Bab 4.
Dilema Hati Lisna
'Sungguh hatiku sudah dibutakan oleh cinta. Sampai mata hatiku tak bisa mengenali siapa mas Danar selama ini. Aku pikir dia begitu bersahaja. Sangat sopan dan berwibawa. Selama empat tahun dekat dengannya sungguh aku tak mengenali kepicikan hatinya. Masih tak percaya keaslian sifat dan kebiasaan. Ya Rabb, haruskah aku sesali semua keputusan ini. Harusnya aku dulu mau mendengar saran dari teman-temanku. Bahwa mereka bukan keluarga baik-baik. Ah aku tertipu dengan sampul mereka selama ini. Bodohnya aku ini.' batin Lisna bermonolog.
Suara adzan sudah Maghrib sudah berkumandang, tapi belum terlihat juga Danar pulang kerumah. Akhirnya Lisna memutuskan pergi ke mushola dekat rumah. Setelah selesai sholat Maghrib ia pun beranjak pulang. Mengecek apakah suaminya itu sudah ada dirumah atau belum. Karena selama sholat pun tak terdengar suara kendaraan melewati mushola. Iya mushola itu letaknya di gang jalan masuk ke rumah.
"Assalamualaikum." Lisna membuka pintu pelan.
Tak ada jawaban, artinya Danar sang suami belum pulang.
'Tak berniat untuk pulang kah dia. Atau barangkali lupa kalau sudah beristri. Kalau tak mau tinggal disini dan masih betah bersama ibunya, lantas kenapa mengajakku tinggal di gubuk tengah hutan begini.' kembali batinnya berasumsi sendiri.
Lisna mengambil kitab suci Al-Quran, lalu membuka dan mulai murottal pelan. Karna ditengah hutan & sepi, jadi suara pelan pun terdengar sangat keras. Suara adzan isya sudah terdengar. Tapi tak juga nampak sosok yg ia tunggu hadir. Lisna beranjak dan melangkah kembali ke mushola.
'Lebih baik di mushola, ada banyak ibu-ibu, bisa jadi teman.' hatinya berbisik.
Selesai sholat Lisna duduk di teras mushola. Sampai habis isi mushola, dan hening merambat kesunyian malam. ia tak kunjung melihat mas Danar nya muncul juga.
"Hmm, kemana sebenarnya mas Danar?"
Akhirnya ia memutuskan pulang ke rumah. mengayunkan langkah dengan santai, berharap suaminya segera pulang. Sesampainya dirumah kembali ia duduk di balai teras rumah, melipat mukena dan cukup mengenakan jilbab saja. ia meletakkan mukena diatas balai, dan bersandar di dinding yg terbuat dari geribik bambu itu.
Suara jangkrik dan binatang malam saling bersahutan. Terkadang sesekali terdengar suara burung hantu yg membuat bulu kuduknya merinding. Malam semakin larut, Lisna melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya, sudah menunjukan pukul dua puluh satu lebih tiga puluh menit.
"Masih belum pulang juga, atau tidak mau pulang? Ya sudahlah, percuma juga aku menunggu. Mungkin mas Danar merasa nyaman dirumah Ibunya." gumam Lisna.
Ia memutuskan untuk masuk dan mengunci pintu.
'sudah bisa ku pastikan mas Danar tidak akan pulang malam ini. Biarlah ku nikmati masa pengantin baru ku bersama angin malam. Suara jangkrik dan teman-temanya sudah cukup membuatku merasa banyak teman' kembali batinnya berbisik perih.
Lisna masuk ke dalam bilik dan merebahkan tubuhnya ke atas balai. Lalu menarik selimut dan menutupi sebagian tubuhnya. ia menatap langit-langit yang hanya terlihat kayu-kayu kecil yang di atasnya tertata rapi genting-genting. Tiba-tiba terdengar rintik hujan turun, angin berhembus menyelinap dari celah-celah geribik bambu yang menjadikan malam semakin dingin.
Lisna menarik selimutnya untuk menutupi seluruh bagian tubuhnya hingga ke leher. Setelah melepas kerudungnya dan meletakkan di samping bantal, ia mencoba untuk memejamkan matanya.
"Selamat malam kesunyian, kita berkawan sekarang. Temani aku sampai aku terlelap ya. Berikan nyanyian terindahku untukku. Aku yakin kau bahagia berkawan denganku. Karena kita sama, 'sunyi' ." bisik Lisna lirih, yang terdengar sangat memilukan.
Suara murotal dari surau berbisik merdu di telinga Lisna. Seolah membelai lembut tubuhnya untuk menyuruhnya bangun dari tidur kelap. Ia mengusap wajahnya lembut, menatap sekeliling, tak ia temukan sosok Danar. Benar saja dugaannya Dia tidak pulang.
"Hm. Baru beberapa hari kau menikahiku mas, sudah begini." Tak terasa ada yg menghangat diujung netra. Dadanya terasa sesak berdesak. Ingin rasanya ia pulang ke rumah orang tuanya. Tapi apa jadinya nanti. Apa kata tetangga yg selama ini sudah menegurnya sebelum ia terima pinangan Danar dulu.
"Hah, apa yg harus aku lakukan sekarang. Apa aku harus berhenti sampai disini. Tapi ini baru dimulai, bahkan aku belum berperang. Tapi? Sanggupkah aku bertahan? Bisakah ku ubah semua ini ke jalan yg benar? Ya Rabb, berikan petunjukMu padaku, kuatkan langkahku. Sekali lagi, jika semua memang tak mungkin, aku menyerah." Batinnya bergemuruh dalam isakan.
"Aku tak boleh larut dengan keadaan, tak ada yg tak mungkin untuk yg mau berusaha, semoga Tuhan berkehendak." ia usap air mata yg terus saja menetes. Lalu meraih handuk dan membersihkan diri ke kamar mandi. Setelah selesai mandi ia pergi ke mushola. Disanalah ia merasa tenang.
"Lis, kayaknya sendirian tadi ke surau?"
lisna menoleh ke arah sumber suara.
"Hehehe, iya bulek. Mas Danar belum pulang." jawab Lisna tersenyum. Ternyata tante mas Danar yg menyapa.
"Nginep dimana kok nggak pulang?" Bulek Tati menyelidik.
"Kurang tau bulek, dari kemarin siang Lisna pulang kerja udah nggak ada di rumah, sampai tadi pagi belum ada juga." Terang lisna padanya.
"Lha nggak kamu telfon?" Bulek Tati masih ingin tau.
"Nggak punya handphone bulek, sama mas Danar nggak boleh pegang handphone." Jawabnya apa adanya.
"Lha komunikasi itu penting kok malahan nggak boleh pegang handphone itu gimana Danar itu. Nanti bulek tanyain ke Danar ya."
"Nggak usah bulek, ujung-ujungnya nanti Lisna juga yg diomelin. Biarlah seperti ini. Besok kalo udah kekumpul uangnya Lisna beli handphone lagi aja."
"Ya Danar yang beliin geh, gajinya kan banyak, masa iya nggak bisa beliin. Nggak harus yg mahal juga, yg penting kan bisa dipake komunikasi." Bulek Tati terus mengiterogasinya.
"Hehe, yg dipake mas Danar juga handphone Lisna bulek."
"Ealaaah. Terus kamu yg punya nggak boleh pake, gitu?" Bulek Tati nampak terkejut mendengar penjelasan Lisna. Tapi ya memang begitu adanya.
"Ya begitulah bulek." Tangannya sibuk melipat mukena dan beranjak untuk keluar surau.
"Mertuamu tahu kalau itu handphone kamu?" Tanya bulek Tati lagi.
"Wah, kalo itu kurang tau Lisna bulek. Entah tahu entah tidak." Lisna tersenyum getir.
Keluar surau dan duduk di teras surau. Bulek Tati mengikuti Lisna dan duduk di sebelahnya. Setelah menutup pintu surau dan mematikan semua lampu itu pastinya. semburat kuning keemasan tampak sudah mulai mengintip dari ufuk timur, menampakkan cahaya indahnya. menghadirkan hangat yang menyentuh kulit. Angin segar berhembus sepoi menerpa wajah Lisna yang menatap pelataran surau hampa.
"Coba telfon pake nomer bulek Lis, kalo kamu ingin tahu dimana Danar sekarang." tawarnya.
"Nggak perlu Bulek, malahan Lisna nggak usah repot-repot bikinin sarapan. Hehehe." jawab Lisna tersenyum.
"Ya jangan begitu, nanti kesannya kamu nggak peduli, dan nggak butuh Danar." Bulek Tati mencoba mencerna keadaan.
Lisna terdiam, sepertinya benar ucapan bulek Tati. Tapi ya memang ia tak membutuhkan mas Danar, ia saja saja terabaikan. Tak perlu mengemis, bukan sifatnya, bathin lisna bermonolog perih.
"Sudah, ayo ke rumah bulek, telpon dulu Danar, siapa tahu ada hal yg membuat Danar nggak bisa pulang semalam." Bulek Tati berdiri dan meraih tangan Lisna.
"Nggak lah bulek, besok saja kalau nanti malam mas Danar belum juga pulang. Biar aku telfon pinjam handphone bulek ya. Sekarang Lisna juga lagi ingin sendiri." Lisna melepas genggaman tangan bulek Tati.
"Apa Danar habis gajian?" Bulek Tati memandang Lisna tajam.
Ia menoleh dan menatap bulek Tati. Sejurus mata mereka bertemu pandang. Bulek Tati menaikan satu alisnya menunjukan bahwa ia harus menjawab pertanyaannya.
"Memang begitu ya bulek kalo mas Danar habis gajian?" Tanya Lisna penasaran.
"Hm, jadi bener Danar habis gajian?" Bulek Tati menekankan pertanyaannya.
"Iya bulek." jawab Lisna menunduk.
"Kebiasaan, Orang tua tidak bisa mendidik anak. Seharusnya anak sudah berumah tangga biarkan berkembang sendiri. Bulek sudah memikirkan ini dari sejak kalian dulu tunangan Lis. Yg bulek takutkan beneran terjadi." Bulek Tati memegang pundak Lisna dan menepuknya beberapa kali.
"Sabar ya nduk, banyak berdoa, bimbing Danar jadi orang yg baik. Yang salah bukan Danar, tapi orang tuanya yang tidak pas mendidik anak-anaknya. Bulek yakin Danar akan berubah. Asalkan kamu mau menuntunnya ke arah yg benar." Bulek Tati memandang dengan wajah penuh harap. Lisna menatap manik matanya mengembun. Seperti ada sesal di hatinya.
"Yuk pulang, bulek mau masak entok hari ini. Nanti sarapan tempat Bulek ya. Kerja kamu hari ini Lis?" Bulek Tati melangkah pelan.
"Hehe, enak itu bulek udah lama nggak makan daging entok." Lisna mengikuti langkahnya.
"Ayuk mampir ke rumah." Bulek tati berhenti dan menepuk pundak Lisna lagi.
"Terima kasih bulek, mau siap-siap kerja. Kemarin udah janjian sama teman nanti mau dijemput katanya." jawab Lisna.
"Oo Gitu, ya sudah bulek pulang dulu ya." Bulek Tati melanjutkan langkah pulang kerumahnya.
"Iya bulek." Jawab Lisna meneruskan langkah ke gubuk lagi.
Ia melangkah dengan gontai, perasaannya kini begitu dilema. Pernikahan yang baru saja ia sakralkan harus berawal dengan hal yang tidak ia impikan sama sekali.
???? B E R S A M B U N G ????
Lisna yang merasa tersakiti, kemudian mendengar sesuatu yang sepertinya hal baru, membuatnya menjadi dilema. Kecewa dan terluka.
Share this novel