Rate

BAB 1

Drama Completed 303

Aku senyum terpaksa dan memasang wajah ceriaku. Sebenarnya jauh di dalam lubuk hatiku, aku merasa benci dengan segala sandiwara yang bergilir di sampingku ini. Aku benci jika harus mengucapkan kata sayang, cinta dan rindu di hadapannya. Aku benci berpura-pura memberikan perhatianku kepadanya. Hatiku pedih, adakalanya merasa jijik melakukan semua itu.

Kuterima pipinya saat ia mencium kedua pipiku dengan enggan. Aku menatapnya dengan senyum termanisku, dan banyak mengumpat di hatiku. Aku tertawa saat ia berbicara, hanya untuk membuatnya senang. Aku mendengarkan saat ia bercerita tentang bermacam-macam kegiatannya. Dan sekali lagi, hatiku kembali miris saat melihatnya bahagia berada di sampingku, sedangkan aku merasa sedih bersamanya.

Sudah dua bulan aku hidup dengan kepura-puraanku. Sudah dua bulan aku berpura-pura mencintainya, berpura-pura memberikan kasih sayangku yang hanya setengah hati saja, berpura-pura bahagia namun hatiku miris.

Aku ingat hari itu. Hari di mana ia mengatakan cintanya kepadaku. Aku memandangnya penuh kebimbangan. Mungkinkah aku benar mengambil keputusan untuk menerima cintanya? Sementara hatiku tak secuil pun mempunyai perasaan cinta untuknya. Sebenarnya mudah aku menolak cintanya. Tapi aku tak tega melihatnya sedih.

Satu tahun waktu yang lama untuk sebuah penantian. Satu tahun telah cukup membuktikan betapa besar kesetiaannya. Dan satu tahun telah menghilangkan perasaanku padanya.

Satu tahun lalu aku diperkenalkan dengannya oleh sahabatku. Awalnya aku senang juga, kerana ia mendekatiku. Ia pun menyatakan cinta padaku. Tapi saat itu, aku memintanya untuk menungguku sampai aku lulus SMA. Aku senang ia mau melakukannya. Namun belakangan aku tahu, kalau dia lebih dulu menyukai sahabatku. Tapi kerana sahabatku telah memiliki pacar, maka dia beralih mendekatiku. Rasa kecewa menyelimuti hatiku. Aku marah padanya juga pada sahabatku. Emangnya, apa aku ini? Barang cadangan yang bisa dipakai setelah barang utama tak berguna lagi? Dengan cepat, perasaan kagum dan suka padanya menghilang. Menguap seiring panasnya amarahku.

Lama tak mendengar kabar darinya. Kukira ia telah melupakan aku. Sampai satu tahun kemudian ia datang padaku dan menanyakan kesediaanku untuk menjadi pacarnya. Pertanyaannya bagaikan penagihan janji yang harus aku tepati. Janji satu tahun lalu. Janji yang kini menyisakan kebencian di relung hatiku. Dan aku harus menepati janji itu. Aku pun menerima cintanya dengan setengah hati, tanpa kerelaan sedikitpun di hati.

Semalam aku berpikir, mungkinkah sudah saatnya aku lepas dari kepura-puraan ini. Pergi dari dirinya yang selalu menjeratku ke dalam penjara cintanya. Meski akan membuatnya terluka?

Aku tak peduli! Untuk apa aku terus mempertahankan kebahagiannya sedangkan ia tak peduli dengan kebahagiaanku, dengan perasaan hatiku. Ia bahkan tak pernah sesekali bertanya padaku, apakah aku bahagia dengannya? Apalagi memikirkan perasaanku.

Setiap kali ia rindu dan ingin bertemu denganku, ia selalu memintaku untuk menemuinya dan aku selalu menemuinya. Sedangkan ia selalu meminta sesuatu dariku tanpa peduli bagaimana perasaanku. Pelukan, ciuman, selalu ia minta. Tapi ia terus menganggap aku boneka, yang bisa ia mainkan bila ia suka. Andai saja aku tak punya rasa belas kasihan, mungkin sudah aku tendang ia jauh-jauh. Tapi aku selalu merasa kasihan padanya, dan rasa kasihan itu yang membuatku tak tega untuk melepasnya. Membiarkannya menjadikanku boneka kesayangannya yang ia mainkan sesuka hatinya.

“Yang, aku pengin malam minggu nanti kita pergi jalan-jalan, yuk?”

Pintanya padaku. Dan kata-kata itu sudah sering ia lontarkan padaku sampai aku hapal dengan permintaannya setiap kali ia minta ketemu. Aku cuma mengangguk pasrah sambil berkata, ”Terserah kamu saja, yang penting kamu bahagia.” Dan jawaban itu yang selalu terlontar dari mulutku. Dan ekspresi wajah gembira yang kulihat darinya. Wajah penuh bahagia itu bagai wajah menakutkan bagiku. Seperti binatang buas yang siap memangsaku dengan ganasnya seolah tidak makan selama satu minggu.

Tangannya mulai menyentuh tanganku dan membawanya kepangkuannya, meremas-remasnya seolah tanganku itu sebuah kain. Dan selanjutnya ia akan memandangku dengan lekat, matanya seperti menyampaikan keinginannya untuk mencium bibirku. Dan aku tahu apa yang harus aku lakukan, menghindar dari tatapannya dan selalu waspada akan sikapnya yang tiba-tiba. Berusaha menghindarinya untuk menciumku. Selama ini, ia hanya berhasil memelukku tapi tidak dengan menciumku. Aku selalu berhasil menghindarinya. Dan setiap kali ia akan melakukannya, jantungku selalu berdegup kencang, terbesit ketakutan akan dirinya yang menciumku. Dan aku selalu siap-siap mengepalkan tinjuku jika ia mulai menciumku.

Aku senang mendengar suaranya yang lembut dan renyah saat mendengarnya di telepon, seraya aku ingin memeluknya. Tapi begitu melihatnya, tumbuh perasaan benci dan muak, bergemuruh hebat di hatiku.

Di sanalah kebimbanganku muncul. Apakah aku mencintainya atau membencinya? Dan pertanyaan itu tak pernah terjawab olehku.

Aku bingung dengan diriku sendiri. Begitukah caraku mencintai seseorang? Atau aku takut tidak memiliki seseorang yang selalu memperhatikan aku?

Begitu banyak pertanyaan yang muncul di hatiku. Namun tak pernah satu pun yang terjawab. Jika cinta itu mudah, mengapa sulit aku merasakan dan menjalaninya? Munginkah dia jalanku untuk bisa bertemu dengannya, bertemu dengan cinta pertamaku?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience