Bab 3. Kegelisahan Lisna
"Hah! Kamu? Ngapain disini?” Tanya Lisna pada gadis muda yang tak lain adalah Aini adik iparnya sendiri.
"Beli mie ayam lah. Masa iya beli paku. Tuh suami di rumah kelaparan. Sudah pagi nggak dimasakin, pergi tanpa pamit, ini sudah jam pulang kantor bukannya langsung pulang malah cari makan sendiri." ia menghakimi Lisna dengan asumsinya sendiri.
Lisna mengacuhkan gadis itu, ia melanjutkan menyantap mie ayam yang sudah tersedia di meja yang ia pilih bersama rahmah tadi. Rahmah yg bingung dan mempunyai banyak pertanyaan untuk sahabatnya itu hanya sanggup menatap datar.
Karena Aini adalah teman sekelas Rahmah kala SMP dulu, jadi ia paham betul bagaimana watak adik ipar sahabatnya itu. Sangat judes dan sombong, karena itu Rahmah pernah melarang Lisna untuk berhubungan dengan Danar. Namun Lisna yang memang rindu akan perhatian dan kasih sayang, yang saat itu didapatkan dari Danar sudah dibutakan hatinya oleh rayuan Danar.
"Mba Lisna ada masalah sama mas Danar?" Rahmah yg penasaran akhirnya bertanya juga dengan sedikit berbisik. Karena si Aini masih ada di depan gerobak mie ayam sedang menunggu pesanannya selesai dibuat oleh tukang mie ayam.
"Terima kasih ya bang, yang bayar itu yg pakai kerudung hitam ya." Suara Aini lantang ke Abang mie ayam, sambil menunjuk Lisna yang sedang asik menikmati mi di mangkuknya.
"Eh, kok?" Abang mie ayam bingung menatap Lisna meminta penjelasan. Sementara Ainu sudah berlalu menjauh.
"Dasar gak ada akhlak. Ketemu bukan nyapa baik-baik, main maki-maki orang seenaknya sendiri. Eh masih minta dibayarin mie ayam". Gerutu Lisna kesal.
"Iya bang gak apa-apa. Biar nanti sekalian saya yang bayar." Jelas Lisna ke Abang mie ayam.
"Ah syukurlah, lha empat mangkok mba. Main bawa saja Nggak bilang dari awal kalo ada orang yang bayarin. Sampean mbaknya mba?" Abang mie ayam bertanya pada Lisna.
"Eh iya bang, ipar tepatnya. Baru jadi ipar padahal." Lisna menjawab dengan malas. Enggan rasanya mengakuinya sebagai saudara ipar. Tapi kenyataannya memang dia adalah adik ipar Lisna kini.
"Banyak betul empat mangkuk. Satu rumah dong mba?" Rahmah menyela.
"Iya kali, entahlah mah? Jawab Lisna lagi.
Rasanya hilang sudah nafsu makan Lisna kini, ia mengaduk-aduk isi mangkuknya. Rahmah melirik sahabatnya itu.
“Kasihan itu mie di putar-putar begitu, masukkan mulut kenapa. Biar cacing yang di perut bahagia.” Sela Rahmah mencoba meledek untuk membuat sahabatnya tersenyum. Namun Lisna tetap diam, Rahmah paham apa yang sedang berkecamuk dalam hati sahabatnya itu. Ia pun menyudahi kegiatannya makan mie ayam
Setelah selesai makan mie ayam dan membayarnya kami pun melanjutkan jalan. Lisna minta diturunkan di gang masuk rumah yang ditinggali, Gubuk lebih tepatnya. Rumah kecil berdinding geribik bambu dan berlantai tanah.
"Aku anterin sampe depan pintu ya mba?" Kata Rahmah.
"Tidak usah mah, sini saja." Pinta Lisna yang turun dari boncengan motor Rahmah. Setelah menyerahkan helm Rahmah melanjutkan perjalanannya pulang.
"Makasih ya mah, Nggak usah mampir lah. Tidak ada apa-apa jg dirumah. Adanya cucian kotor kayaknya deh. Tadi pagi nggak nyuci aku. Sama cucian piring kemarin. Kalo mau nyuci gak papa deh mah yuk mampir." Kata Lisna ke Rahmah yang sudah berlalu dari hadapannya.
"Diih, tadi nggak boleh mampir. Diantar sampai depan pintu nggak mau. Giliran inget cucian kotor aja nawarin. Ogah ya. Wek." Ramah tertawa.
"Ya udah mbak, aku langsung ya. Makasih mie ayam baksonya. Gajian besok aku yg traktir ya. Gantian kita. Rahmah tersenyum sangat manis dengan mengedipkan matanya sebelah.
"Hahaha. Boleh boleeeeh... Yesss... Bakal makan mie ayam bakso gratis bulan depan. Aduh gak sabar nunggu bulan depan nih." kata Lisna sambil tertawa.
"Hahahaha, baru tanggal 15 ini mbaaa. Masih lamaaaa Wek." Jawab Rahmah menjulurkan lidah meledek Lisna.
"Dah mbak Lisna... See you next time ya. Tak tunggu ceritamu besok. Wajibun!" Rahmah sedikit berteriak karena motornya sudah melaju menjauh dariku.
Lisna tersenyum getir, rasanya enggan melangkah. Ia menatap jalan hitam itu. Kelam, sekelam hidupnya kini. Akhirnya ia ayunkan langkah kakinya malas. Sampai di depan gubuk ia mengetuk pintu.
"Assalamualaikum." Tak ada jawaban.
"Mas. Mamas? Mas? Kok sepi. Hm, Lupa kalo lagi makan mie ayam di rumah emaknya." Lisna bermonolog sendiri.
Ia membuka pintu yang ternyata tak terkunci. Ia menyisir isi ruangan yang tidak begitu luas, hanya ruangan kecil berukuran dua setengah meter kali tiga meter yang di sekat geribik bambu tanpa pintu hanya tertutup dengan sehelai tirai dari kain jarik, yang ia tempati untuk tempat tidur yang di dalamnya ada sebuah dipan kecil terbuat dari kayu yang beralas pipihan bambu beralas tikar.
Dan ruangan kosong di sebelahnya ia gunakan untuk memasak dan makan. Ada meja kecil yang ia gunakan untuk meletakkan makanan yang ia masak dan menutupinya dengan tudung saji yang terbuat dari rotan.
"Bismillah, assalamualaikum." Lisna masuk rumah dan langsung menuju bilik. Mengambil handuk dan membersihkan diri di kamar mandi.
Selepas mandi ia bersantai melepaskan penat yang ia simpan sendiri. Lisna duduk di balai depan rumah yang memang disiapkan untuk bersantai. Ia menikmati cemilan yang ia bawa menggunakan toples kecil dari dalam. Camilan kesukaan Lisna, yaitu klanting.
"Subhanallah, Alhamdulillah untuk segala nikmat ya Rabb." Lisna menghempaskan bobotnya di atas balai. Membuka toples dan mulai menikmatinya.
Baru kunyahan pertama ada suara deru motor memasuki gang ke arah gubuk Lisna.
"Siapa ya?" bathin Lisna bertanya-tanya. "Semoga mas Danar".
"Mbak, kata mas Danar minta duit buat beli sate lima puluh ribu." Kata Irul masih diatas motornya dan tanpa mematikan mesin motornya.
"Hah!? Kok bisa? Enggak ada lah. Kan mas Danar Yang punya uangnya. Kemarin kan liat sendiri mas Danar Yang simpan semua uang dia." Jawab Lisna tegas.
"Itu tadi mba bisa bayarin mie ayam buat kami. Berarti kan mbak punya uang. Kami mau makan mbak, cuma ada nasi dirumah mama. Pingin makan pake sate. Cepet Lho mba. Laper ini!" Dengan nada yg sedikit meninggi.
"Astaghfirullah. Lha itu tadi udah buat bayar mie ayam. Makanya nggak ada lagi Rul" jawab Lisna lagi.
"Nggak mungkin mbak, jangan bohong deh, mau duit mba Lisna ilang beneran?" Irul tersenyum picik.
"Hih!! Apaan si ini. Udah laki gajian gak dikasih, kok bisa-bisanya minta duit buat beli-beli makanan. Keluarga Aneh. Kok ada si keluarga kayak gitu. Nih! Nggak ikhlas aku!" seru Lisna menyerahkan lembaran berwarna biru ke adik iparnya. Dengan sigap ia meraih uang itu dan melajukan motornya kencang tanpa permisi.
"Apaan sih ini! Awal saja sudah begini. Ya Allah, Keluarga macam apa ini?"
Gerutu Lisna kesal, ia menatap punggung adik iparnya yang kian menghilang dari pandangannya. Lalu ia menyeret langkahnya kembali ke gubuk kecilnya. Dadanya berkecamuk, ada banyak hal yang ia pikirkan kali ini. Ada sesal yang tak mampu ia urai, namun sakralnya hubungan pernikahan tak ingin ia nodai.
Ia menarik nafasnya dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Ujung netranya menghangat, ia mengusapnya cepat. Ia menghela nafasnya panjang, lalu melirik ke arah jalanan setapak. Berharap sosok lelakinya datang untuk menenangkan hatinya.
"Haruskah aku bertahan? Pernikahan apa seperti ini? Menyakitkan?"
Gumamnya lirih, dilema menyelimuti hatinya yang kian terasa begitu perih.
????bersambung???
Blurb Dosa Terindah Kisah cinta antara Andika dan Lisna yang terhalang restu orang tua. Andika yang merupakan keturunan orang kaya, mendapatkan penolakan saat meminta restu kepada kedua orang tuanya. Tapi besarnya cinta Andika, membuatnya membangkang, dan memilih kekasih hatinya dan meninggalkan kemewahan keluarganya. Namun takdir berkata lain, Andika dan Lisna terpisah kembali oleh keadaan. Dan saat mereka bertemu kembali, Lisna telah menjadi milik orang lain. Namun tak membuat seorang Andika berhenti mengejar cinta Lisna. Ia terus berjuang untuk mendapatkan wanita pujaannya. Bagaimanakah kisah cinta mereka berdua? Akankah takdir menyatukan mereka dalam ikatan cinta sejati? atau sebaliknya, mereka memang tercipta tidak untuk bersatu.
Share this novel