Bab 2
Kesunyian Malam
"Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan sembilan, cukup." Gadis itu tersenyum dan melempar sisa lembaran berwarna biru itu ke pangkuan Lisna dan berlalu pergi. Lisna dibuat bingung dengan semua adegan yang sedang ia tonton. Sungguh ia tak paham semua itu.
Mengembun sudah mata Lisna, ia meremas sisa-sia lembaran itu dan memegang tangan suaminya yang duduk di sampingnya, lalu menyerahkan semua uang itu padanya.
"Ambil semua mas, sepertinya aku tak membutuhkannya." kata Lisna tegas. Ia berdiri dan melangkah keluar tanpa menghiraukan lagi yang terjadi. Namun ia penasaran dengan sikap suaminya, ia menghentikan langkahnya dan melirik ke arah suaminya. Sungguh ia terkejut, Danar mengambil lembaran-lembaran itu. Merapikan lalu memasukkan ke dalam dompetnya.
Lisna menggelengkan kepalanya, mengelus dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Sungguh ia merasa semua di luar nalarnya. Jauh dari apa yang ia bayangkan, bahkan ia tak pernah sedikit pun tahu ada hal seperti itu.
Lisna melanjutkan langkahnya menjauh dari mereka yang sedang sibuk menghitung hitung bagian mereka masing-masing. Ia memilih berjalan kaki pulang ke gubuk yang ia tempati bersama suaminya. Sesekali ia menatap ke belakang, berharap ada sosok suaminya mengejar langkahnya. Namun getir, sungguh semakin terasa perih menusuk relung hatinya.
Di bawah terik ia terus melangkah, ia berharap segera sampai. Lima belas menit berjalan, akhirnya Lisna sampai ke tempat tujuan. Lalu ia membuka pintu dan menuju ruang tengah yang terdapat meja kecil di mana ia meletakkan teko berisi air minum dan beberapa gelas diatas nampan kecil.
Berjalan di tengah terik membuat tenggorokannya terasa kering. Lalu ia menuang segelas air dan menenggaknya hingga habis tak bersisa. Sejuk menjalar ke dalam dadanya, sedikit mendinginkan perasaannya. Namun perjalanan dengan perasaan tak menentu sungguh membuatnya lelah. Ia masuk ke dalam bilik kecil yang terdapat di gubuk itu, bilik tempat ia dan suaminya beristirahat. Lisna merebahkan diri ke atas balai yang hanya beralaskan bambu tanpa tikar.
"Huft, Keras juga ini bambu. Sekeras Hati mereka. Ah, bukan keras lagi kalo mereka, Atau malah membatu. Ya salam, kenapa begini? Sepertinya aku benar-benar salah melangkah.” Gumam Lisna lirih.
Perih itu kembali menjalar dalam dada, tanpa terasa matanya sudah basah berlinang air mata. Angannya menerawang jauh, terbayang semua perjalanan kisah hidupnya yang penuh lika liku. Kerikil-kerikil tajam yang menghadang jalannya selalu bisa ia lalui. Penantian panjang yang tak berujung pun ia tempuhi meski berujung lara.
Kala itu Rahmah sang sahabat sempat memperingatkan Lisna, kalau Danar bukalah laki-laki yang baik. Namun yang terlihat di mata Lisna hanyalah keindahan. Ketika hati diliputi cinta, hal buruk tak akan terlihat meski sebesar gunung.
"Kenapa tak ku hiraukan mereka yg pernah menasehati ku dulu. Ya Rabb,,, bisakah ku ulang waktu." Bathin Lisna lirih.
**
Malam mulai merayap, tapi Danar belum terlihat datang untuk pulang. Lisna menikmati malamnya dalam kesendirian. Tak ada yang bisa ia lakukan, hanya mengikuti alur yang sudah terlanjur ia lalui. Menapakinya dengan perlahan, meski duri tajam mungkin menghadang.
Ia memejamkan matanya, namun pikirannya terus melayang. Bayangan indah janji-janji manis Danar terlintas. Semua berputar bagai rol film yang berputar begitu cepat. Indah dan sangat menjanjikan keindahan. Ia menghela nafasnya panjang, lalu memejamkan matanya sekejap lalu membuang nafasnya perlahan.
Ingin rasanya ia terlelap dan melupakan semua yang terjadi hari tadi. Namun semua melintas begitu saja tanpa jeda. Rekaman yang tak ingin sekali ia ingat itu terus saja mengotori ingatannya.
Lisna mengusap wajahnya kasar, menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Membuka matanya kembali, menatap langit-langit, tampak barisan genteng dari tanah liat yang tersusun rapi.
Ia menarik selimutnya untuk menghilangkan hawa dingin yang kian menusuk kulitnya yang kian meremang. Berbaring dengan posisi miring, memaksa matanya terpejam. Namun gagal, semua yang ia lalui kian menghantui pikirannya.
"Astaghfirullah."
Gumamnya lirih, lalu ia menyingkap selimutnya dan beranjak keluar bilik, menyalakan lampu dan membuka pintu dapurnya yang menuju kamar mandi yang ada di belakang rumahnya. Membuka gentong yang tersedia khusus untuk wudhu, lalu ia mulai bersuci di sana.
Setelah itu, ia kembali ke gubuknya lagi, menggelar sajadahnya dan mengenakan mukenanya. Dua rakaat ia lakukan, memohon petunjuk atas segala yang melaju dalam kehidupannya. Doa terbaik dalam sujud panjangnya ia lantunkan. Lalu ia menambah tiga rakaat untuk menutupnya. Setelah itu, ia meraih kitab suci Al-Qur'an yang ada di dekatnya, membaca surat yang mengawali juz 29 dalam kitab suci tersebut.
Lima belas menit ia selesai membaca surat Al-Mulk, lalu ia mendekap kitab suci itu, lalu menciumnya. Setelah itu ia meletakkan kembali ke tempatnya. Ia melipat mukenanya, dan kembali ke biliknya, merebahkan tubuhnya lalu menutupi dengan selimut. Bibirnya mulai membaca ayat kursi, tiga Qul, lalu bershalawat, setelah itu ia membaca istighfar seratus kali, dan diakhiri dengan doa sebelum tidur.
"Bismika Allahumma Ahya Wa Amuut."
Gumamnya lirih, lalu memulai memejamkan matanya.
**
Pagi Pun menjelang, Lisna terbangun saat adzan subuh menggema. Setelah melaksanakan kewajiban, Lisna menyibukkan diri untuk murotal. Rasanya malas untuk bergelut dengan wajan dkk. Tak berselera, ah biarlah.. toh dia punya uang. Biar saja dia mencari sarapan dan makan siangnya sendiri, batin Lisna bermonolog.
Tak terasa sudah beranjak itu matahari. Terasa hangat saat sinarnya mengintip di antara celah dinding geribik bambu yg Lisna tinggali.
“Maa syaa Allah.. nikmat mana lagi yg ku dustakan” gumam Lisna tersenyum simpul menenangkan hatinya sendiri.
Lisna beringsut dari tempat duduk dan mengambil handuk bersiap mandi dan pergi ke kantor. Tinggalkan urusan tak penting di gubuk ini.
Setelah siap, Lisna me lirik balai bambu yg ia gunakan untuk tidur. Ada sosok yang semalam ia nantikan kehadirannya. Bahkan lisna tidak tahu kapan suaminya itu kembali ke gubuk itu.
"Hmmmm... Biarlah.. terserah hidupmu mau bagaimana. Aku bisa sendiri" gumam Lisna melangkah keluar.
Setelah menunggu beberapa menit ada angkot yg lewat. Lisna menghentikan angkot itu dan pergi memakai angkot untuk ke kantornya. Sampai di kantor Lisna membuka pintu dan mulai beraktifitas menghilangkan penat. Satu persatu teman yg lain pun hadir.
"Pagi mba, aduh pengantin baru berangkatnya pagi banget. Tidak tidur apa semalam, itu mata sampai bengkak begitu." Sapa Rahmah teman satu kantornya meledek Lisna yang matanya sembab karena tak bisa tidur semalaman.
"Saking lelapnya malah.. makanya bangunya kepagian. Hahahaa." Jawab Lisna dengan senyum terlebar.
"Diiiiiih... Yang pengantin baru... Aromanya wangi. Eh salah... Aroma bawang ya, kan masak buat suami tercinta" si Hadi ikut nimbrung.
"Hahaha... Ra Kober masak pak (tidak Sempat masak pak). Orangnya aja masih merem waktu aku pergi. Kalo laper nanti bangun kan cari makan sendiri" jawab Lisna ringan.
"Ih tidak sopan mba, pengantin baru mah mesra-mesraan gitu.. males ngapa-ngapain maunya berdua dikamar Mulu ama suami" Rahmah masih meledek jg.
"Hadooooh.... Ada tema lain tidak yg bisa dibahas pemirsa.. " kata Lisna berkacak pinggang.
"Hahahaha... Jo nesu mbaaaa.... Marai cepet tuwek (jangan marah mba, bikin cepat tua) " si Hadi duduk dibangkunya dengan segelas kopi dari pantry.
Dan kami melanjutkan aktifitas kantor seperti biasa. Lisna yg menjabat sebagai staff administrasi. Sibuk dengan tumpukan kertas yg sempat terbengkalai karena ditinggal cuti menikah sepekan yg lalu.
"Alhamdulillah.. beres juga". Lisna melirik arloji yg melingkar di lengan kirinya sudah menunjukan pukul 16:15. Selalu tersenyum jika menatap arloji yang setia menemani kemanapun ia beraktifitas. Arloji kesayangannya, benda yang tak pernah lepas dari pergelangan tangan kirinya itu.
"sudah sore saja, rasanya enggan mau pulang." Gumam Lisna lirih.
" Mbak mau bareng tidak? Kebetulan aku mau lewat arah rumah mbak Lisna nih." Rahmah menawari tumpangan.
"Eh boleeeeh." Lisna beranjak dari kursi malasnya, ia meraih tas dan keluar lalu mengunci pintu.
"Tapi aku rasanya tidak pengen balik ke rumah Lo mah. Yuk makan mie dulu" kata Lisna menepuk pundak Rahmah ketika melewati gerobak mie ayam di pinggir jalan. Rahmah pun membelokkan motornya ke depan gerobak mi ayam yang ditunjuk Lisna. Mereka pun turun dan mencari bangku kosong yang disiapkan penjual mi ayam tersebut.
"Emang mas Danar nggak dirumah mba?" Tanya Rahmah menyelidik.
"Ada, enggak tahu males Saja balik" jawab Lisna pelan. Rahmah menangkap kecurigaan dengan sikap sahabatnya itu.
"Lagian kenapa enggak ngontrak saja si Mba. Apa tinggal dulu sama mama atau mertua gitu. Kok Yo tinggal di tengah kebon begitu. Habis nanti kamu dimakan nyamuk mba.. hihihi" Rahmah nyerocos tanpa jeda.
"Besok lah aku tak cari kontrakan." Jawab Lisna lirih tanpa ekspresi dari candaan Rahmah.
“Iyalah, mas Danar kan gajinya besar, masa iya tinggal di gubuk begitu, mana di tengah hutan pula. Nasibmu mbak." Kata Rahmah lagi.
Lisna mencebik mengingat kisah cinta sahabatnya itu. Mengapa begitu malang, setelah menemukan sosok yang pas di hati, tiba-tiba pergi begitu saja. Kini menikah dengan orang yang sepertinya menyayangi Lisna, tapi entah apa kabar pernikahannya yang baru seumur jagung tapi keadaan menyatakan tidak baik-baik saja.
Pesanan datang, mereka pun hendak menikmatinya. Tiba-tiba ada yang mengagetkan mereka dengan suara lantang.
“Mbak Lisna! Ngapain di sini, pulang kerja itu langsung pulang. Bukan keluyuran nggak jelas. Ingat sudah punya laki juga, dasar!”
Rahmah dan Lisna serta beberapa pengunjung menatap ke sumber suara. Sebagian orang berbisik-bisik, sebagian lagi tak acuh dengan keberadaannya.
"Kamu?” Lisna terperanjat mendapati sosok yang berdiri di depan gerobak mie ayam dan masih duduk manis di atas jok motor melipat tangan menatapnya sinis.
???? bersambung ????
Lisna menyimpan semua lara yang mendera di dalam dada. Cukup di dalam hatinya, dan mencoba mencerna semua yang ada. Akankah Lisna bertahan, bagaimanakah Lisna menjalani kehidupannya kedepan?
Share this novel