Bab 2 - Siulan Minus

Fantasy Completed 72598

"Minuss!!"

Sonia membentak Minus kesal. "Minus! Hentikan siulanmu!"

"Suuuiiiitt!! Suuuuiiiiiiiittttt!!!"

"Minuss!!"

"Suuuiiiittt!!"

"Hentikan, Minus!"

"Kenapa sih kamu ini, Sonia? Orang bersiul kamu larang. Ini bukan sembarang siulan. Kamu lihat, itu stadion sebentar lagi akan dipenuhi cewek-cewek karena siulanku!"

"Hahahaha!"

Dominggus tertawa terpingkal-pingkal mendengar ocehan Serminus yang membuat Sonia semakin jengkel dan marah.

Mereka bertiga berada di atas stadion. Biasanya Arnold juga ikut bergabung bersama.

"Mana Arnold, Sonia?"

"Mana kutahu?"

"O, jadi kamu menunggunya?"

"Huh!"

"Baiklah, aku akan bersiul keras untuk memanggil Arnold! Suuuuiiiiittt!! Suuuiiiittt!!" "Minus! Hentikan!"

"Ini siulan untuk memanggil Arnold, coba tengok ke bawah, sebentar lagi dia pasti datang!" "Minuuusss!!"

"Suuuiiiitttt, suuuiiiiittt!!!"

Sonia benar-benar jengkel. Bukan semata karena siulan Minus, tetapi karena hatinya memang resah. Resah menunggu Arnold yang tidak datang bergabung bersama

mereka. Resah karena Arnold yang tiba-tiba berubah. Resah karena Sonia sudah tahu apa yang menyebabkan Arnolod berubah. Ia melihat bagaimana Arnold terkesima melihat seorang perempuan dewasa berkulit putih tengah berdoa sendirian di gereja. Perempuan itu memang cantik. Kulitnya putih bercahaya. Tetapi Arnold seharusnya tidak boleh tertarik pada perempuan berkulit putih, apa lagi yang sudah jauh lebih dewasa seperti itu.

Itu benar-benar suatu kesalahan besar. Suatu kebodohan! Sonia yakin Arnold telah melakukan kesalahan besar jika membiarkan dirinya terkesima, terpesona,

dan jatuh hati pada perempuan berkulit putih itu. Namun meski mencoba keras untuk meyakinkan dirinya, Sonia tetap tak bisa membuang keresahan yang bersumber dari pertanyaan tentang warna kulitnya.

Mengapa aku harus dilahirkan berkulit hitam?

Tiba-tiba saja Sonia merasa hidup tidak adil. Untuk pertama kalinya ia merasa tidak nyaman dengan warna kulitnya.

Langit di atas stadion yang mulai gelap

serasa menenggelamkan dirinya ke dalam sebuah lubang hitam. Pendar cahaya lampu stadion yang baru saja dinyalakan serasa muram dan redup. Di langit hanya ada satu-dua bintang yang bekerlip, juga redup dan muram.

Redup dan muram adalah gelap. Gelap adalah hitam. Hitam adalah aku. Aku adalah hitam. Mengapa hitam? Apa salahnya dengan hitam? Ada apa dengan hitam? Apakah hitam harus selalu berarti buruk? Harus berarti sebagai sesuatu yang jahat? Ini tidak adil!

Benak Sonia merangkai puisi. Kata berhamburan penuh gugatan di kepalanya. Menggugat kulitnya yang hitam. Menggugat adanya perbedaan warna kulit dengan penuh

kecemburuan pada kulit yang putih bercahaya. Sosok Arnold dan bayangan perempuan cantik berkulit putih itu berkelebat dalam pikirannya, mengaduk-aduk perasaan dan membuatnya ingin berteriak.

Minus masih bersuit-suit dengan lengkingan suara yang tajam. Menusuk-nusuk pendengaran dan hatinya. Keadaan yang bergolak di hati dan pikirannya, mirip

dengan keadaan di jalanan yang setiap hari terasa semakin memanas. Sonia merasakan adanya kegelisahan, kemarahan, dan ketegangan di sekelilingnya. Wajah

setiap orang yang dilihatnya hampir semua mengandung kegelisahan, kemarahan, dan ketegangan. Mata mereka nyalang.

Ia mungkin masih terlalu muda untuk mengerti, tetapi ia bisa merasakan dengan jelas. Ya, semua terasa jelas. Arnold, juga jelas tengah mengalami kegelisahan.

Minus tengah berharap dengan tegang. Dominggus juga gelisah, entah kegelisahan macam apa. Ia tak tahu, tetapi ia bisa merasakan. Mungkin kegelisahan mereka

hanyalah kegelisahan remaja kelas 3 SMP yang sebentar lagi lulus dan akan memasuki masa remaja yang sesungguhnya. Mungkin hanya itu, tetapi mungkin juga

tidak. Ia gelisah karena Arnold. Karena hatinya yang bergetar setiap melewatkan waktu bersama Arnold. Karena keceriaan yang memenuhi dirinya setiap berbincang dan tertawa bersama Arnold.

Sonia memejamkan mata.

Nyeri.

Ia sudah merasa nyeri membayangkan kehilangan semua sensasi rasa dan keceriaan itu.

Apakah orang-orang juga tengah merasakan nyeri yang sama? Apakah mereka juga tengah terancam kehilangan keceriaan dan getar-getar perasaan yang menyenangkan?

Apakah ada yang bakal merenggut semua itu? Dunia macam apa yang bakal tercipta bila tak ada keceriaan? Dunia gelap. Dunia hitam.

Aaahhhh!

Gelap lagi!!

Hitam lagiii!!

Sonia menghentikan perjalanan pikirannya yang melayang-layang tak menentu, tanpa arah dan tujuan.

Ternyata sulit sekali menghindari kata hitam atau gelap. Ke mana pun pikirannya melayang, kata itu muncul dan menghadang tak terhindarkan. Sonia menghela napas dalam, mencoba meredam gejolak kemarahan di hatinya. Ia mencoba membayangkan sebuah taman bunga. Membayangkan merah, kuning, putih, hijau, ungu di sebuah taman bunga.

Tetapi tiba-tiba seekor kumbang hitam mendengung-dengung di atas setangkai mawar merah.

"Minnuuuussss!!!"

"Suuuuuuiiiiiiiiiittttttt!!!"

"Hentiikaannn siulaanmuuuu!!"

Sonia berteriak keras, membuat Minus terlonjak kaget di tengah suitannya yang melengking.

"Sonia, kenapa kamu? Jangan marah pada suitanku kalau kekasihmu tidak datang! Hahaha...."

+++

"Selamat malam."

Arnold menyapa ayah-ibunya yang tengah menonton siaran berita di televisi dan langsung menuju kamarnya. "Hei, kenapa itu si Arnold, Ma?"

"Arnold! Kenapa kamu?"

Tetapi Arnold tak menjawab, pura-pura tak mendengar pertanyaan mamanya dengan menutup pintu kamar agak keras.

"Arnold, sini kamu, dengar berita tentang kamu punya tanah!"

Pembaca berita di televisi kebetulan tengah memberitakan situasi di Papua yang memanas karena Gerakan Papua Merdeka yang dipimpin Theys Hiyo Eluay. Televisi menayangkan sosok Theys tengah mencium bendera Papua dengan penuh rasa khidmat dan kesungguhan. "Arnold!"

Arnold tetap tidak menyahut.

"Kamu harus tahu apa yang terjadi di kamu punya tanah, Arnold!"

Berthold, ayah Arnold, menatap istrinya dengan wajah tak mengerti dan meminta penjelasan.

"Kenapa itu anak?"

"Entah, tak seperti biasanya dia seperti itu. Mungkin capek saja..., tetapi beberapa hari ini dia memang agak diam...," Agnes menjelaskan.

Dari dalam kamarnya, Arnold mendengar percakapan ayah-ibunya. Ia juga mendengar suara penyiar televisi cukup jelas.

"...perjuangan Theys dimulai sejak ia menandatangani Deklarasi Numbay yang berisi tujuh butir tuntutan, antara lain tuntutan untuk membebaskan seluruh tahanan

politik asal Papua Barat tanpa syarat, menaikkan bendera Bintang Kejora di seluruh Papua mulai tanggal 1 Desember

2000 dan setiap tahunnya, lalu ada juga

tuntutan untuk mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua dan mengijinkan rakyat Papua untuk menyelenggarakan kongres. Semua tuntutan itu disampaikan pada pemerintahan Gus Dur...."

Arnold mencoba mencerna apa yang didengarnya baik-baik ketika tiba-tiba terdengar ketukan di pintu rumahnya. Lalu ia mendengar percakapan yang sering didengarnya, antara ayahnya dan teman-teman organisasinya.

"Ayo kita berangkat, rapat malam ini mulai jam 9 tepat."

"Baik. Ayo jalan."

"Jangan lupa bahan-bahan rapatnya."

"Ini sudah kubawa. Mama, aku pergi rapat dulu!"

"Hati-hati, Papa."

"Arnold! Papa pergi dulu, kamu jangan di kamar terus. Coba dengar berita di televisi, biar tahu apa yang terjadi! Bantu kamu punya mama jaga rumah."

"Baik, Papa!"

Arnold menjawab dari dalam kamarnya.

Lalu terdengar suara derum Vespa. Pertama keras, lalu perlahan menjauh dan menghilang. Tak terdengar lagi begitu Vespa itu menuruni jalanan dari rumah Arnold menuju entah ke mana.

Arnold merebahkan dirinya di dipan kecil di kamarnya yang sempit. Pikirannya menerka-nerka. Apa yang dilakukan ayahnya? Rapat apa sebenarnya ia dengan kawan-kawannya?

Arnold merasa gelisah setiap mencoba memikirkan dan menerka-nerka kegiatan ayahnya di malam hari. Ia merasakan adanya bahaya yang membuatnya merasa khawatir dan cemas. Terutama beberapa waktu belakangan ini, ketika banyak sekali kegiatan-kegiatan demonstrasi di jalanan.

Tetapi malam ini Arnold merasakan sebuah kegelisahan yang berbeda. Ia gelisah karena terus teringat wajah cantik perempuan kulit putih itu. Ia gelisah menggenggam rosario perempuan itu.

Jemarinya terus memainkan biji-biji rosario yang sedari tadi terus digenggamnya itu.

"Mengapa? Apa sebenarnya yang terjadi pada diriku? Mengapa aku tak bisa berhenti membayangkan perempuan itu?"

Air mata bening yang menetes di pipinya, tatapan berkabut duka yang memancar dari matanya, bibir merah merekah yang lembut, semua terus bermain-main di kepala Arnold.

Mengapa aku harus tertarik pada perempuan berkulit putih? Mengapa aku tidak tertarik pada perempuan-perempuan di hutan mangrove yang perkasa? Apakah aku

mengkhianati diriku sendiri? Aku adalah orang Papua, dan aku mencintai Papua, tetapi apakah aku tidak boleh mencintai orang yang bukan dari tanahku? Apakah aku bersalah bila ingin mencium orang yang berbeda?

Arnold tiba-tiba ingat ayahnya yang selalu mengajarkan agar ia mencintai tanah kelahirannya dan menjadi orang yang berguna (kelak) bagi masyarakat di tanah

kelahirannya. Ia tahu ada pergolakan-pergolakan yang tengah terjadi di tanah kelahirannya. Ia melihatnya. Semua orang melihatnya. Berita di koran dan televisi memuatnya setiap hari. Ada kongres. Ada orang-orang yang turun ke jalan. Ada kerusuhan-kerusuhan. Ada tentara. Ada Freeport. Ada Theys Hiyo Eluay yang berwibawa.

Tetapi apa sebenarnya yang tengah terjadi, Arnold tak paham. Ia tidak mengerti sama seperti ia tidak mengerti mengapa dirinya tertarik pada perempuan cantik

berkulit putih itu. Ia tidak mengerti sama seperti ia tidak mengerti mengapa ia ingin sekali merasakan sebuah ciuman belakangan ini.

Berciuman. Menyatukan dua pasang bibir, menekan, melumat, mengisap, dan..., ahh...! Arnold tak bisa melanjutkan bayangannya. Ia merasa bergairah dan karenanya

menjadi gelisah. Ia takut berdosa. Tetapi apakah berciuman itu dosa? Bukankah ciuman itu tanda kasih sayang dan kasih sayang adalah sesuatu yang seharusnya seperti yang diajarkan Yesus Kristus agar kita saling menyayangi?

Arnold pusing.

Ia memejamkan matanya.

Jemarinya masih terus memainkan biji-biji rosario milik perempuan cantik berkulit putih itu.

"Arnold, sudah tidur kamu?"

Suara ibunya terdengar lembut dan penuh kasih sayang. Tetapi Arnold tak menjawab.

Ia tak tahu harus bicara apa pada ibunya.

+++

"Situasi bisa memburuk bila tidak ada kejelasan dari pemerintah pusat."

"Betul. Kita harus menuntut agar Theys dibebaskan. Penangkapan dan penahanannya kemarin, jelas untuk mencegah dia merayakan HUT Kemerdekaan Papua pada tanggal 1 Desember nanti!"

"Kita harus melawan!"

"Ada dua jenis pendekatan terhadap lawan dalam adat Papua. Pertama, pendekatan dari beberapa suku di wilayah Pesisir, khususnya suku Biak, memakai pendekatan:

‘piara dulu, sudah besar dan gemuk, waktunya untuk makan, lalu bisa makan’. Artinya, lawan jangan diserang dalam kesempatan pertama karena bisa saja dia

lari atau berwaspada sehingga sulit untuk mengalahkannya...."

"Ya, itu kita tahu."

"Pendekatan kedua adalah prinsip dari suku-suku di pegunungan Papua Barat. Suku-suku ini berprinsip lebih langsung, mereka mengatakan; ‘jika itu musuh,

katakanlah begitu dan perlakukanlah juga demikian!’ Jadi kalau seseorang dianggap musuh dan perlu diatasi, mereka akan mengatakannya secara langsung dan

terbuka pada saat itu juga...."

"Apa yang akan kita lakukan?"

"Cara penyelesaian politik yang harus kita lakukan tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali situasi yang menghendakinya. Bukankah kita semua sedang memperjuangkan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai nilai yang menjadi pegangan masyarakat modern?" Berthold akhirnya ikut bersuara.

Rapat mendadak malam ini, memang membahas situasi yang memanas sehubungan dengan penangkapan Theys Hiyo Eluay. Kerusuhan bisa terjadi setiap saat. Ketegangan

sangat terasa di semua kalangan. Pihak militer, polisi, dan aparat keamanan lain jelas sudah melakukan persiapan untuk mengantisipasi reaksi yang bakal muncul akibat penangkapan Theys.

+++

Kasih memasuki bilik pengakuan dosa di gereja.

"Atas nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus. Bapak, saya hendak melakukan pengakuan dosa, pengakuan dosa terakhir saya...."

"Lanjutkan, Anakku."

"Belakangan ini, saya merasa hidup saya sia-sia. Kadang saya berpikir untuk apa lagi hidup jika semua sia-sia.... " Kasih menelan ludah, tenggorokannya terasa kering.

"Teruskan, Anakku."

"Semua berbenturan dalam kemarahan, kebencian, dan keserakahan. Semua hanya mementingkan diri sendiri, tak ada lagi kebersamaan, tak ada lagi rasa saling

menghargai, bahkan dalam keluarga. Apakah kita masih memiliki hak-hak kita untuk menentukan pilihan? Apakah kita masih memiliki kebebasan untuk menentukan

jalan hidup kita? Saya merasa semua itu telah hilang, Bapak. Saya tak tahu bagaimana harus memahami apa yang

terjadi...."

Sebutir air mata menetes jatuh di pipi Kasih. Ia mengusapnya dengan punggung tangan. Pastor memerhatikannya dari balik kisi-kisi dinding pemisah bilik pengakuan

dosa. Mata Pastor menatap penuh pengertian. Ia bisa merasakan apa yang dirasakan Kasih, salah satu umatnya. Ia tahu bagaimana rasanya menjadi berbeda di

antara kebanyakan orang. Sebagai seorang pastor yang telah ditugaskan di berbagai daerah, ia telah banyak mengenyam pengalaman, ia telah banyak melihat

bagaimana perbedaan menjadi sesuatu yang meresahkan dan bisa memicu banyak krisis. Termasuk krisis dalam kehidupan pribadi seseorang.

"... saya merasa berdosa karena tak bisa berbuat apa-apa. Saya merasa berdosa karena apa yang terjadi di Papua mungkin disebabkan ulah keserakahan orang-orang yang kebetulan warna kulitnya putih...." Pastor menghela napas panjang.

"Anakku, dosa bukanlah pokok persoalan yang kamu tengah hadapi sekarang.... Ini adalah soal bagaimana kita melihat suatu permasalahan, soal bagaimana kita

ditempatkan dalam suatu permasalahan besar dan penuh dengan gesekan tajam yang menggoreskan luka. Setiap orang bisa terluka dalam situasi ini, dan hal

inilah yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita semua untuk mencegahnya, untuk mencegah agar luka itu tidak terlalu dalam. Kita tidak mungkin menghindarinya,

kita harus menghadapinya dengan ketabahan dan kerendahan hati sebagaimana yang diajarkan Yesus Kristus pada kita."

Kasih terdiam, menyimak setiap kalimat yang meluncur dari mulut Pastor dengan seksama.

"Perpecahan memang menyakitkan, tetapi sudah menjadi suratan dalam hidup manusia yang tidak abadi. Perpecahan akan bisa dihindari hanya bila kita bisa mengalahkan

diri kita, mengalahkan kesombongan kita, keserakahan kita, ego kita. Dan ini tidak mudah karena kita hanya manusia biasa yang lemah. Sebenarnya setiap

kita terluka, kita tengah diingatkan bahwa kita adalah manusia biasa. Tak peduli apa warna kulit kita, apa kehebatan kita, kita tetaplah manusia biasa

di mata Tuhan. Kita tidak boleh berhenti berusaha, Anakku.... Kita harus terus dan senantiasa berusaha untuk memperbaiki hidup kita, dalam situasi apa pun."

Kasih semakin tertunduk. Ia merasakan kesejukan yang membuatnya lebih tenang, tetapi kesedihan masih membuatnya meneteskan air mata. Ia mengusapnya lagi dengan sehelai saputangan.

"Yakinlah, Anakku. Yakinlah bahwa Allah tidak hanya tersentuh oleh kesalehan seseorang.

Ia juga sangat mudah tersentuh oleh perasaan yang timbul dari sebuah hati yang hancur karena kepedulian pada orang lain. Kebanyakan orang memang berhasil

menganggap Yesus sebagai jalan ke surga dan jawaban bagi persoalan-persoalan rohani kita, tetapi banyak yang gagal untuk melihat-Nya sebagai jalan keluar

bagi persoalan-persoalan kehidupan yang nyata. Persoalan-persoalan duniawi yang kita hadapi setiap hari. Jadi, yakinlah bahwa Allah selalu memiliki sesuatu untuk Anda, pada hari ini, lebih dari hari kemarin."

"Terima kasih, Bapak."

"Tuhan memberkatimu, Anakku."

Pastor menggerakkan tangan kanannya dari balik dinding pemisah bilik pengakuan, membuat sebuah tanda salib dengan gerakan tangan, dari atas ke bawah, lalu dari kiri ke kanan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience