Rate

BAB 2

Drama Completed 318

Namun menjalani profesi begitu semakin membuatku jenuh.Aku ingin menjauh dari buku, jurnal, hasil penelitian dan sebagainya.Ternyata semua itu pula mengongkong kebebasanku.Lantas kujual berkardus-kardus koleksi bukuku semasa kuliah.Semua itu sebagai bekal perjalananku selanjutnya.Pelarianku pun semakin jauh.Luntang lantung tak keruan sampai akhirnya terdampar di serambi masjid ini.Bagaimana aku bisa bekerja di sini berawal ketika kondisi keuanganku terus menipis.Waktu itu bertepatan dengan masuknya bulan puasa.Aku tak sanggup melanjutkan pelarianku lagi.Lapar dan haus menyita langkahku.Kutunggu waktu berbuka sembari tiduran.Aku akui bahawa keuntungan adanya agama adalah memiliki rumah ibadah. Dengan adanya masjid maka pengangguran sepertiku boleh menikmati makanan saat berbuka dan tidur tanpa harus bayar uang bulanan. Tetapi hal itu cuma berlaku di bulan puasa.

Akhirnya aku menemui pengurus masjidnya dan menawarkan diri sebagai penjaga .Ada dua orang penjaga di masjid ini, yang satu bernama Sofaz dan sering dipanggil Opaz . Sedangkan namaku Rama. Sering dipanggil Ma, yang bunyinya kedengaran mirip dengan Ma’ pada “emak”. Sebenarnya usia Sofaz lebih muda dariku, tapi duluan dirinya yang jadi penjaga di sini sehingga kadang sikapnya berlagak paling senior. Apabila Pak Tanu menyuruhnya mengerjakan sesuatu, dia akan melimpahkannya padaku. Menggulung karpet masjid, mengepel lantai, mencuci persediaan perangkat shalat, dan pekerjaan sejenisnya. Namun setiap kali jelang waktu shalat, dia selalu siap di dekat mic. Sigap tak pernah ketinggalan untuk azan. Agak aneh juga bagiku, sepertinya ada kedekatan antara dirinya dengan pentol korek elektronik tersebut. Tak masalah buatku selama gajiku tak diembatnya.

Tak terasa sudah hampir setahun tinggal di masjid ini. Sebentar lagi bulan puasa. Terkenang bagaimana keadaanku dahulu pertama kali ke sini. Meski sekarang sudah berbeda, tapi aku menghadapi situasi yang nyaris mirip seperti yang pernah aku alami saat masih di rumah ayah. Kepengurusan Masjid Darussalihin segera berganti maka yang tampak adalah persaingan antara jamaah untuk mendapatkan tampuk kepemimpinannya. Aroma gontok-gontokan tercium lekat. Isu yang kurang sedap berseliweran menghinggapi semua orang, termasuk pertentang antaraliran. Ada yang kuat memegang tradisi menginginkan Pak Tahran tetap menjadi ketua, di lain pihak kalangan muda yang ingin menghapus tradisi-tradisi yang dikatakan bukan berasal dari ajaran agama, menghendaki pemimpin baru yang mereka katakan lebih melek ilmu.

Pak Tahran sebagai warga yang sudah sepuh dan lama tinggal di perumahan ini, merasa bahawa di belakang orang-orang muda para pendatang baru itu pasti ada aktor intelektual yang mau menggulingkannya. Dalam pengamatan kasarku, tuduhannya mengarah ke Pak Fauzi yang selama ini aktif berjuang melawan ketidakmurnian tradisi. Kalau dipikir-pikir mirip ayahku ketika menyebarkan paham barunya di masjid dekat rumah dahulu, dari cuma sendirian sampai berhasil menguasai masjid dan mengganti anggota-anggota pengurusnya dengan yang sejalan dengannya.
Apa yang dilakukan Pak Fauzi tak jauh berbeda, dia mengundang pendakwah-pendakwah dari luar untuk mengadakan pengajian yang umumnya diikuti kaum muda. Rutin dua kali dalam seminggu. Akibatnya Pak Tahran dan beberapa orang tua merasa dilangkahi, dia mewanti-wanti pada Sofaz agar jangan menyediakan air bagi penceramahnya. Dalam arti lain, biar Pak Fauzi yang membiayai sendiri kegiatan itu. Tetapi Pak Fauzi kukuh dengan program-programnya, pengajian yang dirintisnya makin besar. Orang-orang yang sepaham dengan alirannya berdatangan dari luar perumahan. Mereka menambah pemasukan masjid. Kotak amal itu semakin berat dan seolah tak pernah habis isinya setiap kali dikeluarkan untuk dihitung.

Pada satu hari Pak Fauzi datang ke ruangan penjaga secara mengejut. Aku dan Sofaz jadi gugup dan cuak. Selalunya yang sering berjumpa kami dan memberikan segala kerja dan arahan hanyalah Pak Tahran . Musykil jadinya. Apa halnya ni?
“Iya, Pak. Ada apa ya?” tanya Sofaz .
“Saya mau lihat apakah masih ada ruangan di dalam sini.”
“Silakan, Pak.” beliau masuk dan melihat kamar kami.
“Lumayan besar juga.”
“Iya, Pak.” dari tadi cuma Sofaz yang meladeninya.
“Kalian kerja kepayahan tak ?” dalam pikiranku sih mengiyakannya. Dua orang merawat masjid sebesar ini pasti melelahkan, tapi Sofaz menjawab lain, “Tidak kok, Pak. Sudah biasa.” Dasar penjilat! Maki batinku. Terang saja dia berkata begitu kerana aku yang menyelesaikan semua pekerjaannya.
“Bagaimana kalau ada satu orang lagi yang membantu kalian?” katanya. Sebagai pendengar yang baik, kontan aku terperangah.
“Maksud Bapak?”
“Untuk membantu pekerjaan kalian biar tidak terlalu berat, saya berencana memasukkan seorang lagi. Urusan gaji tenang saja, biar saya yang mengurus. Yang penting dia dapat membantu kalian.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience