Bab 1 - Seraut Wajah Asing

Fantasy Completed 72603

Siapakah dia yang melangkah gemulai di antara langkah-langkah bergegas orang-orang dalam hiruk-pikuk pelabuhan?

Arnold tersihir oleh wajahnya. Seraut wajah yang sangat berbeda dengan semua wajah perempuan Papua. Seraut wajah yang sama sekali lain dibandingkan wajah Sonia.

Tidak, aku tak bermaksud mengatakan Sonia tidak cantik.

Sonia tetap seorang perempuan remaja Papua yang cantik. Rambutnya yang keriwil, kulitnya yang hitam, matanya yang tajam, bibirnya yang merekah, semuanya tetap memesona banyak anak lelaki di kelas Arnold.

Perempuan itu, yang melangkah gemulai di antara langkah bergegas orang-orang Papua, berkulit putih mulus. Wajahnya secantik bintang film. Bibirnya merah

jambu tanpa polesan lipstik. Rambut lurusnya dipotong pendek sampai tengkuk dan lehernya yang jenjang terlihat berkilau dalam terik siang itu. Matanya

bening dan membuat Arnold terpana saat sekilas beradu pandang dengannya. Ada duka di matanya. Ada duka yang begitu mengharu biru perasaan Arnold.

Detik itu, detik matanya menatap mata Arnold, Arnold disergap oleh sebuah keinginan yang begitu kuat untuk menciumnya. Ya, Arnold ingin sekali menciumnya

saat itu juga, di pelabuhan yang dipenuhi manusia. Arnold ingin berlari menghampirinya, lalu memeluk dan menciumnya. Arnold ingin menciumnya di bawah langit

biru yang bersinar cerah. Di antara teriakan orang-orang yang saling melepas rindu. Aku ingin menghapus duka yang kulihat di matanya yang bening. Tetapi

orang-orang menghilangkannya dari pandangan. Orang-orang yang bergegas. Arnold tak tahu mengapa orang-orang lebih bergegas dari biasanya. Arnold hanya bisa merasakan ada sesuatu yang bergegas dalam kehidupan orang-orang dewasa.

Aku mendengar lagu-lagu bernada heroik terus didendangkan. Aku mendengar pidato-pidato. Aku melihat barisan orang bergerak. Aku melihat kerumunan massa

di alun-alun. Aku merasakan kegairahan dan semangat. Aku merasakan sesuatu yang tidak kumengerti. Sama seperti ketika aku merasakan keinginan untuk mencium

perempuan yang melangkah gemulai dengan duka di matanya itu. Aku tidak mengerti mengapa aku tiba-tiba ingin menciumnya. Ya, Tuhan, tolong aku....

Di usianya yang 15 tahun, Arnold bahkan belum pernah sungguh-sungguh merasakan sebuah ciuman. Arnold tidak pernah berciuman dengan perempuan seusianya.

Ia baru merasakan ciuman kasih sayang dari mamanya. Arnold tidak tahu rasa berciuman yang sesungguhnya. Ciuman yang sungguh-sungguh ciuman. Ciuman seorang lelaki pada seorang perempuan.

Seperti apakah rasanya?

"Arnold!"

Arnold tidak menoleh mendengar suara Sonia memanggil. Tiba-tiba ia jengkel dan ingin marah pada Sonia yang membuyarkan pikiran dan lamunannya tentang ciuman.

"Arnoolldd!!"

Arnold tetap tidak menoleh. Ia malah mulai berlari menjauh dari suara Sonia yang mengejarnya. Ia ingat, hari ini mereka memang janji lari bersama di stadion sepulang sekolah. Hampir setiap hari sepulang sekolah Arnold berlari keliling stadion, sebagian besar bersama Sonia.

"Arnold, kamu kenapa?"

Sonia menatapnya sambil berlari di samping Arnold. Napasnya memburu satu-satu. Terengah-engah dan seperti mau putus. Jelas ia juga sangat jengkel dan heran terhadap sikap Arnold. Matanya yang tajam meminta penjelasan dan tak bisa menyembunyikan kemarahannya. "Kamu kenapa, Arnold?!" Kenapa aku?

Pertanyaan ini sungguh menohok ulu hati Arnold. Menghunjam seperti ribuan mata bor yang merajam tanah Papua setiap hari dan mengambil apa-apa yang tersimpan

di dalamnya sebagai kekayaan alam. Tetapi mengapa masih begitu banyak orang Papua yang miskin dan tidak ikut menjadi kaya? Arnold tidak tahu. Pertanyaan

ini kerap menyelinap di otaknya, tetapi ia tak pernah mencoba mencari jawabannya secara sungguh-sungguh. Arnold merasa otaknya masih terlalu polos untuk mampu menjawab pertanyaan itu.

"Arnold! Jawab aku! Jangan diam saja kamu!"

"Aku tak apa-apa. Sudahlah!"

"Arnoldd!"

"Aku tak apa-apa, Sonia! Aku hanya malas bicara saja! Sudahlah, kau pulang saja dulu!"

"Arnold!"

Arnold mempercepat laju larinya, dan segera meninggalkan Sonia yang terengah-engah kehabisan napas di belakang.

Di mana perempuan cantik berkulit putih mulus itu?

Dan ia terus berlari menjauh meninggalkan Sonia yang terkulai lemas di belakangnya. Di kepalanya, wajah perempuan cantik itu terus melekat dan tumbuh membesar sampai memenuhi diri Arnold.

+++

Sonia benar-benar marah. Ia tersinggung oleh sikap Arnold yang tiba-tiba mengacuhkan dirinya. Sebuah perubahan yang terlalu tiba-tiba. Sangat mengherankan

dan membuat Sonia tak habis pikir. Arnold yang biasanya ramah dan menyenangkan, tiba-tiba saja menjadi Arnold yang menyebalkan dan menjengkelkan.

Salah apa aku?

Kesurupan apa Arnold sampai tega menyakiti hatiku?

Sonia mengatur napasnya sambil menjatuhkan diri di pinggiran stadion. Perasaannya galau. Kegalauan yang lebih buruk dibandingkan dengan semua kegalauan

yang pernah dirasakannya. Biasanya, setiap kali merasa galau, Sonia menumpahkannya dengan menulis puisi. Banyak sudah puisi ditulisnya, hasil dari beragam

kegalauan yang mendera hati dan jiwanya. Kegalauan Sonia bisa dipicu oleh apa saja yang terjadi di sekelilingnya, oleh apa saja yang didengar dan dilihatnya.

Berita di koran-koran yang dibacanya atau buku-buku yang dipinjamnya dari perpustakaan gereja juga bisa membuat Sonia galau dan menulis banyak puisi.

Puisi bagi Sonia adalah sumber kehidupan. Puisilah yang memungkinkannya menjalani hari-hari yang kerap menyuguhkan peristiwa tak terduga. Seperti hari ini.

Perubahan sikap Arnold sungguh sebuah peristiwa tak terduga yang sangat sulit dipahami dan diterima hatinya. Dan karena itu Sonia ragu, masih mampukah

puisi menjadi sumber kekuatan untuk memahami dan menerima peristiwa itu? Masih mampukah penanya bergerak menumpahkan kegalauan hatinya, mengukir bait-bait puisi yang menyentuh jiwa?

Biasanya, Sonia tak pernah ragu. Ia bisa menulis puisi tentang apa saja. Ia menulis tentang orang-orang yang berdoa di gereja. Ia menulis puisi tentang

orang-orang yang menangis di pemakaman. Ia menulis tentang kemarahan orang-orang yang kehilangan, tentang orang-orang yang kecewa dan kehilangan harapan.

Tetapi semua puisi itu adalah tentang orang lain. Tentang keadaan di sekelilingnya di mana ia menjadi bagian dari keadaan itu. Tentang hutan-hutan yang

hanya ada di Papua, seperti hutan mangrove, hutan rawa, hutan sagu, savana, atau hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan dataran tinggi, yang semuanya semakin hari semakin terancam punah keberadaannya.

Sonia sangat menyukai hutan-hutan di tanah kelahirannya, terutama hutan mangrove atau hutan tumbuhan bakau yang merupakan perpaduan antara ekosistem lautan

dan daratan yang berkembang di pantai-pantai yang landai, muara sungai, dan teluk yang terlindung dari empasan gelombang laut. Hutan-hutan itu seperti

Arnold di hatinya. Memberi keteduhan dan kedamaian. Tetapi mengapa tiba-tiba Arnold berubah menjadi terik matahari yang menyengatnya begitu tajam? Padahal

sebagai hutan mangrove, Arnold seharusnya menjadi penahan ombak, penahan angin, pengendali banjir, dan bahkan penetralisir pencemaran.

Arnold…, ada apa denganmu, hutan mangrove di hatiku?

Angin apa yang membuatmu kehilangan semua kehangatan dan kesejukan dari mange-mange?

Sonia memaksa bangun dari duduknya dan mulai berjalan menyusuri pinggiran stadion sambil menundukkan wajahnya. Tak dilihatnya jejak-jejak langkah mereka

berdua yang sudah ratusan kali mengelilingi stadion. Melewatkan siang menjelang sore yang meskipun masih panas tetapi tak terasakan olehnya.

Ke mana semua jejak itu?

Sonia mencoba meyakinkan diri; semua akan segera kembali seperti semula. Seperti sediakala. Seperti sore-sore kemarin yang indah dan menyenangkan. Penuh tawa dan keriangan.

Ya, semua pasti akan kembali seperti sediakala. Dan ia pun mulai melangkahkan kakinya dengan ringan.

+++

Arnold kembali melihat wajah cantik perempuan berkulit putih itu beberapa hari kemudian. Kali ini dari jarak yang lebih dekat, jadi Arnold bisa melihat

jelas kelembutan kulitnya, juga duka yang masih mengambang di matanya. Matanya menatap sendu salib besar di atas altar, kedua tangannya menggenggam rosario dengan posisi berdoa yang khusyuk.

Tidak ada misa hari ini.

Arnold bertugas setiap hari untuk mengurus gereja dan membantu pastor melakukan segala tugasnya. Sonia juga membantu di gereja untuk tugas yang sama. Arnold memang selalu bersama Sonia. Di sekolah, keduanya menjadi murid yang pintar. Arnold ganteng, Sonia cantik. Pasangan yang ideal. Tetapi kali ini Arnold sama sekali tak ingat Sonia. Hatinya tersita oleh perempuan kulit putih yang sudah jauh lebih dewasa dari dirinya itu.

Sembunyi-sembunyi, ia terus memerhatikan wajah perempuan itu sambil pura-pura membersihkan debu di deretan bangku panjang di sampingnya. Arnold benar-benar

tersihir oleh wajahnya yang bercahaya, memancarkan segala pesona yang membuatnya mematung. Perlahan dari mata perempuan itu menetes sebutir air mata bening,

lalu setetes lagi, dan setetes lagi. Air mata itu bergulir di pipi mulusnya, melewati ujung bibir, dagu, dan meluncur ke lantai gereja yang dingin. "Aduh!"

Tanpa sadar Arnold mengaduh pelan. Tulang keringnya terbentur bantalan kayu tempat berlutut.

Perempuan itu menoleh kaget mendengar suara Arnold, dan langsung bangkit dari posisi berlututnya lalu bergegas pergi tanpa melihat lagi. Ia membiarkan sisa

air matanya membekas di pipi. Mungkin ia tak suka mendapati seseorang memerhatikan dirinya diam-diam. Mungkin ia sengaja datang ke gereja pada hari biasa dan saat tidak ada misa agar tak seorang pun melihatnya berbicara dengan Tuhan. Banyak orang melakukan hal itu. Datang ke gereja di saat tak ada seorang pun. Datang untuk menyendiri dan berbicara empat mata dengan Tuhan.

Arnold tertunduk malu dan tak berani mengangkat wajah ketika perempuan itu meliriknya. Rasanya seperti ketahuan berbuat dosa, seperti ketahuan baca buku

atau majalah porno yang menyajikan gambar-gambar perempuan telanjang. Malu. Arnold membuang pandangan ke arah tempatnya tadi berlutut dan berdoa.

"Tungguu!"

Arnold mencoba memanggilnya dengan suara tertahan begitu melihat rosarionya tergeletak di bangku. Tetapi suaranya terlalu lirih dan langkah-langkah perempuan

itu terlalu cepat. Ia sudah berada di luar pintu gereja dan terus melangkah cepat meninggalkan Arnold. Hanya lambaian gaun putihnya yang berkelebat sebelum sosoknya menghilang dari pandangan Arnold.

Arnold mengambil rosarionya dan segera berlari keluar gereja untuk mengejarnya. Tetapi terlambat. Ia hanya melihat sepi di halaman gereja, serta daun-daun

yang berserakan di tanah. Daun-daun yang setiap hari disapu Arnold, kadang banyak kadang sedikit, tergantung seberapa kencang angin menggetarkan ranting-ranting dan menggugurkan dedaunan.

Ke mana dia?

Arnold memicingkan mata untuk menjangkau jarak pandang yang lebih jauh lagi. Tangannya memainkan rosario kecil yang ditinggalkan perempuan itu. Sebuah rosario

dengan salib kayu polos, tanpa Yesus yang disalib di atasnya. Butiran tasbihnya terbuat dari kayu juga. Mungkin kayu cendana karena baunya harum. Tetapi,

dilihat dari warnanya yang kehitam-hitaman, mungkin dari kayu besi yang khas Papua. Harumnya mungkin adalah harum aroma perempuan itu.

"Arnold!"

Sebuah suara empuk dan berat memanggilnya. Suara Pastor Frans. Suara yang akrab di telinga Arnold sejak ia masih duduk di bangku SD, selain suara ayahnya,

Berthold, dan ibunya, Agnes. Suara-suara merekalah yang terus mengiringi Arnold hari demi hari. Suara-suara itu seperti siaran radio yang terus memberitakan semua peristiwa. Semua peristiwa yang terus terjadi setiap hari.

"Arnold, pulanglah dulu. Hari sudah menjelang sore."

"Baik, Pastor."

Arnold berbalik memasuki gereja dengan wajah murung. Pikirannya galau diombang-ambingkan ketidakmengertian akan perasaannya.

"Kamu kenapa, Arnold? Sakit?"

"Ee..., tidak..., Pastor...."

"Kenapa wajahmu tidak bersemangat seperti itu?"

"Tidak, tidak apa...."

"Ya, syukurlah kalau begitu. Sekarang pulanglah dulu, kamu."

"Ya, saya pulang dulu."

Arnold melangkah cepat sepanjang jalan menuju rumahnya. Orang-orang memenuhi jalanan, membuatnya cemas. Ia merasa akan ada sesuatu yang kurang baik terjadi.

Barisan Satuan Tugas (satgas) Papua yang berseragam hitam-hitam tidak membuat Arnold merasa aman atau tenang. Sebaliknya, ia malah merasa seram melihat barisan itu memenuhi jalanan.

Selama beberapa hari ini pun, Arnold melihat dan merasakan ayah-ibunya tampak tegang. Setiap hari mereka mendengarkan berita di radio dan menonton tayangan

berita di televisi. Berita-berita tentang otonomi daerah Papua dan pengibaran bendera Papua selalu didengarkan dengan serius oleh ayah-ibunya. Dan mungkin

oleh semua penduduk Papua lainnya. Menurut ayahnya, ia harus selalu ikut mendengarkan dan memerhatikan apa yang tengah terjadi di tanahnya.

"Sebagai anak muda kamu harus punya kepedulian, Arnold," ujar ayahnya dalam beberapa kesempatan berbeda,

"Kepedulian anak muda seperti kamulah modal utama untuk memperbaiki masa depan."

Arnold hanya mengangguk. Ia sudah sangat terbiasa menerima pelajaran, nasihat, wejangan, dan kata-kata bijak dalam setiap obrolan dengan ayahnya. Kerap

ia merasa bosan, tetapi ia sangat menghormati ayahnya. Arnold tetap berusaha mendengar dan mencerna baik-baik setiap nasihat ayahnya. Meskipun ada saat

di mana Arnold benar-benar tidak ingin mendengar nasihat, tetapi ia tetap berusaha. Sesekali ia menghindar dengan cara mengurung diri di kamarnya yang

sempit sepanjang sore hingga esok harinya. Pura-pura tidur dengan resiko kelaparan karena tidak makan malam bersama ayah-ibunya.

Ayahnya, Berthold, adalah seorang guru. Ia selalu menjadi seorang guru dalam setiap kesempatan. Tidak hanya ketika berada di kelas dan mengajar sejumlah murid. Berthold, ayahnya, selalu mengajarkan apa saja setiap waktu. Pada siapa saja, tetapi terutama pada dirinya. Ayahnya, seperti kebanyakan lelaki Papua,

berkulit hitam legam dengan rambut keriting kecil, hidung mancung dan bibir tebal. Alisnya juga tebal, melindungi matanya yang tajam ketika menatap siapa

pun. Ibunya, Agnes, bagi Arnold adalah perempuan Papua yang paling cantik. Kulitnya tidak sehitam kulit perempuan Papua pada umumnya, rambutnya tergerai

panjang dan lebih terlihat mengombak daripada keriting. Wajahnya oval dengan kedua pipi yang halus, bibir yang merekah, dan mata yang lembut.

Itulah ibunya.

Ialah satu-satunya perempuan yang selalu menciuminya dengan penuh kasih sayang.

Arnold mempercepat langkahnya sampai setengah berlari. Beberapa truk beriringan mengangkut orang dengan berbagai kostum, bendera Papua, spanduk, alat musik, dan ada juga yang membawa panah dan busurnya. Mereka semua menuju ke alun-alun kota. Mereka bernyanyi. Mereka memainkan musik. Mereka menari. Semuanya dengan semangat yang sama. Rombongan orang yang berjalan kaki memenuhi hampir seluruh jalanan.

Sebagian besar orang membawa poster Theys Hiyo Eluay. Poster wajah Theys yang tersenyum lebar, bertopi burung kasuari, mengenakan kaos bergambar dirinya

dan bendera Papua. Arnold melihat poster itu tertempel di mana-mana. Ayahnya juga memasangnya di dinding rumah mereka yang sederhana, tak jauh dari Bukit Salib yang terkenal.

Di koran-koran, Arnold banyak membaca tentang Theys Hiyo Eluay. Koran dua hari lalu yang dibeli ibunya di pasar menulis:

"Theys adalah seorang pemimpin politik dari masyarakat yang menuntut kemerdekaan atas wilayahnya yang menjadi buah bibir masyarakat internasional sehubungan dengan kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh oknum penguasa...." Arnold tak ingat kelanjutannya.

+++

Kasih, perempuan berkulit putih itu merebahkan tubuhnya dan mulai membaca catatannya:

28 Mei 2000

Theys Hiyo Eluay menggelar Kongres Rakyat Papua (KRP) II sebagai kelanjutan dari Musyarawah Besar Rakyat Papua yang diselenggarakan oleh tokoh adat, intelektual,

tokoh perempuan, dan tokoh pemuda dari seluruh wilayah Papua Barat. Dalam musyawarah besar ini, Theys dan

Thom Beanal diangkat sebagai Pemimpin Besar Bangsa

Papua dalam wadah Presidium Papua. Sebelumnya, pada tanggal 1 Desember 1999, sekitar 20.000 orang Papua di Port Numbay berpawai merayakan HUT Kemerdekaan Papua Barat, atas perintah Theys.

Juni 2000

Wakil Presiden Megawati yang diberi tugas untuk menyelesaikan masalah konflik Papua Barat-NKRI, memperoleh

"kesan kuat" tentang keinginan merdeka rakyat

Papua di berbagai tempat yang dikunjunginya. Hasil kunjungan Megawati menjadi topik bahasan yang disampaikan kepada Muspida Propinsi Tingkat I Papua di Jayapura.

September 2000

Theys Hiyo Eluay memimpin delegasi Papua Barat yang bergabung bersama pemimpin negara-negara Forum Pasifik

Selatan dan hadir dalam KTT Milenium (Millenium

Summit) PBB di New York, Amerika Serikat. Sebelumnya, pada bulan Agustus, Theys juga memimpin delegasi Papua Barat menghadiri Konferensi Forum Pasifik Selatan, sebagai peninjau di Vanuatu....

Oktober 2000

Menanggapi paksaan pemerintah untuk menurunkan bendera Bintang Kejora tanpa syarat, dan mendengar bahwa Theys mengijinkan penurunan bendera itu, masyarakat

koteka se-Numbay melakukan unjuk rasa besar melawan keputusan Theys di Pendopo Theys Eluay Jl. Bestuur, Sentani. Mereka menantang Theys untuk tidak mundur karena ancaman dari mana pun.

Theys menjawab: "Bintang Kejora ini berkibar di atas tanah airnya sendiri, bukan berkibar di Jawa atau di mana pun.

Kalau pemerintah mau menurunkan bendera

ini, mereka harus tembak saya dulu. Nanti tali bendera ini ikatkan ke perut Bapa, baru bendera dinaikkan...."

6 Oktober 2000

.... lebih dari 30 orang mati dalam perang antara penduduk asli dan penduduk pendatang di Wamena yang diprovokasi oleh oknum aparat keamanan di Wamena sendiri, konon oleh kapolresnya....

Pada bulan Oktober juga, sebuah universitas terkemuka di Amerika yang berlokasi di Hawaii menawarkan gelar

Honoris Causa di bidang Penegakan Hak-Hak Masyarakat

Pribumi kepada Theys Hiyo Eluay. Tetapi Theys menolak dengan alasan, ia belum menuntaskan pekerjaan dan beban yang diamanatkan rakyat Papua.

Kasih menghela napas. Wajahnya yang disaput duka tampak bersinar sesaat. Ada kekaguman yang tebersit di matanya ketika membaca pernyataan Theys yang dikutipnya dari koran. Ia membuka halaman baru yang masih kosong dari buku catatannya, dan mulai menulis:

"... Mengapa orang harus saling bertikai? Keserakahankah? Mengapa perbedaan warna kulit, agama, atau suku, harus memecah belah suatu bangsa? Aku orang asing

di tanah ini karena aku berkulit putih, tetapi aku tidak merasa asing. Aku mencintai tanah Papua karena keindahannya, aku mencintai orang-orang Papua karena kebudayaannya..., salahkah? Aku merasakan apa yang mereka rasakan, aku mengerti apa yang mereka pikirkan.... Tidakkah ini cukup?

Aku sungguh tak mengerti. Aku sedih melihat semua yang terjadi di tanah Papua saat ini. Aku merasa ikut berdosa karena kulitku putih..., ya Tuhan Yesus

Kristus, Bunda Maria, tolong aku.... Sejak meneliti hutan-hutan bakau di tanah Papua tiga tahun lamanya, aku merasa menemukan diriku, menemukan kedamaian,

tetapi kini kedamaian itu terancam hancur berkeping-keping. Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab untuk semua ini? Politik? Kekuasaan? Uang? Aku

tidak bisa menerima, aku tidak bisa mengerti!! Apa yang harus kuperbuat? Apa yang bisa kulakukan? Berilah aku petunjuk-Mu.... Aku merasa sangat tidak berdaya saat ini, Tuhan...."

Kasih membalikkan tubuhnya, telentang menghadap langit-langit kamar. Sepi. Sedih.

Sayup-sayup debur ombak dari dermaga menggelitik pendengarannya, seakan mencoba menghiburnya. Kasih memejamkan mata, mencoba menajamkan pendengaran dan membiarkan dirinya hanyut dalam suara sayup-sayup itu. Suara yang begitu mistis.

Sejak mengabdikan dirinya sebagai seorang peneliti di Papua, Kasih merasa jatuh cinta pada alam, budaya, dan orangorang Papua. Ia selalu kembali dan kembali.

Ia selalu kembali meskipun harga yang harus dibayarnya teramat mahalaman Kasih harus merelakan diri kehilangan kekasihnya. Kasih harus merelakan diri kehilangan jabatan dan karir di perusahaan ayahnya.

Ia melanjutkan tulisannya:

"Mengapa? Mengapa orang-orang tidak bisa memahamiku? Apakah yang aneh dari diriku? Apakah aneh bila aku jatuh cinta pada tanah ini? Mengapa semua harus

disikapi sebagai pertentangan? Bukankah semua agama mengajarkan pada manusia untuk saling mengasihi? Ibu memberiku nama Kasih agar aku mengasihi sesama

manusia tanpa memandang segala macam perbedaan.... Seperti Yesus mengasihi Maria Magdalena meski dia pelacur sekalipun...."

Kasih menutup buku catatannya dan mulai memejamkan mata. Panas yang menyengat membuatnya mengantuk.

Aneh memang.

Tetapi bagi Kasih, hal itu berarti ia telah menyatu dengan iklim Papua. Telah menyatu dengan panas teriknya yang khas.

Yah, ia memang telah menyatu dengan udara yang dihirupnya di tanah Papua. Ia telah menjadi orang Papua, meski kulitnya tetap putih.

Salahkah dirinya??

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience