Rate

BAB 3

Drama Completed 318

Kami berdua terdiam saling bertatapan. “Oke yah?” tanya Pak Fauzi . Anehnya kami malah mengangguk. “Ya sudah, besok atau lusa orangnya datang.”
Seperti yang dikatakan, si Penjaga baru pun datang. Sepertinya lebih muda dari Sofaz . Memakai kopiah putih, baju koko dan celana cingkrang di atas mata kaki. “Assalaamu’alaikum akhi.” sapanya sembari menyalami kami.
“Namaku Sofaz dipanggil akhi.” dia mendumel ketika kami nongkrong di warung. “Akhi itu bahasa Arab artinya saudara lelaki .”
“Iya, aku tahu. Panggil saja mas, kenapa pulak nak panggil akhi, sok Arab.”
Letupan pertama muncul. Mirip ketika aku protes kepada ayahku dahulu sewaktu mengganti panggilan papa-mama dengan abi-ummi biar kedengaran lebih islamik. Reaksiku waktu itu adalah mempertanyakan istilah kearab-araban itu yang dipakai sebagai simbol formalis semata. Padahal bangsa ini juga punya bahasa sendiri, tapi dengan mudahnya tergeser dengan bahasa lain biar dibilang lebih religius.

Aku sudah menduga letupan itu akan diikuti rentetan letupan. Ketika malam hari biasanya Mas Sofaz mengunci semua pintu masjid, tapi penjaga baru itu pula membukanya dengan alasan memberi ruang bagi orang-orang yang ingin solat malam. Akhirnya Sofaz marah-marah kepadanya. Tetapi Lukman, si Penjaga baru, bersikeras dengan kebenarannya. Bahkan dia rela tidur di luar kamar untuk mengawasi masjid daripada menghalangi orang lain untuk beribadah. Sofaz jengkel luar biasa, senioritasnya serasa diterabas dan pribadinya serasa tak dihargai. Yang paling membuatnya kesal adalah Lukman berani mengambil uang di kotak amal sekadar untuk membeli sekardus air untuk peserta pengajian yang diadakan Pak Fauzi . Akhirnya Sofaz melaporkan hal itu ke Pak Tahran .
“Benar apa yang dibilang Sofaz , Ma? tanya beliau padaku.
“Benar, Pak.”
“Kurang ajar si Fauzi .”
“Sepertinya anak itu sengaja dijadikan penjaga untuk dapat melayani kepentingan mereka, Pak.” Wah, boleh juga si Sofaz berhipotesa. Tampaknya negara ini tak kekurangan ahli politik. “Kamu tidak dapat menangani anak itu?”
Sofaz terdiam, sementara beliau mengalihkan pandangannya padaku. “Kamu bagaimana, Ma?” naluriku menyuruhku menggeleng untuk menjawab todongan Pak Tahran . “Bagaimana sih kalian berdua, apa tak pernah berpikir soal masa depan masjid ini? Bayangkan kalau sampai diambil alih oleh Fauzi , bakal habis semua.”
“Habis, Pak?” tanya Sofaz . Pak Tahran tak melanjutkan penjelasannya. “Pokoknya kalian berdua harus menyingkirkan anak itu. Bikin supaya tidak betah dan minggat dari sini.”
“Bagaimana kalau dikeluarkan surat pemecatan dari pengurus masjid. Kan sekarang masih Bapak.”
“Ya, nanti saya buatkan. Kamu paksa anak itu keluar ya.”
“Siap, Pak.”

Surat yang dijanjikan pun datang seminggu kemudian. Sofaz segera menjalankan tugasnya. “Man, ini surat dari pengurus. Kamu tak bisa lagi tinggal dari sini.”
“Maksud akhi apa?”
“Baca sendiri. Pokoknya kamu tak bisa di sini.” dia membaca sejenak.
“Tapi kata Pak Fauzi saya boleh di sini.”
“Pak Fauzi bukan ketua pengurus masjid, ini surat dari pengurus masjid.”

Lukman tak bertanya lagi, tapi sore hari batang hidungnya tak kelihatan. Sofaz girang bukan main dan di warung kopi dia membatak an diri. Tapi dugaanku letupan ini belum selesai. Pasti akan ada yang lain. Benar saja, besoknya Lukman tampak di antara rombongan pengajian yang dibina oleh Pak Fauzi . Mungkin saja dia tinggal sementara di tempat saingannya Pak Tahran itu.
Waktu pemilihan pengurus baru pun tiba. Hari minggu pagi masjid dipenuhi orang-orang yang mengaku sebagai pengurus, tapi jarang datang beribadah di rumah Tuhan ini. Bahkan saking jarangnya, aku tak bisa mengenali nama mereka. Pak Fauzi mengemukakan pandangannya bahawa kepengurusan masjid harus diisi orang-orang yang dinamis dan gesit. Sebaliknya, kalangan sepuh menyangka bahawa Pak Fauzi tak menghormati kontribusi mereka. Sebagian orang tua di perumahan ini adalah penyumbang dan di masa lalu mereka bergotong royong mendirikan serta memakmurkan masjid. Sofaz pun turut berpihak, jelas sekali dari letak duduknya yang berdekatan dengan kubu Pak Tahran . Sepertinya seniorku yang satu itu ingin sesekali jadi aktivis. Perdebatan alot itu menghabiskan waktu dan tenaga mereka. Hari beranjak zuhur, tapi dewan ketua pengurus masjid belum terpilih. Tak satupun yang memerhatikan keberadaanku dan kotak amal.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience