnya.

Berani taruhan pasti tak ada orang yang berani ke luar jalan meski ia seorang hansip teladan sekalipun. Sebab malam itu terasa lain dengan malam-malam sebelumnya. Apalagi kemarin malam di jalanan pas belakang rumah kompleks rumah Lupus, terdengar kabar ada sepotong tangan yang melayang-layang dan mengetuk-ngetuk pintu rumah penduduk.

Ceritanya gini. Bukan nakutin, lho, cuma nyeremin aja. Saat itu. tengah malam, rumahnya Pak Fahmi diketuk seseorang. Pak Fahmi lagi tidur sendirian. Keluarganya lagi menginap di rumah Nenek. Dan pas pintu dibuka, ternyata nggak ada orang. Yang ada malah sepotong tangan melayang-layang. Pak Fahmi langsung pingsan. Dan waktu pingsan, perut dia malah dikitik-kitik tangan itu. Hiiiii..! Ya, jadinya Pak Fahmi pingsan sambil ketawa kegelian.

Hihihi.

Dan apakah di malam yang sesunyi ini potongan tangan akan muneul lagi? Siapa tau. Yang jelas di bioskop dekat pasar sekarang lagi memutar film Santet. Yee, apa hubungannya? Ada! Lupus tadi sore nonton film itu. Dan sekarang ia sama sekali nggak bisa tenang di tempat tidur, ngebayangin film barusan. Lebih-lebih Lupus juga denger cerita soal tangan yang suka melayang-layang itu. Ia kuatir kalo-kalo tangan itu, malam ini, datang mengetuk-ngetuk pintu kamarnya.

Duh. jam berapa, ya? Lupus melongok ke jam weker di atas meja belajar. "Ya. amplop! Setengah dua!" Dan matanya masih belum bisa terpejam!

Tok. tok. tok!

"Hah! Huaaaaa!!! T-tomat, eh, t-toge, eh,t-tong sampah, eh, t-toy soldier, aduh! T-to-loooong...!" Lupus langsung membenamkan kepalanya di balik bantal,

"Pus, Pus! Ada apa? Buka pintu, Pus!"

Mendengar suara maminya, Lupus langsung terbang membuka pintu. Mukanya pucat.

"Ada apa, sih? Bikin kaget aja," sembur maminya, sambil langsung sibuk meneari-cari sesuatu di kamar Lupus. "Mami pinjem selimut kamu, dong. Tumben malam ini kok dingin banget. Kamu kan punya selimut tebal dua." Lupus masih berdiri kaku. Ia lampir tak bisa berkata-kata. Tegang banget.

"Udah, ya? Selamet bobo. Kok, udah malam kamu belum bobo juga? Lagi belajar?" ujar si Mami sambil menyelempangkan selimut tebal di bahu, dan melangkah ke luar.

"M-mi, L-lupus ikut tidur sama M-mami, ya?"

Mami menghentikan langkah. Menatap heran ke arah Lupus. Lalu di sudut bibirnya tersungging senyum kecil, "Apaapaan, sih, kamu? Udah gede, juga. Si Lulu aja berani tidur sendirian. Masa kamu takut? Biasanya kan juga sendiri. Makanya kalo mau tidur baca doa dulu."

Mami berlalu dan menutup pintu kamar Lupus. Tinggal Lupus yang langsung mengunei pintu kamar, dan buru-buru terjun ke dalam selimut tebalnya. Meringkuk dengan perasaan waswas. Matanya dipejamkan erat-erat. Kemudian berdoa, "Bismillah..." Tok tok tok!

"Hiyaaaaaa!!!"

"Hei, Lupus! Kenapa kamu berteriak?" terdengar suara Mami lagi.

Lupus menghela napas lega, dan terbang lagi membuka pintu. Aduh, si Mami bikin kaget aja!

"Mami cuma mau tuker selimut, kok. Yang ini kekecilan."

Lupus diam. Bibirnya gemeletuk. Dengkulnya masih terasa lemes.

"Kenapa kamu, Pus. Kaget? Kaget apa takut?"

Masa udah gede takut? Malu, ah. Ntar diketawain setan, lho."

"Huaaaaaaaa..."

Sementara suasana di luar kian meneekam. Gerimis kecil kembali turun. Angin semilir menderu-deru. Tak lagi terdengar suara hewan malam. Hanya angin yang terus menyayat.

Dan sekitar dua ratus lima puluh meter dari kamar Lupus, rumput ilalang bergoyang liar di tas tanah merah luas. Yang sekelilingnya ada tembok hitam berlumut. Terdengar langkah-langkah pelan, seolah enggan mengganggu ketenangan malam. Langkah-langkah pelan Pak Gali, seorang penjaga kuburan. Ia santai aja berjalan dengan topi lebar, jaket plastik besar dan lentera redup di tangannya.

Pak Gali memang seorang yang agak aneh. Ia membisniskan tanahnya yang luas untuk disewakan sebagai kuburan. Ia dulu memang seorang yang punya tanah warisan luas di daerah itu. Seorang jawara yang playboy. Betawi asli. Ayahnya bekas seorang tuan tanah kaya-raya. Tapi karena Pak Gali tak bisa menghargai kekayaan, ia banyak dililit ulang. Ia sering berjudi, dan berfoya-foya. Suatu kegiatan klise yang sering dilakukan orang-orang bodoh. Yang tersisa dari Pak Gali sekarang ini, setelah tua dan agak insap, hanya utang-utang dan rumah sederhana, dengan tanah yang luas. Yang karena ia tak tau untuk diusahakan apa, maka dibikin semacam taman makam. Menyewakan tanahnya untuk kuburan. Suatu bisnis ganjil yang mungkin nggak terpikir oleh orang lain. Tadinya tanah itu memang untuk kuburan keluarga aja. Tapi karena cukup luas, tiba-tiba timbul ide untuk disewakan sebagai kuburan warga sekitar situ yang berminat.

Hidup Pak Gali sepenuhnya tergantung dari bisnis sewa tanah kuburan itu. Mulanya, kalo ada yang meninggal dan mau dikubur di tanahnya Pak Gali, suka ngasih uang ala kadarnya aja untuk perawatan. Sekarang, setelah Pak Gali belajar ilmu dagang dikit-dikit dari anaknya, ia mulai menggunakan tarif khusus. Malahan kalo ada orang sakit parah dan naga-naganya bakal "isdet", Pak Gali menawarkan pembayaran dengan sistem uang muka. Down Payment. "Kalo nggak, nanti keburu diserobot orang. Wah, ntar nggak kebagian kuburan kan repot," alasan Pak Gali.

"Kalu mau yang murah juga ada kok," tawar Pak Gali lagi, "tapi sewanya ya tetap harus kontan, nggak bisa kredit."

Lagian kalo bayarnya kredit, menurut Pak Gali, anggota badan yang dikubur juga dikredit. Mula-mula tangannya, lalu kakinya, dan seterusnya dan seterusnya. Hiliihi.

Itu masih nggak seberapa Pak Gali pun meniru cara penjualan rumah BTN dengan membuat bermacam tipe. Seperti tipe 2l, tanahnya lebih kecil dan harganya juga lebih murah. Makanya Pak Gali suka menyarankan agar memesan tipe 45 saja, "Selain tanahnya lebih luas, juga bisa dibikin paviliun." Hihihi.

"Atau mau pesan yang di hook juga bisa," ujarnya masih bersemangat, "Cuma harus ada biaya tambahan. Lebih mahal. Adanya kan di tikungan jalan, orang jadi gampang kalo mau ziarah."

Pak Gali pernah juga dapat pesanan dari orang kaya yang minta kuburannya dipakein AC. Katanya biar nggak gerah. Tapi Pak Gali gak yanggupin, karena biaya operasionainya mahal. Akhirnya kuburan itu cuma dipasangin kaca nako aja. Kan udaranya tetap bisa keluar-masuk. Dan penghuninya pun nggak kegerahan.

Selain fasilitas-fasilitas tadi, Pak Gali juga menyediakan kuburan untuk orang-orang penakut. Yaitu dengan memasang pagar teralis di sekelilingnya.

Dan reneananya Pak Gali juga akan memasang interkom di setiap kuburan, biar komunikasi bisa lanear. Hahahalia...

***

Sementara suasana di situ tetap meneekam. Dan konon Pak Gali udah sering banget ketemu makhluk-makhluk ganjil. Kemarin dia nemu tiga, kemarinnya lagi, nemu lima. Dan besok pasti nemu tujuh biji lagi. Ya, selalu ganjil. Nggak genap.

Dan ketika genap delapan kali Pak Gali mengelilingi tanah perkuburannya itu, ia masih mendapatkan cahaya lilin yang membias dari ruang depan rumahnya. Ia membuka pintu perlahan. Karena si Drakuli, anak semata wayangnya masih asyik membaca.

Drakuli memang rajin banget. Kalo belajar pun sampai lewat tengah malam. Anaknya terkesan pendiam, tapi otaknya lumayan eneer. Dia masih kelas satu SMA, dan sekelas sama adiknya Lupus, Lulu.

"Masih belon tidur, Drak?" tegur Pak Gali.

"Belon, Be. Lagi nanggung."

"Hm, Babe tidur dulu, ya? Jangan lupa lilinnya dimatiin kalo mau tidur."

"Iya, Be."

Si Drakuli ini paling seneng membaca di bawah temaram cahaya lilin. Padahal daerah situ udah masuk listrik, tapi biar ngirit, Pak Gali jarang memakai jasa listrik. Keluarga aneh itu kayaknya memang lebih suka suasana suram. Drakuli pun sudah terbiasa sederhana.

Rumah mereka pun ditata aneh. Di ruang tamu, terpajang sebuah lukisan besar alam pemandangan perkuburan di lereng gunung yang meneekam. Di sepanjang rak bufet, berderet koleksi tengkorak milik Pak Gali. Sementara jendelajendela besar itu ditutup gorden yang terbuat dari kain kafan bekas orang meninggal.

Drakuli sendiri punya puluhan gigi orang mati yang diawetkan dan tersimpan rapi di laci meja belajarnya.

O ya, ibunya Drakuli yang cantik, meninggal waktu melahirkan Drakuli dan dikubur pas di belakang pintu rumahnya.

Kata Pak Gali, "Biar kalo mo ziarah nggak jauh-jauh."

Drakuli sebenernya punya tampang yang lumayan kece. Hanya karena rambutnya yang lebat dan agak berantakan males disisir, jadinya terkesan serem. Belum lagi alisnya yang tebal, warisan bapaknya. Ibunya yang cantik, konon, emang hasil gombalnya Pak Gali yang playboy. Dan kecantikan ibunya, nurun ke Drakuli. Ibunya pernah jadi kembang di kampung Betawi situ. Sayang, meninggal pada usia yang amat muda.

Dan kenapa anaknya dinamakan Drakuli? Dulu waktu ibunya hamil, pernah ngidam pengen nonton film Drakula, tapi belum kesampaian. Makanya anaknya dinamakan Drakuli Dul Somad bin Gali Dul Somad.

Sudah sejak kecil Drakuli selalu bermain-main di kuburan. Masa kecilnya memang nggak jauh dari suasana seperti itu. Misalnya kalo main petak umpet sama teman-temannya, Drakuli sering nekat masuk ke dalam kuburan, dengan menggalinya lebih dulu, biar nggak mudah kena. Kadang emang sampai dua hari ia nggak ketemu-ketemu.

Dan setelah besar, kalo pikiran lagi suntuk, Drakuli sering jalan-jalan cari angin ke kuburan malam-malam Atau membaca buku-buku cerita sambil tidur-tiduran di atas kuburan. Ditemani lilin kecil yang diletakkan di atas batu nisan. Itu ia lakukan di tengah malam. Makanya jangan heran kalo tingkahnya itu sering memaneing rasa terkejut orang-orang yang kebetulan lewat situ. Hingga lari terbirit-birit. Dikira anak setan.

Selera bacanya juga cukup bikin jantung copot. Buku Frankenstein karya Mary Shelley adalah favoritnya. Ia udah baca ulang berkali-kali. dan nggak pernah bosen.

Pernah juga ada anak-anak badung ngajak duel Drakuli. Drakuli dikeroyok dan dikejar-kejar sampai ke kuburan dekat rumahnya. Tapi Drakuli tiba-tiba menghilang. Ya, dia ngumpet ke salah satu lubang kuburan yang sengaja disiapkan Babenya untuk jaga-jaga kalo ada pesanan mendadak. Diem-diem ia memakai sobekan-sobekan kafan bekas, dan muneul dengan tiba-tiba di hadapan anak-anak itu.

Kontan anak-anak badung itu ngibrit dan nggak balik-balik!

***

Malam ini, barangkali sudah cukup penat dia membaca. Drakuli duduk-duduk di bawah pohon kamboja yang pernah dipake bunuh diri tetangganya.

Drakuli memang lagi dirundung sedih. Sebabnya ia sudah tiga bulan gak bayaran sekolali. Emang sih, akhir-akhir ini objekan babenya lagi sepi. Paling kalo ada yang sakit, cuma gatel-gatel sama masuk angin doang.

Minggu kemarin ada tetangga Pak Gali di ujung gang yang sakit parah. Wah, Pak Gali udah girang banget. Tapi pas ditanya tentang kabar orang tersebut, ternyata sakitnya udah mendingan.

"Yaaa, kok mendingan?" ujarnya kecewa tentu, tanpa sadar. Dan jelas membuat semua orang menatap heran ke arahnya.

Dan Drakuli tetap tak mau tau. Ia terus merengek-rengek minta uang sekolah.

"Be, bayaran, dong. Kan udah tiga bulan nunggak."

"Sabar, Drak," ujar babenya yang biar galak tapi sayang banget sama anaknya. "Lo kan tau sendiri, kalo orang-orang di sini pada sehat semua? Order Babe lagi sepi. Sewa tanah bulan lalu kan abis buat bayar utang Babe." 'Tapi saya jadi malu sekolah, Be,"

Naaa, kalo lo tau begitu, bantuin Babe cari order. Lo tanyain kek sama temen-temen sekolah lo. Kali-kali aja ada yang sakit. Biar deh, buat anak sekolah Babe kasih korting lima puluh persen!

"Ah, enggak enak, Be. Kesannya gimanaaa, gitu. Ntar dikira saya makan temen lagi."

"Kalo gitu terserah, deh. Lo doain aja minggu-minggu ini ada yang mati, biar lo bisa bayaran kolah." "Ah, Babe!"

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience