Rate

BAB 3

Drama Completed 303

Aku mengernyitkan mataku sebentar, melihat sosok Andrew yang tengah duduk manis di kursinya. Aku melangkah lemah menuju mejanya, berharap teleponnya berbunyi dan memintanya untuk pergi sekarang. Namun hanya hening. Tak terdengar suara ringtone ponsel miliknya. Aku pun berjalan mendekatinya tanpa semangat sedikitpun.

Andrew langsung berdiri dari duduknya begitu melihatku datang dan menyosor pipiku dengan ciumannya, yang kurasa seperti perasaan jijik. Aku tersenyum kecut melihat kebiasaannya. Aku langsung duduk di hadapannya dan mataku terbelalak melihat segelas jus strawberry yang paling kubenci.

Ternyata ia sudah memesankan minuman untukku dan tanpa tanya dulu apakah aku menyukainya atau tidak! Batinku mengumpat. Aku memandang wajahnya dengan seribu pertanyaanku.

“Yank, kamu mau nggak…” Kata-katanya terhenti. Wajahnya berpura-pura terlihat cemas. Rasanya aku ingin membentaknya untuk menyuruhnya tidak menampilkan wajah kepura-puraannya yang cemas itu. Aku masih diam. Menunggu kata-kata berikutnya.

“Yank…” Tangannya meraih kedua tanganku dan membawanya ke hadapannya sambil meremas-remasnya. “Apa kamu sayang sama aku?”

Pertanyaan bodoh yang tak harus aku jawab. Bukankah selama ini aku sudah menunjukkan keenggananku padanya. Apa ia berpura-pura tidak melihatnya, dan melihatnya sebagai sebuah persoalan biasa dalam suatu hubungan yang harus cepat-cepat diselesaikan? Aku masih diam dengan keenggananku.

“Emmm… kamu mau nggak membuktikan cintamu sama aku?”

‘Untuk apa aku membuktikan cintaku padamu yang tak pernah ada di hatiku?’ Batinku.

Aku melihat senyumnya, senyum yang entah apa artinya itu. Senyum yang menurutku mengandung arti yang tidak baik.

“Kamu mau kita pergi ke mana?”

“Pergi kemana lagi?” Tanyaku dengan suara yang sedikit tidak meng-enak-kan.

“Jalan-jalan.” Sahutnya datar.

Aku bangkit dari duduk dan mengikuti langkahnya yang entah mau ke mana itu.

Setengah jam kemudian kami duduk-duduk di taman. Seperti biasa ia selalu merangkulku dengan perasaan yang tak kumengerti.

Pandanganku menatap lurus. Menyapu semua rumput yang ada. Sedangkan ia memandangku dengan menilikku dari ujung jari sampai ujung rambut. Entah apa yang akan dilakukannya.

“Yank. Kalo seandainya aku suka sama cewek lain selain kamu, gimana?”

‘Aku senang! Senang banget. Kerana aku bisa lepas dari dirimu. Dan itu yang aku inginkan. Kau punya cewek lagi dan memberikanku alasanku untuk bisa memutuskanmu.’

Aku menoleh dengan pelan dan menatapnya dengan polos.

“Kalo itu bisa membuatmu bahagia, kenapa tidak?” Ucapku pelan dan kembali membuang pandangan ke depan. Kurasakan tangannya terlepas dari pundakku. Seperti ada kelegaan yang sekian lama aku nantikan, setelah seperti ada sesuatu yang mencekat nafasku.

“Apa kamu tidak bahagia berpacaran denganku?” suaranya serak seperti menahan rasa sakit yang menyerang ulu hatinya.

Seketika aku menoleh dan menatap pemilik suara yang terdengar sedih itu. Seperti ada batu logam yang menghunjami hatiku bertubi-tubi. Membuatku sesak bernafas. “Kenapa kau bertanya seperti itu?” Suaraku bergetar. Dan menatap was-was pada sosok di hadapanku.

“Tidak. Mungkin ini cuma perasaanku saja. Seharusnya dari awal aku sudah mengetahuinya. Apabila seorang kekasihnya akan memiliki firasat seperti indera keenam, jika kekasihnya telah berselingkuh dan menghianatinya.” Ia menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong.

Aku masih diam. Menunggu kata-kata selanjutnya.

Ia menoleh dan menatapku dengan senyumnya yang kurasa paling manis selama aku bersamanya.

“Maaf. Ini harus terjadi. Awalnya aku cuma ingin main-main, tapi semakin aku mengingkarinya, hatiku semakin membenarkannya, bahwa aku benar. Meski aku ikut merasakan sakit saat mengingatmu. Tapi aku tak bisa bila aku harus menyakitimu terus menerus dengan keegoisanku. Dan aku merasa aku ini adalah manusia yang paling berdosa, yang dengan sengaja telah menduakan cintamu.”

Hening. Tak ada suara. Kami diam. Tak berani menatap satu sama lain. Membuat hati yang paling dalam menangis.

“Jadi kamu menyukai gadis lain dan menduakan aku? Berarti selama ini kamu telah berbohong padaku!” ucapku dan memberanikan diri untuk menatapnya. Namun kecewa yang kudapatkan. Ia tak berani mengangkat kepalanya sedikitpun untuk membalas tatapanku.

“Maaf. Maafkan aku.” suaranya lemah ketakutan.

“Jika kamu lebih memilihnya,” aku diam sesaat untuk mengatur denyut jantung dan nafasku yang mulai tak beraturan, “Maka lupakan aku.”

Itu kata yang tepat untuk salam perpisahan dari sebuah hubungan yang telah ternoda oleh kebohongan, kepura-puraan dan penghianatan.

Aku bangkit dan berjalan menjauhinya dengan gontai sambil menahan air mataku untuk tidak keluar. Aku pergi dan meninggalkannya dengan perasaan kecewa dengan sikapnya yang tak menghentikanku untuk meminta maaf padaku.

Kini aku baru merasakan bagaimana sakitnya dikhianati oleh sang kekasih, walaupun tidak aku cintai sekalipun. Terasa menyakitkan dan meyesakkan nafasku. Kini aku melangkah dengan tidak menampakkan kepura-puraanku lagi. Kini aku bebas dengan perasaan senangku. Kini aku tersenyum di atas kedua kakiku kembali.

“Mia!” terdengar suara memanggilku. Kutolehkan kepalaku ke kanan. Jantungku berdegup kencang seketika. Bumi seolah berhenti berputar. Waktu pun diam tak bergerak. Mataku terasa panas dan hampir merembes keluar air mataku.

“Astaga! Ternyata benar, itu kau. Kukira aku salah lihat. Ternyata tidak.” Ia melangkah mendekatiku.

Senyum tersungging di pipiku, di antara lesung pipitku. Dan hatiku terasa bahagia mendapati dirinya di hadapanku. Mario, cowok yang selama delapan tahun ini mengisi hatiku. Cowok yang selama delapan tahun ini terus membayangiku di setiap tidur malamku. Cinta pertamaku semenjak di bangku kelas satu SMP.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience