Bab 3 - Pelajar Yang Tak Usai

Fantasy Completed 72603

"Kecamatan Bintuni memiliki luas wilayah sekitar 3200 kilometer persegi atau sekitar 8% wilayah Kecamatan Manokwari. Daerah ini berkembang sejak masa pendudukan

Belanda. Pemukiman penduduk membentang sepanjang pinggiran sungai dan perbukitan, dihuni oleh beberapa kelompok masyarakat berdasarkan kesukuan. Daerah

paling timur atau yang biasa disebut Kilo 14 adalah daerah pemukiman transmigrasi, sedangkan di wilayah barat yang kita kenal sebagai Kali Kodok dihuni oleh masyarakat dari suku Soub."

Berthold mengambil napas sambil memerhatikan murid-murid yang biasanya nakal. Semua tampak tenang dan memerhatikan. Berthold melanjutkan lagi pelajaran Geografi-nya.

"Pusat kota atau Kilo 1 dihuni oleh warga masyarakat suku Irarotu dan Sebiyar yang tinggal secara berkelompok. Pada

Kilo 2, kelompok masyarakat suku Wamesa

dan Ayamaru-lah yang mendominasi wilayah tersebut. Selain dua suku itu ada juga suku Sebiyar dan Irarotu. Daerah ini biasa kita kenal dengan sebutan Steenkool,

di mana terdapat Bandara Bintuni yang sudah tidak dipakai lagi sejak tahun 1998. Selebihnya, selain masyarakat asli Teluk Bintuni, kota kecamatan Bintuni

juga dihuni oleh pendatang dari beberapa etnis, antara lain Bugis, Cina, dan Jawa. Mereka umumnya bermukim di wilayah Kilo 1 dan Kilo 2...."

Sementara Berthold mengajar di ruang kelas, jalanan mulai dipenuhi oleh para pengunjuk rasa. Teriakan-teriakan para pengunjuk rasa yang memprotes penahanan

Theys Hiyo Eluay, masuk ke ruang kelas tempat Berthold mengajar.

"Anak-anak, cukup pelajaran untuk hari ini. Kalian pulanglah dan jangan berkeliaran di jalanan." Berthold mengakhiri pelajarannya.

Ia bergegas pulang begitu anak-anak meninggalkan kelas.

+++

Di sebuah kafe tak jauh dari sekolah, Sonia memasuki kafe dan bergabung dengan Arnold yang sudah menunggunya cukup lama. Seorang pelayan menghampiri mereka.

"Pesan apa?"

"Ini..," Arnold menunjuk tulisan milkshake yang ada dalam daftar menu.

"Kamu?"

"Kopi..., eh tunggu!"

"Kenapa?"

"Susu coklat saja, jangan kopi...," Sonia meralat pesanannya.

Kopi membawa pikirannya pada kata ‘hitam’, satu kata yang tengah sangat dibencinya.

Pelayan memandang Sonia dengan wajah heran. Tetapi ia kemudian mengangkat bahu dan segera berbalik meninggalkan Sonia dan Arnold.

"Kenapa tak jadi pesan kopi?"

"Ee..., lagi males minum kopi. Kamu sendiri kenapa tak minum kopi?"

"Aku ingin coba yang baru," jawab Arnold pendek.

"Huh, semua lelaki Papua seperti itu! Kalau sudah lulus SMU, pasti akan kuliah di Jawa, meninggalkan tanahnya dan tak suka lagi pada apa-apa yang ‘hitam’!"

"Tidak semua seperti itu."

"Kamu?"

Arnold diam tak menjawab. Pikirannya melayang pada wajah cantik perempuan kulit putih yang ia tak tahu namanya.

"Bagaimana dengan kamu, Arnold? Apakah kamu juga akan seperti itu? Pergi kuliah ke Jawa dan tak suka lagi pada apa-apa yang ‘hitam’?"

Pelayan datang membawa pesanan Arnold dan Sonia. Arnold mengaduk-aduk milkshake-nya dan menyeruput sedikit.

"Sonia..."

"...."

Sonia menatap heran Arnold yang mendekatkan wajah pada wajahnya. Arnold mendekat dan berbisik di telinganya. "Aku ingin sekali berciuman...."

Sonia tersipu dan hatinya tiba-tiba berbunga-bunga.

"... hmm, aneh...."

"Apa yang aneh, Sonia? Apa anehnya kalau aku ingin sekali berciuman?"

"... hmm, kamu... kamu ingin menciumku?"

Arnold menjauhkan bibirnya dari telinga Sonia, kembali ke posisi semula. Ia menyeruput lagi milkshake-nya.

"Arnold?!"

Arnold diam tak menjawab.

Sonia yang tadi sempat sesaat merasa berbunga-bunga, langsung tersinggung karena Arnold tak menjawab pertanyaan yang susah payah dikeluarkan dari mulutnya itu. Wajahnya merengut marah.

"Oo, aku tahu, kamu ingin berciuman dengan wanita dewasa berkulit putih itu, ya? Hati-hati Arnold, kamu belum cukup dewasa untuk berciuman dengan perempuan

itu, kamu jangan mimpi, Arnold! Kamu jangan menipu dirimu sendiri, Arnold. Itu sama saja dengan munafik!"

"...."

Arnold merasa serba salah.

Kikuk.

Bagaimanapun ia tak pernah bermaksud menyinggung perasaan Sonia. Bagaimanapun, ia tetap menyukai Sonia sebagai teman dekat yang baik dan menyenangkan.

Keduanya lalu membisu di tengah keriuhan orang-orang yang bergerak ke pusat kota membawa spanduk, poster, dan alat-alat musik. Banyak juga yang mewakili

suku-suku tertentu dengan berpakaian adat lengkap. Riasan di wajah mereka sepertinya adalah riasan untuk para pejuang.

+++

malam yang hitam kelam (Sonia mencoret kata ‘hitam’) aku hidup di lorong hitam

(Sonia mencoret kata ‘hitam’ lagi dan menggantinya dengan kata ‘gelap’) terdengar ada kekecewaan yang mengaduh, entah siapa memukul jalanku hitam

(Sonia mencoret lagi ‘hitam’ dan menggantinya dengan ‘sempit’)

jalan tak punya arah kembali kecuali padamu yang kini memutih, putih, putih, putih!

Sebuah gelas jatuh, pecah di hatiku.

Dari jendela seseorang memandang keluar.

Peluit berbunyi. Kapal berlayar.

Engkau mata kail dan aku seekor ikan.

Dan darah hitam

(‘hitam’ dicoret lagi, diganti ‘merah’) berjejak di tengah laut....

Sonia membaca kembali puisinya. Malam semakin larut, tetapi pikirannya masih nyalang dan mengenyahkan kantuk yang biasanya sudah menyergap.

Apa yang akan terjadi esok?

Mengapa malam terasa begitu kelam?

Begitu gelap?

+++

Kasih menulis di buku catatannya.

"Setelah pengakuan dosa, aku memang merasa lebih tenang. Aku merasa terlepas dari beban rasa bersalah yang menghantui diriku. Tetapi mengapa aku tetap merasakan

adanya kekhawatiran yang dalam? Aku masih ingat seorang Perwira TNI di Jakarta, sekitar bulan September 2000, menyatakan menyesal telah memberikan dana

pada Theys dengan tujuan menampung aspirasi Papua Barat, karena ternyata justru mengobarkan aspirasi api perjuangan kemerdekaan Papua Barat...."

Kasih berhenti menulis sesaat. Menggigit-gigit ujung pulpennya dengan kening berkerut. Ia tak paham politik. Ia tak pernah terlibat dengan aktivitas politik apa pun. Ia bahkan tak pernah bergabung dengan lembaga kemahasiswaan apa pun sejak awal kuliah sampai diwisuda. Tetapi kini ia harus mencoba memahami politik yang tengah mengaduk-aduk Papua.

Pelik.

Menurut sebuah buku yang dibacanya, semua yang terjadi di Papua kini, tak dapat dilepaskan dari latar sejarah dan konstelasi politik internasional!

Kasih menulis:

"Politik internasional? Huh, jangankan politik internasional, politik kelurahan pun aku tak paham. Ada banyak hal yang tak bisa kumengerti dalam politik.

Aku tak bisa mengerti mengapa orang harus berebut kekuasaan? Mengapa? Tetapi aku percaya, bahwa masalah Papua Barat bukan melulu masalah demokrasi atau

hak asasi manusia, masalah yang terjadi di Papua adalah sebuah skandal hukum! Dunia Barat (pasti diwakili Amerika), mungkin sekali memang harus bertanggung

jawab atas nasib Papua Barat! Freeport MacMoRan Gold & Copper, Inc. jelas mewakili Amerika. Mereka sudah menandatangani kontrak untuk eksplorasi dan eksploitasi

Papua Barat sejak bulan April 1967! Gila, aku saja baru lahir tiga tahun kemudian! Lalu siapa lagi yang harus bertanggung jawab? Bagaimana dengan Soekarno? Soeharto? Atau pemerintahan sekarang?"

Kasih mengelus dada.

Pelik, sungguh pelik!

Seorang teman Kasih, dosen di Universitas Cenderawasih (yang tak mau disebutkan namanya), pernah mengatakan padanya, bahwa Amerika diberi hak untuk menggali

kekayaan alam Papua Barat dalam jumlah dan batas waktu yang tidak ditentukan, sementara kewajibannya hanya membiayai berjalannya roda pemerintahan Indonesia

di Papua Barat melalui program-program seperti transmigrasi, keluarga berencana, dan program-program pemerintah lainnya yang sebenarnya tidak memihak pada kepentingan orang Papua Barat.

"Itulah akar masalahnya, Sih."

"Hanya itu?"

"Tentu tidak, itu hanya salah satu akar masalah. Masih banyak masalah dan pihak lain yang terlibat dan menjadikan Papua Barat sebagai objek. Sebagai komoditi, tanpa peduli pada kesejahteraan penduduknya."

"Misalnya?"

"Misalnya Belanda juga mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi janji membangun Papua Barat seperti dideklarasikan tahun 1961 saat Kongres Rakyat Papua I.

Melalui United Nations Development Programme (UNDP), Belanda kemudian membentuk Yayasan Kerjasama untuk Pembangunan Irian Jaya, tetapi sampai aku ngomong

ke kamu saat ini, Sih, aku tak tahu apa kiprah yayasan itu...."

"Lalu bagaimana dengan pemerintah Indonesia?"

"Indonesia diberi hak penuh menjadi pengawas politik di tanah Papua Barat. Kewajibannya adalah menjalankan Paket

Otonomi Khusus atau yang biasa disebut

otsus, selama 25 tahun, yaitu sejak 1 Mei 1963 sampai 1 Mei 1988. Kami menyebut periode yang telah berakhir itu sebagai Otsus I di tanah Papua Barat."

"Sekarang?"

"Sekarang? How should I know? Hahaha...."

"Pliss...."

"Aku benar-benar tidak tahu, Sih. Aku hanya belajar sejarah saja, dan sejarah adalah masa lalu. Itu yang aku paham. Masa kini? Sungguh, aku tidak bisa memahaminya sebelum ia menjadi masa lalu."

"Oke, bagaimana dengan kemarin? Seminggu lalu, sebulan lalu, tiga bulan lalu, atau dua tahun lalu?"

"Itu masih masa kini, Sih. Sejarah hanya mempelajari masa lalu, masa puluhan tahun lalu, hahaha."

"Bagaimana dengan sejarah Theys Hiyo Eluay?"

"Sejarah Theys? Hmm...."

"Ayolah..., ceritakan padaku...."

"Bagian apa yang ingin kamu tahu?"

"Seperti biasa, bagian yang tak tertulis."

"Hmm, itu tak banyak...."

"Tak apa, walau sedikit, ceritakanlah padaku."

"Mungkin lain waktu, Sih."

"Pliss...."

"Next time, OK? Aku ada pertemuan satu jam lagi, dan jaraknya cukup jauh dari sini."

Setelah pertemuan itu, Kasih tak pernah bertemu lagi dengan teman dosen sejarah yang tak ingin diketahui namanya itu. Tetapi suatu hari Kasih menerima surat darinya. Ia menulis dalam suratnya:

Sih, aku belum bisa memenuhi janjiku untuk menceritakan sejarah yang tak tertulis tentang Theys Hiyo Eluay yang nama lengkapnya adalah Dortheys Hiyo Eluay.

Aku hanya bisa mengatakan bahwa sosoknya adalah sosok yang unik dan lengkap. Ia bergerak dari satu ujung ke ujung lain seperti arus sejarah yang tak terbendung.

Kiprahnya dimulai sekitar tahun 1969, saat Pepera atau Penentuan Pendapat Rakyat Papua Barat. Saat itu, ia masih menjadi tokoh yang pro integrasi. Bayangkan,

tokoh pro integrasi! Tetapi hukum kehidupan yang menggerakkan sejarah adalah perubahan. Orang memang harus berubah. Dari jahat jadi baik. Dari kecil jadi

besar. Dari kiri menjadi kanan. Itu perubahan-perubahan yang ekstrim, yang tidak ekstrim; dari jahat jadi makin jahat, dari baik jadi makin baik, dari kiri jadi makin kiri....

Sih, maaf, aku tak bisa bercerita banyak. Dan aku akan pergi untuk waktu lama, semoga aku bisa bersurat untukmu.

Lain kali akan kuceritakan lebih banyak lagi.

Salam,

Sahabatmu.

Kasih melipat lagi surat dari sahabatnya itu, dan memasukkan di antara buku catatannya.

Penat.

Pelik.

+++

Agnes menatap cemas suaminya.

"Tidak usah khawatir, Ma."

"Bagaimana aku tidak khawatir, semua tidak jelas, Pa."

"Kita sudah sering menghadapi keadaan seperti ini, kan?"

"Aku tetap sulit menghilangkan kekhawatiranku. Ketidakjelasan selalu menjadi sesuatu yang menakutkan buatku.

Kalau bahaya yang mengancam itu jelas seperti

apa, dari siapa, mungkin aku bisa lebih tenang, tetapi ini? Ahh..., mengapa kamu harus terlibat, Pa?"

Agnes yang pernah menjadi guru honorer Taman Kanak-Kanak yang didirikan sebuah Yayasan Katolik bukanlah perempuan lemah. Ia pernah ditugaskan mengajar di

daerah Babo, ketika daerah itu masih cukup menakutkan. Belum ada listrik, penduduk masih sedikit dan sangat jauh dari keramaian. Babo adalah sebuah pulau

yang dikelilingi perairan sehingga komunikasi ke luar pulau sangat sulit. Tetapi Agnes menghadapi semua kesulitan itu dengan tabah karena keadaannya jelas.

-

Ya, ia hanya butuh kejelasan seperti umumnya perempuan mana pun.

"Kamu tahu kenapa aku harus terlibat, Ma. Kamu tahu kenapa aku tidak bisa berdiam diri. Semua itu sudah jelas buat kamu, kan? Tidakkah kejelasan tentang diriku bisa menenteramkan hatimu?"

"Entah kenapa, aku merasa khawatir sekali. Aku ingin kamu tidak ikut aksi perayaan Papua Merdeka, besok."

"Aku akan menari pakai baju burung. Percayalah, aku akan baik-baik saja. Baju burung itu akan melindungiku, Tuhan akan melindungiku, menjaga dan melindungi kita semua."

"Kuharap begitu...."

"Yakinlah, Ma...."

Berthold memeluk istrinya, mengusap pipinya. Keduanya bertatapan. Mata mereka lekat. Perlahan Berthold mendekatkan wajahnya, mencium kening istrinya, mencium matanya, pipinya.

Agnes memejamkan matanya ketika bibir Berthold mencium bibirnya.

Ia balas mencium.

Berthold melumat bibir istrinya.

Agnes mendesah.

Berthold melenguh.

Angin malam menderu lemah, tak mampu mendinginkan kehangatan ciuman dan birahi yang mulai menggelegak di sebuah rumah sederhana di perbukitan, tak jauh dari Bukit Salib.

+++

Kekacauan mulai terjadi pada hari perayaan Papua Merdeka.

Sebuah truk bak terbuka yang berisi puluhan orang dicegat di sebuah tikungan tak jauh dari rumah Berthold. Segerombolan orang bersenjata balok kayu, golok, parang, dan kapak menyerbu orang-orang di dalam truk.

Teriakan-teriakan panik menggema.

Sebagian orang berhasil meloloskan diri dari serbuan. Melompat dari truk dan lari ke berbagai arah.

Sebagian penyerbu mencoba mengejar.

Orang-orang di dalam truk yang tak sempat meloloskan diri langsung dikerubuti, dihajar dan dibunuh.

Jerit kesakitan melolong jauh sampai ke dalam hutan.

"Aaaaaaaaaa...."

"Aaaaaaaaaaa...."

Berthold menyaksikan kejadian mengerikan itu dari balik rimbun semak belukar. Tubuhnya bergetar menahan marah.

Ia sudah mengenakan pakaian burung kasuari.

Sosoknya terlihat seperti seekor burung kasuari besar, hanya kakinya yang masih kaki manusia.

Dari balik kostum burungnya, air mata Berthold menetes. Hatinya seperti dirobek-robek mendengar lolong kesakitan orang-orang yang menjadi korban penyerbuan itu. Para penyerbu benar-benar manusia kejam, benar-benar para penjagal manusia yang profesional dan tanpa ampun. Mereka menyeringai senang mendengar jerit kesakitan korban-korbannya. Wajah mereka buas. Mata mereka nyalang dan menyorotkan kepuasan saat mengayunkan balok, golok, dan parang ke tubuh korbannya.

Mengerikan.

Mengapa pagi ini yang indah ini harus dinodai darah dan jerit kesakitan?

Berthold berada sekitar 100 meter di belakang truk yang diserbu. Ia mengendarai Vespa, membonceng seorang teman yang biasa mengantarnya ke mana-mana. Ia

sudah mengenakan pakaian burung saat berboncengan. Temannya yang mengemudikan Vespa langsung menjatuhkan motor dan mengajaknya berlari. Ia berlari cepat,

Berthold tak bisa mengikutinya karena pakaian burung yang cukup berat.

Berthold memutuskan untuk bersembunyi di balik semak belukar dan menyaksikan semua detail kejadian mengerikan itu. Beberapa orang penyerbu yang mengejar

korbannya sempat melintas tak jauh dari tempat persembunyiannya, tetapi mereka melewatinya karena Berthold benarbenar terlihat seperti seekor burung di antara rerimbunan semak belukar.

"Sialan! Mereka lolos!"

"Kejar terus! Habisi mereka semua!"

"Ayoo!!"

Lalu mereka mulai menyebar, menjauh dari semak belukar tempat persembunyian Berthold.

Jalanan sunyi.

Rintih kesakitan dari korban yang sekarat saat meregang nyawa, terasa begitu jelas di telinga Berthold. Ia bahkan bisa mendengar bagaimana napas terakhir para korban dihembuskan.

Berat.

Beberapa ada yang menyebut nama, mungkin nama istri atau anak mereka.

Beberapa ada juga yang menyebut nama Tuhan Yesus.

Menyedihkan.

Menyayat-nyayat seperti sembilu.

Berthold tak tahu berapa orang persisnya yang menjadi korban. Mungkin sepuluh, mungkin lima belas. Tetapi mudahmudahan tidak sebanyak itu. Berthold berdoa.

Rosario yang diberikan istrinya saat ia berangkat pagi tadi digenggamnya erat. Ingin ia melihat dan menghitung berapa orang yang menjadi korban. Ingin

ia mencoba menolong jika mungkin masih ada yang bisa tertolong. Tetapi beberapa orang masih berjaga-jaga di sekitar truk dengan senjata terhunus.

Berthold hanya bisa menahan amarah dan kesedihan. Aku tetap harus bertindak benar. Tidak boleh melakukan kesalahan yang konyol. Aku harus kuat menahan semua gejolak ini.

Kapan semua ini akan berakhir?

Kapan sejarah kekerasan yang menorehkan luka mengerikan ini bisa diakhiri?

Pertanyaan-pertanyaan itu menggedor dinding otaknya, membuat kepala Berthold berdenyut-denyut.

Sakit.

+++

Berthold mengintai dari kejauhan. Memerhatikan rumahnya.

Ia tidak ingin membahayakan keluarganya. Ia tidak ingin anak-istrinya terancam karena keberadaannya.

Pada saat yang sama, tak jauh dari rumah, Arnold berlari menuju rumah sambil membawa bola sepak. Beberapa puluh meter dari rumahnya, segerombolan orang

nongkrong di pinggiran jalan. Arnold memperlambat langkahnya, menunduk sambil memantul-mantulkan bola ke tanah. Orang-orang itu memerhatikannya dengan

wajah seram. Arnold terus memantul-mantulkan bola sambil melewati mereka. Ia hanya mengangguk sedikit saat di hadapan mereka. Ia mulai mempercepat langkahnya setelah melewati gerombolan orang itu.

Pastor sudah memberi tahu semua anak-anak saat mereka main bola tadi, bahwa ada huru-hara. Pastor langsung meminta semua anak agar segera pulang dan berdiam di rumah saja.

Padahal saat itu mereka sedang asyik dan bergembira di lapangan belakang gereja. Bermain bola. Berlari keliling lapangan. Mengobrol dan bercanda. Bahkan Arnold dan Sonia pun sudah bergurau seperti biasa.

Mengapa keadaan bisa berubah begitu cepat?

Arnold bertanya-tanya dalam hati sambil melangkah memasuki halaman rumahnya.

Apakah ini persoalan yang sering dikatakan ayahnya? Persoalan tanah kelahirannya? Tetapi apa sebenarnya persoalan itu? Apakah ini akibat dari ulah orang-orang

berkulit putih seperti yang diduga Sonia? Baru saja Sonia dan Pastor memuji-muji kehebatan orang kulit hitam dalam hal menyanyi dan bermain sepak bola. Michael Jackson, Pele, sampai Glenn Fredly.

Sonia jelas sangat senang karena mendapat dukungan dari Pastor. Hatinya memang masih resah dan dipenuhi kemarahan pada perempuan berkulit putih yang disukai Arnold.

Awal pembicaraan adalah pertanyaan Sonia:

"Kenapa lelaki Papua lebih suka dengan perempuan yang lebih putih?" Lalu Pastor menjawab: "Cinta hanya bisa diraih dengan cinta lagi, Sonia. Dan yang menciptakan

cinta adalah Tuhan, bukan kita, jadi Tuhanlah yang membimbing kita...." Sonia menjejeri Arnold dan berbisik: "Kalau begitu apa rencana Tuhan pada kita,

Arnold?" Arnold menjawab diplomatis: "Setiap yang terlihat kurang, aku yakin ada kelebihannya...."

Semua masih menyenangkan. Tak ada kekhawatiran. Kecemburuan mungkin ada, tetapi jelas tidak berbahaya. Lalu semua menjadi mengkhawatirkan dan berbahaya.

Apakah ini juga termasuk rencana Tuhan pada orang-orang Papua?

Arnold memasuki halaman rumahnya dengan serentetan pertanyaan yang membombardir kepalanya. Dari balik semaksemak, Berthold melihat Arnold memasuki halaman rumah. Arnold memasuki rumahnya. "Arnold, dari mana saja kamu?"

Mama menyambutnya dengan sebuah pertanyaan penuh kekhawatiran. Wajahnya terlihat cemas dan acak-acakan.

"Dari gereja, Mama."

-

"Arnold, kamu harus ingat pesan papamu."

"Ya, Mama."

"Ya, tetapi kamu tak lagi jaga rumah. Kamu tak lagi jaga Mama. Mama juga lihat, kamu tak pernah lagi buka itu buku dalam tasmu. Ada apa dengan dirimu, Arnold?

Papa sedang pergi, kamu harus bantu Mama jaga kita punya rumah."

"Tetapi, Ma...."

"Tidak ada tetapi, Arnold. Kau harus dengar Mama punya bicara. Papamu di luar sana pasti marah kalau kau tidak dengar Mama. Tidakkah kau tahu itu, Arnold? Papa juga pasti khawatir...."

"Di mana Papa sekarang, Ma?"

"Papa? Sudahlah..., sekarang makanlah. Seharian ini Mama yakin perutmu belum terisi. Itu Mama bikin sup cakalang untukmu."

"Ya, Ma."

Sup cakalang.

Makanan kesukaan Arnold, juga Berthold. Tetapi Arnold tetap tak berselera makan hari ini. Ia berpura-pura makan selahap mungkin hanya untuk menyenangkan hati ibunya. Biasanya, ia benar-benar lahap. Bahkan rakus melahap sup cakalang masakan ibunya yang memang lezat.

Tiba-tiba ia juga merindukan ayahnya. Makan bersama seperti biasa.

Di mana gerangan Papa? Baik-baikkah dia?

Arnold menatap keluar sambil mengunyah makanannya. Langit mulai gelap. Senja baru saja lewat.

Tuhan, lindungilah Papa, di mana pun dia berada saat ini.

Arnold berdoa dalam hati.

+++

Kasih sedang menanam bibit bakau. Sesekali ia mengusap keringat di dahi dengan punggung tangannya. Beberapa orang pekerja membantunya menanam sambil mendengarkan Kasih berbicara.

"Tunas-tunas bakau ini seperti bayi. Harus terus dijaga dan dirawat baik-baik, tidak mungkin kita tinggalkan begitu saja setelah ditanam. Bakau punya musuh parasit yang mematikan, teritip, yang suka menempel pada batang dan akarnya dan membuatnya tak bisa berkembang. Jika sudah tertempel, tunas-tunas akan

layu dan mati. Saya tidak mau itu terjadi. Saya ingin melihat tunas-tunas itu mampu berjuang mempertahankan hidupnya, kemudian tumbuh menjadi pohon-pohon yang kuat. Saya belum mau berhenti menanam bakau...."

Kasih mengusap lagi keringat yang membanjir di leher dan punggungnya. Matahari mulai tinggi. Para pekerja yang membantunya memerhatikan Kasih dengan penuh hormat, mereka menunggu kelanjutan omongan Kasih.

"... akhirnya, hhh..., banyak orang tidak mau mengerti hal ini. Banyak orang jadi menganggap saya sebagai gadis aneh yang mencintai bakau. Saya tidak mengerti,

mengapa mereka harus berpikir seperti itu? Saya tidak mengerti mengapa mereka suka sekali mempersoalkan status saya yang belum menikah. Umur saya memang

sudah 25 tahun, dan saya memang belum menikah. Saya..., akhh, sudahlah...."

Cahaya keperak-perakan dari matahari pagi menerpa helai-helai rambut Kasih, menyelusup sebagian sampai kulit kepalanya, dan sebagian memantul sebagai garis-garis

cahaya di sekelilingnya. Angin yang sesekali menerbangkan helai-helai rambut Kasih, membuat garis-garis cahaya itu sesekali melengkung, membentuk kurva atau busur tanpa anak panah.

Kasih menghela napas, kesal. Bayangan orang tua, bayangan mantan pacarnya, bayangan teman-teman dekatnya, berkelebat di antara larik-larik cahaya matahari pagi yang hangat.

"Tidak usah resah, Kak," seorang penanam bakau yang membantu Kasih, mencoba menghibur.

"Semua orang sedang resah saat ini, bukankah begitu? Kamu juga pasti resah melihat keadaan sekarang, kan?"

"Saya mencoba pasrah."

"Berhasilkah?"

"Emm...."

"Sulit?"

"Ya, memang sulit. Yang paling sulit adalah karena kita bingung, karena kita tidak paham. Sama seperti yang Kakak alami. Bingung, tidak paham terhadap orang-orang di sekitar kita."

"Itulah...."

"Sudahlah, mari kita teruskan menanam saja. Sebentar lagi hari akan makin panas, dan kita harus ikut misa di gereja. Barangkali dengan ke gereja dan berdoa,

mendengarkan Injil dan homili dari Pastor, menyanyikan mazmur pujian, kita bisa merasa lebih tenang." "Ya, itu benar, Kak."

"Karena kita juga tak berbeda dengan tunas-tunas bakau itu, harus berjuang keras untuk mempertahankan hidup. Harus berjuang untuk menentukan hidup kita,

untuk membasmi parasit-parasit yang menggerogoti hidup kita...."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience