3. Obral-Obrol

Horror & Thriller Completed 9007

3. Obral-Obrol

SEPULANG sekolah Lupus sengaja main ke sekolah Lulu. Sekolahnya Lulu lebih dekat dari rumah dibandingkan sekolahnya Lupus. Biasanya sih, Lulu lebih dulu pulangnya. Tapi karena ada teman Lulu yang berulang tahun, maka pulangnya agak siang. Dan Lupus sengaja ke sana, tujuannya ya itu, mau minta bagian kue ultah.

Lupus menunggu penuh harap di depan kelas Lulu yang masih ramai dengan anak-anak. Suasana nampak meriah sekali. Ada balon di setiap sudut ruangan. Memang enak sekali sekolah di Taman Kanak-kanak. Penuh hura-hura. Dan Lupus sempat mendengar beberapa anak yang berteriak-teriak, yang bernyanyi, dan seorang guru yang sibuk menanyakan sesuatu sama Lulu.

"Lulu, tadi pagi Ibu Guru sempat melihat kamu diantar ayahmu." "Iya," ujar Lulu tak acuh sambil melahap kue ulang tahun.

"Lalu, apa sih pekerjaan ayahmu?"?

"Apa saja yang disuruh Mami," ujar Lulu lagi sambil mengelap mulutnya yang berlepotan kue. Ibu Guru tertawa mendengar jawaban Lulu. Lalu membantu membersihkan mulut Lulu dengan saputangan.

"Kamu selalu berlepotan kalau lagi makan. Apa kamu tak bisa menemukan di mana letak mulutmu, kalau lagi menyuap sesuatu?" kata Ibu Guru lagi sambil terus tersenyum-senyum.

"Ketemu sih ketemu, Bu. Tapi Lulu selalu menemukannya dalam keadaan tertutup." Tawa Ibu Guru makin keras.

Lupus makin tak sabar menanti di luar. Dan ketika semua anak sudah bubar, Lupus menghampiri Lulu di depan pintu. Tapi... "Yaaa, kuenya udah abis, Pus," jawab Lulu sambil menyodorkan kotak kue yang sudah kosong.

Duh, padahal Lupus lapar banget.

"Kak Lupus kenapa mudah lapal, cih?"

"Kakak kan orangnya energik. Suka loncat sana loncat sini. Sering bergerak. Namanya aja anak-anak, belon tau capek.

Ya, iadinya gampang lapar...."

"Kalo gitu kita naik becak aja, Kak. Bial bisa cepat-cepat makan di rumah," ujar Lulu kasihan.

"Eh, sebentar, Lu," tukas Lupus. "Saya punya tebak-tebakan yang mau saya tebakin ke kamu." "Trebakan apa , Kak?"

"Apa persamaannya Dede Yusuf sama Atiek CB?"

"Cama-cama altis!"

"Salah."

"Cama-cama apa, dong?"

"Sama-sama belon pernah nawarin makan saya. Hihihi."

"Yeee..."

"Iya, kalo nggak percaya tanya aja sama mereka."

"Lulu juga bica. Apa pelcamaannya Batman cama Gufi?"

"Apa?"

"Cama-eama nggak kenaI Lulu. Hihihi."

Abis main tebak-tebakan Lupus kembali ingat sama perutnya. Lupus lalu membayangkan maminya tengah menyiapkan hidangan makan siang di atas meja makan. Ada tumis daging, sayur asem, ikan asin, kerupuk udang, dan buah pepaya. Wah, pasti asyik banget, nih. Lulu juga ikut-ikut membayangkan, biar kompak. Lalu mereka naik becak.

"Eh, Lu, masa tadi teman-teman sekelas menertawai saya semua," cerita Lupus ketika tinggal beberapa belokan lagi dari rumahnya.

"Memang kenapa, Kak?"

"Ibu Guru kan nanya begini, 'Lupus, kamu tau kapan Ibu Kartini wafat?'"

"Jawab Kakak?"

"Wah, sakitnya saja saya nggak tau, Bu!"

"Hihihi..."

"Jadi kapan wafatnya saya nggak tau." Hihihi, ada-ada aja.

Lupus dan Lulu sampai di tikungan dekat rumah Lupus. Dan bayangan makanan enak tersaji lengkap di atas meja sudah menari-nari dalam kepala Lupus. Tapi, olala, Mami kok seperti baru menenteng tas belanjaan? Ya, mereka memergoki Mami yang sedang asyik ngobrol dengan ibu Uwi di ujung jalan sambil menenteng tas belanjaan. Ini artinya Mami sama sekali belon masak! Wah, celaka dua belas!

Lupus dan Lulu mengamati dari kejauhan. Sementara Mami terus asyik ngobrol. Ibu-Ibu kalo sudah kena kebiasaan seperti ini bisa lupa segalanya. Ngobrol memang mengasyikkan.

Yang diobrolin Mami kalo nggak tentang arisan pasti tentang lomba gerak jalan ibu-ibu yang seragamnya harus dibeli sendiri-sendiri itu.

"Idih kan ngerepotin, tuh. Menurut Bu Uwi gimana?" Begitu cara ngobrol para ibu. Pertama ia berpendapat, kemudian segera memberi waktu pada lawan bicara untuk berpendapat juga. Kalo pendapatnya senada ia akan senang. Kalo tidak ia segera meninggalkan dan mencari lawan bicara yang menyukai pendapatnya.

"Jelas ngerepotin dong, Bu Lu," kata Ibu Uwi. Eh, maksudnya Ibu Lulu gitu, tapi disingkat jadi Bu Lu.

"Eh, iya, Bu Uwi. Saya sebetulnya lagi sebel sama bapaknya anak-anak. Suka tak menghargai hasil kerja saya." "Iya, tuh, Bu. Saya juga suka diremehkan."

"Tapi kejadian kemarin bikin saya puas," lanjut Mami lagi seolah tak rela omongannya dipotong.

"Oya, kenapa?"

"Kemarin bapaknya anak-anak pulang dari kantor, dan menemukan rumah dalam keadaan amburadul. Tempat tidur belum dirapikan, ruang tengah belum diatur, dapur penuh dengan piring dan gelas kotor. Lalu buku serta mainan Lupus dan Lulu bertebaran di seluruh penjuru rumah. Dan yang lebih parah lagi, tak ada sedikit makanan pun di atas meja makan. Lalu bapaknya anak-anak bertanya heran, apa sih yang telah terjadi? Lalu saya jawab, sama sekali tak ada apa-apa. Selama ini Papi selalu bertanya-tanya tentang apa yang saya lakukan sepanjang hari. Nah, sekarang lihat, apa yang tidak saya lakukan sepanjang hari. Hahaha... " Ibu Uwi tertawa terpingkal-pingkal.

Tapi Lupus dan Lulu kini sedang memandang sedih dari pagar rumahnya ke arah Mami dan Ibu Uwi yang masih asyik bercengkerama.

Ah, untunglah acara "obral-obrol" itu tak terlalu lama benar. Lupus mengelus dada senang ketika Mami dan Ibu Uwi mulai saling melambaikan tangan.

Lupus dan Lulu segera masuk ke pekarangan rumah. Tapi ketika menoleh ke arah Mami, mereka terkejut bukan alangkepalang. Ya, ampun! Ternyata mami Lupus tak langsung pulang. Ketika sampai berapa meter dari rumah, muncul Ibu Pepno yang pulang dari bepergian. Mereka pasti ngobrol lagi.

"Hei, Bu Pet, eh, maaf, Bu Pep, dari mana aja, nih? Wah, abis borong, ya?"

"Ah, enggak, Bu. Cuma abis beli rak buku, sandal jepit, gelas, sisir, asbak, keset, sabun, termos, tikar, sama baju anakanak. Eh iya, gimana latihan gerak jalannya Bu Luk, eh, maaf, Bu Lu?"

"Wah, ceritanya ngebales ni ye?" ujar Mami centil. "Latihan gerak jalan sih beres-beres aja. Tapi soal seragamnya nih Bu Pep, yang jadi masalah. Kata Bu RT atasannya pink dan bawahnya item. Kan norak banget tuh. Padahal saya usul supaya atasnya merah aja, dan bawahnya ijo lumut gitu. Serasi, kan, ya?" Ibu Pepno mengangguk. Eh, padahal kan sama saja noraknya, ya?

Sementara Lupus dan Lulu sudah tak sabar. Mereka masuk rumah dan langsung duduk menghadapi meja makan. Untunglah, di sana masih tersisa roti tadi pagi.

"Kenapa ya, Lu, ibu-ibu itu suka sekali ngobrol?" tanya Lupus sambil mengoleskan mentega ke atas rotinya. Lulu yang ditanya diam saja. Ia asyik dengan rotinya. Lagi pula tak lama Mami pun masuk. Mami langsung ke dapur. Kayaknya mulai masak. Lupus dan Lulu masih diam saja. Mereka unjuk rasa. Dan ketika Mami mengintip dari dapur, Mami segera tau apa sebenarnya yang diprotes oleh anak-anaknya itu di meja makan. Sementara wajan penggorengan mendesiskan tempe goreng, Mami menghampiri kedua anaknya yang pasang muka sebel, sambil mengupas kentang. Ia ingin menjelaskan.

"Mami cuma perlu hiburan kok, Pus. Ngobrol itu kan hiburan murah-meriah bagi kaum ibu seperti Mami ini. Biar nggak stres. Abis kalo Mami mau cari hiburan yang mahal kan Papi nggak punya duit, Pus. Kamu tau kan gaji seorang pegawai seperti Papi.

"Kepala Mami suka pusing lho, Pus. Bayangin aja, ngatur uang belanja, ngurus sekolah anak, membereskan pekerjaan rumah, ngatur ini ngatur itu, dan memikirkan yang lain-lainnya. Mami perlu hiburan untuk mengimbangi kesibukan Mami itu, Pus. Tapi Mami kan nggak punya uang untuk itu. Paling bila ada sisa uang belanja, Mami tabung untuk berjaga-jaga kalau ada keperluan-keperluan yang mendesak, Pus. Kamu jangan marah ya, Pus. Kan baru sekali ini Mami telat menyiapkan makan siang."

Lupus dan Lulu hanya saling bertukar pandang.

"Ya, ngobrol itu hiburan yang mengasyikkan. Mengenakkan. Sepertinya pikiran Mami menjadi lega setelah mengobrol. Bisa tuh buat main bola, hihihi. Ya, kalo abis sedikit ngobrol-ngobrol, Mami kembali bisa kerja, Pus...." Lupus menatap wajah maminya dengan serius.

"Kamu sudah makan roti, kan? Roti ini memang sengaja Mami sisain buat kamu, kok," kata Mami lagi sambil memungut kentang yang berikutnya. "Barangkali ini juga merupakan keuntungan bagi Mami yang hidup secara bertetangga. Bisa bebas ngobrol dengan siapa aja...." "Mi..., bau angus, tuh!" teriak Lulu.

"Ya, ampun! Tempe Mami...!" Maml terperanjat.

Lupus geleng-geleng kepala saja melihat maminya lari pontang-panting ke dapur. Tempe untuk makan siangnya kini jadi hangus karena Mami asyik ngobrol dengannya. Tapi dalam hatinya Lups berdoa agar Papi diberi rezeki banyak biar Mami bisa mendapat hiburan dengan pergi ke Taman Mini atau Dunia Fantasi. Ya, itu lebih baik daripada mencari hiburan dengan mengobrol, barangkali.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience